Bagaimana Jika Kekristenan Adalah Sebuah Kebohongan?

Penulis: Leslie Koh
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What If Christianity Was A Lie?

What-if-Christianity-Was-a-Lie-

Bertahun-tahun silam, seorang temanku pernah berkata, “Keberadaan Tuhan itu tergantung pada iman kita.”

Pada saat itu aku berpikir, wah, masuk akal. Ini pemikiran orang cerdas.

Pernyataan itu memang ada benarnya. Tampaknya sangat logis: jika suatu hari aku memilih untuk tidak lagi mempercayai Tuhan, tidak akan ada lagi yang namanya Tuhan dalam hidupku. Dia akan segera lenyap. Kehidupan akan berjalan seperti biasa. Bahkan, aku mungkin akan bertanya: Apa bedanya hidup dengan atau tanpa Tuhan? (Jangan protes dulu sebelum selesai membaca).

Meski aku telah lama menjadi orang Kristen—aku dibesarkan dan dididik sebagai orang Kristen—harus kuakui bahwa adakalanya sejumlah pertanyaan mengusik hatiku: Bagaimana jika ternyata kekristenan adalah sebuah kebohongan? Bagaimana jika semua yang aku percayai ternyata terbukti tidak benar? Bagaimana jika ternyata Allah atau Yesus sesungguhnya tidak ada dan selama ini aku telah mempercayai omong kosong belaka? Bagaimana hal itu akan memengaruhi hidupku? Apa yang harus aku lakukan?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku mulai berpikir bagaimana caranya menguji imanku sendiri. Perlu kutegaskan bahwa aku tidak lantas mencari sesama orang Kristen untuk memperdebatkan konsep-konsep teologis atau berusaha mencari tahu kebenaran iman Kristen—itu di luar kemampuanku! Yang aku lakukan adalah mencoba melihat apakah aku bisa meyakinkan diriku sendiri untuk melepas imanku.

Pada dasarnya aku bertanya pada diriku sendiri: Bagaimana aku bisa memastikan bahwa kekristenan telah membohongiku? Apa kerugiannya jika aku tidak lagi mempercayai Yesus?

1. Aku harus membuktikan bahwa Yesus adalah seorang pembohong

Mengapa? Karena Yesus terang-terangan berkata, Dialah satu-satunya jalan kepada Allah—jalan, dan kebenaran, dan hidup—dan setiap orang yang percaya kepada-Nya akan mendapatkan hidup yang kekal (Yohanes 14:6; 3:16). Dia tidak menyatakan diri sebagai seorang guru atau pemimpin agama yang hebat, tetapi sebagai Anak Allah. Dengan sangat jelas Dia berkata bahwa setiap orang yang tidak percaya kepada-Nya akan binasa.

Jika apa yang dikatakan Yesus itu benar, aku akan sangat bodoh untuk tidak mempercayainya. Sama seperti sedang mengabaikan seseorang yang menasihatiku untuk tidak melompat dari atas gedung karena adanya hukum gravitasi. Jika aku memutuskan untuk tidak mempercayai Yesus, aku harus bisa membuktikan bahwa pernyataan-Nya itu adalah sebuah kebohongan, sesuatu yang benar-benar menyesatkan. Tidak heran C.S. Lewis, seorang penulis terkenal, berkata bahwa Yesus bisa jadi adalah seorang pembohong, seorang yang gila, atau benar-benar Sang Anak Allah.

Tampaknya mudah—kita cukup menganggap Yesus sedang berbohong—namun faktanya, ada banyak saksi mata yang mendengar dan melihat sendiri berbagai klaim dan tindakan Yesus, termasuk orang-orang yang tidak percaya, para pemimpin Yahudi, penguasa Romawi, dan beberapa tokoh yang menentang-Nya. Tidak hanya itu, orang-orang yang mendengar-Nya memahami dengan jelas perkataan dan tindakan-Nya yang sangat konsisten, bahkan musuh-musuh-Nya memberi tanggapan yang sangat serius—begitu seriusnya sehingga mereka mau Dia dihukum mati.

Dengan kata lain, aku perlu mencari penjelasan untuk semua tanda dan mukjizat yang tercatat dilakukan Yesus, juga memastikan kebenaran catatan para saksi mata yang pernah melihat mukjizat itu—termasuk yang mengatakan bahwa Yesus bangkit dari kematian. Aku juga harus bertanya, mengapa ada begitu banyak orang yang sangat yakin dengan apa yang dikatakan dan diperbuat Yesus hingga mereka rela mati demi iman mereka. Apakah mereka telah melakukan kesalahan besar? Ataukah Yesus memang sedemikian meyakinkan sehingga musuh-musuh-Nya pun memberi tanggapan yang sangat serius?

2. Aku harus membuktikan bahwa Alkitab itu keliru

Aku bisa berusaha menjawab semua pertanyaanku tanpa menghiraukan Alkitab sedikit pun. Aku juga bisa mengabaikan semua ajaran Kristen yang didasarkan pada apa kata Alkitab tentang Yesus.

Namun, ada banyak catatan Alkitab yang sudah terbukti akurat dalam sejarah (meski ada juga yang masih mempertanyakannya). Catatan tentang para raja, tokoh-tokoh penting, dan peristiwa-peristiwa besar yang ada dalam Alkitab, juga diteguhkan oleh sumber-sumber non-Kristen. Tentu saja aku masih bisa berdalih bahwa hanya sebagian Alkitab yang bisa dipercaya atau akurat.

Masalah lainnya adalah pesan Alkitab yang begitu konsisten tentang Yesus. Dari kitab Kejadian hingga Wahyu, terdapat berbagai nubuatan tentang kedatangan Yesus dan laporan tentang apa yang terjadi ribuan tahun kemudian, sampai pada detail-detail terkecil, seperti di kota mana Dia akan dilahirkan. Dan yang mengejutkan, semua nubuatan itu digenapi.

Data-data tersebut bisa saja dianggap khayalan belaka bila Alkitab dikarang oleh seorang penulis cerita yang berusaha meyakinkan atau membingungkan para pembacanya. Namun, karena pada faktanya Alkitab ditulis oleh sekitar 40 orang dalam rentang waktu 1500 tahun, mau tidak mau kita harus bertanya, bagaimana bisa semua penulis itu begitu menyatu dan konsisten dalam pesan dan deskripsi mereka tentang Allah? Bila orang-orang ini berusaha membuat sebuah kebohongan besar tentu akan ada hal-hal yang sangat berlawanan dalam tulisan mereka, namun mengapa kontradiksi itu tidak bisa ditemukan?

Jika benar kekristenan adalah sebuah kebohongan, bagaimana bisa semua penulis ini—yang terdiri dari beragam orang, mulai dari para nabi, raja-raja, hingga para nelayan, dan hidup dalam generasi yang berbeda ratusan tahun—entah bagaimana berkonspirasi untuk memproduksi sebuah cerita yang konsisten?

3. Aku harus menganggap semua pengalamanku tidak penting

Jujur saja, aku tidak pernah secara pribadi melihat sebuah mukjizat yang dramatis atau penglihatan tentang Yesus. Namun, aku telah berulang kali mengalami kehadiran-Nya dalam hidupku. Aku telah melihat contoh-contoh spesifik dari pemeliharaan dan berkat-Nya dalam keluarga dan pekerjaanku. Bila kekristenan itu palsu, artinya semua yang telah kualami itu tidaklah nyata. Aku bisa saja menganggap beberapa kejadian luar biasa yang kualami itu sebagai kebetulan belaka, namun beberapa kejadian terlalu luar biasa untuk disebut sebuah kebetulan.

Aku harus mengabaikan penghiburan yang diberikan Tuhan di dalam momen-momen yang paling gelap dan menyedihkan. Anggap saja itu sekadar kehangatan aneh yang datang entah dari mana. Namun, karena aku adalah orang yang sangat menggunakan logika—bahkan bisa dibilang skeptis—aku sendiri akan sulit menerima penjelasan semacam itu. Apakah aku telah begitu hebatnya dikelabui atau telah berusaha meyakinkan diriku sendiri tentang sesuatu yang tidak nyata? Apakah aku telah menggunakan logika di semua aspek hidupku kecuali imanku?

Semua pengalaman pribadi yang membangun hubunganku dengan Yesus ini harus kuabaikan jika aku mau meyakinkan diriku bahwa kekristenan itu tidak benar. Bagi sebagian orang, iman Kristen berarti mempercayai seorang Sahabat yang tak terlihat, dan itulah yang aku alami. Aku telah mendengar suara Yesus, berbicara kepada-Nya (dan mendengar jawaban-Nya), juga menikmati penyertaan dan penghiburan-Nya. Akankah sekarang aku bisa berpura-pura bahwa hubungan ini sepenuhnya hanyalah produk imajinasiku?

Aku juga harus mencari alasan lain di balik perubahan hidup yang begitu besar (dan lebih baik) dari orang-orang yang aku kenal. Seorang gangster kejam kini menjadi pendeta yang penuh kepedulian terhadap sesama. Seorang tante menyebalkan kini menjadi seorang tante yang penuh kasih sayang. Seorang teman yang kasar kini menjadi sangat sangat santun. Mereka semua berubah setelah percaya kepada Yesus. Tentu saja orang bisa berubah karena niat mereka sendiri atau keinginan kuat untuk memulai lembaran baru. Tetapi, jika Yesus bukanlah Pribadi seperti yang dikatakan-Nya, sulit untuk memahami mengapa orang-orang ini bisa terdorong untuk berubah saat mengenal-Nya.

Tetapi, Kristus itu terlalu nyata …

Sebagian orang mungkin menganggap kekristenan sebagai salah satu agama dan menggambarkannya seperti sebuah kruk/penyangga untuk orang lemah. Sebagian orang lainnya mungkin menganggap kekristenan sebagai sebuah keyakinan pribadi atau cara hidup yang bisa membuat pandangan hidup seseorang menjadi lebih positif, tetapi tidak ada bukti atau dasar yang kuat bahwa yang diyakini itu benar-benar nyata. Menurut mereka, keberadaan Tuhan itu tergantung dari apa yang kita percayai.

Namun, setelah mempertanyakan imanku sendiri, aku akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa iman Kristen—setidaknya bagiku—memiliki dasar yang dapat dipercaya, baik menurut Alkitab maupun apa yang kualami secara pribadi. Aku percaya dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab, karena aku menilai yang kubaca itu benar, logis, dan faktual. Selain itu, aku juga mengingat semua yang telah aku alami secara pribadi. Dengan kata lain, aku percaya dengan segenap pikiran dan hatiku.

Bagiku, itu berarti bahwa keberadaan Tuhan tidaklah bergantung pada imanku. Entah aku memilih untuk mengikuti Dia atau tidak, Tuhan itu sungguh ada. Meminjam kembali contoh tentang hukum gravitasi di awal tulisanku, aku “percaya” pada hukum gravitasi bukan karena aku telah melihat akibat yang ditimbulkannya jika aku melompat dari atas sebuah gedung. Seandainya suatu hari aku memutuskan untuk menganggap hukum gravitasi sebagai sebuah kebohongan pun, pilihanku tidak akan mengubah kenyataan bahwa hukum gravitasi itu benar adanya dan mempengaruhi hidupku—bisa dipastikan aku akan jatuh jika nekat melompat dari atas gedung. Sama halnya dengan itu, aku sudah melihat cukup banyak bukti tentang keberadaan Yesus, sehingga aku yakin bahwa Yesus sungguh ada, dan keberadaan-Nya tidak bergantung pada keputusanku untuk mempercayai atau mengikuti Dia.

Bagaimana jika kekristenan adalah sebuah kebohongan? Apakah keberadaan Allah itu tergantung pada iman kita? Kamu bisa mencoba memberikan alasan-alasan untuk untuk membuktikannya, namun kupikir aku tidak akan pernah bisa mempercayainya. Yesus itu terlalu nyata untukku.

“Jika keliru, kekristenan itu sama sekali tidak penting, dan jika benar, kekristenan itu luar biasa pentingnya. Namun, kekristenan itu tidak mungkin hanya setengah penting.”—C. S. Lewis

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Penulis: James Bunyan, UK
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Is Christianity just a “Get Out Of Hell Free” Card?

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”—Yohanes 3:16

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?

Secara singkat, jawabannya adalah “ya”! Tetapi juga “tidak”.

Yohanes 3:16 menjelaskan sebuah kebenaran yang luar biasa tentang Yesus. Siapa pun yang percaya kepada Yesus tidak akan binasa, namun beroleh hidup yang kekal. Kebenaran yang luar biasa ini harus selalu kita ingat baik-baik.

Menghindari neraka jelas ada dalam ajaran Kristen. Tetapi, saya ingin mengatakan bahwa kekristenan itu jauh lebih luas, tidak sekadar mengajar kita bagaimana caranya menghindari neraka.

Bahkan sesungguhnya, memangkas kabar baik yang dibawa Yesus hingga orang berasumsi bahwa ada hanya ada satu konsekuensi yang akan mengikuti keputusan mereka mengikut Yesus (terhindar dari neraka), itu sangat berbahaya. Mengapa? Karena dengan demikian kita sedang membuang banyak sekali karunia rohani yang sesungguhnya disediakan Allah.

Untungnya, Alkitab tidak membiarkan kita melakukannya.

Injil Yohanes tidak membiarkan kita melakukannya.

Bahkan Yohanes 3:16 juga tidak membiarkan kita melakukannya.

Jika hidup kita menunjukkan bahwa menghindari neraka adalah satu-satunya kebenaran yang penting dalam Kekristenan, kita telah menyingkirkan beberapa kebenaran penting yang ditunjukkan di dalam ayat ini.

1. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini …”

Jika iman demi menghindari neraka itu benar, kekristenan adalah iman yang sangat individualis dan juga sangat egois. Bukankah bicara tentang surga itu berarti bicara tentang saya dan kenyamanan saya? Yesus mati bagi saya dan itu tidak ada hubungannya dengan orang lain.

Lalu, mengapa kita perlu ke gereja? Satu-satunya kesamaan saya dengan orang lain yang datang ke gereja adalah: mereka juga telah mengambil asuransi yang sama. Hubungan saya dengan orang Kristen lainnya tak ubahnya seperti hubungan saya dengan orang lain yang membeli pakaian di toko yang sama. Pilihan yang bagus. Tetapi setelah itu, biarkan saya menjalani kehidupan saya sendiri.

Bersyukur bahwa kehidupan yang individualis sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bisa dipilih oleh seorang Kristen. Yohanes 3:16 mengatakan bahwa kasih Allah begitu besar akan dunia ini. Tujuan Allah memberikan Anak-Nya yang tunggal bukan untuk membuat kita menjadi orang-orang yang individualis. Tujuan-Nya amat sangat besar: Yesus datang supaya seisi dunia ini beroleh kesempatan untuk menerima hidup kekal—itu berarti segala suku bangsa, segala kelompok usia, dan segala macam latar belakang.

Dan dari orang-orang yang tidak terhitung banyaknya itulah Allah membangun Gereja-Nya. Almarhum John Stott, seorang pendeta di London, pernah menulis, “Karena tujuan-Nya … bukanlah untuk sekadar menyelamatkan individu-individu yang terisolasi satu sama lain—bila demikian kita akan terus mengalami kesepian—melainkan untuk membangun Gereja-Nya.”

Kekristenan itu bukan hanya tentang kita, tetapi tentang semua orang di seluruh penjuru dunia; mereka perlu mendapatkan kesempatan yang sama dengan kita. Kekristenan itu juga bukan sekadar upaya menghindari neraka, melainkan tentang menjadi bagian dari sebuah komunitas baru yang dibangun Allah di dalam Yesus. Kekristenan itu berarti mengasihi, menyambut, dan menerima semua orang lain yang percaya kepada Yesus.

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini.

2. “… sehingga Dia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal…”

Jika kamu adalah seorang yang percaya bahwa kekristenan itu hanyalah semacam garansi “bebas dari neraka”, itu berarti kamu mengakui bahwa Allah mengaruniakan Yesus bagimu—Dialah yang kamu butuhkan untuk bisa masuk ke surga. Cukup sampai di situ. Setelah Yesus mati bagimu, Dia tidak lagi berguna bagimu.

Untungnya, Alkitab tidak hanya bicara tentang apa yang dilakukan Yesus di masa lalu. Yesus juga adalah Tuhan yang bangkit, yang secara terus-menerus mengasihi, membangun, dan membentuk umat-Nya dengan kuasa Roh Kudus.

Dan, tidak hanya berhenti sampai di situ!

Orang-orang yang percaya bahwa kekristenan itu hanya semacam garansi “bebas dari neraka” tahu bahwa surga adalah tempat orang Kristen bisa mengalami segala sesuatu yang paling baik di jagat raya ini. Apa sebenarnya yang paling berharga bagi orang-orang Kristen? Bukankah yang paling berharga adalah Pribadi yang disebutkan Alkitab telah memimpin kita dalam iman dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan?

Alkitab sesungguhnya berkata bahwa pada akhir zaman, manusia-manusia yang telah diperbarui sebagai umat Tuhan akan mendapatkan tempat di sekitar takhta Yesus, menyembah Dia dengan penuh sukacita selamanya. Saat bicara tentang surga, kita tidak sedang berbicara tentang sebuah tempat yang nyaman untuk pensiun; tetapi tempat kita akan berjumpa dengan Pribadi terpenting di dalam hidup kita.

Pernahkah kamu berpikir bahwa suatu hari nanti, kamu tidak perlu lagi membaca Alkitab untuk memahami siapa Yesus? Pada akhirnya, kamu akan dapat memandang-Nya, muka dengan muka!

Bila hal itu tidak membuatmu bersemangat, mungkin kamu telah salah mengerti apa yang menjadi pokok utama kekristenan. Yesus bukan sekadar sarana yang dapat kita gunakan untuk mencapai tujuan—Dialah pokok utama kekristenan.

3. “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Kekristenan sama sekali bukan sebuah asuransi untuk sebuah kehidupan di masa depan yang tidak mempengaruhi kehidupan kita di masa kini. Ketika kita memutuskan untuk mengikut Yesus, tidak ada satu aspek pun dalam kehidupan kita, baik itu di masa lalu, masa kini, atau masa depan, yang akan tetap sama. Naluri kita, prioritas-prioritas kita, karakter kita, semuanya akan mengalami perubahan total melampaui apa yang bisa kita bayangkan, dan tidak ada satu bagian pun dari masa depan kita yang tidak menjadi milik Tuhan. Kehidupan yang akan berlanjut dalam kekekalan itu sudah dimulai segera setelah kita percaya kepada Yesus.

Kehidupan kita harus berubah, hmm… kedengarannya tidak nyaman ya? Tiba-tiba kekristenan menjadi sesuatu yang tidak mudah, apalagi murahan! Mungkin kamu bertanya-tanya, benarkah iman kepada Kristus sedemikian berharga?

Dalam Yohanes 17 kita membaca bahwa hidup yang kekal itu adalah mengenal Sang Bapa, satu-satunya Allah yang benar, dan Yesus Kristus yang telah diutus-Nya. Artinya, tidak ada yang lebih baik daripada mengenal dan dikenal oleh Pribadi yang telah menciptakan jagat raya dan segala isinya, Pribadi yang dengan penuh kasih menempatkan bintang-bintang pada posisi yang tepat, dan yang telah memikirkan tentang kita sebelum orang lain memikirkan kita.

Mengapa iman yang sekadar menghindari neraka itu jelas tidak cukup? Karena iman yang demikian membuat kita tidak bisa melihat kebenaran yang luar biasa ini: setiap kita diciptakan untuk mengenal dan menaati Allah yang Mahakasih, yang berkuasa atas segala sesuatu, serta untuk dikenal oleh-Nya.

Iman yang sekadar menghindari neraka jelas tidak sebanding dengan iman Kristen yang sejati.

Bagaimana Seandainya Kristus Tidak Pernah Dilahirkan?

Penulis: David Gibb
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What if there was no Christ in Christmas?

Alkisah ada seorang petani yang menganggap berita tentang Allah menjadi seorang bayi adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Namun, isterinya punya pendapat yang berbeda. Sang isteri adalah seorang Kristen dan beriman kepada Sang Bayi yang telah lahir di hari Natal. Namun, suaminya kerap mengejek apa yang ia imani. “Mengapa Allah mau merendahkan diri-Nya menjadi manusia seperti kita?” kata sang suami. “Itu cerita yang benar-benar konyol!”

Suatu kali, pada malam Natal, isteri sang petani pergi ke gereja, sementara suaminya tinggal di rumah. Tak lama kemudian, salju mulai turun. Awalnya, hanya beberapa butir, tetapi makin lama makin banyak, hingga akhirnya menjadi sebuah badai salju. Tiba-tiba, sang petani mendengar suara benturan keras di jendela, diikuti suara benturan lainnya.

Ia pergi keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata ada sekawanan angsa di sana. Angsa-angsa itu sedang dalam perjalanan bermigrasi, namun badai salju mengaburkan pandangan mereka, sehingga mereka tidak lagi bisa terbang atau bahkan mengenali arah ke mana mereka harus kembali.

Sang petani ingin menolong dan menyediakan tempat berteduh di lumbungnya bagi kawanan angsa malam itu. Jadi, ia membuka pintu lumbung dan berdiri di sana, berharap mereka akan masuk ke dalamnya. Namun, angsa-angsa itu tidak mengerti. Sang petani berusaha menghalau mereka masuk, tetapi mereka malah menjadi kacau, berlarian ke segala penjuru. Sang petani lalu mendapat ide. Ia punya sedikit roti, remah-remahnya ditaburkan sepanjang jalan menuju pintu lumbung—namun angsa-angsa itu tetap tidak menangkap maksud sang petani. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membawa mereka menikmati kehangatan dan perlindungan di dalam lumbungnya.

Petani itu merasa sangat frustrasi. “Mengapa mereka tidak mengikuti aku? Tidakkah mereka melihat bahwa inilah satu-satunya tempat yang dapat menolong mereka bertahan hidup? Bagaimana aku dapat membuat mereka mengikuti aku?” Tiba-tiba ia menyadari bahwa angsa-angsa itu tidak akan pernah mengikuti seorang manusia. Jika saja ia bisa menjadi sama seperti salah satu mereka, ia tentu dapat menjelaskan kepada mereka tentang lumbung itu, dan memimpin mereka ke tempat yang aman.

Merenungkan hal tersebut, sang petani mulai memahami mengapa Allah menjadi sama seperti manusia pada peristiwa Natal. Allah tidak menyatakan diri-Nya sebagai sosok yang lebih besar untuk membuat manusia terkesan—sudah jelas Dia adalah Pribadi yang terbesar dan terbaik. Namun, Allah yang Mahabesar ini menjadi kecil untuk menjadi sama seperti kita. Dia datang kepada kita di tengah kekacauan dalam dunia ini, di tengah badai dalam hidup kita, untuk menuntun kita ke tempat yang aman, untuk membawa kita kepada Diri-Nya sendiri.

Natal yang Membawa Pengharapan

Alasan mengapa Natal adalah peristiwa yang begitu luar biasa adalah karena Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Bayi ini dengan sempurna menggambarkan Pribadi Allah kepada kita, karena Dia adalah Allah. Pada saat yang sama, Dia juga adalah manusia seutuhnya. Dia dikandung manusia, tumbuh sebagai janin, dan kemudian dilahirkan. Pribadi yang jauh lebih besar dari bentangan angkasa kini dibaringkan di dalam sebuah tempat makanan ternak. Dia tumbuh sebagai seorang anak, lalu menjadi seorang remaja, dan akhirnya menjadi seorang manusia dewasa. Dia sama seperti kamu dan saya.

Renungkanlah sejenak tentang peristiwa ini. Karena, bila peristiwa ini benar terjadi, Natal bukanlah sekadar “sebuah cerita indah”—melainkan keajaiban terbesar sepanjang masa.

Pada 29 Juli 1969, astronot Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang sampai ke bulan. Saat itu Presiden Amerika, Richard Nixon berkata, “Peristiwa terbesar dalam sejarah manusia terjadi saat seorang manusia pertama kali menginjak bulan.” Kolonel James Irwin tidak sependapat. Ia berkata, “Peristiwa paling besar dalam sejarah kita bukanlah seorang manusia yang bisa menjejakkan kaki ke bulan, tetapi Allah yang datang menjejakkan kaki ke bumi.”

Seorang penyair dan penulis John Betjeman melukiskan kebenaran ini dengan indahnya dalam puisi berjudul “Christmas” [Natal]:

Benarkah ini? Benarkah ini?
Cerita paling menakjubkan yang pernah terjadi
Terlukis dalam warna-warni kaca patri
Seorang Bayi … dalam tempat makan sapi?
Sang Pencipta bintang dan samudra relakan diri
Menjadi seorang Anak di bumi, bagi diri ini?

Natal yang Mengubah Sejarah

Ya, benar. Sang Firman telah menjadi manusia pada hari Natal, dan peristiwa itu membuat kehidupan ini berbeda. Natal adalah peristiwa yang mengubah sejarah.

Tanpa Allah, kita tersesat, kita berjalan sendirian. Kita tahu apa saja yang pernah kita lakukan, siapa saja yang pernah kita sakiti, kata-kata apa saja yang seharusnya tidak pernah kita ucapkan. Andai saja kita bisa kembali ke masa lalu dan menghapus semua kesalahan kita—sayangnya kita tidak bisa.

Tetapi, Kristus datang pada hari Natal untuk melakukan sesuatu. Dia lahir sebagai seorang bayi, tumbuh besar, dan sebagai seorang pemuda, Dia dihukum mati di atas salib. Ketika Dia tergantung di salib, Dia tidak menjalani hukuman itu karena kesalahan yang Dia lakukan (Dia tidak berdosa). Dia sedang menderita bagi kita, menanggung semua kesalahan kita, supaya Allah dapat mengampuni kita, dan kita dapat dihubungkan kembali dengan Pribadi yang mengasihi kita. Pada peristiwa Natal, Allah—di dalam Yesus—telah datang untuk menuntun kita ke tempat yang aman, membawa kita tinggal bersama-sama dengan Dia.

Jika tidak ada Kristus dalam Natal, tidak ada pula pengharapan bagi kita. Artinya, kita harus menanggung segalanya sendirian di dunia ini—sendirian dalam kesepian kita, kesalahan-kesalahan kita, dalam kecanduan-kecanduan kita, dan dalam keputusasaan kita.

Tetapi, Kristus sudah datang pada hari Natal, dan kedatangan-Nya membawa perbedaan dalam dunia ini. Ketika kita mengenal Kristus, melihat hidup-Nya, dan membaca tentang Dia dalam Kitab-Kitab Injil, segala sesuatu mulai terlihat berbeda—karena Dia sudah datang.

Tentang Penulis
David Gibb adalah seorang pendeta yang saat ini menjabat sebagai Vikaris di Gereja St.Andrew, Leyland, Lancashire, Inggris. Beliau adalah salah satu kontributor artikel dalam NIV Study Bible yang baru, penulis sebuah buku renungan dari Kitab Hosea, dan saat ini sedang menulis sebuah buku dari Kitab Wahyu. Istrinya bernama Claire, dan mereka memiliki tiga putri.

Jika Firman Allah itu Hidup dan Berkuasa, Mengapa Tidak Terjadi Apa-Apa Saat Aku Membacanya?

Penulis: Sheila May

benarkah-firman-hidup-dan-berkuasa

Adakalanya hari bisa menjadi sangat berat.

Entah bagaimana, masalah-masalah seolah bersepakat untuk berkumpul di dalam hidupku. Aku tidak melihat ada jalan keluar, semua terasa buntu. Dalam keadaaan yang begitu kacau, aku membuka Alkitab dan sangat berharap mendapat kekuatan. Mataku tertuju pada Yesaya 40:31.

Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”

Aku merasa seperti sedang berdiri dengan setumpuk permasalahan di pundakku, lalu tepat di hadapanku, ada sebuah papan besar bertuliskan ayat ini. Firman yang sangat indah! Aku membacanya sekali….

Kekacauan itu masih tinggal di kepalaku.

Aku membacanya sekali lagi…

Kepenatan itu masih melekat di hatiku.

Aku membacanya lagi… lagi… dan lagi… Tidak ada yang terjadi. Masalahku masih pada tempatnya.

Aku tertawa keras di dalam hati. Rajawali yang naik terbang? Berlari dan tidak menjadi lesu, berjalan dan tidak menjadi lelah? Aku tidak dapat membohongi diriku sendiri, yang kurasakan adalah sebaliknya.

Sebuah pertanyaan melintasi pikiranku, “Jika firman Allah itu hidup dan berkuasa mengapa tidak terjadi apa-apa saat aku membacanya?”

Aku duduk dan terdiam, berusaha mengorek-ngorek isi hatiku yang terdalam. Jika firman Allah tak pernah salah, itu berarti ada yang salah dengan diriku. Apa yang sebenarnya aku harapkan saat membaca Alkitab?

Tiba-tiba aku mengendus aroma busuk dalam hatiku. Aku tersadar, aku sebenarnya tidak terlalu peduli dengan apa yang ingin Allah sampaikan melalui firman-Nya. Aku hanya ingin masalah-masalah yang ada segera terselesaikan dan tidak menganggu hidupku lagi. Firman Allah baru kuanggap “hidup dan berkuasa” jika keinginanku itu terpenuhi. Pertanyaan awalku tadi sebenarnya berbunyi: Jika firman Allah itu hidup dan berkuasa, mengapa masalahku tidak selesai saat aku membaca firman-Nya? Mengapa lama sekali masalah ini ada di hidupku? Mengapa?

Papan besar berisi ayat Alkitab dari Yesaya 40:31 itu masih terpampang jelas di hadapanku. Namun, di bawahnya kini muncul sebuah ayat yang lain.

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” (2 Timotius 3:16).

Roh Kudus membuat pikiranku terang benderang. Jelas sekali firman Allah tidak ditujukan untuk memenuhi keinginanku, tetapi untuk memperbarui keinginanku. Firman Allah tidak diberikan untuk mengubah situasi hidupku, tetapi untuk mengubah responsku terhadap situasi.

Firman Allah hidup dan berkuasa. Sanggup membersihkan sampah busuk di sudut hati yang menghalangiku melihat kebaikan Allah di tengah segala masalah yang melanda. Allah mengizinkan aku menghadapi masalah demi masalah dalam perjalanan hidupku, bukan karena Dia tidak peduli atau karena Dia tidak berkuasa. Dia mau aku bertumbuh dalam kebenaran dan firman-Nya akan menolongku dalam perjalanan itu!

Hari-hariku masih kerap terasa berat. Namun, kini aku mendapatkan kekuatan baru. Masalah-masalahku masih ada pada tempatnya. Namun, kini pandanganku tidak lagi dibatasi oleh semua itu. Seperti “rajawali yang naik terbang” ke tempat yang lebih tinggi, kini aku dapat melihat jauh ke depan, melampaui masalah-masalahku. Melihat tujuan Allah yang sedang mengajarku, mengoreksi kesalahanku, memperbaiki sikap-sikapku, dan mendidikku dalam kebenaran, dengan firman-Nya yang hidup dan berkuasa. Sebab itu, aku mau terus melangkah maju dan tidak berdiam dalam lesu. Masalah sebesar apa pun tidak bisa membuatku berada di luar genggaman tangan Allah.

Masih Adakah Harapan di Tengah Dunia yang Bertikai?

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: After Such Horrific Attacks, What Hope Is There?

Masih-Adakah-Harapan

Sulit untuk mengikuti semua berita yang beredar tentang Paris, Beirut, terorisme, dan situasi dunia kita sepanjang minggu ini. Ada begitu banyak pandangan yang terlontar, ada begitu banyak emosi yang terlibat. Namun, serangkaian serangan mengerikan yang belum lama ini terjadi menunjukkan sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal: setiap kita bisa saja mengalami hal yang sama.

Tidak ada orang yang kebal, tidak ada orang yang bisa memastikan diri akan selalu selamat. Serangan di Prancis baru-baru ini—salah satu tragedi terburuk yang dialami negara tersebut setelah Perang Dunia kedua—mengingatkan kita (lagi) betapa aksi terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja. Sejak peristiwa yang menimpa Amerika pada 11 September 2001, banyak negara sudah dicekam rasa takut kalau-kalau negara mereka akan mendapat giliran berikutnya.

Tragedi yang menimpa kota Paris jelas membuat banyak negara kembali mengevaluasi dan memikirkan tanggapan yang tepat terhadap ancaman terorisme. Banyak yang bertanya: Adakah suatu cara yang efektif untuk meniadakan ancaman ini sekali untuk selamanya? Bagaimana caranya agar kita tak lagi hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan?

Namun, bagaimana bila terorisme tidak bisa dihilangkan sama sekali? Bagaimana bila solusi untuk masalah kejahatan dan penderitaan tidak pernah dapat ditemukan? Bagaimana bila tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat dunia kita menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan lebih aman? Jejak sejarah menunjukkan kemungkinan ini. Kekejaman masih terjadi setiap hari, manusia saling membunuh karena perbedaan ras, budaya, dan agama. Beberapa hari lalu, dilaporkan dalam berita bahwa kejatuhan pesawat Rusia pada akhir Oktober benar disebabkan oleh aksi teroris.

Masih adakah harapan yang tersisa di tengah situasi dunia yang demikian? Kemungkinan kita tidak akan pernah menemukan jawabannya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita perlu mulai melihat melampaui diri kita dan memandang kepada Pribadi yang memegang kendali atas dunia ini, sekalipun kita tidak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Inilah saatnya kita perlu datang kepada Tuhan.

Ambillah waktu untuk berdoa—mohon damai dan penghiburan sejati dari Tuhan sendiri bagi mereka yang sedang berduka. Berdoalah agar keadilan-Nya ditegakkan. Mintalah Tuhan memberi hikmat kepada para pemimpin dunia dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diambil.

Mengapa? Karena Tuhan tahu persis apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang kita rasakan. Dia mengerti duka dan kemarahan mereka yang kehilangan orang-orang terkasih, baik akibat serangan bom atau tembakan senjata. Dia memahami rasa tidak berdaya yang menyelimuti kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban serangan teroris. Dia tahu seperti apa penderitaan fisik dan mental yang dialami para sandera dan kecemasan yang dirasakan keluarga mereka.

Tuhan tahu karena Dia sendiri telah tinggal di tengah manusia dan melalui semua kesulitan itu. Dalam kitab Roma, rasul Paulus menguatkan sekelompok jemaat yang sedang mengalami penganiayaan besar karena apa yang mereka imani. Paulus mengingatkan mereka pada kuasa kasih Kristus.

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
— Roma 8:35-39

Kemungkinan kita tidak akan bisa melihat terorisme dan kekejaman berakhir, setidaknya di dalam kehidupan kita di dunia ini. Tetapi, kita bisa yakin akan satu hal: Kristus tidak akan pernah meninggalkan kita, di dalam masa-masa sulit, penderitaan, bahkan dalam kematian.

Sembari terus merenungkan berbagai tragedi yang terjadi belakangan ini, mari mempersiapkan hati menyambut perayaan Natal dengan perspektif yang baru. Kita bersyukur Yesus telah datang ke dalam dunia, karena hanya di dalam Dialah kita dapat menemukan pengharapan, apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Mari kita juga mengambil langkah untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama dan membagikan pengharapan yang kita miliki di dalam Sang Juruselamat.

Tidak Akan Tenggelam Lagi

Penulis: Fushen Ong
Ilustrator: Armitze Ghazali

Tidak-tenggelam

Setiap kali mendengar kata “tenggelam”, aku selalu teringat pelajaran yang diberikan oleh salah seorang dosen forensik ternama di Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “tenggelam” berarti:
1. Masuk terbenam ke dalam air.
2. Karam (tentang perahu, kapal).
3. Terbenam (tentang matahari).
4. Jatuh ke dalam kesengsaraan (kesusahan dan sebagainya).
5. Hilang; lenyap.
6. Asyik.

Sebagian besar definisi tersebut cenderung menunjukkan hal yang negatif, namun definisi yang diberikan dosen ilmu forensik itu lebih menyentak hati. Menurut beliau, “tenggelam” berarti mati akibat menghirup air. Satu kata yang jelas memberikan perbedaan bermakna dalam definisi ini adalah “mati”. Bila mengingat beberapa peristiwa seperti bencana tsunami atau kecelakaan transportasi yang menenggelamkan kapal maupun pesawat, hatiku selalu teriris, karena hampir tidak pernah ada yang selamat dari peristiwa tenggelam. Kenyataan tersebut makin meyakinkanku bahwa tenggelam sama halnya dengan mati.

Orang yang tenggelam tidak mampu menyelamatkan dirinya, tidak berdaya melawan kondisi di sekitarnya, karena pada dasarnya mereka telah mati.

Alkitab memberitahu kita bahwa setiap manusia sesungguhnya telah mati oleh dosa (Roma 3:23; 6:23). Sama seperti orang yang tenggelam, kita tidak berdaya melawan arus dunia di sekitar kita. Tidak ada lagi harapan bagi kita. Namun, syukur kepada Allah atas kasih-Nya yang begitu besar dan ajaib. Dia berkenan menyelamatkan kita. Dia menghidupkan kita kembali di dalam Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita (Efesus 2:5).

Meski demikian, tidak berarti setelah diselamatkan, hidup kita lantas bebas dari masalah. Di tengah dunia ini, tidak jarang kita berada dalam kondisi yang tidak dapat kita kendalikan. Tugas yang menumpuk, penyakit berbahaya, kehilangan anggota keluarga, patah hati, sakit hati, dan kesepian adalah beberapa hal dalam kehidupan sehari-hari yang sepertinya siap menenggelamkan kita.

Satu hal yang sangat penting untuk kita ingat, di dalam Kristus, kasih karunia Tuhan akan selalu tersedia bagi kita (2 Korintus 12:9). Mungkin kita merasa tidak berdaya, tetapi bukan berarti kita tidak punya pengharapan. Aku sendiri pernah berkali-kali berada dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Aku berseru kepada Tuhan, namun situasi tak kunjung membaik, seolah-olah Tuhan menelantarkan aku. Akan tetapi, firman Tuhan selalu menghiburkan aku, “Sesungguhnya tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar” (Yesaya 59:1). Mungkin langkah kita goyah, dan adakalanya kita jatuh, tetapi kita tidak akan sampai tergeletak, karena Tuhan menopang tangan kita (Mazmur 37:24). Adakalanya arus dunia begitu kuat hendak menenggelamkan kita, namun jika kita berpegang pada Kristus, kita tidak akan tenggelam lagi.

Pengetahuan yang Menuntunku kepada Iman

Penulis: Chia Poh Fang
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How My Quest For Knowledge Led to Faith

How-My-Quest-For-Knowledge-Led-to-Faith

Sejak kecil aku selalu punya rasa ingin tahu yang besar tentang berbagai hal dalam kehidupan. Bersama saudara perempuanku, aku suka menyelidiki apa yang ada di sekeliling rumah kami sambil membawa sebuah kamus yang besar, pura-puranya kami adalah para detektif yang jenius.

Apa yang membuatku begitu mencintai pengetahuan?

Aku memperhatikan bahwa ada tiga hal dalam hidup ini yang dapat membuat orang percaya diri: kekayaan, penampilan yang baik, dan pengetahuan. Karena aku tidak punya naluri bisnis dan tidak berminat dengan operasi plastik, pengetahuan adalah hal yang paling bisa kuraih dan merupakan sarana untuk membangun rasa percaya diriku.

Selain itu, pengetahuan memberikanku semacam kendali atas kehidupan. Ketika aku berhadapan dengan masalah dalam hubunganku dengan orang lain, aku akan membaca buku-buku tentang bagaimana mengelola hubungan. Ketika aku hendak memahami berbagai hal yang rumit dalam hidup, aku mencari buku-buku tentang topik terkait. Tidak heran kita melihat buku-buku yang memuat berbagai petunjuk praktis kehidupan (self-help) sangat laris di pasaran. Kita berpikir bahwa jika kita punya pengetahuan yang lebih banyak, kita akan dapat menangani berbagai masalah dalam hidup ini dengan lebih baik.

Alasan lainnya aku mencintai pengetahuan adalah karena pengetahuan memberiku rasa berarti dan ketenteraman dalam menjalani hidup. Rasa berarti, karena aku ingin dicintai dan dihargai. Ketenteraman, karena aku hidup dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian.

Kecintaanku pada pengetahuan inilah yang kemudian menuntunku menjadi seorang pengikut Kristus. Ketika berusia 10 tahun, aku membaca sebuah buku berisi cerita-cerita Alkitab bergambar di perpustakaan. Selesai membacanya, aku jadi ingin membaca Alkitab yang sebenarnya. Karena selama ini bayanganku Alkitab adalah sebuah buku tebal berisi kata-kata yang dicetak sangat kecil, aku mengambil buku yang keliru. Aku mengambil sebuah ensiklopedia—sebuah buku tebal yang kata-kata di dalamnya juga dicetak sangat kecil. Dalam ensiklopedia itu aku belajar tentang sistem tata surya dan rancangan alam semesta yang begitu akurat, fakta yang meyakinkan aku bahwa dunia ini diciptakan oleh Pribadi yang luar biasa.

Sebagai seorang penulis, aku tahu bahwa tidak ada sebuah buku laris yang diterbitkan secara kebetulan. Mungkin seekor monyet bisa dikondisikan untuk mengetik satu atau dua kata asal dengan menggunakan komputer. Mungkin saja terjadi keajaiban dan monyet itu bisa mengetik sebuah kalimat yang lengkap, tetapi monyet itu tidak akan mungkin merangkai sebuah alur cerita. Energi besar semata tidak akan mampu menciptakan sebuah pola yang terangkai dengan rapi. Namun, ketika kita memperhatikan dunia di sekitar kita, ada banyak pola dan sistem kompleks yang tertata dengan sangat baik. Misalnya saja: siklus air, perubahan musim, juga sistem pencernaan dalam tubuh kita. Mulai dari geografi hingga biologi, sains mikro hingga astronomi, kita melihat kekayaan pola, desain, dan konsep—yang menunjukkan bahwa ada Pribadi yang menciptakan dunia ini.

Tentu saja ada banyak ketidakteraturan yang juga bisa kita jumpai di dunia ini. Misalnya saja: kanker, yang terjadi karena pembelahan sel yang tidak terkendali dalam tubuh, juga fenomena pemanasan global. Mengapa ada kekacauan, ketidakteraturan dalam dunia ini? Alkitab memberikan kita jawabannya dalam Roma 6:23, “Upah dosa ialah maut.”

Dosa pada dasarnya adalah sikap yang berpusat pada diri sendiri. Dalam bahasa Inggris, kata yang dipakai adalah “sin”, dengan huruf “i” pada bagian tengahnya (“i” berarti “aku”). Ketika kita berusaha menggantikan posisi Allah, Sang Pencipta, dengan diri kita sendiri sebagai pusat hidup ini, masalah demi masalah mulai muncul.

Pikirkanlah sejenak apa yang biasanya menyebabkan kedamaian di rumah kita rusak. Apakah kamu sependapat jika kukatakan keegoisan adalah salah satu penyebab terburuk? Tidak ada yang mengguncang hubungan-hubungan dalam keluarga lebih hebat daripada seorang anak atau orang tua yang begitu berpusat pada diri sendiri sehingga keinginan dan kebutuhan anggota keluarga lainnya tidak diperhatikan dan dipenuhi. Apa yang lebih bisa menimbulkan pertengkaran keluarga selain tindakan salah seorang anggota keluarga yang hanya mau enaknya sendiri?

Sebagai seorang yang haus belajar, aku juga telah membaca tentang berbagai macam kepercayaan. Aku ingin tahu apakah agama lain memberikan penjelasan yang masuk akal tentang mengapa dunia berjalan sebagaimana yang kita lihat hari ini. Aku kemudian menemukan bahwa hanya kekristenan yang memberikan jawaban menyeluruh atas masalah-masalah kehidupan. Kekristenan menjawab pertanyaan-pertanyaan penting seperti: Siapakah saya? Apa tujuan saya hidup di dunia ini? Mengapa ada begitu banyak masalah dalam dunia ini? Adakah sebuah solusi untuk semua masalah itu? Apa yang akan terjadi setelah aku mati?

Dalam proses tersebut aku pun menemukan bahwa pengetahuan ada batasnya. Secara logika aku dapat menerima bahwa Allah itu benar ada dan kekristenan adalah iman yang masuk akal. Tetapi secara emosi, aku sulit menyatakan, “Ya, aku percaya. Aku akan menerima Yesus dalam hidupku.”

Kehidupanku berjalan dengan baik. Aku punya keluarga yang bahagia dan pendidikan yang baik. Aku tidak merasa memerlukan Allah. Apalagi, aku melihat kehidupan orang-orang Kristen di sekitarku tampaknya tidak sebaik kehidupanku. Jadi, suatu hari aku berdoa, “Ya Allah, jika Engkau benar Allah, dapatkah Engkau menyatakannya kepadaku?”

Allah menjawab doaku. Suatu Sabtu sore, ada orang yang memberitakan Injil kepadaku—lagi. Aku sudah pernah mendengar berita itu berkali-kali. Tetapi, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Kebenaran itu tidak hanya mampir di pikiranku, tetapi menembus hatiku. Hari itu aku melihat betapa mengerikannya dosa-dosaku. Aku menyadari bahwa kematian Kristus di salib adalah sebuah peristiwa yang benar terjadi dalam sejarah. Dia mati bukan saja untuk menebus dunia ini secara umum, tetapi juga untuk menebusku secara pribadi dari semua dosaku. Dia sangat mencintaiku.

Hari itu aku menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhanku secara pribadi.

Hanya Yesus yang dapat benar-benar memuaskan kehausan jiwamu, memberi rasa berarti dan ketenteraman sejati dalam hidupmu.

 
Untuk direnungkan lebih lanjut
Apa yang membuatmu mempercayai Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatmu?

Ketika Aku Mencari Tahu Bobot Segumpal Awan

Oleh: Renny Acheampong, Denmark
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Day I Googled The Weight of A Cloud

The-Day-I-Googled-The-Weight-Of-a-Cloud

Pernahkah kamu bertanya, berapa sebenarnya bobot segumpal awan?

Aku sadar, pertanyaan ini agak aneh, tetapi itulah yang melintas di pikiranku pada suatu hari Minggu, ketika aku sedang menikmati pemandangan favoritku dari balik jendela di samping tempat tidurku—langit biru yang dihiasi awan-awan putih yang bergumpal seperti kapas. Cahaya matahari yang menembus celah-celah awan membuat pemandangan itu menjadi sangat indah, begitu tenang dan damai. Sembari menikmatinya, aku mendengar Tuhan bertanya dalam hatiku, “Tahukah kamu berapa bobot segumpal awan itu?”

“Tuhan, aku tidak tahu jawabannya,” kataku. “Tuhan sendiri yang tahu.”

Aku lalu mengambil ponselku dan mencari informasi tentang berat segumpal awan. Fakta yang kutemukan sangat mencengangkan. Menurut seorang Peggy LeMone – National Center for Atmospheric Research National Center for Atmospheric Research di Amerika, bobot segumpal awan umumnya adalah sekitar 500 ton—atau setara dengan bobot 100 ekor gajah!

“Wow,” aku terkagum-kagum. Penemuan itu segera mengingatkanku pada apa yang tertulis dalam Kolose 1:16-17, “…di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.”

Sungguh sebuah fenomena yang luar biasa: jutaan “gajah” melayang di angkasa, diciptakan dan ditopang oleh Allah sendiri! Merenungkan hal ini, sebuah suara berbisik lembut di hatiku, “Jika Aku sanggup mengendalikan ‘gajah’ sebanyak itu di langit, bukankah Aku juga sanggup memegang kendali atas hidupmu?”

Aku tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi dalam hidupmu, atau sebanyak apa derita yang mungkin sedang kamu rasakan, namun semoga kebenaran ini dapat menghibur dan menguatkanmu: Tuhan Yesus mengetahui semua kebutuhanmu, dan Dia mau kamu percaya bahwa Dia sanggup mengendalikan semua ‘gajah’ dalam hidupmu”.

Jika kamu belum percaya kepada Yesus, izinkan aku mendorongmu untuk meletakkan pengharapanmu kepada-Nya. Jika kamu sudah menjadi pengikut-Nya, ingatlah kembali bagaimana Dia berulang kali telah menyatakan pertolongan-Nya bagimu. Bersyukurlah, dan bersemangatlah kembali menjalani hidup.

Benarkah Ada Manusia-Manusia Super di Dunia Ini?

Oleh: Ian Tan
(Artikel asli dalam bahasa Inggris: Are There Superhumans In This World?)

Are-There-Superhumans-In-This-World

Sebuah video di YouTube yang berjudul “Stan Lee’s Superhuman Super Samurai” menarik perhatianku belakangan ini. Aku sendiri pernah berlatih seni bela diri Jepang, jadi aku penasaran ingin mengetahui hal hebat apa yang bisa dilakukan Isao Machii, pendekar samurai itu. Sesuai klaim video tersebut, benar bahwa ia memiliki kemampuan super untuk memotong benda yang sangat kecil dengan kecepatan dan ketepatan yang menakjubkan. Dalam gerakan lambat diperlihatkan bagaimana dengan sebilah samurai, Isao membelah sebutir peluru mainan yang sangat kecil (kira-kira 4.000 kali lebih kecil daripada bola kasti) yang ditembakkan ke arahnya. Aku terpana melihatnya.

Video itu membuatku akhirnya menonton tiga seri tayangan “Stan Lee’s Superhumans” [Manusia-Manusia Super Stan Lee] dari awal hingga akhir. Pembawa acaranya adalah Daniel Browning Smith, yang dikenal sebagai manusia karet alias orang dengan badan paling lentur di dunia. Ia berkeliling dunia untuk mencari orang-orang biasa yang punya kemampuan luar biasa, baik itu kemampuan fisik maupun mental. Beberapa orang hebat yang pernah diangkat dalam tayangan itu antara lain: seorang buta yang bisa mengenali berbagai hal di sekitarnya hanya dengan mendengarkan bunyi yang dipantulkan (mirip kemampuan kelelawar), seorang yang tinggal dan bisa berkomunikasi dengan serigala-serigala, seorang yang menyelam sedalam 200 meter lebih hanya dengan satu kali napas, juga seorang biksu shaolin yang mampu menahan kekuatan bor yang ditekan ke perut, tenggorokan, dan bahkan kepalanya.

Baik ilmu pengetahuan maupun agama telah berusaha memberikan penjelasan tentang kemampuan-kemampuan super yang dimiliki sebagian manusia ini. Penjelasan mana pun yang kita percayai, kita sepakat bahwa manusia-manusia super tersebut telah melampaui apa yang kita pahami sebagai keterbatasan manusia. Kita terkagum-kagum melihat para manusia super itu karena mereka dapat melakukan apa yang tidak pernah dapat kita lakukan sepanjang hidup kita. Kenyataannya, manusia yang punya kemampuan super sudah ada di dunia sejak dulu. Alkitab mencatat beberapa di antaranya. Salah satu yang terkenal adalah Simson, seorang yang amat sangat kuat.

Di tengah kekagumanku terhadap kehebatan para manusia super, aku diingatkan oleh catatan kitab Kejadian bahwa Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambar-Nya. Mengingat betapa Allah itu Mahabesar dan Mahakuat, sebenarnya tidaklah mengherankan bila sebagian manusia memiliki kemampuan-kemampuan yang luar biasa.

Akan tetapi, ada satu kemampuan yang aku yakin tidak akan pernah bisa ditampilkan oleh tayangan televisi itu—kemampuan untuk membangkitkan orang dari kematian. Mungkin itu sebabnya pihak produser pun mempertahankan kata “human” [manusia] pada judul tayangan yang mereka produksi. Sebagai manusia, kita tidak dapat menghindar dari yang namanya kematian.

Satu-satunya manusia super yang memiliki kuasa kebangkitan adalah Yesus Kristus sendiri. Yesus menyatakan kuasa-Nya ketika Dia membangkitkan Lazarus dari kubur (Yohanes 11:43). Yesus juga menyatakan kuasa-Nya atas maut ketika Dia bangkit kembali pada hari ketiga setelah mati di kayu salib. Kebangkitan-Nya ibarat puncak pertunjukan dari berbagai kemampuan super lain yang Dia nyatakan sepanjang hidup-Nya, mulai dari mengusir roh-roh jahat, menyembuhkan penyakit yang tidak ada obatnya, serta berbagai kelemahan fisik lainnya (Matius 8:16).

Sudah sepantasnya kita mengagumi Kristus karena kemampuan-kemampuan-Nya yang tidak terbatas itu. Tetapi, yang jauh lebih penting adalah memahami dampak kebangkitan-Nya bagi kehidupan kita. Kebangkitan Kristus dengan jelas menyatakan kuasa-Nya atas kehidupan dan kematian. Dia lebih dari sekadar seorang manusia super, Dia adalah Allah sendiri. Dia layak menerima penghormatan tertinggi kita, penyembahan kita.

 
Catatan editor: Apa cerita atau ayat Alkitab favoritmu yang menunjukkan kemahakuasaan Allah?