Sabar Menunggu Pasangan Hidupmu

Oleh Jessie

Hayooo… Kamu klik artikel ini pasti karena kamu masih single ya? Hahaha, bercanda.

Apa pun status relasimu saat ini, tulisanku ini bukan hendak membandingkan antara yang single atau taken, ataupun berbagi tips and trick mencari jodoh. Jika kamu klik artikel ini karena masih menunggu calon pasangan yang batang hidungnya pun belum kelihatan, maka kamu berada di renungan yang tepat.

Aku menulis dalam statusku sebagai seorang lajang. Sejauh apa level ke-single-an-ku? Hmmm… Kalau malam Minggu aku sering pergi sendirian, atau mungkin nonton bioskop dengan orang tuaku. Kadang pula aku pergi ke mal, tapi menemani temanku yang sudah berpasangan hingga aku jadi seperti obat nyamuk saja. Di usiaku yang sudah seperempat abad, aku tidak menampik kalau aku pun ingin punya pacar. Oleh karenanya, aku mengerti keresahan dan menderitanya setiap kali ditayai kapan punya pacar dan menikah. Karena posisiku yang juga masih dalam tahap mencari dan menunggu, maka ada beberapa hal yang aku selalu ingatkan buat diriku sendiri yang juga aku ingin bagikan kepada kita semua yang ada dalam masa penantian ini.

Siapa pengemudi kapal cintamu?

Kita pasti tahu kalau jawaban yang seharusnya adalah Tuhan. Tapi, memberi kendali atas kehidupan percintaan kita pada-Nya tidaklah selalu mudah. Contoh: bagaimana kalau pria atau wanita yang kita sungguh-sungguh tertarik akan paras dan keasyikannya ternyata bukan pilihan yang berkenan buat Tuhan? Atau lebih jauh lagi, bagaimana jika ternyata lebih baik bagiku untuk tidak menikah?

Pertanyaan kedua memang cukup menakutkan bagi kebanyakan orang, termasuk aku. Namun, harus diketahui bahwa menikah atau tidak, keduanya merupakan panggilan, yang dipercayakan dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Sebagai orang Kristen yang telah menyerahkan dirinya untuk Tuhan, kita seharusnya melepaskan setir kemudi kita kepada pengemudi yang lebih handal. Atau, setidaknya kita berusaha untuk melepaskannya. Percayalah bahwa Pencipta kita tahu apa yang terbaik untuk kita, sehingga kalau memang belum bertemu pasangan yang sesuai, sepadan, jangan dipaksakan. Tetap percayakan roda setir hidup kita pada Tuhan dalam segala aspek apa pun itu, termasuk kisah cinta kita. Menyerahkan hidup pada Tuhan itu bukan persoalan kita senang atau tidak, namun itulah fondasi dari segala aspek kehidupan kita. Biarlah Tuhan yang memegang kendali dan menuliskan kisah cinta kita, oleh sebab itu berikanlah pulpen itu kepada-Nya.

Leslie Ludy dalam bukunya yang berjudul “When God Writes Your Love Story”, memberikan perspektif unik setelah kita bertekad menjadikan Tuhan sebagai pengarang dari kisah cinta kita. Pertanyaan yang membantu kita adalah, jadi apa tugas kita jika Tuhan sudah mengambil alih roda kemudi kehidupan kita? Jawabannya semudah mengenal Pengemudi kita secara pribadi. Mungkin banyak di antara kita mengaku sering berdoa, membaca Alkitab, dan ke gereja setiap Minggu; akan tetapi pertanyaan terpentingnya adalah, apakah kita mengenal Tuhan kita? Karena realitanya, kebanyakan dari kita hanya memberikan beberapa menit di sana dan beberapa menit di sini untuk melakukan hal-hal yang kelihatannya rohani, namun sebenarnya tidak menambah kearifan kita dalam mengetahui kehendak Tuhan atas kehidupan kita, termasuk aspek kehidupan percintaan kita. Seek and know Him intentionally. Mau mengenal Tuhan lebih dalam lagi ya memang harus disengaja, bukan tanpa usaha.

Banyak cara mencari dan mengenal Tuhan, karena Tuhan kita tidak seperti kandidat-kandidat calon pasangan kita yang suka jual mahal dan sering tarik lalu mengulur. Tuhan kita selalu membuka diri-Nya bagi mereka yang sungguh-sungguh mencari-Nya. Menulis jurnal mengenai perasaan kita dan apa yang Tuhan ajarkan dalam saat teduh harian kita adalah salah satu metode yang sangat membantu kita dalam mengenali diri kita dan apa yang Tuhan mau. Adapun cara lainnya yaitu membaca buku rohani, dan banyak hal lainnya yang kalian bisa eksplor saat melakukannya. Kunci utamanya niat.

Leslie Ludy juga melanjutkan bahwa perubahan dalam relasi kita dengan Kristus adalah kunci dari segalanya dikarenakan dua hal:

Yang pertama, kita belajar untuk bersandar pada relasi pribadi kita dengan Kristus sebagai sumber utama pengharapan, kebahagian, jaminan hidup kita. Poin ini penting banget dicatat baik-baik, khususnya untuk generasi kita sekarang ini. Kenapa? Karena begitu banyak anak muda menjadikan status hubungan romantis sebagai identitas utama mereka. Mungkin ada yang tidak bisa banget sendirian, sampai harus terus-menerus dalam keadaan atau mode mencari pasangan; atau saat putus, ada yang lalu kehilangan arah dan tujuan hidup; bahkan, banyak yang menganggap status hubungan romantisnya sebagai kewajiban yang membuat mereka lebih secure dalam berkomunitas. Leslie mengingatkan, jika kita terus memiliki ekspektasi bahwa calon pasangan kitalah yang akan memberikan kita kebahagian dan kepuasan kita, maka kita akan selalu kecewa. Se-ideal-ideal nya calon pasangan kita, mereka tetap manusia, lebih spesifik lagi, manusia yang berdosa; dan semua manusia pasti akan mengecewakan.

In case kita belum sadar, hubungan yang didasarkan pada emosi manusia saja cenderung tidak stabil dan tidak akan bertahan lama. Satu hari kita bisa bucin kebangetan, lain hari lagi kita mengabaikan perasaan tersebut karena mulai bosan; atau kalau lagi berantem, si cowo dan si cewe bisa ribut seolah mereka tidak pernah jatuh cinta. Belum lagi, saat kita memilih pasangan kita dikarenakan parasnya, lalu suatu hari parasnya sudah tidak seindah di hari pertama kita berjumpa mereka. Jadi, wajar saja kalau terjadi banyak perceraian dan ketidakharmonisan antara pasangan; karena mereka hanya mengandalkan emosi manusia yang sifatnya labil dan tidak menentu.

Poin yang kedua adalah, relasi pribadi kita dengan Kristus seharusnya akan menuntun kita untuk menjadikan Dia sebagai fokus utama saat kita berpacaran hingga menikah nantinya. Saat relasi kita dengan Kristus sudah benar, barulah kita mulai bertanya pasangan yang seperti apa yang harus kita cari? CS Lewis pernah mengatakan, A woman’s heart should be so hidden in God that a man should seek Him in order to find her.” Hati kita harus tenggelam dalam Tuhan sampai-sampai calon pasangan kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk mendapatkan kita. Jadi jawabannya se-simple, carilah pasangan yang juga memiliki relasi pribadi yang baik dengan Kristus. Kalau sampai akhirnya kita dan calon pasangan kita bisa bersama, itu dikarenakan kita memiliki kesamaan dalam mengasihi Kristus.

Di titik dan level itulah baru kita dan calon pasangan kita bisa se-visi-misi, tahu harus mengandalkan dan menjadikan Tuhan sebagai pusat hidupnya. Sehingga sebahagia dan sesulit apa pun tantangannya, mereka berpegang pada Tuhan dan ajaran kebenaran-Nya yang tidak akan pernah gagal ataupun mengecewakan endingnya. Aku percaya kalau kita dan dan pasangan kita mengutamakan Tuhan, Tuhan akan selalu menuntun dan memberkati kita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Rasa Bersalah Seorang Kristen yang Mengalami Depresi

Oleh Gabriella

Aku sudah menjadi orang Kristen selama 15 tahun. Aku rajin melayani di gereja, melakukan disiplin rohani, tapi ternyata aku masih mengalami depresi. Secara sederhana, kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan depresi sebagai gangguan pada jiwa yang ditandai dengan perasaan yang merosot. Seorang yang depresi sering mengalami muram, sedih, dan tertekan yang luar biasa.

Waktu aku menyadari bahwa aku masih tetap saja bergumul dengan depresi, hal ini terasa salah buatku. Berderet pertanyaan menggantung di pikiranku: kalau aku percaya pada Yesus Kristus, kalau aku tahu betapa besar Tuhan mengasihiku, dan pengharapan kekal yang Ia berikan, kenapa aku masih merasa hidupku sia-sia dan aku lebih baik mati? Apakah imanku terlalu lemah? Apakah keselamatan dari-Nya hanyalah sebuah pengetahuan di otakku yang tidak meresap dalam hati dan mentransformasikan hidupku? Pikiran-pikiran ini membuatku merasa bersalah, tidak berguna, dan gagal.

Aku tahu apa yang biasa orang katakan saat mendengar ada orang Kristen yang mengalami depresi: “Tidak apa-apa, lihat saja para tokoh iman di Alkitab, mereka pun mengalami depresi. Lihat saja ratapan Daud, Ayub, dan Yeremia!” Sekalipun aku tahu kebenaran dari kalimat ini, rasa bersalah tetap menggerogoti jiwaku dan tidak mau pergi dariku.

Di suatu Sabtu pagi, saat aku sedang membaca renungan dari Our Daily Bread (Calling Out to God, 20 Januari 2024), Tuhan mengubah persepsiku. Aku merasa seperti Tuhan sedang menyuruhku untuk melihat situasi ini dari arah yang berbeda. Aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya menjadi orang Kristen yang tidak perlu berjuang melawan depresi, tapi pernahkah aku membayangkan bagaimana rasanya berjuang melawan depresi tanpa imanku sebagai orang Kristen? Saat membayangkannya, aku tertegun. Aku sadar bahwa seandainya aku tidak memiliki imanku saat ini, pengharapan dalam Kristus, keselamatan yang Ia berikan, dan penebusan-Nya atas seluruh dunia, aku ragu aku masih hidup dan menulis renungan ini saat ini. Aku rasa aku pasti sudah menyerah melawan pikiran jahat yang menyuruhku untuk mengakhiri hidup sejak lama.

Begitu sering aku berdoa dan menangis kepada Tuhan, dan dalam doa itu damai sejahtera yang melampaui akalku (Filipi 4:7), menenangkan hatiku hingga aku terlelap. Begitu sering aku merasa tidak dicintai, tidak diinginkan, tidak berguna, tapi kenyataan yang kuterima adalah Allah pencipta alam semesta mengasihi kita, bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Aku sangat suka membaca buku fiksi karena aku tahu apapun yang terjadi dalam buku itu, pada akhirnya karakter-karakter itu akan mendapatkan akhir yang bahagia. Bukankah hal ini juga berlaku untukku?

Apapun yang terjadi dalam hidup ini, aku tahu bahwa akhir yang bahagia menungguku di sisi lain kehidupan (Wahyu 21:4). Inilah yang menguatkanku untuk menjalani hari-hari, bahkan jika aku tidak cukup kuat untuk berjalan dan harus merangkak sedikit demi sedikit.

Kadang, aku berharap depresi ini bisa menghilang secara ajaib. Aku tidak habis pikir kenapa semua penyertaan dan peneguhan dari Tuhan ini tidak cukup untuk membuatku “normal”. Namun, aku sadar bahwa aku tidak akan mengalami perjumpaan dengan Tuhan yang sedemikian intens dan personal tanpa kegundahanku yang tidak ada habisnya. Mungkin, seharusnya aku tidak malu karena aku masih mengalami depresi sebagai anak yang dikasihi Tuhan. Seharusnya aku bangga, karena justru sebagai anak yang dikasihi Tuhan, aku mengalami depresi dan tetap berusaha untuk menyelesaikan pertandingan dengan baik seperti yang Paulus lakukan (2 Timotius 4:7), bukannya menyerah dan mundur dari pertandingan kehidupan ini.

Apabila ada di antara kamu yang bergumul sepertiku, kiranya penyertaan Tuhan selalu memampukanmu untuk hidup dan bertumbuh bagi-Nya. 

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Soulmate atau Solemate?

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

*Ditulis berdasarkan Refleksi dari Buku The Sacred Search, Gary Thomas.

Guys, nanti malam hunting makanan di Little India yuk, lagi ada bazar kuliner di sana,” celetuk Alma dari seberang ruangan. Dia masih sibuk dengan ponselnya, asyik scroll Instagram. Aku tidak menanggapi, juga sibuk dengan buku di tanganku. Sisca di sebelahku juga tampak sibuk dengan gim di ponselnya, hanya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas terdengar. Kami baru saja selesai latihan untuk kunjungan gereja hari Minggu ini.

Melihat kami bergeming, Alma mendekat ke arah kami.

“Halooo,” serunya dengan nada melambat untuk mendapatkan perhatian kami. Tapi, belum sempat kami menjawab, dia kembali bertanya, “Eh, lagi baca buku apa sih, Gi?!” Diperhatikannya sampul bukuku lalu dibacanya dengan bersuara, “The Sacred Search, Pencarian Pasangan Hidup yang Kudus…. Wih! Ini buku keren banget!”

Mendengar suara Alma yang heboh sendiri, Sisca pun jadi teralihkan perhatiannya. Dia matikan gimnya lalu ikut serta dalam pembicaraan. 

“Apa yang kamu dapat dari membaca buku seperti itu, Gi?” tanya Sisca.

Aku mengangkat bahu. Bukan sebagai ekspresi tidak tahu, tapi memang buku ini isinya bagus sekali sehingga sulit rasanya memberikan jawaban singkat.

“Banyak hal sih. Kalian mau baca?” kutanya mereka balik.

“Kamu aja yang sharing sama kita, kamu ‘kan tahu minat baca kita rendah,” jawab Alma sambil nyengir.

“Ada beberapa hal yang paling aku highlight sih tentang pasangan atau teman hidup dari buku ini,” jawabku sembari memperhatikan ekspresi wajah mereka berdua. Kulihat mereka sepertinya sungguh ingin mendengar, tapi sebaiknya kuuji dulu pemahaman mereka tentang hidup berpasangan. “Sebelumnya, coba deh aku tanya, menurut kalian apa sih tujuan kita menikah?”

Kedua orang itu tidak langsung menjawab, tampak kerutan-kerutan di keningnya, tanda bahwa sedang berpikir.

“Kalau aku sih, memiliki pasangan atau menikah itu kan kebutuhan biologis kita sebagai manusia. Jadi ya kita perlu menikah. Selain ya karena mandat dari Tuhan, untuk beranakcucu,” Sisca menjawab duluan.

Aku mengangguk tanda setuju. Kini giliran Alma menjawab. “Iya sama. Tapi dulu aku sempat berpikir kalau menikah itu sesuatu yang wajib kita lakukan, karena mana mungkin kita bisa hidup sendiri selamanya kan? Kita pasti butuh pasangan, kalau tidak kita bakal kesepian seumur hidup nggak sih?”

Senyum simpul tersungging di wajahku mendengar pertanyaan Alma. Sejatinya, pertanyaan itu tidaklah asing. Kebanyakan orang tentu berpikir yang sama, bukan? Bahwa tidak punya pasangan itu seolah hidup tidak utuh dan pasti kesepian. Kurapikan sedikit posisi dudukku. Dengan punggung yang lebih tegak dan kedua telapak tangan kuletakkan di paha, aku memulai penjelasanku dengan nada lebih lambat.

“Kebanyakan orang mungkin memang berpikir seperti itu ya ‘kan! Nah, poin pertama dari buku ini yang aku highlight, yaitu kita sering berpikir atau mempertimbangkan dengan siapa kita akan menikah. Tapi, bagaimana kalau pertanyaannya adalah mengapa kita menikah? Dan buku ini mencatat, dasar kita menikah adalah ayat Matius 6:33. Aku yakin, kita sudah hafal isi ayatnya kan?”

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu,” ucap Sisca menggemakan kembali ayat yang tidaklah asing di telinga.

Kulanjutkan lagi penjelasanku,  “Jadi, ketika kita memutuskan untuk menikah, itu bukan karena kita harus menikah atau karena sudah waktunya menikah, atau semata untuk kebutuhan biologis, untuk mendapat keturunan, dll. Itu memang bagian darinya, tapi tujuan kita menikah tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membangun keluarga Allah, menjadi rekan sekerja mewujudnyatakan rencana-Nya.” Kata-kata ini kuucapkan dengan mantap, mengutip bagian dari buku itu. Kedua orang di depanku seperti terbius dan hanya mendengarkan dengan khidmat. Aku hampir tertawa melihat ekspresi serius mereka.

“Oke, poin keduanya ini soal pasangan hidupnya sendiri sih. Ehm… tahu nggak, soal pasangan hidup ini aku itu awalnya mengira kalau kita akan dipertemukan dengan jodoh kita pada waktunya nanti. Jadi kita—apalagi perempuan—tinggal menunggu saja, nanti bakal ada seseorang yang dikirimkan Tuhan untuk menjadi pasangan kita.”

“Terdengar sangat rohani, bukan?” candaku. “Pernah beranggapan kayak gitu nggak?” Mereka berdua serentak mengangguk.

“Nah, tapi nyatanya, kalau seseorang tiba-tiba datang ke depan pintu rumah kita dan berkata bahwa dia adalah orang yang dikirimkan Tuhan untuk menikahi kita, kira-kira apakah kita mau?” tanyaku, dengan sedikit tertawa. Mereka pun ikut tertawa.

“Kalo di buku ini, kita tidak menganggap bahwa Tuhan sudah memilihkan seseorang tertentu untuk kita. Seolah sejak lahir kita udah pasti akan menikah dengan seseorang yang sudah ditetapkan untuk kita, apapun yang terjadi. Jadi buku ini menggunakan istilah Solemate, bukan Soulmate,” jelasku.

Aku sengaja berhenti sejenak melihat tanggapan mereka. Dan mereka tampak antusias, menunggu aku melanjutkan. “Soulmate itu kan diartikan sebagai belahan jiwa, yang mana maksudnya ada seseorang di dunia ini yang pasti cocok, dan pasti bisa mengisi jiwa kita. Jadi kayak, kita ini setengah potongan, dan dia potongan yang lain, maka jika kita bersama kita akan menjadi satu bagian yang utuh. Padahal kalau di Alkitab ‘kan, kita bukan setengah ditambah setengah menjadi satu, tapi dua orang dipersatukan menjadi satu, gitu ‘kan?” kataku.

Alma dan Sisca mengangguk-angguk.

“Lalu kalau Solemate apa?” tanya Sisca.

Aku berdiam sesaat, mencoba mengingat. “Kalau Solemate, secara harfiah ‘kan sole itu berarti sol atau karet di bagian bawah sepatu. Jadi, kalau solemate itu yaitu seseorang yang akan berjalan bersama kita menjadi partner untuk mencari dahulu kerajaan Allah, sesuai dengan tujuan kita menikah tadi,” jawabku, lalu melanjutkan, “Dan pasangan seperti itu kita temukan, bukan dengan sendirinya datang kepada kita. Memang bukan dengan mencari-cari secara agresif, tapi mendoakan, menemukan dan memilih dengan sungguh-sungguh.”

“Kita pun jika ingin ditemukan, kita harus berdiri di tempat di mana kita bisa ditemukan. Contohnya dengan mengikuti persekutuan, pelayanan, atau komunitas dimana kita berharap akan mengenal dan menemukan seseorang yang memiliki tujuan yang sama.”

Kedua temanku itu masih serius mendengarkan. “Gimana? Sudah cukup dengan sharing session hari ini?” tanyaku bercanda. Mereka tertawa. Tapi, tampaknya mereka belum bosan dan justru menikmati percakapan ini.

“Aku jadi teringat deh sama sepupunya tetanggaku yang kemarin mau nikah. Masih cukup muda sih, tapi dia mantap buat menikah karena katanya dia yakin dia sudah bertemu dengan soulmatenya. Dia yakin setelah menikah dia akan menjadi pribadi yang lebih bahagia, tidak akan kesepian,” cerita Alma.

Aku tersenyum, mengingat sebuah kutipan. “Memang iya sih, ada hal-hal yang berubah dari seseorang yang sudah menikah. Dan, kita pun nggak mau langsung menghakimi keyakinan seperti itu kan.” Kemudian kulanjutkan, “Tapi ada satu kutipan dari buku ini yang membuatku tertawa saat membacanya. Menikah tidak akan membuat Anda menjadi orang yang berbahagia atau menjadikan Anda orang yang semakin dewasa; menikah hanya akan membuat Anda menjadi orang yang… sudah menikah.

Lalu entah bagaimana kami tertawa bersamaan setelah itu.

“Nah guys, teorinya udah ada kan, tinggal prakteknya nih yang tidak semudah itu,” candaku, menutup topik pembicaraan kali ini.

“Iya, memang pasti nggak mudah sih menerapkannya ya walaupun kita sudah tahu teorinya. Untuk itulah aku membutuhkan kalian guys, dan persekutuan kita, supaya kita saling menolong untuk taat,” kata Sisca dengan pelan dan terdengar tulus setelah diam cukup lama.

Aku tersenyum, Alma juga. Kami saling bertatapan, menyetujui untuk saling mendoakan, menguatkan, dan mengingatkan untuk taat. Aku pun yang sedang menjalin hubungan juga sedang belajar taat untuk mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya.

“Eh udah gelap nih, ayo nanti bazar makanannya keburu rame, kita nggak kebagian tempat kosong,” seru Alma tiba-tiba. Kami tertawa dan mengikuti tarikannya melangkah keluar.

***

“Wahai para lelaki dan perempuan, temukanlah seorang pasangan yang bersamanya Anda bisa mencari dahulu kerajaan Allah, yaitu seseorang yang menginspirasi Anda menjalani hidup saleh. Dan, ketika Anda berhasil melakukannya, “maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”

-The Sacred Search, Gary Thomas-

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Single = “Neraka”, Berpasangan = “Surga”? Menilik Ulang Nilai Romansa Modern dari Single’s Inferno

Oleh Mary Anita, Surabaya

Apa yang akan terjadi bila sekelompok pria dan wanita muda yang rupawan dan mapan harus bertahan hidup di pulau terpencil sembari berlomba menemukan sosok cinta sejati?

Plot ini diungkap dalam reality dating show asal Korea Selatan yang begitu populer tiga tahun terakhir lewat Netflix, yaitu Single’s Inferno. Bersama dengan panelis artis Korea papan atas, acara dibuat se-real mungkin sebagai eksperimen sosial dan diskusi menarik yang relate dengan segala pergumulan romantis kaum muda. Saat menontonnya, aku menemukan empat hal yang perlu kita renungkan ulang:

1. Lajang adalah neraka, tapi berpasangan itu surga

Secara garis besar, konsep surga dan neraka adalah kunci utamanya. Setiap hari apabila ada peserta yang gagal atau bertepuk sebelah tangan untuk memenangkan hati si target pujaan, mereka akan ditinggalkan di pulau inferno atau “neraka”. Di sisi lain, siapa yang menang lomba atau kedapatan memiliki perasaan yang sama satu sama lain, bisa berpasangan dan menikmati quality time ke “surga”, yaitu resor mewah.

Dari segi entertainment, jelas konsep berbasis reward surga justru memacu semangat bagi tiap peserta sekaligus bumbu hiburan bagi penonton. Namun, bukankah ini sebenarnya rekonstruksi streotipe masyarakat yang ada di dunia nyata? Jika kamu masih lajang, maka kamu dianggap buruk, kamu orang buangan yang pantas berada di “neraka”. Berbanding terbalik dengan mereka yang berpasangan, tentu layak menikmati “surga”. Namun, benarkah demikian?

Nyatanya, tak ada ayat di Alkitab yang tercatat kalau derajat orang lajang lebih rendah daripada mereka yang berpasangan. Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa hidup ini adalah anugerah Allah semata yang layak untuk dinikmati, termasuk di dalamnya masa lajang. Yakobus 1:17 berkata, “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.”

Rasul Paulus yang hidup melajang juga menegaskan dalam keseluruhan perikop 1 Korintus 7 bahwa menjadi lajang pun baik karena kita dapat melayani Tuhan tanpa rasa khawatir. “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (ayat 32).

2. Semua orang mengingini cinta sejati

Saat acara dibuka, setiap peserta akan melakukan briefing sekilas memperkenalkan diri penuh percaya diri dan optimis. Namun, seiring hitungan hari, ada kalanya rasa itu sirna, malahan membuat mereka rapuh. Adanya ketegangan yang melukai harga diri saat cinta ditolak, dan persaingan saat memperebutkan hati seorang yang disukai tentunya sangat menguras emosi dan mental, menunjukkan betapa setiap manusia sebenarnya sama-sama rindu untuk diinginkan dan dicintai. Di saat kita terluka dan pernah mengalami hal yang sama karena cinta, ketahuilah cinta sejati yang tanpa syarat dan kekal hanya ada dalam Tuhan dan bukan manusia.

“Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu.” (Yeremia 31:3).

3. Jadilah dirimu yang asli dan kenali orang lain tidak hanya di permukaan saja

Ada aturan unik dalam acara ini yang mewajibkan peserta untuk merahasiakan usia dan pekerjaan, kecuali kepada siapa yang berhasil diajak ke “surga”. Maksudnya, untuk membantu mereka lebih nyaman menjadi diri sendiri sedari awal, sehingga proses pendekatan pun dapat disorot lebih transparan. Aturan ini membuatku tersadar, mungkinkah ini krisis yang sebenarnya kita butuhkan saat berelasi? Suatu keaslian diri dan tidak cepat menilai orang lain hanya di permukaannya saja. Dalam  1 Samuel 16 : 7 tertulis “ Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Di dunia yang penuh kepalsuan, ini saatnya kita berani menjadi diri sendiri dengan hati yang murni sebagai murid Krisus dengan tidak menghakimi orang lain berdasarkan yang kita lihat di luar saja.

4. Happy ending hubungan romantis bukanlah sekadar pacaran

Puncak euforia yang ditunggu-tunggu ada pada ending yang mengungkapkan siapa saja yang berhasil berpasangan secara resmi. Namun, beberapa penonton rupanya tak puas hanya sampai di situ. Mereka malahan membanjiri akun medsos peserta dengan pertanyaan memastikan apakah mereka sungguh berpacaran di dunia nyata. Dengan harapan, itulah happy ending yang sesungguhnya.

Namun menurut Alkitab, sekadar berpacaran bukanlah gol happy ending dari sebuah hubungan romantis.

Dalam Kejadian 1:28, ada alasan serius mengapa Tuhan mempersatukan Adam dan Hawa. Bukan romantisme kosong semata tanpa tujuan, tetapi sebuah happy ending yang dikehendaki-Nya, yaitu pernikahan. Di saat kita siap memulai hubungan romantis dengan lawan jenis, pertimbangkanlah secara matang untuk tujuan jangka panjang ke arah pernikahan, dan bawalah itu dalam doa meminta tuntunan Tuhan karena nantinya hubungan itu berujung menjadi pertanggung jawaban kita pada Tuhan dalam mewujudkan kasih Kristus dan kepada jemaat-Nya seumur hidup.

“Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Efesus 5: 31-32).

Kawanku, di masa mana pun kamu saat ini berada, baik lajang, dalam masa pendekatan, berpacaran, atau sudah menikah, ingatlah untuk selalu berpegang pada nilai yang telah Tuhan, Sang Sumber Kasih itu ajarkan dalam Alkitab. Pastilah kebenarannya akan memerdekakan kita dari segala bentuk kegalauan dan nilai-nilai dunia yang dunia ajarkan. Amin.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16).

Belajar Mencinta Apa Adanya di Tengah Dunia yang Ada Apanya dengan Prinsip HPDT

Oleh Olivia E. H.

Sejauh ini, ini pencerahan love life yang paling jauh aku dapatkan: Manusia benar-benar perlu belajar mencintai pasangannya seperti Tuhan mencintainya.

Konon kata seorang abang-abangan semester 20, hati-hatilah dengan candaan tongkrongan, karena ujung-ujungnya bisa sampai kitab nabi-nabi. Ya, dalam sirkel pertemananku, kerap teman-teman melontarkan candaan “Liv, kok mau sih pacaran sama X?” Hal ini merujuk pada pacarku; kami telah 5 tahun menjalin hubungan.

Loh iyaya, kenapa ya? Apakah ini sebuah empowered decision, atau aku hanya orang yang kurang neko-neko dalam mencintai?

Throwback ke masa lalu, aku teringat guyonan serupa sering diterima ibuku yang keturunan Hong Kong, sehingga konon di masa mudanya ia begitu putih seperti porselen Tiongkok, sedangkan ayahku berasal dari keluarga seniman Gambang Kromong berkulit lebih gelap. “Bu Mel, kok dulu mau sih sama Pak Anton?”

Atas hal ini, kalau mood-nya sedang bagus biasanya ibuku hanya berkilah, “Soalnya dulu waktu kenal belum hitam, masih merah jambu.”

Dari guyonan tongkrongan, berujung overthinking—itulah kisah hidupku. Otakku pun berputar, mencerna lagi mengapa guyonan semacam itu sering beredar, dari masa lalu hingga masa kini.

Mencintai yang Harus Ada Apanya

Mengikuti standar dunia atau ego kemanusiaan kita saja, hanya akan membelit diri pada cinta penuh syarat. Kita akan selalu mencari alasan “Oh, aku mau sama dia karena XYZ. Oh, dia gitu sih tapi gapapa deh soalnya dia masih punya ABCD.”

Dunia ini memiliki cara pandang dan pemaknaannya sendiri akan relasi pacaran, ini beberapa contoh yang aku jumpai:

1. Seorang pria hanya layak dicintai jika ia “mampu”

Salah satu stand up comedian favoritku, Chris Rock, memberikan hipotesa menarik dalam salah satu show spesialnya yang ditayangkan Netflix: Mau bilang “Ini nggak bener ah”, tapi dari zaman booming romance movie tahun 2000an, hal ini seakan dibenarkan.

   

Di film “Just Like Heaven”, karakter Mark Ruffalo sempat dikira tukang kebun, sebelum disingkapkan fakta kalau ia adalah landscape architect”—dengan demikian, dia adalah cowok yang keren. Pola yang sama terdapat di film “Material Girl”, di mana karakter utama cowok baru “dianggap” setelah terungkap ia bukanlah seorang petugas parkir melainkan peneliti di laboratorium. 

2. Seorang perempuan lebih mudah dicintai jika ia “cantik”

Berkebalikan, di film legendaris “Pretty Woman”, Julia Roberts dari bekerja di jalanan, bisa “diterima apa adanya” dalam sekejap oleh seorang pengusaha kaya raya, hingga masuk ke lingkar kaum jetset. Lalu ada juga serial TV “The Nanny”, seorang imigran dari kelas pekerja bisa direkrut begitu saja oleh keluarga Inggris yang ningrat, lalu mendapatkan cinta dari keluarga tersebut, hingga lagi-lagi, dinikahi bosnya.

   

Jika kita terbawa dengan pola pikir ini, seorang perempuan bisa jadi menuntut laki-lakinya menjadi “provider” sejati. Atau seorang lelaki menuntut perempuannya menjadi “penghibur” sejati, dengan spek mesias. Inilah fenomena yang sering terjadi dalam relasi yang di dalamnya tidak melibatkan hikmat Tuhan. Akibatnya, relasi pacaranmu lama-lama diisi oleh dua orang bingung yang saling melempar ekspektasi demi syarat merasa “bahagia”.

Padahal, apa iya, tujuan berpacaran itu untuk merasa “bahagia”?

Yuk, coba kita tanyakan dan gumuli pertanyaan ini bersama Tuhan.

Mencintai Seperti Tuhan Mencintai

Di 1 Yohanes 4:7-8 dikatakan, “Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita saling mengasihi, karena kasih itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, karena Allah adalah kasih.” Jadi, kasih yang kita punya buat pacar kita juga harus mencerminkan kasih Tuhan yang tanpa syarat itu.

Masalahnya, aku sering banget menjumpai (dan jujur, pernah jadi pelaku juga), anak-anak Tuhan yang melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT) ketika sudah menemukan pacar baru. Bukan hal yang terasa berbahaya pada awalnya, kan? Nanti tinggal rutinin lagi sate-nya, kan?

Awalnya, pasti nggak ada yang terasa “salah”—tapi cepat atau lambat, kita akan mulai merasa relasi ini disetir oleh value-value lain. Value yang meneror batin kita dengan bisikan bahwa seorang pria harus begini, seorang wanita harus begitu, syarat dari hubungan yang bagus adalah ABCDE, hingga kita mencari validasi hubungan kita di tempat-tempat yang tidak seharusnya.

Memang, di tengah hingar-bingar punya pacar baru, sering kali HPDT (Hubungan Pribadi dengan Tuhan) terdampak. Ketika jomblo, super rajin membangun HPDT dengan sate, mengikuti kelas PA, bersekutu, dll. Setelah pasangan didapat, kita justru (sadar tidak sadar) lebih memilih menginvestasikan waktu dan fokus kita pada si pacar baru, dan HPDT pun “turun takhta” masuk prioritas kesekian.

Ketika kamu mulai berpacaran, ingatlah untuk nggak melupakan Hubungan Pribadi dengan Tuhan (HPDT). Kita harus tetap dekat dengan Tuhan dan belajar mencintai dengan hikmatNya. Justru, pergantian status dari jomblo jadi taken ini saatnya untuk semakin menguatkan HPDT kita. Ingat, Firman Tuhan itu hidup dan berkuasa, bisa bantu kita untuk mengenal cinta yang sesungguhnya.

HPDT itu penting, biar nantinya hubungan kita nggak cuma indah di luar, tapi juga penuh kasih dan kebenaran di dalam. Firman Tuhan di Matius 6:33 mengatakan, “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menjadikan Tuhan prioritas utama, termasuk dalam hubungan cinta. HPDT itu bukan cuma saat kita lagi sendiri, tapi juga saat kita lagi kasmaran.

Sebuah Red Flag Untuk Kita

Nah, ketika kamu berpacaran, coba deh perhatiin, apakah hubunganmu sama Tuhan makin erat atau malah sebaliknya? Jangan sampai karena sibuk sama pacar, kita jadi ngelewatin waktu berharga yang seharusnya kita habiskan buat ngobrol sama Tuhan. Karena tahu nggak? Dari HPDT itulah kita belajar cinta yang tulus dan sabar, cinta yang nggak hanya terpaku pada apa yang bisa dilihat mata atau diraba tangan, tapi cinta yang mendalam seperti yang Tuhan kasih ke kita. Intinya, cinta yang berbeda dari standar-standar “kebahagiaan” yang disyaratkan dunia untuk kita.

Aku menyaksikan begitu banyak gambar diri yang hancur, masa kecil yang rusak, maupun hidup yang suram, akibat ketimpangan ekspektasi dalam relasi. Ketika dua orang yang sama-sama kepahitan karena conditional love”-nya sama-sama tidak terkabulkan, lahirlah keluarga-keluarga disfungsional.

Itu bisa jadi masa depan kita, jika kita tidak mendudukkan ulang relasi pacaran kita hari ini, di muka Tuhan Yesus Sang Kasih Sejati. Dalam HPDT, kita dapat mendialogkan pengalaman hidup sehari-hari dengan Firman Tuhan, sehingga melahirkan transformasi diri yang memberkati. Itulah sebabnya, orang sering bilang kalau cowok red flag itu sesungguhnya cowok yang ketika dipacari, malah membuat kita makin jauh relasinya sama Tuhan.

Kembali soal pertanyaan tongkrongan tadi. Jika ditanya lagi, aku akan menjawab bahwa melalui hidup berpasangan ini, saya mengenal cinta yang membebaskan, bukan mengekang. Dan melalui HPDT, saya diajarkan lagi dan lagi mengenai cara Tuhan mencinta.

Yuk, jadi pejuang yang nggak cuma jago PDKT sama si dia, tapi juga jago HPDT sama Tuhan. Karena percaya deh, hubungan yang berakar pada kasih Tuhan pasti akan tumbuh kuat dan indah. So, keep your HPDT strong, and let your love story be a reflection of God’s love!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Pilihan Bebasku Selalu Mengerucut ke Arah Dosa

Oleh Rio Hosana, Surabaya

Bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi. Dalam rentangan momen itu, ada banyak sekali kegiatan yang kita lakukan. Suatu kali, terbersit pertanyaan dalam pikiranku.

Apakah yang aku lakukan hari ini Tuhan sudah terlebih dahulu mengetahuinya? Apakah ketika aku mengetik tulisan ini sekarang, Tuhan sudah merancangkannya? Apakah ketika esok hari aku bangun, Tuhan juga sudah melihatnya lebih dulu? Begitu pula dengan dosaku, apakah Allah sudah mengetahuinya? Apakah Dia telah mengintip pelanggaranku? Bagaimana dengan setiap ketaatan yang aku lakukan?

Daftar pertanyaan itu lantas mengantarku pada suatu perenungan akan hidupku. Hidupku berada dalam dua pilihan: Allah, atau aku yang menentukan? Tapi kusadar jawabannya tidak sesederhana asal memilih. Ada sebuah paradoksal dalam kehidupan ini, sesuatu yang berkontradiksi dan tidak dapat dijelaskan dengan akalku yang terbatas. Aku sadar betul hari ini aku merancangkan segala sesuatunya dengan baik. Aku berpikir tentang renungan dan berdoa pagi, dan benar saja, aku melakukannya. Aku menetapkan hari ini akan diadakan rapat dan aku mengikutinya. Aku berpikir perlu ada sharing session bersama komunitasku di malam hari dan aku menghadirinya. Dengan begitu, jelas aku menjamin bahwa hidup yang kuhidupi hari ini adalah kebebasanku sendiri (free will).

Namun, ketika aku melihat ke dalam diriku yang penuh dosa ini, aku menyadari bahwa Allah berdaulat di dalam setiap pilihanku—atau, memang sejak awal Dialah yang memegang kendali atas hidupku?

Akibat daripada dosa, kebebasanku cenderung membawaku ke arah yang sesat. Alih-alih renungan dan berdoa pagi, aku lebih memilih tidur lebih lama untuk menebus jam-jam tidurku yang hilang. Daripada menghadiri rapat strategis, aku lebih memilih duduk santai dan melupakan tanggung jawabku. Daripada meluangkan waktu untuk sharing dengan komunitas, aku memilih pergi ke tempat hiburan dan melepas penat di sana. Pilihan bebasku selalu mengerucut ke arah dosa, tetapi kasih Allah menyelamatkanku dan memampukanku untuk memilih apa yang benar dan tepat bagi pertumbuhan rohaniku, juga untuk kemuliaan nama-Nya.

Mazmur Daud berkata: “TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya.” (37:23-24).

Ayat ini meneguhkanku bahwa pertumbuhanku berada di dalam tangan Allah, sekaligus dengan penuh kesadaran aku melakukannya. Kasih Allah mengintervensi pilihanku yang kecenderungannya membawaku pada kesesatan dan mengubahnya dari yang jahat menuju apa yang baik bagi-Nya. Hidupku dituntun oleh Allah dan aku melangkah mengikuti-Nya setapak demi setapak. Pun bila hari ini aku terjatuh di dalam dosa dan gagal untuk melihat pimpinan-Nya, Ia tidak akan membiarkan aku mati dan musnah. Sebab demikianlah Firman Tuhan: “apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya.” (Mazmur 37:24).

Betapa bahagianya menjalani hidup yang telah ditentukan oleh Allah, sebab di dalam hidup ini aku tidak merasa seperti robot. Hidup yang ditentukan oleh Allah mengandung kebebasan dan kesadaran, bukan kekangan untuk berlaku sesuai diktat dari-Nya. Jika bisa kutulis dalam kalimat sederhana, mungkin beginilah kesimpulan dari perenunganku: Aku dapat hidup bebas, melakukan apa yang kukehendaki dan itu semua ada di dalam kedaulatan-Nya. Artinya, aku merasa bebas, tetapi dipimpin oleh kasih karunia Allah. Apabila aku bertumbuh, aku mengucap syukur atas kemurahan-Nya. Apabila aku jatuh, aku tidak akan dibiarkan terjatuh sampai tergeletak. Betapa bahagianya menjalani hidup yang telah ditentukan oleh Allah!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Menghidupkan Hidup

Oleh Charisto*

Seseorang dapat dikatakan hidup ketika ia masih bernafas serta jasmani dan rohnya masih menyatu atau dapat dikatakan bernyawa. Tetapi, tidak sedikit orang yang merasa hidupnya seolah sudah seperti zombie—masih bisa bernafas, hanya tak lagi ada gairah hidup karena diselimuti oleh kecemasan, kebingungan, ketakutan yang tak terdefinisikan, lelah atau muak dengan situasi yang ada ataupun karena banyak pikiran. Tentunya tidak ada orang yang menginginkan hidupnya menjadi seperti zombie. Namun, proses kehilangan gairah hidup itu tidak terjadi begitu saja,  melainkan terpupuk secara berkala saat menghadapi situasi-situasi yang pelik… apalagi ditambah dengan urusan dosa.

Apa yang terjadi dalam hidupku juga demikian. Aku harus menerima realita di mana saat ini kondisiku tidak sedang baik-baik saja dan ingin mati rasanya, tapi aku masih hidup jadi seperti zombie. Aku harus menerima kenyataan bahwa studi sarjanaku di jurusan Psikologi tidak selesai, terlilit utang, kesulitan mencari pekerjaan, bingung untuk biaya hidup, didiagnosis mengalami psikotik, dan lagi soal masa depan yang semua terasa kelabu. Ada peristiwa masa lalu seperti trauma dengan orang tua dan broken home, yang sempat teratasi, tetapi sekarang trauma itu memperparah yang terjadi saat ini. Aku tidak tahu lagi rasanya hidup itu seperti apa, ke depan seperti apa, nanti jadi apa. Ada dorongan untuk mengakhiri hidup juga, tetapi aku takut gagal dan nanti malah menyusahkan orang lain. Hari demi hari kulewati dengan rasa cemas. Aku bisa histeris menangis sendiri dan terus dihantui rasa ingin mengakhiri hidupku.

Jika ditanya akar dari permasalahannya apa, aku sendiri sudah bingung menjelaskannya. Aku berusaha untuk mengatasi apa yang kualami dengan konseling di gereja, ikut kelompok tumbuh bersama (KTB) dengan mentor, beribadah, berdoa, dan menghadiri persekutuan rohani, tetapi itu semua rasanya seperti anastesi sesaat. Aku bisa tenang sementara waktu, tetapi kemudian panik dan bingung dengan semua masalah yang ada, lalu rasa ingin mati muncul lagi. Hal-hal tersebut intens terjadi sejak Juni 2023 sampai saat ini. Memang dorongan untuk mati atau mengakhiri hidup bukanlah sesuatu yang dibenarkan firman Tuhan, tetapi rasa itu selalu muncul seperti pergulatan panjang dengan diri sendiri.

Sampai akhir-akhir ini, aku menarik sebuah kesimpulan terkait hidup yang sering diucapkan di kala KTB atau dalam ibadah. “Hidup adalah pilihan. Pilihlah hidup yang memuliakan Tuhan”. Aku mengamini kutipan ini, tetapi aku ingin menambah satu bagian lagi, yaitu kadang pilihan kita salah dan dampaknya di luar kendali kita. Tetapi, kita senantiasa ada dalam kendali Tuhan. 

Seperti apa manifestasi “Tuhan pegang kendali” dalam hidupku, aku sendiri tidak dapat menyelaminya. Rasa ragu sering muncul tetapi tidak bisa menyangkali juga hal baik yang Tuhan kerjakan. Masalah yang kuhadapi bagiku belum ada yang teratasi menurut standarku. Akan tetapi masih ada orang yang kukasihi yang menguatkanku, ada mentor yang membagi firman yang membangun dan teman persekutuan yang membantu memberi insight soal pekerjaan. Bagiku itu semua bentuk pernyataan Tuhan bekerja dan memegang kendali sekalipun aku belum mengalami breakthrough atas peliknya masalah yang kuhadapi dalam hidup. Jadi, memilih hidup yang memuliakan Tuhan bagiku berarti bertarung melawan semua kecemasan yang mendorongku untuk mengakhiri hidup, dan percaya Tuhan sekalipun ragu, sekalipun belum terjadi mukjizat. Aku tidak mau mengatakan hal yang menggebu-gebu seolah yakin penuh, karena apa yang kuhadapi benar-benar sulit dan mungkin orang lain juga mengalami kesulitan yang demikian juga. Di posisi seperti ini yakin penuh itu sulit, tetapi tidak yakin sama sekali akan menambah kacau. Oleh karena itu tetaplah memilih untuk yakin walaupun ada keraguan. Tatkala aku memilih percaya pada Tuhan sekalipun ada keraguan, bagiku adalah langkah iman menuju keyakinan yang penuh.

Hanya Tuhan yang tahu akhir hidup seseorang. Aku sendiri tidak tahu kapan kematianku dan keadaan yang kualami berlalu. Tetapi, pilihan untuk hidup memuliakan Tuhan membuatku memiliki pandangan baru yang menghidupkan hidupku yang selama ini seperti zombie. Aku berusaha mengungkapkan apa yang kualami agar orang bisa menangkap sebuah pesan yang berarti mengenai hidup.

Hidup adalah pilihan untuk memuliakan Tuhan dan itulah satu-satunya cara menghidupkan hidup. Memuliakan Tuhan juga bukan selalu terkait mengalami manifestasi mukjizat atau dengan hal-hal memukau yang mendatangkan pujian, tetapi yakin Tuhan pegang kendali dalam sebuah keraguan itu juga memuliakan Tuhan. Aku teringat firman Tuhan yang biasa disematkan sebagai kutipan ketika kedukaan, yaitu 2 Timotius 4:7 “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

Aku ingin menyatakan firman itu dengan menghidupkan kembali hidupku, bukan lagi seperti zombie, tetapi memiliki pilihan untuk memuliakan Tuhan yang diaplikasikan dalam tindakan, yakin dalam keraguan, dan bergulat dengan diri sendiri melawan dorongan-dorongan negatif untuk mengakhiri hidup. Aku akan terus mengupayakan segala yang kubisa untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi. 

Kendati aku lemah, aku tahu Tuhan sungguhlah kuat dan Dia telah mengutus Roh Kudus untuk senantiasa hadir bersamaku.

Apabila hari ini ada di antara kamu yang telah kehilangan gairah dalam hidup, aku mengundangmu untuk bergandengan tangan, untuk kembali percaya pada-Nya karena hanya dalam Allah sajalah ada kehidupan yang sejati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Ruang Operasi: Terlihat Menegangkan, Namun Penuh Penyertaan Tuhan

Oleh Febe Valencia

Tahun baru seharusnya dirayakan, makan enak bersama keluarga sepulang ibadah akhir tahun. Seharusnya bersukacita, menuliskan semua hal yang ingin dicapai. Seharusnya aku fokus mendaftar magang. Namun, berakhir di sinilah aku, di ruang inap rumah sakit untuk merawat kakek yang biasa aku panggil Opung Doli. Aku satu-satunya cucu yang tinggal bersama opung di rumah. Sedari kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya dan Opung Boru (nenek). Saat aku sudah dewasa, otomatis akulah yang diandalkan di rumah karena usia mereka yang tak lagi muda.

Sabtu pagi, Opung Doli terpeleset karena lantai licin sehabis hujan. Aku pun bimbang. Sehari sebelum insiden ini, hubunganku dengannya tidak baik. Beliau gelisah, aku dimarahi dan jadi sedikit kecewa. Kuberikan pertolongan pertama lalu berjuang membawanya ke rumah sakit karena opung tidak bisa berjalan, sementara opung boru di rumah saja karena dia memiliki riwayat penyakit jantung.

Di rumah sakit, kupikir pemeriksaan dan hasilnya tidak akan rumit. Tapi, foto rontgen berkata lain. Bonggol paha kirinya retak dan harus dioperasi. Rumah sakit pertama yang kami kunjungi ini tidak bisa melanjutkan tindakan karena keterbatasan alat, ditambah lagi kami pun menggunakan jalur BPJS. Ada dua rumah sakit lain yang direkomendasikan. Saat itu aku takut karena semuanya kuusahakan sendiri. Rumah sakit rekomendasi pertama tidak bisa memberi jadwal operasi yang pasti karena harus menunggu antrean. Aku pun makinlah takut.

Namun, Tuhan begitu setia. Pertolongan-Nya mewujud lewat orang-orang yang tidak kami sangka. Setelah opsi-opsi yang kami coba, opung akhirnya bisa dirawat dengan baik di rumah sakit yang pelayanannya baik pula. Kurasa ini sudah cukup, namun penyertaan Tuhan terus kurasakan tiap hari. Tanpa disangka, jadwal operasi bisa lebih cepat dengan harapan pemulihannya juga bisa lebih cepat dan beliau bisa beraktivitas seperti semula.

Kurasakan Tuhan baik saat aku menemani opung. Mungkin tidak tepat waktunya sakit ketika akhir tahun, tapi justru ini waktu ketika aku liburan semester yang cukup panjang. Sembari menunggu opung, aku juga menjadi pendengar yang baik buat seorang ibu yang sedang menunggu anaknya dioperasi. Ada tumor pada mata dan bibir dalam tubuh sang anak yang baru berusia enam tahun. Ayahnya sudah meninggal. Tangisan anak itu terdengar di ruang bedah sentral. Mendengar itu, ibunya pun meneteskan air mata. Dia sudah menjanjikan anaknya liburan, namun ternyata operasi.

Setelah operasi opung, Tuhan menggunakan momen sakit ini untuk menghancurkan namun membentuk kembali hati kami. Opung dipindahkan ke ICU selama satu malam untuk observasi lebih lanjut. Pasca operasi semuanya normal. Beliau sempat sadar, bisa bicara, terjadi pendarahan. Semua ini wajar. Opung tidak rela ditinggal di ICU sendirian, sehingga malam itu aku pun susah tidur. Jantungku berdebar kencang. Memang sulit rasanya perlahan melepaskan kendali yang selalu kupegang. Tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik. Siang harinya opung bisa kembali ke kamar perawatan biasa karena hasil observasinya baik.

Hubunganku dengan opung yang awalnya sempat tegang mulai membaik. Kami saling mengampuni, semua kesalahpahaman diluruskan. Kami juga meminta ampun pada Tuhan, Sang Juruselamat yang sering kami ragukan kesetiaan-Nya karena banyaknya tuntutan yang kami pinta. Aku yakin dan percaya, lewat kejadian ini Tuhan ingin berbicara kepadaku, kepada opung, keluargaku, bahkan buat kamu yang sedang membaca kesaksian ini. Berkat itu bisa sesederhana kita dapat berjalan kaki setiap hari, namun sering lupa kita syukuri, bukan?

Mengurus segala sesuatunya sendiri, aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Aku belajar banyak sabar. Kulihat di kiri-kananku, bagaimana orang-orang sedemikian sabarnya mengurus anaknya, suami atau istrinya, atau orang tuanya.

Menutup tulisan ini ada dua kutipan yang kurasa baik untuk kita renungkan bersama:

“Jika kamu mencoba menyelamatkan hidupmu, kamu akan kehilangannya. Tetapi jika kamu menyerahkan hidupmu karena Aku, kamu akan diselamatkan.” (Lukas 9:24 AMD).

“Dihancurkan supaya jadi utuh, kerajaan Allah berawal di dalam diri Anda. Ketika Anda sampai di akhir ke-aku-an Anda, di mana Anda menyadari bahwa Anda tidak punya apa pun yang bisa Anda berikan.” – Buku The End of Me, Kyle Idleman.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Si Remaja yang Mencari Tuhan: Film “Are You There God? It’s Me, Margaret”

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Are you there God? It’s me, Margaret adalah film Amerika yang dirilis pada 28 April 2023 di bawah rumah produksi Lionsgate Films. Sebenarnya ini adalah film dengan genre komedi-drama, tetapi di dalamnya ada pesan rohani yang dapat kita petik.

Film ini mengisahkan tentang Margaret yang berusia 12 tahun. Dia adalah anak yang ceria dan hidupnya menyenangkan sampai suatu ketika dia harus menghadapi situasi yang mengubah alur hidupnya. Dia ikut orang tuanya pindah ke tempat baru, meninggalkan teman-teman lamanya. Namun, teman-teman barunya membuatnya insecure dan kondisi diperparah dengan perbedaan agama dalam keluarganya. Ibu Margaret dan keluarga besarnya adalah penganut Kristen yang taat, sedangkan ayahnya seorang Yahudi.

Suatu ketika, Pak Benedict, guru Margaret, memberikan tugas penelitian selama setahun buat kelasnya. Benedict mendapati kalau Margaret tidak menyukai hari raya keagamaan. Margaret pun menjelaskan bahwa ayah dan ibunya tidak merayakan hari raya tersebut dan menyerahkan kepada Margaret untuk menentukan identitas keagamaannya sendiri seiring bertambahnya usia.

Menariknya, di tengah situasi yang menurutnya tidak nyaman dan di tengah pertanyaannya terhadap pertemanan, keluarga, dan agama, setiap malam dalam kamarnya Margaret berdoa kepada Tuhan. Ia menyampaikan keluh kesahnya. Awalnya ia tekun berdoa, namun setelah ia mendapati kondisi di sekitarnya tidak sesuai yang ia harapkan dan malah semakin tidak baik, ia mulai meragukan kehadiran Tuhan. Ia merasa doa-doa yang selama ini ia sampaikan tidak didengar dan dijawab oleh Tuhan. Namun, meskipun sempat merasa kecewa dengan Tuhan, ending film ini menunjukkan ternyata Margaret tidak meninggalkan Tuhan. Ketika ia mulai menemukan teman yang tulus dan orang tuanya yang tidak menuntutnya harus memilih mengikuti kepercayaan Kristen atau Yahudi, ia kembali datang kepada Tuhan dalam doa dan mengucapkan terima kasih kepada-Nya.

Film ini memiliki premis yang sederhana, namun di sisi lain isu yang diangkat cukup kompleks. Sepanjang film mungkin kita akan tersenyum melihat sikap Margareth yang lugu, namun pergumulan yang dialami oleh Margareth bukan pergumulan yang sederhana bagi anak-anak seusianya yang bergumul mencari identitas keimanannya.

Di dunia nyata, mungkin ada banyak Margaret yang hidup dalam keluarga berbeda iman. Atau, mungkin keluarganya Kristen, tetapi tetap saja tumbuh keraguan. Kita yang telah melewati fase anak-anak mungkin juga pernah meragukan iman kita, terutama ketika kita sedang mengalami pergumulan yang sepertinya tidak pernah selesai. Kita mungkin pernah merasa Tuhan seakan-akan diam dan tidak peduli dengan masalah kita. Kita mungkin juga bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa kita padahal kita sudah datang dan mengandalkan Tuhan.

Keraguan dan pertanyaan bukanlah hal asing dalam perjalanan kekristenan. Tidak hanya kita yang merasakan hal seperti itu. Ayub, seorang yang dicatat Alkitab sebagai sosok paling saleh pun pernah mengalami perasaan yang sama seperti kita. Ayub memiliki hubungan yang dekat dengan Tuhan, tetapi dia juga mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Seluruh kekayaannya ludes dalam sekejap, anak-anaknya mati, dan tubuhnya pun didera penyakit mengerikan. Dalam kondisinya itu Ayub pun bertanya-tanya, namun pada akhirnya Ayub tetap percaya kepada Tuhan (Ayub 42:1-6). 

Ayub telah merasakan kasih setia Tuhan karena ia membangun relasi akrab dengan-Nya. “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (ayat 5). Ayat ini menyiratkan betapa Ayub memiliki pengalaman personal yang autentik dengan Allah, sehingga sekalipun ia merasa sedih dan kecewa dengan keadaannya tapi ia tidak putus asa dan tetap percaya kepada Tuhan. Ayub sungguh mengenal dan merasakan kasih Allah. Apa yang Ayub teladankan bukanlah tindakan yang usang untuk kita lakukan di zaman ini. Formulanya tetap sama: relasi yang erat dengan Tuhan bukan berarti kita tidak akan mengalami keadaan yang tidak menyenangkan. Karena kasih Allah yang begitu besar, kita mampu tetap percaya bahwa Ia mengasihi dan tidak meninggalkan kita.

Film Are you there God? It’s me, Margaret mengingatkanku kepada masa-masa ketika aku seusia Margaret. Ketika usiaku 12-14 tahun aku juga pernah mempertanyakan identitas diriku. Aku merasa insecure dengan teman-temanku, dan juga mempertanyakan imanku seperti mengapa aku harus percaya kepada Kristus. Aku pernah tidak ingin mendengarkan firman Tuhan lagi karena aku merasa ada hal-hal lain yang lebih menyenangkan. Namun, aku bersyukur Tuhan menjawab pertanyaan-pertanyaanku sekalipun perasaan dan pemikiran itu terus menerus hadir. Tuhan menjawabnya melalui keluargaku, hamba Tuhan, terkadang melalui orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu dekat denganku, dan terutama melalui firman Tuhan yang (ketika itu mau tidak mau) aku baca dan dengar setiap Minggu. Ketika aku memutuskan untuk mau hidup taat dan dekat dengan Tuhan, aku mendapati bahwa Tuhan selama ini tidak jauh dariku sekalipun aku tidak segera menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Ketika aku dekat dengan Tuhan, aku merasakan sukacita dan damai sejahtera. Meskipun hingga kini aku masih mengalami pergumulan, aku tetap percaya kepada Tuhan yang tidak pernah meninggalkanku.

Teman-teman, marilah kita terus bangun hubungan yang dekat dengan Tuhan dan rasakan kasih Tuhan yang Ia berikan kepada kita semua. Tuhan tidak meninggalkan kita meskipun seringkali kita mengecewakan-Nya, mari kita juga tetap percaya kepada Tuhan sekalipun masalah kehidupan seakan-akan tidak hilang. Percayalah kasih Tuhan jauh lebih besar melampaui setiap masalah dalam hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu