Posts

Media Sosial Bukanlah Tempat Curhat Terbaik

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Kita semua tentu mengenal Facebook. Lewat media sosial itu, kita bisa memposting foto, tulisan, dan berbagai info yang ingin kita sebarkan serta saling terhubung dengan teman-teman kita. Buatku sendiri Facebook punya satu fungsi lainnya, yaitu tempat untukku menceritakan segala keluh kesahku.

Hal itu persisnya terjadi beberapa tahun lalu. Ketika aku memiliki masalah atau mendapati hal-hal yang membuat aku sedih dan kesal, aku langsung mengambil ponselku dan meng-update status di Facebook. Bahkan masalah keluarga pun pernah aku utarakan di sana. Kadang, kalau aku terlibat konflik atau merasa tidak suka dengan seseorang, aku juga menuliskan kalimat-kalimat sindiran dalam status Facebookku.

Emank susah ya berurusan dengan orang yang pengennya terus menerus dimengerti, merasa dia yang paling benar. Coba kalau sama atasannya di tempat kerja, apa dia masih berani seperti itu?” tulisku di salah satu status Facebookku.

Melampiaskan segala keluhan serta menyindir orang lain di Facebook membuatku merasa puas. Kalau belum update, rasanya selalu tidak tenang. Dengan mencurahkan masalah-masalahku di sana, aku pikir orang lain jadi tahu akan pergumulanku dan mungkin saja mereka akan mendukungku atau ikut menyalahkan orang yang kusindir.

Hingga suatu ketika, aku meng-update status tentang kekesalanku pada pasanganku yang kuanggap tidak mau meluangkan waktu untukku. Ternyata status itu ditanggapi oleh banyak orang, mereka menyemangatiku. Tapi, aku malah menanggapi mereka dengan kembali mengeluh. Aku menceritakan masalah-masalah pribadi antara aku dan pasanganku di komentar. Kemudian, ada seorang kawan menegurku. Dia menuliskan di kolom komentar bahwa masalah pribadiku dengan pasanganku seharusnya tidak diumbar ke media sosial yang jelas-jelas adalah ruang publik, yang bisa dibaca banyak orang. Komentar-komentar keluh kesahku itu tidak akan mengatasi masalah, malah bisa jadi kelak memperbesar masalah.

Saat itu perasaanku campur aduk. Ada rasa kecewa karena tidak suka dikomentari seperti itu, tapi ada juga rasa malu dan menyesal. Aku malu karena ternyata apa yang aku lakukan dengan mencurahkan keluh kesahku di media sosial itu tidak sepenuhnya tepat dan bijak. Malah mungkin juga banyak orang yang melihatnya sebagai contoh yang tidak baik.

Sejak saat itu aku jadi lebih berusaha untuk lebih selektif ketika mau memposting sesuatu di Facebook. Aku malu dan tidak mau sampai ada yang menegurku lagi, aku tidak ingin kalau orang-orang menilai buruk diriku. Namun, kala itu motivasiku hanya sekadar supaya aku tidak dinilai buruk, tidak lebih. Sampai suatu ketika, saat aku sedang mengikuti kelas Alkitab, aku diingatkan bahwa aku harus berhati-hati dengan perkataanku bukan saja supaya aku tidak dicap buruk, tapi terlebih agar nama Tuhan tidak dipermalukan oleh kata-kataku yang tidak memberkati orang lain. Sebagai orang Kristen aku dipanggil untuk menjadi terang yang bercahaya, supaya orang-orang melihat perbuatanku yang baik dan memuliakan Bapa di surga (Matius 5:16).

Apabila kamu pernah mengalami pergumulan serupa denganku, aku mengajakmu untuk merenungkan dua ayat firman Tuhan ini.

1. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Dulu, media sosial adalah tempat pertamaku untuk menceritakan segala keluh kesahku. Namun sekarang, aku belajar untuk mengungkapkan segala isi hatiku kepada Tuhan. Tuhan adalah Pribadi pertama yang aku cari ketika aku butuh untuk menceritakan sesuatu. Aku mencari Tuhan dengan menaikkan doa secara langsung kepada-Nya, atau menuliskannya di dalam buku catatan pribadiku. Aku merasa saat ini Tuhan adalah teman curhatku juga.

Menjadikan media sosial sebagai tempat pertama mencurahkan masalah mungkin terasa melegakan. Tetapi, itu tidak bisa menjadi solusi untuk mengatasi semua masalah-masalah kita. Bisa jadi kita malah menambah masalah baru dengan tindakan kita yang tidak bijak di sana. Firman Tuhan memberi janji demikian kepada kita: “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Tuhan selalu siap mendengar dan menyelamatkan kita. Tuhan tidak bosan dengan curahan hati kita. Tuhan pun tidak mengabaikan kita ketika kita berbicara kepada-Nya, Dia sanggup menyelamatkan kita dari permasalah-permasalahan yang menjerat kita.

2. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Efesus 4:29).

Ketika masalah datang, respons hati kita mungkin merasa stres dan panik hingga kita butuh untuk mengungkapkannya dengan segera. Namun, meluapkan perasaan kita secara asal-asalan di media sosial yang adalah ruang publik bukanlah hal yang bijak, apalagi jika perkataan-perkataan yang kita kemukakan di sana adalah kata-kata yang negatif, yang menjelek-jelekkan orang lain, yang menyangkut privasi seseorang.

Kita bisa datang terlebih dahulu kepada Tuhan, memohon hikmat dan pertolongan-Nya. Kalaupun kita ingin mengungkapkan apa yang jadi pergumulan kita di media sosial, kita perlu melakukannya dengan cara yang bijak, dengan kesadaran penuh bahwa kita ingin menjadi berkat di sana. Kita bisa belajar untuk menuliskan sesuatu yang bermakna positif, yang ketika orang lain membacanya, itu bisa menguatkan mereka, menjadi berkat buat mereka. Sekarang, ketika aku hendak menuliskan sesuatu di media sosialku, aku akan berpikir dahulu apakah Tuhan berkenan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sana? Selain itu, aku pun belajar untuk bisa menggunakan lidahku dan jariku untuk perkataan-perkataan yang baik, yang benar, yang membangun, yang bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang membaca atau mendengarnya.

Pada akhirnya, media sosial adalah sarana yang baik untuk kita berinteraksi dengan sesama kita, tetapi bukanlah tempat pertama dan terbaik untuk kita mengutarakan segala keluh kesah kita. Sebagai orang Kristen, kita memiliki Tuhan yang selalu mendengar kita dalam apapun keadaan kita.

Baca Juga:

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Film Searching secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial, dan juga mengingatkan kita akan satu nilai rohani, yaitu kasih Bapa Surgawi buat kita.

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur, Meski Harus Kehilangan Impianku

ketika-aku-berjuang-untuk-jujur-meski-harus-kehilangan-impianku

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Ketika memasuki dunia perkuliahan dulu, aku bersyukur karena bisa melaluinya dengan baik. Di semester pertama aku mendapat nilai A untuk semua mata kuliah sehingga aku meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 4.00. Di semester-semester selanjutnya aku sempat mengalami penurunan IPK, tetapi puji Tuhan karena aku masih boleh mendapatkan IPK di atas 3.50.

Semua berjalan dengan lancar dan tidak ada satu pun mata kuliah yang harus aku ulang. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir.

Sebagai seorang mahasiswa jurusan psikologi, tugas akhir yang harus kuselesaikan itu terdiri dari dua tahapan. Pertama adalah usulan penelitian, kedua adalah skripsi. Di tahap pertama aku harus menyusun bab 1 sampai 3, sedangkan di tahapan skripsi aku harus menyusun bab 4 dan 5.

Di tahap pertama aku mengalami kesulitan. Seharusnya tahap pertama ini selesai dalam waktu satu semester saja, tetapi aku butuh waktu empat semester! Sekitar dua tahun kuhabiskan hanya untuk berkutat di bab satu sampai tiga.

Berulang kali aku harus merombak isi bab pertamaku karena ternyata masalah yang ada di lapangan itu tidak relevan dengan judul penelitan yang aku ambil. Sulit bagiku untuk memahami apa yang diinginkan oleh dosen pembimbing, sehingga ini juga menjadi salah satu hambatan di balik lamanya proses bab satu itu. Lalu, waktuku pun terbatas karena aku melakukan penelitian ini di sebuah sekolah. Kalau sekolah itu sedang libur atau ujian, tentu penelitian itu tidak bisa kulakukan.

Setelah berkutat selama empat semester, akhirnya aku bisa melanjutkan ke tahap kedua, yaitu skripsi.

Saat aku merasa putus asa

Ternyata proses penyusunan skripsi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada saja hal yang membuatku merasa putus asa dan tidak tahu harus bagaimana. Aku pikir skripsi ini akan lebih mudah karena tinggal menyusun hasil temuan data. Tapi, ternyata hasil temuan dataku bermasalah.

Metode penelitian yang kugunakan ternyata kurang lengkap sehingga aku tidak mendapatkan data yang maksimal. Lambat laun aku mulai merasa jenuh karena proses skripsi ini tidak kunjung selesai. Aku harus pergi bolak-balik menemui dosen pembimbingku yang lokasi rumahnya cukup jauh, bahkan sering juga dosenku itu lupa kalau ada jadwal pertemuan denganku.

Aku bertambah bingung ketika teman-temanku sering berkomentar, “Kok lama amat sih ga beres-beres, padahal IPK kamu kan lumayan.” Aku hanya bisa tertawa ketika teman-teman berkata seperti itu walau di dalam hatiku komentar itu terasa “menusuk”. Di tengah frustrasiku, ayahku bahkan sempat memintaku untuk “memberi amplop” pada dosen pembimbingku supaya proses skripsiku bisa dipermudah. Namun aku menolak usulan ayahku itu.

Di tengah kebingungan itu teman-temanku memberi saran untuk memanipulasi data. Si A dan si B juga dimanipulasi sedikit datanya supaya bisa cepat lulus. “Udahlah, zaman sekarang mah gak usah terlalu suci, susah kalau gitu mah, ya diubah sedikit hasil penelitiannya mah ga apa-apa dong,” kata teman-temanku.

Aku merasa malu, aku merasa percuma saja mendapatkan IPK tinggi tetapi tidak bisa lulus tepat waktu dan mendapatkan predikat cum laude. Aku menganggap cum laude itu sebagai sesuatu yang nantinya bisa aku banggakan. Aku senang jika ada orang-orang yang memujiku dan menganggapku hebat. Walaupun ketika dipuji aku tetap berusaha rendah hati, tapi harus kuakui kalau ada perasaan bangga dan aku ingin supaya orang-orang menilaiku sebagai orang yang berprestasi.

Hal-hal itulah yang membuatku berpikir kalau dengan meraih predikat cum laude maka aku akan “terkenal”, apalagi saat wisuda nanti ada ribuan orang yang hadir, termasuk juga para orang tua mahasiswa. Aku ingin mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari lingkungan sekitarku kalau aku adalah mahasiswa berprestasi.

Tantangan untuk berlaku jujur

Sejujurnya, perkataan teman-temanku itu sempat membuatku berpikir. “Apa iya aku harus sedikit curang supaya bisa lulus?” Aku merasa sangat bingung waktu itu, apalagi untuk mendapatkan predikat cum laude itu pun ada batasan masa kuliahnya. Aku benar-benar menghadapi dilema saat itu.

Ketika menghadapi dilema ini aku hanya bisa terus berdoa. Aku menceritakan segala keluh kesahku kepada Tuhan dan meminta hikmat tentang apa yang harus aku lakukan. Aku juga bersyukur karena mempunyai teman yang selalu mendukung dan menguatkan aku. Dia cukup sering memantau kemajuan tugas akhirku dan berusaha menyemangatiku.

Salah satu ayat yang menguatkan aku adalah “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih daripada itu berasal dari si jahat.” (Matius 5 : 37). Ayat ini menantang aku sekaligus mengingatkan aku untuk tetap berlaku jujur dan setia. Tuhan tidak berjanji kalau jalan yang harus kita lalui adalah jalan yang mulus, tetapi Tuhan menjanjikan kekuatan bagi orang-orang yang berharap padaNya.

Aku bersyukur walaupun dengan perjuangan yang berat sampai kadang aku pun menangis, Tuhan masih menjagaku sehingga aku bisa tetap jujur dalam menyusun skripsiku. Aku mencoba untuk menikmati proses penyelesaian skripsi itu. Sekalipun predikat cum laude gagal aku raih karena aku butuh waktu lebih lama, tapi aku mengucap syukur karena aku bisa lulus dengan jujur dan tanpa memanipulasi data.

Memang waktu studi yang harus kutempuh tidak sebentar. Total enam tahun harus kutempuh untuk mendapatkan gelar sebagai sarjana psikologi. Kadang aku merasa sedih, kecewa, kesal, merasa percuma saja punya IPK tinggi tapi tidak berhasil meraih cum laude hanya karena terhambat di tugas akhir. Tapi, lewat proses ini aku merasa Tuhan tidak ingin aku menyombongkan diri lewat semua nilai yang sudah kuperoleh.

Tuhan ingin mengasah kesetiaanku untuk tetap hidup benar di hadapan-Nya walaupun jalan yang kulalui seringkali banyak kerikil-kerikil yang menghambat.

Baca Juga:

Haruskah Aku Pindah Gereja?

Aku pernah bergumul tentang di gereja mana seharusnya aku bertumbuh dan melayani. Sekalipun aku sudah memiliki gereja tetap, tetapi aku merasa lebih bertumbuh di gereja sahabatku. Aku berada dalam sebuah dilema.