Bahan renungan yang bisa menemani saat teduhmu dan menolongmu dalam membaca firman Tuhan.

Masih Berbuah

Minggu, 7 Oktober 2012

Masih Berbuah

Baca: Yohanes 15:8-17

Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak. —Yohanes 15:8

Terkadang panen datang terlambat. Terkadang Anda menabur benih harapan tanpa benar-benar menyadarinya. Terkadang buah dari hidup Anda tumbuh dengan cara dan pada waktu yang tidak pernah Anda duga.

Putri saya, Melissa, telah menerima anugerah keselamatan dari Allah pada usia muda. Namun ia tidak pernah melihat dirinya sebagai orang Kristen luar biasa yang dapat mengubah hidup sesamanya. Ia hanyalah seorang mahasiswi yang berusaha menjaga keseimbangan antara pekerjaan, sekolah, hobi olahraga dengan pergaulannya. Ia hanyalah seorang remaja yang berusaha menjalani hidup sesuai dengan kehendak Allah baginya.

Namun, pada tahun 2002 ketika Allah memanggil pulang Melissa pada saat ia masih berusia 17 tahun, imannya kepada Kristus dan hidupnya yang setia menyatakan kesaksian dengan sendirinya. Kepergiannya begitu mendadak, hingga ia tidak lagi punya waktu untuk memperbaiki hubungan dengan orang lain dan juga kesempatan untuk “berbuah banyak” (Yoh. 15:8).

Melissa berusaha menjalani hidup dengan cara yang menyenangkan Allah—dan hidupnya itu masih menghasilkan buah. Baru-baru ini, saya mendengar ada seorang pemuda yang percaya kepada Yesus sebagai Juruselamatnya pada suatu acara perkemahan olahraga setelah seorang pelatih menceritakan kisah Melissa.

Kita sedang menuliskan cerita melalui kehidupan kita—suatu cerita yang berdampak bagi orang lain kini dan juga pada masa mendatang. Apakah kita menjalani hidup untuk menyenangkan Allah? Kita tak tahu kapan saatnya Tuhan akan memanggil kita pulang. Mari menjalani hidup kita setiap hari dengan fokus untuk memberi buah. —JDB

Hanya kebenaran yang kita katakan semasa hidup,
Hanya benih yang telah kita taburkan di atas bumi;
Itulah yang terus diceritakan saat kita telah berlalu,
Buah hidup kita dari apa yang telah kita lakukan. —Bonar

Untuk mendapat panen yang berbuah dibutuhkan suatu hidup yang setia.

Turunkan Tangan Anda

Sabtu, 6 Oktober 2012

Turunkan Tangan Anda

Baca: Mazmur 46

Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! —Mazmur 46:11

Anda mungkin mengira sidik jari ibu saya akan tercetak di lutut saya saking seringnya ia mencubit lutut saya di gereja dan berbisik dengan tegas, “Diamlah.” Seperti kebanyakan anak laki-laki lainnya, saya mempunyai kebiasaan buruk karena tidak dapat duduk diam di tempat seperti gereja. Jadi selama bertahun-tahun, ketika membaca, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mzm. 46:11), saya mengartikannya sebagai bersikap tenang.

Namun bahasa Ibrani untuk kata diam berarti “berhenti bergumul”. Dalam kata ini terkandung konsep untuk menurunkan tangan dan membiarkan Allah terlibat dalam situasi kita tanpa campur tangan kita. Kata diam ini memberikan gambaran yang menarik, karena kita sering menggunakan tangan untuk menyingkirkan hal-hal yang menghalangi jalan kita, untuk melindungi diri, atau untuk menyerang balik. Ketika kita menurunkan tangan, hal tersebut membuat kita merasa tidak berdaya dan rentan—kecuali kita dapat mempercayai bahwa “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (ay.2), dan bahwa “Tuhan semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub” (ay.8). Dengan kata lain, berhentilah bergumul dan nantikan Allah berkarya!

Dalam menghadapi segala situasi kehidupan, kita dapat mengalami damai sejahtera melalui sikap kita yang mempercayai kehadiran dan kuasa Allah di tengah kesulitan. Hal ini terjadi sembari kita menanti pertolongan-Nya dengan sabar dan dalam doa. Jadi turunkan tangan Anda, karena tangan Allah terus berkarya demi Anda! —JMS

Diam dan ketahuilah bahwa Dialah Allah
Karena jalan hidup ini curam dan keras;
Bukan apa yang Dia berikan yang diperlu,
Tetapi diri-Nya saja, itu sudah cukup. —NN.

Ketika kita menaruh masalah kita dalam tangan Allah, Dia menaruh damai sejahtera-Nya dalam hati kita.

Mereka Yang Tak Lagi Berkuasa

Jumat, 5 Oktober 2012

Mereka Yang Tak Lagi Berkuasa

Baca: 1 Korintus 10:1-13

Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh! —1 Korintus 10:12

Sebuah daftar unik berjudul The 100 Least Powerful People in the World (100 Orang yang Tak Lagi Berkuasa di Dunia) muncul dalam majalah online 24/7 Wall St. Yang terpilih diantaranya adalah para pemimpin perusahaan, tokoh olahraga, politikus, dan selebriti yang memiliki satu karakteristik yang sama—mereka dahulu pernah berkuasa. Beberapa merupakan korban dari keadaan, yang lain karena membuat keputusan bisnis yang buruk, sedangkan yang lain lagi kehilangan pengaruh mereka karena kemerosotan moral.

Dalam 1 Korintus 10, Paulus menarik suatu pelajaran yang suram dari sejarah Perjanjian Lama. Bangsa yang dipimpin Musa untuk keluar dari perbudakan di Mesir menuju Tanah Perjanjian terus menerus berpaling dari Allah yang telah membebaskan mereka (ay.1-5). Penyembahan berhala, perzinaan, dan sikap menggerutu merupakan sejumlah hal yang membuat mereka jatuh (ay.6-10). Paulus menunjukkan kejatuhan mereka sebagai contoh bagi kita, dan ia memberikan peringatan ini: “Sebab itu siapa yang menyangka, bahwa ia teguh berdiri, hati-hatilah supaya ia jangan jatuh!” (ay.12).

Setiap pengikut Yesus dapat memegang teguh janji Allah: “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (ay.13). Setiap dari kita diberi kuasa untuk mempengaruhi iman sesamanya. Betapa tragisnya jika kuasa itu disia-siakan ketika kita menyerah kepada godaan yang seharusnya dapat kita tolak karena Allah telah memampukan kita untuk melakukannya. —DCM

Tuhan, ada banyak godaan untuk berbuat dosa di mana pun.
Tolong aku untuk tidak menyerah. Ajarku peka untuk melihat
jalan keluar yang Kau sediakan. Aku ingin kasihku pada-Mu menjadi
nyata dan menguatkan orang lain dalam perjalanan iman mereka.

Cara terbaik untuk menjauhi godaan adalah dengan berlari kepada Allah.

Waktu Yang Tepat

Kamis, 4 Oktober 2012

Waktu Yang Tepat

Baca: Mazmur 37:3-11

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka . . . yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. —Roma 8:28

Beberapa bulan berlalu sebelum saya menyadari bahwa apa yang semula saya anggap sebagai suatu kebetulan ternyata sudah direncanakan dengan baik oleh calon suami saya.

Dari balkon gereja, ia telah melihat saya, memperkirakan pintu keluar mana yang mungkin akan saya gunakan, berlari menuruni tangga, dan tiba di pintu keluar beberapa detik sebelum saya tiba. Ketika dengan santai ia membukakan pintu dan memulai percakapan, saya tidak menyadari bahwa undangan makan malamnya yang terkesan “mendadak” itu telah direncanakan. Sungguh waktu yang tepat.

Waktu yang tepat itu jarang terjadi—setidaknya ketika manusia yang merencanakannya. Namun Allah memiliki maksud dan rencana tertentu bagi kita, dan waktu-Nya selalu tepat.

Kita melihat waktu yang tepat tersebut dalam kehidupan para tokoh Alkitab berikut: Hamba Abraham berdoa untuk mendapatkan istri bagi Ishak. Allah menjawab doanya dengan mengantarkan seorang wanita muda kepadanya (Kej. 24). Yusuf dijual sebagai budak, difitnah, dimasukkan ke penjara. Akan tetapi akhirnya Allah memakai Yusuf untuk menyelamatkan hidup banyak orang selama masa kelaparan (Kej. 45:5-8; 50:20). Dan kita merasa takjub dengan keberanian Ester ketika Mordekhai mengingatkannya, “Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau boleh beroleh kedudukan sebagai ratu” (Est. 4:14).

Apakah Anda kecewa ketika menanti kapan Allah menggenapi rencana-Nya? “Percayalah kepada Tuhan” (Mzm. 37:3). Allah akan membuka jalan ketika waktunya tepat. —CHK

Percayalah kepada Allah, matahari akan bersinar
Meski hari ini awan gelap menggantung;
Hati-Nya telah merencanakan jalan hidup kita,
Percayalah kepada Allah, percayalah selalu. —Agnew

Waktu Allah selalu tepat—setiap saat!

Biaya Hidup Yang Tinggi

Rabu, 3 Oktober 2012

Biaya Hidup Yang Tinggi

Baca: Ulangan 30:15-20

Dengan mengasihi Tuhan, Allahmu, mendengarkan suara-Nya, . . . sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan Tuhan. —Ulangan 30:20

Ketika masih muda, saya mengira bahwa biaya hidup di rumah orangtua saya terlalu mahal. Bila melihat ke belakang, saya menertawakan betapa konyolnya keluhan saya tersebut. Orangtua saya tidak pernah meminta saya membayar satu sen pun untuk tinggal bersama mereka. Satu-satunya “biaya” adalah ketaatan. Saya hanya perlu menaati peraturan seperti menjaga kebersihan, bersikap sopan, berkata jujur, dan beribadah ke gereja. Semua peraturan itu tidak sulit, tetapi saya masih saja merasa sulit untuk menaatinya. Akan tetapi orangtua saya tidak mengusir saya ketika saya tidak taat. Mereka hanya terus mengingatkan bahwa peraturan itu diterapkan untuk melindungi saya, bukan untuk merugikan saya, dan terkadang mereka juga membuat peraturan yang lebih ketat untuk melindungi saya dari perbuatan saya sendiri.

Biaya hidup di Tanah Perjanjian itu sama, yakni ketaatan. Dalam nasihat terakhirnya untuk bangsa Israel, Musa mengingatkan bangsa itu bahwa berkat yang ingin diberikan Allah kepada mereka tergantung pada ketaatan mereka (Ul. 30:16). Sebelumnya ia telah mengatakan bahwa kehidupan yang baik akan diperoleh melalui ketaatan: “Taatilah semua hukum itu . . . segala sesuatu akan baik bagi kamu . . . .” (Ul. 12:28 FAYH).

Ada orang yang berpikir bahwa Alkitab memiliki terlalu banyak peraturan. Andai saja mereka dapat melihat bahwa perintah-perintah Allah itu diberikan demi kebaikan kita; semua itu memungkinkan kita untuk hidup dalam kedamaian. Ketaatan hanyalah “biaya” untuk menjadi bagian dari keluarga Allah yang hidup dan tinggal di tengah dunia ciptaan-Nya ini. —JAL

Bapa surgawi, kiranya kami tak menganggap ketaatan sebagai beban,
melainkan sebagai kehormatan. Tolong kami bersyukur untuk Yesus,
yang menunjukkan bagaimana seharusnya kami menjalani hidup, dan
untuk Roh Kudus, yang memampukan kami untuk taat.

Alkitab bukanlah suatu beban, melainkan suatu panduan untuk menjalani hidup yang penuh sukacita.

Mencukupkan Diri

Selasa, 2 Oktober 2012

Mencukupkan Diri

Baca: Filipi 4:10-20

Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan. —Filipi 4:11b

Memang tidak mudah merasa cukup diri. Bahkan Rasul Paulus, seorang pahlawan iman, harus belajar mencukupkan diri (Flp. 4:11). Ini bukanlah sifat alami Paulus.

Sangatlah menakjubkan bagi Paulus untuk menuliskan bahwa ia telah mencukupkan diri dalam segala keadaan. Ketika menuliskannya, ia sedang dipenjara di Roma. Setelah didakwa dengan tuduhan menghasut, berkhianat, dan sejumlah kejahatan besar lainnya, ia mengajukan banding hingga ke pengadilan tertinggi, yakni sang Kaisar sendiri. Karena tidak dibantu oleh perangkat hukum dan pejabat lainnya, Paulus harus menunggu sampai kasusnya disidangkan. Bisa saja Paulus merasa berhak untuk bersikap tidak sabar dan tidak bahagia. Sebaliknya, ia justru menulis surat kepada jemaat di Filipi dan mengatakan bahwa ia telah belajar untuk mencukupkan diri.

Bagaimana Paulus mempelajarinya? Caranya: selangkah demi selangkah sampai ia dapat merasa cukup bahkan dalam keadaan yang tak nyaman sekalipun. Ia belajar menerima apa pun yang dialaminya (ay.12) dan menerima dengan ucapan syukur apa pun bentuk pertolongan yang dapat diberikan oleh saudara-saudara seimannya (ay.14-18). Dan yang terpenting, ia menyadari bahwa Allah akan menyediakan segala kebutuhannya (ay.19).

Mencukupkan diri bukanlah sifat alami bagi kita semua. Semangat bersaing yang ada dalam diri kita mendorong kita untuk membandingkan, mengeluhkan, dan menginginkan milik sesama. Memang tidak banyak dari kita yang mengalami apa yang Paulus alami, tetapi kita semua menghadapi kesulitan, dimana melalui kesulitan itu kita dapat belajar mempercayai Allah dan mencukupkan diri. —CPH

Ya Tuhan, beriku anugerah untuk dapat
mencukupkan diri dengan yang Engkau berikan.
Terlebih dari itu, kiranya aku bersukacita
atas apa yang Engkau beri, karena itu berasal dari-Mu! —NN.

Mencukupkan diri tidak berarti memiliki segala sesuatu, tetapi bersyukur untuk segala sesuatu yang Anda miliki.

Pohon Quaking Aspen

Senin, 1 Oktober 2012

Pohon Quaking Aspen

Baca: Filipi 4:6-9

Dan Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu. —2 Tesalonika 3:16

Ketika saya mengunjungi bagian semenanjung utara Michigan, ada dua batang pohon yang menarik perhatian saya. Sekalipun daun-daun dari pepohonan lain tidak bergerak, tetapi dedaunan dari kedua pohon ini bergoyang meski hanya terkena sapuan angin yang lembut. Saya menunjukkan hal itu kepada istri saya, dan ia memberitahu saya bahwa itu adalah jenis pohon quaking aspen. Saya begitu terpesona dengan efek visual dari dedaunan yang bergerak-gerak tersebut. Ketika pohon-pohon lain tampak tenang dan diam, daun-daun pohon quaking aspen itu bergoyang, bahkan oleh tiupan angin yang paling lembut sekalipun.

Terkadang saya merasa seperti pohon quaking aspen. Orang-orang di sekitar saya tampaknya menjalani hidup tanpa masalah atau kekhawatiran, mereka terlihat stabil dan aman, sementara masalah kecil saja dapat mengusik kedamaian hati saya. Saya melihat orang lain dan takjub dengan ketenangan mereka, sementara saya bertanya-tanya mengapa hidup saya mudah sekali terguncang. Syukurlah, Kitab Suci mengingatkan saya bahwa damai sejahtera yang sejati dan tidak tergoyahkan dapat ditemukan di dalam kehadiran Allah. Paulus menulis, “Dan Ia, Tuhan damai sejahtera, kiranya mengaruniakan damai sejahtera-Nya terus-menerus, dalam segala hal, kepada kamu. Tuhan menyertai kamu sekalian” (2 Tes. 3:16). Allah tidak hanya menjadi pemberi damai sejahtera, Dia sendiri adalah Sang Raja Damai.

Ketika kita mengalami masa yang mengusik dan mencemaskan dalam hidup, alangkah bahagianya ketika tahu bahwa damai sejahtera yang sejati itu ada di dalam Allah sumber segala damai. —WEC

Ya Raja Damai, ajarku untuk menemukan di dalam-Mu
kuasa kehadiran-Mu yang menentramkan hati. Kuatkan aku
hari ini dengan damai sejahtera-Mu, dan beri aku stabilitas
yang kubutuhkan di tengah dunia yang penuh gejolak ini. Amin.

Damai sejahtera itu lebih dari sekadar tidak adanya konflik, melainkan karena nyatanya kehadiran Allah.