Puisi: Sukacita Iman

Oleh Tri Nurdiyanso

Sunyi dan sepi di dalam hidupku,
Usaikan harapanku yang terlalu tinggi.
Konsep diri yang semakin tak menentu,
Akhiri mimpiku yang terlalu manis.

Cita pun terbangun dari kematian harapan dan mimpi,
Ijinkan Dia untuk berkreasi atas cerita hidupku.
Tuhan yang selalu menjadi penulis terbaik,
Ajaibkan segala cerita ‘tuk kujalani bersama-Nya.

Iman terhadap-Nya semakin bernafas bebas!
Melihat sukacita hidup tak sekedar manis dilihat mata,
Akan tetapi sukacita itu juga manis meski pahit di mata.
Nasihat ini terlahir, ketika ‘ku selalu ada di dalam-Nya.

Tindakan Pengucapan Syukur

Jumat, 9 Maret 2012

Baca: Mikha 6:1-8

Apakah yang dituntut Tuhan dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu? —Mikha 6:8

Ketika saya masih remaja, tidak banyak orang yang mengenal saya sebaik Francis Allen. Dialah pendeta yang mengenalkan saya kepada Yesus Kristus. Ia adalah seorang pengkhotbah yang berapi-api di mimbar, tetapi di luar itu, ia menjadi teladan yang nyaris sempurna dari kelemahlembutan kasih Allah.

Sejak awal, Francis mengenali kecenderungan dalam diri saya yang berusaha memperoleh pengakuan orang dengan jalan bekerja lebih keras dari yang diharapkan dan melakukan lebih banyak dari yang diminta. “Yang kamu lakukan itu baik jika dimaksudkan sebagai pemberian bagi sesama,” katanya kepada saya, “tetapi semestinya tidak kamu gunakan untuk memperoleh penerimaan dan kasih dari orang lain—bahkan dari Allah.”

Untuk menolong saya memahaminya, Francis meminta saya membaca janji Yesus di Matius 11:30 bahwa kuk-Nya “enak”—kebenaran yang rasanya sulit untuk dipercaya. Lalu, saat membuka Mikha 6:6-8, ia berkata: “Sekarang baca ini dan tanyakan pada dirimu sendiri, apakah ada yang bisa kau berikan kepada Allah yang belum dimiliki-Nya.” Tentulah jawabannya, tidak ada.

Lalu ia menjelaskan bahwa Allah tidak dapat disogok, karena anugerah-Nya diberikan secara cuma-cuma. Karena hal ini benar, apa seharusnya tanggapan kita? “Berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu” (ay.8). Saya belajar bahwa semuanya ini adalah sikap untuk mengucap syukur, bukan untuk menyogok Allah.

Kiranya Mikha 6 mengingatkan kita bahwa anugerah itu diberikan secara cuma-cuma dan hidup dengan setia adalah tanggapan kita yang penuh pengucapan syukur. —RKK

Kita diselamatkan oleh anugerah melalui iman semata,
Perbuatan baik kita tidak berperan apa pun;
Namun Allah memberi upah setiap perbuatan kasih
Yang dilakukan dengan segenap hati. —D. De Haan

Perbuatan baik bukanlah cara untuk mendapatkan keselamatan, melainkan buah dari keselamatan.