Posts

Ingatlah Ajal Pada Masa Mudamu

Oleh Aryanto Wijaya

Tahun 2019 lalu, aku membaca sebuah artikel yang menuturkan tentang kehidupan seorang pria. Di usianya yang ke 32 tahun, dia sedang menikmati puncak kariernya, namun kenikmatan itu perlahan susut ketika penyakit ganas menggerogoti tubuhnya hingga dia pun meninggal dunia.

Baru-baru ini, media sosial tanah air pun gempar mendengar kabar seorang selebriti muda yang mengalami kecelakaan dan meninggal dunia. Padahal, beberapa jam sebelumnya dia masih mengunggah Instagram Story—ada cuplikan perjalanannya, yang bernuansakan sukacita. Tak ada yang menyangka itu akan jadi unggahan terakhirnya.

Aku tercenung dan larut dalam ratapan warganet yang tak menyangka kematian akan secepat ini menjemput dan begitu mendadak. Mengingat dua kisah dukacita ini menggemakan kembali sebuah realita pahit yang kita semua sebagai umat manusia harus alami: kematian.

Kubuka lembaran kertas Alkitabku dan kudapati Pengkhotbah 9:5 berkata tegas, “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati…” Tetapi, yang tidak pernah kita tahu dari sisi kematian adalah bilamana dan bagaimana itu akan datang menjemput kita.

Ketidaktahuan ini seringkali menjadi faktor terbesar yang membuat kita merasa takut, atau di sisi yang lain, membuat kita acuh tak acuh terhadap kematian. Padahal, seperti yang Alkitab katakan bahwa setiap manusia kelak pasti akan menjumpai kematian; itu bukan sebuah kesempatan, tetapi kepastian. Mengetahui bahwa kelak setiap kita pasti akan tiba di garis akhir kehidupan seharusnya mendorong kita untuk menjalani hidup terbaik untuk tiba di sana.

Mengenal garis akhir, menikmati perjalanan

Konsep dunia menyebutkan kematian sebagai garis akhir dari kehidupan, titik terakhir dari perjalanan manusia. Agama-agama lalu menyajikan pemahaman yang lain, tentang apa yang akan terjadi setelah kematian itu. Kita tidak akan membahas masing-masing konsep pasca kematian yang disajikan tiap agama, tetapi sebagai orang Kristen, kendati kematian memang sejatinya adalah garis akhir dari peziarahan ragawi kita di dunia, itu merupakan awal dari sebuah kehidupan yang baru.

Paulus menegaskan, “Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia” (2 Korintus 5:1).

Ada kehidupan yang abadi bagi anak-anak Tuhan, kehidupan di suatu tempat yang dibuat oleh Allah sendiri, yang tidak akan ada lagi ratap dan dukacita (Wahyu 21:4).

Memang kita tidak tahu waktu dan caranya, tapi Alkitab memang menjelaskan apa yang terjadi. 2 Korintus 5:6-8 dan Filipi 1:23 mengatakan bahwa ketika kita meninggalkan tubuh kita, kita akan menetap bersama Allah. Suatu pemikiran yang menghibur kita semua yang percaya.

Dalam Ilmu Komunikasi, ada sebuah teori yang bernama “Teori Pengurangan Ketidakpastian” yang dikemukakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese. Teori ini menjelaskan bahwa dalam relasi antar dua orang manusia atau lebih yang tidak saling mengenal seringkali terjadi ketidaktahuan yang dapat berlanjut menjadi rasa takut atau spekulasi. Contoh, ketika dua orang asing bertemu dalam satu kendaraan, mungkin Si A menaruh curiga terhadap si B. Barulah ketika tercipta komunikasi antara A dan B, keduanya menemukan banyak persamaan, dan relasi itu berlanjut melintasi waktu, pelan-pelan rasa takut dan curiga itu luruh. Ketika dua orang telah saling mengenal erat, ada rasa percaya yang terbangun—kondisi yang jauh berbeda dari momen saat mereka pertama kali saling mengenal.

Demikian pulalah dengan kehidupan kita. Mengenal Tuhan yang kita percayai dengan erat akan memberikan kita iman yang teguh dan kokoh. Kita tidak akan lagi meragukan janji-janji-Nya karena kita tahu janji itu pasti akan terlaksana (2 Korintus 1:20), bahwa barangsiapa yang percaya kepada Kristus tidak akan binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16).

Dan, dari pengenalan dan relasi yang erat dengan-Nyalah kita dimampukan untuk menjalani hari-hari kita di dunia bukan dengan ketakutan akan garis akhir yang tak kita ketahui, tapi dengan sukacita bahwa segala jerih lelah dan perjuangan kita di masa-masa kita masih bisa bernafas akan mengantar kita pada tujuan yang mulia.

Kita tidak pernah tahu bilamana kematian itu akan datang. Usia muda, tubuh yang sehat, kekayaan yang berlimpah, karier yang cemerlang, semua itu tidak akan menghindarkan kita dari kepastian bahwa kehidupan di dunia akan berakhir.

Namun, kita dapat bersukacita dan bersemangat menjalani hidup, karena bersama dengan Tuhan Yesus, segala jerih lelah kita tidak akan sia-sia (1 Korintus 15:58).

Tugas kita saat ini adalah menyelesaikan setiap tanggung jawab yang diberikan-Nya dengan sebaik mungkin (Lukas 16:10), agar kelak ketika perjalanan ragawi kita paripurna, kita menyambutnya laksana seorang pemenang yang mengakhiri pertempuran dengan baik, yang telah memelihara iman sampai kepada garis akhir (2 Timotius 4:7).

Saat Kehidupan Menjelang Kesudahannya

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 清明特輯 | 在生命的盡頭,誰可以拉住你的手(有聲中文)

Nenekku terbaring tak berdaya di tempat tidur. Nafasnya terengah-engah dan sesekali dia mengerang karena merasa sakit dan tidak nyaman. Wajahnya yang keriput menunjukkan usianya yang tua.

Aku terduduk di sampingnya, tak sekalipun tatapanku lepas darinya. Dengan semua kekuatannya, Nenek membuka matanya dan menatap lurus ke arahku.

“Nenek lapar?” tanyaku. Nenek menjawabku dengan keheningan; dia tidak lagi punya kekuatan untuk berbicara.

Tiga minggu telah berlalu sejak Nenek pulang dari rumah sakit. Jika ditotal sejak hari pertama Nenek dirawat di rumah sakit, sudah 17 hari dia tidak memakan makanan keras apapun. Tidak pernah terpikirkan olehku kalau dia akan menjadi sangat lemah.

Terlepas dari fakta bahwa Nenek telah berusia 92 tahun dan pernah memiliki riwayat penyakit jantung, kesehatannya selalu prima. Dia tidak butuh banyak pertolongan dalam kesehariannya; dia makan dan tidur teratur setiap hari, dia pun tampak lebih sehat dan muda jika dibandingkan dengan para lansia lainnya yang bahkan usianya lebih muda dari dia. Selain itu, dia juga selalu memiliki pandangan yang positif tentang kehidupan (tidak seperti teman-temannya) dan sering mengatakan kalau dia harus hidup dengan baik supaya bisa terus mengikuti perkembangan dunia sekarang.

Namun, saat ini dia terbaring sekarat untuk menghadapi masa-masa terakhir dalam hidupnya. Dia terlihat sangat kesakitan. Di balik pembawaanku yang tenang, perasaanku jadi campur aduk, dan aku pun bertanya: Bagaimana aku bisa menghibur Nenek dan membuatnya merasa sedikit lega di tengah situasi ini?

Aku dengan cepat menemukan jawabannya—tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain berdoa.

Di titik ini, Nenek dengan lembut mengulurkan tangannya dan memegangku. Meski tangannya lemah, tapi terasa hangat. Aku berdoa di dalam hati: Tuhan, Engkau ada bersamanya. Tolong, berikanlah dia penghiburan dengan kehadiran-Mu. Hanya Engkau yang dapat memberinya penghiburan yang sejati… Setelah beberapa saat, Nenek sepertinya tertidur; wajahnya tampak damai. Perlahan-lahan aku melepaskan tanganku darinya dan berdoa supaya Tuhan sajalah yang memegang dan menguatkannya.

Ini adalah pengalaman pertamaku menyaksikan seseorang berjuang di momen terakhir kehidupannya. Kematian adalah peristiwa yang suatu saat nanti pasti akan kita alami, namun yang jadi pertanyaannya adalah: Siapakah yang akan menemani kita kelak di jalan yang panjang dan sepi ini?

Aku teringat akan sesuatu yang beberapa tahun lalu menegurku: Kita semua datang ke bumi ini sendirian dan suatu saat akan pergi dengan cara yang sama—sendirian. Meskipun terdengar pesimis, tapi itulah kenyataan yang harus benar-benar kita hadapi. Keluarga dan teman-teman kita hanya bisa menemani kita di saat-saat terakhir kita di bumi, dan tidak mungkin bagi siapa pun untuk menemani kita ke perjalanan setelah kematian.

Dan inilah yang membuat banyak orang putus asa. Kematian menjadi sesuatu yang paling ditakuti oleh banyak orang—pikiran bahwa kita harus menghadapi rasa takut yang paling dalam dan gelap itu sendirian!

Namun, puji Tuhan karena aku menemukan harapan di dalam Kristus. Karena Tuhan selalu beserta kita, tidak ada satu pun momen dalam hidup kita di mana kita sendirian. Tuhan ada bersama kita di gunung-gunung ataupun lembah-lembah kehidupan. Daud berkata dalam Mazmur 23:4, “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.”

Dan, di atas segalanya, Yesus telah menang atas kematian, seperti yang dikatakan dalam 1 Korintus 15:55, “Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut, di manakah sengatmu?” Kita tidak lagi menghadapi ketidaktahuan dan keputusasaan setelah kita mati, tetapi kita beroleh kehidupan. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Inilah yang menunjukkan besarnya kasih Allah bagi kita—Dia selalu bersama kita dan Dia ingin membawa kita kepada kehidupan yang baru.

Semakin aku berpikir tentang hal ini, semakin aku menyadari bahwa kita baru dapat mengerti kehadiran Allah sepenuhnya ketika hidup kita hampir berakhir, karena di titik inilah kita tidak dapat bergantung kepada siapapun dan apapun lagi selain Allah. Hanya di kesepian kita yang paling dalamlah kita bisa menemukan bahwa hanya Tuhanlah yang pasti dan Dialah batu perlindungan di mana kita dapat menempatkan kepercayaan kita.

Hanya Dia yang dapat memberikan kita penghiburan sejati dan pertolongan di masa-masa tergelap. Hanya Allah yang akan bersama dengan kita selamanya—semua hal lainnya hanyalah sementara dan akan berlalu.

Aku mengucap syukur pada Allah karena aku tidak pernah sendirian dalam menyelesaikan perjalananku di dunia ini. Jadi, selama waktu-waktuku hidup, aku mau hidup dengan kepercayaan penuh pada kasih setia-Nya dan menyandarkan hidupku pada-Nya, batu perlindunganku yang kokoh.

Ya Tuhan Yesus, peganglah tanganku erat-erat.

Baca Juga:

Tetap Beriman di Tengah Kecelakaan

Brakk! Kereta yang kutumpangi mengalami kecelakaan. Suasana panik dan yang bisa kulakukan hanyalah tertunduk dan berdoa.