Melakukan Kehendak Tuhan

Oleh Bu Krispel

Salah satu pertanyaan yang ada di benak anak muda Kristen adalah, “Bagaimana aku tahu dan bisa melakukan kehendak Tuhan?” Tentu bukan cuma anak muda yang bergumul soal itu. Orang yang sudah dewasa dan tua pun mengalaminya. Aku juga pernah dan masih bergumul mengenai hal itu. Melalui tulisanku, aku mencoba membagikan apa yang telah aku pelajari mengenai pergumulan ini, karena Alkitab ternyata tidak tinggal diam lho soal ini.

Menurutku, melakukan kehendak Tuhan berarti dua hal: merenungkan Firman Tuhan dan melakukan apa yang telah difirmankan-Nya.

Merenungkan Firman Tuhan

Melakukan kehendak Tuhan itu sama artinya dengan hidup dalam rencana Tuhan; dengan kata lain, kita mengerjakan apa yang menjadi maunya Tuhan. Nah, untuk mengetahui apa yang dikehendaki Tuhan, seseorang harus membaca dan merenungkan firman Tuhan. Alkitab berkata, orang yang merenungkan firman Tuhan itu sama seperti “pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mzm. 1:3).

Ada yang menyebut Alkitab sebagai surat cinta Tuhan kepada umat-Nya. Melalui firman-Nya, Tuhan memanggil kita untuk masuk dalam hubungan yang pribadi dengan-Nya. Aku percaya, orang yang kesukaannya merenungkan firman Tuhan siang dan malam akan dapat mengenali apa yang menjadi kehendak Tuhan. Firman Tuhan yang sanggup mengubah pemikiran dan hidup itu menjadikan kita mengerti apa kehendak Tuhan yang baik, berkenan dan sempurna (Rm. 12:2).

Melakukan perintah firman-Nya

Tuhan berkenan kepada orang yang berjalan dalam kehendak-Nya; sebaliknya Tuhan tidak berkenan kepada orang yang tidak melakukan kehendak-Nya. Perbedaan sikap Tuhan ini dapat kita lihat jelas dalam 1 Samuel 13:13-14. Dalam ayat-ayat tersebut, kita melihat bagaimana sikap Tuhan terhadap dua orang tokoh dalam Perjanjian Lama, Saul dan Daud.

Saul adalah seseorang yang awalnya mendapatkan belas kasih Tuhan. Ia datang dari latar belakang suku Benyamin, suku yang terkecil di Israel, namun ia diangkat Tuhan menjadi raja atas umat pilihan-Nya. Akan tetapi Saul tidak terus taat kepada Tuhan. Saul lebih memilih untuk mendengarkan manusia daripada mengikuti perintah Tuhan. Akibatnya, Roh Tuhan berpaling dari Saul dan Tuhan menolak Saul sebagai raja (1 Sam. 13:13; 16:14).

Sebaliknya, Daud dikenal dalam Alkitab sebagai orang yang melakukan kehendak Tuhan pada zamannya (Kis. 13:36). Dalam Kisah Para Rasul 13:22 dikatakan, “Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku.” Sikap hati yang percaya dan berserah penuh itu diperlihatkan Daud ketika ia menghadapi Goliat. Daud percaya bahwa Tuhanlah yang menjadi pembelanya (1 Sam. 17:45). Perkataan Daud sungguh luar biasa: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.”

Daud bukanlah orang yang sempurna, karena ia juga pernah jatuh dalam dosa. Akan tetapi ketika ia menyadari dosanya, ia berpaling kembali kepada Tuhan dengan sepenuh hati (baca Mzm. 51). Tuhan yang telah menjadikan Daud sebagai anak-Nya memang menghukum Daud, akan tetapi kasih setia Tuhan padanya tidak pernah hilang seperti apa yang terjadi pada Saul (2 Sam. 7:14-15).

Pertanyaannya bagi kita, apakah kita memiliki iman yang taat kepada kehendak Tuhan seperti yang dimiliki Daud? Ataukah sebaliknya, kita mengikuti Saul yang lebih mementingkan apa kata dunia ini terhadap dirinya dan mengabaikan apa yang Tuhan perintahkan?

Buatku, melakukan kehendak Tuhan berbicara tentang ketekunan dan ketaatan—tekun merenungkan firman-Nya dan taat pada apa yang diperintahkan Tuhan melalui firman-Nya. Kita mau melakukan kehendak Tuhan bukan hanya pada saat perintah-Nya itu mudah dan menyenangkan hati. Sekali pun kehendak-Nya itu terasa menyulitkan dan tidak menyenangkan bagi kita, tetapi karena kecintaan kita kepada Tuhan dan firman-Nya, kita mau melakukannya.

Kasih Allah Tidak Berkesudahan

Kamis, 19 April 2012

Kasih Allah Tidak Berkesudahan

Baca: Hosea 10:9-15

Menaburlah bagimu sesuai dengan keadilan, menuailah menurut kasih setia! . . . sebab sudah waktunya untuk mencari TUHAN. —Hosea 10:12

Kitab Hosea dalam Perjanjian Lama merupakan suatu kisah tentang kasih setia Allah bagi umat-Nya yang tidak setia. Dalam sikap yang tampaknya tidak wajar bagi kita, Tuhan memerintahkan Hosea untuk menikahi seorang wanita yang akan melanggar ikrar pernikahannya dan mendatangkan dukacita bagi Hosea (Hos. 1:2-3). Setelah ia meninggalkan Hosea dan hidup bersama pria lain, Tuhan menyuruh Hosea untuk membawa kembali istrinya itu. Inilah gambaran sebagaimana “TUHAN juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain” (3:1).

Kemudian, Hosea dipanggil untuk mengatakan kepada bangsa Israel bahwa oleh karena pemberontakan mereka terhadap Tuhan, mereka akan dibawa sebagai tawanan oleh suatu bangsa asing. “Keriuhan perang akan timbul di antara bangsamu, dan segala kubumu akan dihancurkan” (10:14).

Namun di tengah dosa dan penghukuman mereka, anugerah Allah kepada umat-Nya tak pernah surut. Dalam suatu nasihat yang penuh kasih, Dia berfirman: “Menaburlah bagimu sesuai dengan keadilan, menuailah menurut kasih setia! Bukalah bagimu tanah baru, sebab sudah waktunya untuk mencari TUHAN, sampai Ia datang dan menghujani kamu dengan keadilan” (10:12).

Meski kami telah “membajak kefasikan” dan “menuai kecurangan” (10:13), Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Apa pun situasi kita hari ini, kita dapat datang kepada Tuhan dan menerima pengampunan untuk memulai suatu langkah hidup yang baru. Kasih-Nya tidak berkesudahan! —DCM

Tuhan mencurahkan kasih yang tak berkesudahan,
Kala kita jatuh, Dia memberi pengampunan
Agar kita bertobat dan datang kepada-Nya,
Menjawab ya pada panggilan-Nya. —Sper

Tiada kuasa sedahsyat kuasa kasih Allah.