Priska, akrab juga disapa sebagai Pika, menyukai seni sebagai bagian dari kehidupannya. Pika percaya bahwa talenta yang Tuhan berikan harus kita gunakan dan asah untuk menjadi berkat bagi orang lain.

Posts

Melihat Cahaya Terang

Selasa, 23 April 2019

Melihat Cahaya Terang

Baca: Matius 4:12-25

4:12 Tetapi waktu Yesus mendengar, bahwa Yohanes telah ditangkap, menyingkirlah Ia ke Galilea.

4:13 Ia meninggalkan Nazaret dan diam di Kapernaum, di tepi danau, di daerah Zebulon dan Naftali,

4:14 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya:

4:15 “Tanah Zebulon dan tanah Naftali, jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain, —

4:16 bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang.”

4:17 Sejak waktu itulah Yesus memberitakan: “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”

4:18 Dan ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat dua orang bersaudara, yaitu Simon yang disebut Petrus, dan Andreas, saudaranya. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan.

4:19 Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”

4:20 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.

4:21 Dan setelah Yesus pergi dari sana, dilihat-Nya pula dua orang bersaudara, yaitu Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya, bersama ayah mereka, Zebedeus, sedang membereskan jala di dalam perahu. Yesus memanggil mereka

4:22 dan mereka segera meninggalkan perahu serta ayahnya, lalu mengikuti Dia.

4:23 Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.

4:24 Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka.

4:25 Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan.

Mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. —Yesaya 9:1

Melihat Cahaya Terang

Di kota Los Angeles, Brian, seorang tunawisma yang sedang berjuang mengatasi kecanduannya, datang ke suatu lembaga pelayanan tunawisma bernama The Midnight Mission. Itulah awal perjalanan panjang Brian menuju pemulihan.

Dalam proses pemulihan itu, Brian menemukan kembali kecintaannya kepada musik. Ia pun bergabung dengan Street Symphony—sekelompok musisi profesional yang memiliki hati untuk melayani para tunawisma. Mereka meminta Brian tampil solo membawakan karya Handel dari oratorio Messiah yang berjudul “The People that Walked in Darkness (Mereka yang Berjalan dalam Kekelaman).” Dengan menggunakan kata-kata yang ditulis oleh Nabi Yesaya pada masa kekelaman bangsa Israel, ia bernyanyi, “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yes. 9:1). Seorang kritikus musik dari majalah The New Yorker menulis bahwa Brian “membuat lirik lagu tersebut seolah-olah berasal dari kehidupannya sendiri.”

Penulis kitab Injil Matius mengutip bagian Alkitab yang sama. Sebagai murid yang dipanggil Yesus keluar dari kehidupan lamanya yang menipu kaum sebangsanya, Matius menggambarkan bagaimana Yesus menggenapi nubuatan Yesaya dengan membawa misi penyelamatan-Nya hingga ke “seberang sungai Yordan” sampai ke “Galilea, wilayah bangsa-bangsa lain” (Mat. 4:13-15).

Siapa yang mengira salah seorang pemungut cukai Romawi yang kejam (lihat Mat. 9:9), seorang pecandu yang menggelandang di jalanan seperti Brian, atau orang-orang seperti kita akan mendapat kesempatan untuk menyaksikan perbedaan hidup dalam terang dan gelap melalui kehidupan kita? —Mart DeHaan

WAWASAN

Kerajaan Allah adalah sebuah jalan hidup yang berbeda dari jalan yang diterapkan oleh “kerajaan dunia,” di mana kekuatan budaya dominan ditentukan oleh pihak yang berkuasa. Ketika Kekaisaran Romawi menyatakan bahwa pemerintahan mereka adalah kabar baik, Kristus menekankan bahwa hanya pemerintahan Allah sajalah kabar baik yang sejati.—Monica Brands

Bagaimana terang Kristus telah mempengaruhi Anda? Dalam hal apakah Anda memantulkan terang itu kepada orang lain?

Bapa, dalam gelapnya kehidupan kami, tolonglah kami melihat terang Anak-Mu, Tuhan dan Juruselamat kami.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 16–18; Lukas 17:20-37

Handlettering oleh Priska Sitepu

Tabir yang Terkoyak

Jumat, 19 April 2019

Tabir yang Terkoyak

Baca: Ibrani 10:10-23

10:10 Dan karena kehendak-Nya inilah kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus.

10:11 Selanjutnya setiap imam melakukan tiap-tiap hari pelayanannya dan berulang-ulang mempersembahkan korban yang sama, yang sama sekali tidak dapat menghapuskan dosa.

10:12 Tetapi Ia, setelah mempersembahkan hanya satu korban saja karena dosa, Ia duduk untuk selama-lamanya di sebelah kanan Allah,

10:13 dan sekarang Ia hanya menantikan saatnya, di mana musuh-musuh-Nya akan dijadikan tumpuan kaki-Nya.

10:14 Sebab oleh satu korban saja Ia telah menyempurnakan untuk selama-lamanya mereka yang Ia kuduskan.

10:15 Dan tentang hal itu Roh Kudus juga memberi kesaksian kepada kita,

10:16 sebab setelah Ia berfirman: “Inilah perjanjian yang akan Kuadakan dengan mereka sesudah waktu itu,” Ia berfirman pula: “Aku akan menaruh hukum-Ku di dalam hati mereka dan menuliskannya dalam akal budi mereka,

10:17 dan Aku tidak lagi mengingat dosa-dosa dan kesalahan mereka.”

10:18 Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa.

10:19 Jadi, saudara-saudara, oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus,

10:20 karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri,

10:21 dan kita mempunyai seorang Imam Besar sebagai kepala Rumah Allah.

10:22 Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.

10:23 Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Ia, yang menjanjikannya, setia.

Oleh darah Yesus kita sekarang penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri. —Ibrani 10:19-20

Tabir yang Terkoyak

Hari itu hari yang gelap dan suram di luar kota Yerusalem. Di atas bukit di luar tembok kota, seorang Manusia yang telah menarik perhatian banyak pengikut setia selama tiga tahun terakhir tergantung dengan penuh aib dan rasa sakit pada sebuah salib kayu yang kasar. Mereka yang mengiringi-Nya menangis dan meratap dalam kesedihan. Cahaya matahari tidak lagi menerangi langit pada siang itu. Kemudian, penderitaan tidak terkira dari Manusia yang tergantung pada kayu salib tersebut berakhir ketika Dia berseru dengan nyaring, “Sudah selesai”(Mat. 27:50; Yoh. 19:30).

Pada saat yang sama, terdengar suara lain dari Bait Suci di dalam kota—suara kain yang terkoyak. Secara ajaib, tanpa campur tangan manusia, tabir tebal yang memisahkan bagian luar dari Bait Suci dengan ruang maha kudus terkoyak menjadi dua dari atas ke bawah (Mat. 27:51).

Tabir yang terkoyak itu melambangkan realitas salib: jalan yang baru menuju Tuhan sekarang telah terbuka! Yesus, sang Manusia yang tergantung pada salib tersebut, telah mencurahkan darah-Nya sebagai pengorbanan terakhir—persembahan satu kali untuk selama-lamanya (Ibr. 10:10)—yang memungkinkan semua orang yang percaya kepada-Nya menikmati pengampunan dan masuk ke dalam hubungan dengan Allah (rm. 5:6-11).

Di tengah kegelapan yang melingkupi Jumat Agung itu, kita menerima kabar yang paling indah—Tuhan Yesus telah membuka jalan bagi kita untuk selamat dari dosa dan memungkinkan kita mengalami persekutuan dengan Allah selamanya (Ibr. 10:19-22). Terima kasih, Tuhan, untuk pesan agung dari tabir yang terkoyak. —Dave Branon

WAWASAN

Dalam surat Ibrani, pelayanan Yesus sebagai Imam Besar menempati posisi yang penting. Pertama kali dikatakan dalam Ibrani 1:3: “Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi.” Pasal 13 juga berbicara tentang hal tersebut: “Karena tubuh binatang-binatang yang darahnya dibawa masuk ke tempat kudus oleh Imam Besar sebagai korban penghapus dosa. . . Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita. . . untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri” (ay.11-12). —Arthur Jackson

Bagaimana realitas yang terjadi pada Jumat Agung membawa Anda keluar dari kegelapan menuju terang? Apa artinya bagi Anda mengalami persekutuan dengan Tuhan?

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 6–8; Lukas 15:1-10

Handlettering oleh Priska Sitepu

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Hari ke-13 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Baca: Yakobus 2:12-13

2:12 Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang.

2:13 Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman.

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Aku suka membaca dan menulis.

Karena kata-kata sangat mempengaruhiku, aku tahu betapa kuat pengaruh kata-kata untuk menyembuhkan atau menyakiti. Sebab itu, aku biasanya sangat tidak suka kepada orang-orang yang sembarangan bicara dan menyakiti orang lain dengan kata-kata mereka.

Hal ini berubah saat Tuhan membawaku menyadari bahwa keterampilan berbahasa adalah kekuatan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku. Tidak semua orang dikaruniai keterampilan yang sama. Pada saat bersamaan, Tuhan menunjukkan bahwa ada bidang-bidang kelemahan dalam hidupku yang merupakan kekuatan dalam hidup orang lain.

Kemampuan tepat waktu, misalnya, adalah masalah bagiku. Tuhan menunjukkan bahwa sama seperti aku berharap orang lain memahami situasiku saat aku datang terlambat, demikian juga aku perlu menunjukkan anugerah yang sama kepada orang lain yang bergumul dalam hal bahasa.

Kita semua punya kecenderungan untuk menghakimi orang lain, bukan hanya pada saat mereka lemah. Tetapi juga pada saat mereka tidak berhasil menjalankan perintah Tuhan. Perlakuan kita bertambah buruk ketika kita juga menilai orang berdasarkan status sosial mereka (Yakobus 2:8-11). Namun, Yakobus mengajar kita untuk “berkata-kata dan berlaku” dengan penuh belas kasihan kepada orang lain (ayat 12), karena kita semua “akan dihakimi oleh hukum” (ayat 12)—hukum Kristus yang memerdekakan orang dari dosa melalui Injil (disebut juga dalam Yakobus 1:25).

Meski sebagai orang percaya kita tahu bahwa tidak ada lagi penghukuman bagi kita karena apa yang telah dilakukan Yesus untuk kita (Roma 8:1-2), tidak berarti bahwa kita akan luput dari hari penghakiman. Dengan kata lain, suatu hari kelak kita semua tetap akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan dan perkataan kita di hadapan Tuhan (2 Korintus 5:10).

Bila kita berharap Tuhan akan berbelas kasihan dalam penghakiman-Nya, sudah seharusnya kita juga memperlakukan sesama kita dengan penuh belas kasihan, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:2).

Yesus mengajarkan, “Berbahagialah orang yang mengasihani orang lain, Allah akan mengasihani mereka juga!” (Matius 5:7 BIS). Dalam perumpamaan tentang seorang hamba yang tidak bersedia mengampuni (Matius 18:21-35), Yesus memperingatkan kita bahwa bila kita tidak mau berbelas kasihan kepada sesama kita, Tuhan juga akan memperlakukan kita demikian. Yakobus mengulangi peringatan ini di ayat 13.

Yakobus selanjutnya mengatakan bahwa “belas kasihan akan menang atas penghakiman” (ayat 13) karena belas kasihan itu menyukakan hati Tuhan (Mikha 7:18). Allah Bapa kita begitu kaya dengan rahmat atau belas kasihan (Efesus 2:4); kita sedang melakukan apa yang menjadi kerinduan hati-Nya saat kita menunjukkan belas kasihan kepada orang lain dengan bijak dan dengan sukacita (Roma 12:8).

Kita adalah anak-anak dari Sang Bapa ketika kita senang melakukan hal-hal yang disenangi-Nya, memperlakukan orang lain dengan cara yang sama seperti cara-Nya memperlakukan mereka. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Priska Sitepu

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam area apa kamu cenderung paling keras dalam menghakimi orang lain? Apa yang dapat menolongmu untuk bisa lebih berbelas kasihan kepada orang lain di area tersebut?

2. Apakah kamu melihat hukum Kristus sebagai hukum yang memerdekakanmu? Apa yang dapat menolongmu untuk bertumbuh makin menyukai hukum-hukum Tuhan, sebagaimana yang dikehendaki Tuhan untuk kamu dalam kasih-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Kita Memandang Muka?

Hari ke-10 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 2:1-4

2:1 Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.

2:2 Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,

2:3 dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”,

2:4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?

Apakah Kita Memandang Muka?

Meskipun sekitar 2.000 tahun sudah berlalu sejak Yakobus menulis surat ini kepada sesama umat percaya dari bangsa Yahudi, kebenaran pesannya masih relevan bagi kita yang hidup pada zaman ini. Kita kerap menilai orang lain dari tampilan luar dan memandang muka atau pilih-pilih dalam bergaul lebih dari yang kita sadari.

Bekerja paruh waktu di sebuah toko roti Prancis, aku berjumpa dengan berbagai macam pelanggan—mereka berbeda-beda dalam penampilan fisik, cara berperilaku, pekerjaan, status sosial, latar belakang keluarga, nilai-nilai, dan banyak hal lainnya. Tidak ada dua orang yang persis sama. Kalau aku mulai membedakan perlakuanku terhadap pelanggan yang fasih berbahasa Prancis dan pelanggan lain yang kesulitan menyebutkan nama-nama roti Prancis yang ada, aku sedang melakukan apa yang ditentang keras oleh Yakobus: memandang muka.

Dalam istilah yang lebih umum, memandang muka berarti memberi perhatian atau kehormatan kepada seseorang dengan mengorbankan orang lainnya. Memandang muka mengandung elemen diskriminasi, asumsi, dan bias. Mungkin kita akan terkejut menyadari betapa interaksi kita sehari-hari banyak dibentuk oleh bias dan asumsi yang tersembunyi di dalam diri kita—kebanyakan karena kita dibesarkan dalam budaya tertentu, dididik dengan cara tertentu, dan tumbuh di tengah lingkungan tertentu.

Disadari atau tidak, kita memiliki standar kita sendiri untuk menilai apakah seseorang pantas untuk mendapatkan kasih, perhatian, dan kekaguman kita, lebih daripada orang lainnya. Bukannya berpegang pada standar kasih Tuhan yang sempurna, kita memakai kriteria kita sendiri yang penuh dengan kelemahan.

Tidak seperti kita, Tuhan melihat melampaui tampilan luar seseorang dan yang paling Dia perhatikan adalah kondisi hati kita. Yang terpenting bagi Tuhan bukanlah penampilan fisik, talenta, pencapaian, atau reputasi kita, melainkan siapa diri kita yang sebenarnya (1 Samuel 16:7).

Kebenarannya: di mata Tuhan, kita semua sama-sama orang berdosa yang membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan. Kebenaran ini perlu tertanam dalam hati kita agar kita berhenti memandang muka. Seorang pengkhotbah Skotlandia, Sinclair Ferguson, dalam uraiannya tentang surat Yakobus, mengatakan bahwa yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah melihat kondisi hati kita sendiri: “Jika aku tidak memahami hatiku dan kebutuhanku sendiri, aku tidak akan pernah bisa memahami hati dan kebutuhan orang lain.”

Hanya pada saat kita mengizinkan Tuhan menolong kita untuk secara bertahap mengalami transformasi hati dan mengikuti jalan-Nya, barulah kita dapat melihat orang lain dengan perspektif anugerah dan kasih, sebagaimana Tuhan melihat kita.

Tuhan tidak memandang muka, dan Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.
Ingatlah, respons kita mencerminkan kondisi hati kita yang sebenarnya. —Lydia Tan, Singapura

Handlettering oleh Priska Sitepu

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kita pernah memandang muka di sekolah, di gereja, di tempat kerja, atau di antara teman-teman dan keluarga kita?

2. Adakah kelompok orang tertentu yang lebih kita sukai, misalnya mereka yang kaya (atau sebaliknya mereka yang tak punya), mereka yang pintar, atau yang memiliki kedudukan? Apakah cara pandang kita itu sesuai dengan cara Tuhan memandang mereka?

3. Bagaimana kita dapat menjaga hati kita agar tidak memandang muka, memperlakukan kelompok tertentu lebih dari yang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Lydia Tan, Singapura | Lydia adalah seorang yang optimis. Sepertinya tidak ada suatu hal yang bisa membuatnya pesimis, kecuali pikiran tentang sayuran dan jarum. Dia sangat senang ketika dia ada bersama-sama dengan orang, anak anjing, atau anak kecil. Dari mereka, dia dapat belajar pelajaran hidup. Lydia punya kelemahan, dia tidak bisa menahan diri untuk cokelat hitam dan pernak-pernik yang cantik (terutama jika itu buatan tangan). Lydia adalah seorang pempimpi, dia bersemangat untuk menjadi terang Tuhan bagi bangsa-bangsa dan dia suka banyak petualangan. Ketika tidak sedang sibuk, Lydia suka berjalan-jalan santai dan menikmati Tuhan di alam.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus