Posts

Saat Mengabdi, Ingatlah Selalu Kebaikan Tuhan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Akhir dan awal tahun identik dengan dua hal: kaleidoskop dan resolusi. Jika resolusi bicara soal komitmen masa depan, kaleidoskop bicara masa lalu. Aku sendiri termasuk orang yang suka membuat keduanya, bagaimana denganmu?

Tahun ini aku merencanakan beberapa komitmen seperti target skripsi, liburan, menulis, dan rencana lainnya. Tetapi, aku kemudian menyadari bahwa di antara komitmen-komitmen yang aku buat ternyata aku melewatkan sebuah komitmen penting, yaitu menjadi abdi Allah. Komitmen ini muncul pertama kali di tahun 2019. Kala itu aku ingin menjadi abdi Allah yang taat dan setia. Namun, semakin bertambah tahun ternyata mempertahankan komitmen ini tidak semudah mengucapkannya. Berulang kali aku lupa bahwa menjadi abdi Allah berarti seluruh hidupku adalah untuk Allah, bukan untuk kenikmatan dunia.

Kamu mungkin bingung, dari sekian banyaknya komitmen yang bisa dijabarkan dengan sederhana, mengapa aku memilih komit untuk menjadi abdi Allah? Aku mengajakmu untuk melihat kembali pada Ibrani 11. Dalam satu pasal itu, Paulus menceritakan tokoh-tokoh di masa Perjanjian Lama yang melaluinya kita dituntun untuk melihat penyertaan Tuhan kepada para abdi-Nya. Meskipun para tokoh itu mengalami banyak pencobaan, mereka tidak menyerah. Inilah yang hendak disampaikan oleh penulis kitab Ibrani agar para pembacanya tetap berkomitmen menjadi abdi Allah. Tidak hanya penulis kitab Ibrani, beberapa pemazmur termasuk Daud juga menyampaikan yang sama. Ketika mereka mengingat kasih setia Allah yang tetap di tengah ketidaksetiaan Israel, hati mereka pun penuh ucapan syukur.

Abdi bisa dipahami juga sebagai hamba. Dalam Perjanjian Lama, kata Ibraninya adalah eyed’, merujuk pada budak, hamba, atau pelayan. Artinya, seseorang bekerja untuk keperluan orang lain, untuk melaksanakan kehendak orang lain. Pada masa kuno, menjadi hamba berarti hidup mati dimiliki oleh tuannya. Tugas hamba hanyalah satu: melaksanakan apa mau tuannya. Ketika Kristus datang ke dunia, Dia datang bukan untuk dilayani, melainkan melayani kita agar kita semua beroleh penebusan (Markus 10:45). Panggilan untuk menjadi hamba telah diteladankan oleh Allah sendiri dan ini bukanlah panggilan atau status yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu. Kita semua dipanggil-Nya untuk menjadi hamba yang bekerja bagi kerajaan-Nya (2 Timotius 4:1-5). Salah satu peristiwa dalam Alkitab yang menunjukkan bagaimana respons seorang hamba adalah ketika Maria didatangi Roh Kudus. Maria lalu menjawab, “Aku ini hamba Tuhan. Jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Menjadi abdi atau hamba Tuhan, berarti menyerahkan diri sepenuhnya untuk tunduk pada kehendak Allah. Bukan agar kita hidup sengsara, tetapi agar kita hidup dalam jalan dan ketetapan-Nya (Matius 11:29-30).  Kuakui tidak selalu mudah untuk melakukan ini. Salah satu yang kulakukan untuk setia mengabdi adalah dengan membuat kaleidoskop. Kuingat dan kusadari kembali kehadiran Tuhan dalam perjalanan hidupku. Tak hanya di tahun ini, tapi juga di tahun-tahun sebelumnya. Semua ingatan akan kebaikan-Nya itulah yang menolongku semakin semangat untuk hidup dalam komitmen karena aku telah melihat bagaimana kasih Tuhan terus menyertaiku menghadapi tantangan sehingga aku bisa ada sampai hari ini semua karena anugerah Tuhan.

Teman-teman, kita yang telah percaya kepada Kristus telah dipilih-Nya menjadi abdi Allah yang melayani Dia dan sesama kita, juga hidup bagi Dia. Abdi Allah adalah panggilan istimewa yang diberikan bagi kita, jangan sampai kita sia-siakan kepercayaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita. Akan ada momen ketika kita tergoda untuk melupakan status kita sebagai abdi Allah, tetapi ketika momen itu terjadi mari kita kembali mengingat masa ketika kita pertama kali berkomitmen—apa yang memotivasi kita menjadi abdi Allah? Karena kita telah merasakan kasih Allah bukan?

Ada cara sederhana untuk memelihara komitmen. Cobalah buka galeri hp kita untuk membuat kaleidoskop. Kita juga bisa membuka notes kita untuk mengecek kembali komitmen-komitmen yang sudah kita buat. Aku rindu setelah kita sama-sama membuat kaleidoskop dan resolusi, kita akan menemukan sebuah kesimpulan bahwa kasih setia Tuhan selalu ada bersama kita dan kiranya setiap kita dapat mengatakan: Aku ini abdi Allah? Ya, aku abdi Allah dan aku tidak menyesal dengan keputusanku! Aku akan berkomitmen untuk menjadi abdi Allah seumur hidupku. Kiranya Tuhan menolongku.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Banyak Dosa, Tapi Berkenan di Hati Tuhan?

Oleh Jessie, Jakarta

Pernahkah kita berpikir untuk meneladani satu tokoh Alkitab yang kita kagumi?

Dua tahun belakangan ini, aku lagi nge-fans berat sama Pak Daud—seorang prajurit muda yang dideskripsikan berwajah tampan, gagah, dan pandai berbicara (1 Samuel 16:18). Kisah perjalanan hidupnya boleh dikatakan seperti sebuah novel. Aku yang baca sampai ikutan tegang, sedih, senang, dan tercengang-cengang, pokoknya ceritanya bikin yang baca seru sendiri deh. Bagaimana tidak? Kisah Daud diawali dengan statusnya sebagai gembala domba, terjun ke dunia politik, dan menjadi seorang prajurit berpangkat tinggi; lalu dia dikejar-kejar karena ingin dibunuh rajanya, sampai akhirnya dia sendirilah yang bertakhta menjadi seorang raja, dan tentu kita semua tidak lupa akan dosa besar yang dia lakukan untuk mendapatkan Bathsheba. Aku terharu dengan perjalanan hidupnya yang romantis bersama Tuhan, bahkan sampai saat dalam kekelamannya dan kejatuhannya. Sungguh-sungguh seorang abdi Allah yang berkenan di hati Tuhan.

Daud, seorang pria yang berkenan di hati Tuhan (1 Samuel 13:13-14)

Saat Tuhan memilih Daud sebagai raja untuk bangsa Israel, Tuhan mencari sosok yang berkenan di hati-Nya, seseorang yang hidupnya selalu ada dalam penyertaan Tuhan. Saat Tuhan memilih Daud, Tuhan tidak mengatakan bahwa Dia mencari yang sempurna ataupun pintar, melainkan seorang pemimpin yang memiliki hati yang seirama dengan apa mau-Nya (1 Samuel 16:17). Apa yang menjadi kepentingan Tuhan juga menjadi kepentingan Daud; saat Tuhan katakan “pergi,” maka Daud pun rela pergi. Jika Tuhan berkata “jangan,” maka Daud akan berhenti. Tidak ada keterpaksaan karena memang hati Daud terus mencari dan mengejar hati Tuhan. Di balik komitmen dan keseiramaan hati Daud, di sini kita juga belajar keindahan dari seorang yang hidupnya berkenan di hadapan Tuhan, yaitu kehadiran penyertaan Tuhan dalam hidupnya. Aku rasa hal ini merupakan poin utama yang Tuhan inginkan dari semua pengikut-pengikut-Nya, yakni hati yang sepenuhnya mengejar Tuhan agar segala keputusan hidupnya ada dalam penyertaan dan pimpinan Tuhan. Bisa aku simpulkan bahwa “hidup yang berkenan” menjadi tema Daud semasa hidupnya.

Daud memiliki hati seorang pelayan (Mazmur 78:70; 89:20)

Selain hati yang berkenan di hadapan-Nya, Tuhan melihat hati seorang pelayan dalam diri Daud. Apa sih yang menjadi karakter utama seorang pelayan? Kerendahan hati. Kita sering melupakan betapa pentingnya kerendahan hati dalam menjalankan misi sebagai pelayan Tuhan. Padahal, kerendahan hati itu menjadi salah satu fondasi utama dari pertobatan orang percaya. Kerendahan hatilah yang membawa kita pada kesadaran akan keberdosaan kita dan pengertian akan ketergantungan kita pada Tuhan. Seorang pelayan tidak akan memberontak, dia tunduk karena tahu siapa yang memegang pimpinan. Tugas seorang pelayan adalah mengerjakan pekerjaannya dengan setia.

Doa Daud saat Tuhan menjanjikan kepadanya segala berkat merupakan respons dari seseorang yang sungguh-sungguh merupakan abdi Tuhan (2 Samuel 7). Dia mengucapkan permohonannya dengan penuh kesadaran akan statusnya sebagai seorang abdi atau pelayan Tuhan. Semua yang dimilikinya, dia anggap sebagai anugerah pemberian Tuhan semata.

Ketaatan dan Iman Daud

Keunikan konsep ketaatan dalam kekristenan ialah hadirnya sebuah iman. Ketaatan kepada Tuhan seringkali tidak disertai dengan informasi yang lengkap ataupun janji akan kemulusan cerita hidup pengikut-Nya. Justru sebaliknya, terkadang ketaatan itu malah membawa kita kepada penderitaan dan ketidaknyamanan, sehingga di situlah letak keunikannya. Apakah kita percaya akan jalan-Nya yang tidak pernah salah dan mau mengikuti-Nya? Jika kita membaca kisah Daud, banyak kasus di mana pimpinan Tuhan mungkin terasa sangat absurd bagi Daud, tetapi Daud tetap mengikuti perintah-Nya dengan keyakinan penuh akan pimpinan Tuhan dalam hidupnya.

Puncak kesengsaraan Daud dia alami saat Saul mengejar-ngejar untuk membunuhnya. Di masa pelarian ini, Daud melarikan diri ke negara orang sampai harus bertingkah seperti orang gila agar dapat lolos dari prajurit Filistin yang ingin membunuhnya. Apakah di saat itu Daud mengerti maksud Tuhan dan tahu kemana arah hidupnya? Aku rasa tidak, karena dari pujian dan doa yang dicatat kitab Mazmur, Daud menyatakan kegelisahannya, kesedihannya, bahkan ketakutannya yang luar biasa. Namun, di setiap frasa kekhawatirannya, dia selalu menutup doanya dengan pujian kepada Tuhan, menyatakan imannya yang kokoh dan pengharapannya akan kasih setia Tuhan yang senantiasa. Iman Daud akan pimpinan Tuhanlah yang terus menyandang ketaatan Daud dalam hidupnya. Dua kali Daud diperhadapkan dengan kesempatan untuk membunuh Saul, tapi tidak dia lakukan, meskipun seluruh pengikut Daud menyuruhnya. Kembali lagi, hal ini disebabkan karena Daud tahu dia hanyalah seorang pelayan, dan membunuh Saul bukanlah bagian dan tugasnya.

Mungkin ada orang-orang yang mengecam ketaatan Daud dengan dosa zinanya. Sebagai fans-nya yang cukup memperhatikan jalan hidupnya, aku harus mengakui memang apa yang dilakukannya itu hal yang berdosa; namun, bukankah begitu juga semua umat manusia di muka bumi? Tidak ada satu manusiapun yang luput dari dosa. Akan tetapi, menariknya, pengakuan Daud akan dosanya bukanlah terhadap Uria, tetapi terhadap Tuhan. “Aku sudah berdosa kepada Tuhan,” kata Daud (2 Samuel 12:13).

Daud sangat amat mengerti bahwa segala dosa pertanggungjawabannya itu adalah kepada Tuhan, bukan kepada manusia lainnya; karena Uria hanyalah tumbal dari dosa yang dilakukannya terhadap Tuhan. Seorang yang berkenan kepada Tuhan menjadikan relasinya bersama Tuhan sebagai fondasi dari segala aspek kehidupannya, sehingga sampai di titik keberdosaannya pun, dia selesaikan bersama Tuhan. Ceritanya pun berlanjut dengan teguran dari nabi Natan, Daud mengakui seluruh dosanya di hadapan Tuhan dan meratapinya dengan hati yang hancur. Sekali lagi, karena kerendahan hatinya dan statusnya sebagai seorang pelayan Tuhan, Daud dapat disadarkan dan dibukakan mata hatinya, sehingga dia berbalik pada Tuhan; dan Tuhan pun mengampuninya.

Hidup berkenan di hadapan Tuhan dengan jiwa seorang pelayan serta iman yang penuh memang bukan urusan satu hari, atau bahkan satu tahun, tapi perjalanan seumur hidup. Apalagi kalau tahu, sebenarnya kita semakin berumur malah semakin keras kepala, bukannya semakin nurut. Ya ga sih? Atau aku aja yang merasakan hal ini? Hahaha! Ya mudah-mudahan kalian tidak sepertiku. Terus terang, tidaklah gampang memang mengikuti perintah Tuhan, karena terlalu banyak kepentingan pribadi yang seringkali bertentangan dengan kemauan Tuhan.

Sampai di sini saja cerita dariku tentang Daud.

Semoga mengawali tahun 2024 kita semua dengan kisah yang menginspirasi.

Satu catatan dariku, tetap semangat dan terus bergumul, guys!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dipersatukan

Minggu, 1 Februari 2015

Dipersatukan

Baca: Efesus 4:5-16

4:5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,

4:6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.

4:7 Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus.

4:8 Itulah sebabnya kata nas: "Tatkala Ia naik ke tempat tinggi, Ia membawa tawanan-tawanan; Ia memberikan pemberian-pemberian kepada manusia."

4:9 Bukankah "Ia telah naik" berarti, bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?

4:10 Ia yang telah turun, Ia juga yang telah naik jauh lebih tinggi dari pada semua langit, untuk memenuhkan segala sesuatu.

4:11 Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar,

4:12 untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus,

4:13 sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus,

4:14 sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan,

4:15 tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.

4:16 Dari pada-Nyalah seluruh tubuh, –yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota–menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih.

Kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik. —Efesus 2:10

Dipersatukan

Janet, istri saya, memberikan hadiah gitar baru tipe Dreadnought D-35 untuk ulang tahun saya yang ke-65. Gitar Dreadnought yang diproduksi pertama kalinya pada awal abad ke-20 itu berukuran lebih besar daripada gitar-gitar yang umumnya diproduksi pada masa itu. Gitar Dreadnought juga terkenal karena bunyi dentingnya yang mantap dan keras. Nama gitar tersebut diambil dari nama kapal perang utama milik Kerajaan Inggris pada Perang Dunia I, yaitu HMS Dreadnought. Ada yang unik pada sisi belakang gitar D-35 itu. Karena langkanya kayu rosewood berkualitas tinggi yang berukuran lebar, para pengrajin secara inovatif menggabungkan tiga potongan kecil kayu menjadi satu, sehingga dihasilkan suatu bunyi yang terdengar lebih kaya.

Karya ciptaan Allah ternyata banyak memiliki kesamaan dengan rancangan gitar yang inovatif itu. Yesus mengambil beragam potongan kecil dan mempersatukan semua itu dengan maksud untuk memuliakan-Nya. Yesus merekrut para pemungut cukai, pejuang Yahudi garis keras, nelayan, dan yang lain untuk menjadi pengikut-Nya. Bahkan, dari abad ke abad, Kristus terus memanggil orang-orang dari beragam latar belakang kehidupan. Rasul Paulus mengatakan, “Dari pada-Nyalah seluruh tubuh,—yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan semua bagiannya, sesuai dengan kadar pekerjaan tiap-tiap anggota—menerima pertumbuhannya dan membangun dirinya dalam kasih” (Ef. 4:16).

Di tangan Sang Ahli, banyak orang dipersatukan dan dibentuk menjadi karya-Nya yang pasti akan membawa kemuliaan kepada Allah dan berguna dalam pelayanan bagi sesama. —HDF

Terima kasih Tuhan, karena Engkau telah menempatkan kami
dalam keluarga-Mu—bahwa Engkau memakai kami
masing-masing dan bersama-sama untuk memuliakan-Mu.
Tolonglah kami untuk hidup dalam kuasa-Mu.

Kita dapat mencapai lebih banyak dengan bergotong-royong daripada melakukannya sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 27-28; Matius 21:1-22