Persembahan, Sebuah Rutinitas?

Oleh Tabita Davinia

Syallom! Aku ingin membagikan pengalamanku selama menjadi sie persekutuan di komisi remaja di salah satu gereja di Solo. Aku merasa bangga dan bersyukur bisa melayani dalam sie persekutuan, karena Tuhan sudah mempercayakan pelayanan ini kepadaku dan kepada rekan-rekan pengurus yang lain. Persekutuan di komisi remaja gerejaku ini hampir mirip dengan kebaktian, hanya saja sifatnya lebih santai.

Bicara soal persekutuan, ada bagian rutin dalam ibadah yang disebut persembahan. Persembahan yang aku maksud di sini adalah waktunya jemaat memberikan uang sebagai bentuk persembahannya. Nah, yang jadi masalah adalah kalau kita nggak menghayati kegiatan memberikan persembahan itu! (Nah lho…)

Harus kuakui, kadang-kadang aku sibuk sendiri sewaktu kantong persembahan diedarkan. Aku suka buka HP dan baca SMS. Hal itu masih kulakukan setelah aku memberikan persembahan. Aku juga melihat banyak teman yang sibuk sendiri. Jujur ya, aku merasa sikap itu seharusnya nggak patut.

Lho, memangnya kenapa kok kita tidak boleh menyepelekan persembahan? Alasannya, karena Kristus telah menebus hidup kita! Dan persembahan adalah kesempatan yang diberikan Allah Bapa kepada kita untuk mengungkapkan syukur kepada-Nya!

Coba bayangkan, pada zaman Perjanjian Lama, orang Israel harus memberikan persembahan mereka berupa kambing atau domba yang tidak bercela dan tidak boleh cacat! Kebayang susahnya mempersembahkan korban bagi Tuhan saat itu. Apalagi kalau orang juga harus membangun mezbah. Aduh… Pasti capek banget!

Nah, apakah di zaman sekarang kita juga mempersembahkan korban seperti mereka yang di dalam Perjanjian Lama? Tidak. Kita tidak perlu melakukan itu, karena Tuhan Yesus telah menebus kita. Yesus adalah Anak Domba Allah yang sempurna. Dia telah memberikan diri-Nya yang tak bercela dan tak bernoda untuk memulihkan kembali hubungan kita dengan Bapa (1 Ptr. 1:18-21). Itulah persembahan yang paling agung, paling mulia, dan paling harum bagi Bapa. Syukuri itu, teman-teman!

Jadi, bagaimana caranya agar kita dapat menghayati makna persembahan itu? Agar persembahan itu bukan hanya jadi rutinitas?

Pertama, kita harus tulus memberikan persembahan. Kalau kita memang nggak begitu mampu untuk memberikan banyak, nggak apa-apa. Yang terpenting kita memberikan persembahan dengan hati tulus. Sama seperti janda miskin di dalam Lukas 21:1-4, Tuhan Yesus berkata bahwa Allah melihat hatinya, bukan berapa banyak yang dipersembahkan.

Kedua, ingatlah bahwa sebenarnya kita tidak layak untuk memberikan persembahan. Hanya karena anugerah Tuhan-lah, kita dapat memberikan persembahan ^^ Tuhan Yesus telah memberikan nyawa-Nya untuk kita, sehingga hubungan kita dengan Bapa dipulihkan-Nya.

Ketiga, kita harus menyadari bahwa sebenarnya Tuhan-lah pencipta alam semesta ini. Dia begitu agung dan kita diberi kesempatan untuk mengungkapkan rasa syukur kita—salah satunya dengan memberikan persembahan. Wow! Amazing, isn’t it? Jadi, jangan sia-siakan kesempatan itu, ya. Gunakan itu untuk memuliakan nama-Nya!

Jadi, jawaban untuk judul di atas adalah TIDAK. Persembahan bukan sekadar rutinitas. Persembahan adalah saat di mana kita mengucap syukur atas pemberian Tuhan kepada kita—hal kecil, hal besar, sampai yang teragung yaitu Yesus Kristus. Ingat itu saat kamu memberikan persembahanmu di kebaktian atau persekutuan minggu ini!

Lebih Dari Sekadar Adil Dan Jujur

Senin, 5 November 2012

Lebih Dari Sekadar Adil Dan Jujur

Baca: Kolose 3:18-4:1

Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga. —Kolose 4:1

Pada abad ke-19, kondisi kerja di Inggris begitu mengerikan. Pria, wanita, dan anak-anak bekerja di pabrik-pabrik yang berbahaya sepanjang hari, dan malam harinya pulang ke pemukiman yang kumuh dan padat. Banyak pemilik pabrik yang tidak peduli dengan kesejahteraan karyawan mereka.

Namun pada masa itu, para pemilik pabrik cokelat Cadbury punya sikap yang berbeda. Sebagai penganut keyakinan Quakers (suatu aliran gereja Kristen) dan wirausahawan yang ahli, mereka memusatkan perhatian untuk memperbaiki kondisi kerja dari 200 orang karyawan mereka. Keluarga Cadbury membangun sebuah pabrik yang canggih dengan tempat ganti pakaian yang memiliki penghangat ruangan, sebuah dapur, dan tempat untuk bersantai. Dan untuk memenuhi kebutuhan rohani para karyawan, setiap hari kerja diawali dengan pendalaman Alkitab.

Kolose 4:1 berkata, “Hai tuan-tuan, berlakulah adil dan jujur terhadap hambamu; ingatlah, kamu juga mempunyai tuan di sorga.” Jelas bahwa keluarga Cadbury berupaya untuk memperlakukan karyawan mereka dengan adil dan jujur. Namun sudut pandang surgawi yang dimiliki keluarga Cadbury memotivasi mereka untuk melangkah lebih jauh dengan memenuhi kebutuhan fisik dan rohani karyawan mereka.

Kita mungkin tidak memiliki perusahaan, tetapi kita berhubungan dengan beragam orang setiap harinya. Sebagai orang percaya, penting bagi kita untuk bersikap etis dalam pergaulan kita. Dengan kemampuan yang Tuhan berikan, kita juga dapat mempedulikan kesejahteraan sesama melalui doa, dukungan dan dorongan semangat, serta upaya memenuhi kebutuhan jasmani mereka (Gal. 6:10). —HDF

Tuhan, terima kasih karena Engkau mengasihi dan memenuhi
kebutuhan kami. Engkau sering membawa orang yang membutuhkan
kasih dan pemeliharaan-Mu ke dalam hidup kami. Beri kami hikmat
untuk menolong mereka agar kami dapat membagikan kebaikan-Mu.

Allah memberkati kita supaya kita dapat memberkati orang lain.