Posts

Cerpen: Menyenangkan Hati Orang Lain

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku dan Ica sedang asyik menikmati bakso kuah di kantin kampus ketika dua orang temanku datang menghampiri meja kami.

“Eh, Dian, makan di sini juga,” seru salah seorang dari mereka.

Aku menoleh dan tersenyum.

“Di, kamu sudah selesai print paper buat mata kuliah sore ini?” tanya temanku.

Aku mengangguk. “Iya, sudah.”

“Yah, sayang banget.”

“Memangnya kenapa?”

“Begini, Di. Kita berdua mau balik sebentar ke kos, mau ambil buku yang ketinggalan. Tapi, kita belum print paper, sepertinya tidak sempat kalau harus print dulu,” keluh temanku.

“Iya, Di. Kita pikir kamu belum print jadi bisa sekalian, mau nitip tadinya. Tetapi karena kamu sudah selesai, kita coba minta bantuan teman lain saja,” jawab teman di sebelahnya. Dan mereka pun siap-siap untuk beranjak pergi.

“Eh, nggak apa-apa. Biar aku saja yang print, aku juga gak ada kegiatan lain setelah ini.”

“Wah, serius, Di?” sahut mereka hampir bersamaan. Aku mengangguk. Mereka buru-buru meletakkan flash disk dan beberapa lembar uang di atas meja.

“Terima kasih banyak, Di. Kamu memang orang yang baik,” puji mereka sebelum beranjak ke pintu keluar kantin.

Aku memasukkan flash disk dan uang itu ke dalam tas lalu melanjutkan makan. Aku melirik Ica sekilas, tetapi dia tidak berkata apa-apa.

Ica adalah temanku sejak SMP. Kami bersekolah di tempat yang sama dan sekarang kuliah di kampus yang sama juga meski dengan jurusan yang berbeda. Awalnya aku ingin mengambil jurusan yang sama dengan Ica, karena kami memang punya minat yang sama. Tetapi tahun lalu ketika mengisi daftar pilihan jurusan, Bapak memintaku untuk memilih jurusan yang sekarang aku jalani ini. Alasan yang diberikan Bapak adalah jurusan ini memiliki prospek pekerjaan yang lebih luas di masa depan. Sebenarnya aku tidak terlalu menikmati belajar di jurusan ini, tetapi aku tidak ingin mengecewakan Bapak. Aku ingin menjadi anak yang menyenangkan hati orang tuaku.

Drrrt…drrrt…

Aku merogoh ponsel di dalam tas lalu berbicara selama beberapa menit.

“Siapa, Di?” tanya Ica.

“Teman kelompok. Dia minta tolong aku membuat materi presentasi buat besok, dia sedang ada urusan,” jawabku santai.

“Kamu mau?”

Aku mengangguk. “Aku tidak enak menolak. Dia ‘kan minta tolong. Aku juga yang bikin makalahnya, jadi seharusnya tidak begitu susah untuk membuat materi presentasinya.”

“Bukannya kamu ada jadwal pelayanan nanti malam?” Ica mengingatkanku.

“Oh, iya!” seruku menepuk jidat. Aku berpikir sejenak.

“Sepertinya aku akan lembur, nih,” kataku akhirnya.

Ica menghembuskan napas kesal. “Mau sampai kapan kamu berusaha menyenangkan hati semua orang, Di? Apalagi sepertinya hanya membebani diri kamu sendiri saja.”

Aku menanggapinya dengan meringis.

“Kita tidak akan bisa menyenangkan hati semua orang, Di, karena manusia itu tidak akan pernah merasa puas. Dan juga kamu bukan penyedia jasa untuk menyenangkan hati orang lain, kan?” lanjutnya dengan pelan dan lembut, memandangku dengan penuh perhatian.

Aku terdiam.

Aku memang selalu suka membantu orang lain. Sampai kadang-kadang dalam beberapa kasus, aku merasa lelah sendiri. Aku jadi berpikir apa motivasiku menolong orang lain. Apakah aku melakukan semua itu karena aku memang ingin melakukannya, atau karena aku ingin punya citra yang baik di mata orang-orang sekitarku, supaya aku dapat diterima oleh mereka?

Ica sudah sering mengingatkanku akan hal ini tetapi baru sekarang kupikirkan dengan serius. Mungkinkah selama ini Tuhan berusaha mengingatkanku lewat Ica, tetapi aku sengaja mengabaikan-Nya?

Aku tersadar, adalah hal baik untuk menolong orang lain dan melakukan sesuatu yang menyenangkan mereka, tetapi bila hal itu kemudian membuatku mengejar penerimaan dari mereka, apakah Tuhan senang kalau aku melakukannya?

Aku pun perlu berhikmat dan belajar memeriksa motivasiku sebelum menolong orang lain.

Kita tidak akan bisa menyenangkan hati semua orang, dan hal itu tidak salah. Bukankah hanya ada Satu Pribadi yang harus kita senangkan hati-Nya? (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Doa: Sebuah Usaha Bergantung Pada Kebaikan Hati Bapa

Semakin sering aku melihat teman-temanku berdoa, maka semakin sering aku merasa ada yang salah dengan relasiku dengan Tuhan, khususnya dalam hal berdoa.