Posts

Bukan Resolusi Kembang Api

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Perjalanan hidup kita setiap tahunnya selalu diwarnai keberhasilan dan kegagalan. Natur kita sebagai manusia tentunya ingin menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, sehingga apa yang dialami tahun sebelumnya mendorong kita untuk membuat target-target baru seiring pergantian tahun.

“Pokoknya, tahun ini aku mau lebih rajin belajar supaya bisa lulus cumlaude!”

“Pokoknya, tahun ini harus selesai skripsi biar cepat wisuda dan membanggakan papa dan mama.”

“Pokoknya, tahun ini aku tekun bersaat teduh setiap hari dan enggak mau bolong-bolong lagi!”

“Pokoknya, tahun ini harus selesai baca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu.”

Sayangnya, semangat ini seringkali lebih menyerupai kembang api, heboh dan meriah, tetapi hanya bertahan sesaat. Dalam sekejap, mati dan terlupakan begitu saja.

Mau belajar lebih rutin, tetapi lebih tertarik ke mal untuk jalan-jalan. Mau menyelesaikan skripsi, tapi selalu bilang, “kan masih bisa esok hari”. Mau rajin saat teduh setiap hari, tetapi ketika bangun tidur yang dicek pertama kali malah notifikasi di HP. Mau membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, malah tergoda menonton video di YouTube yang kelihatannya lebih menarik.

Aku pun merenungkan isi hati Tuhan dalam surat kasih-Nya, Alkitab. Inilah tiga hal yang kuperoleh sebagai hasil perenunganku ketika hendak menyusun dan melaksanakan resolusi tahun baru.

1. Relasi, Dekat dengan Sumber Berkat

Bicara tentang relasi, aku selalu teringat pada Daud. Daud adalah tokoh dalam Alkitab yang memiliki kerinduan luar biasa untuk selalu dekat dengan Tuhan. Dalam Mazmur 1 ayat 1 dan 2, Daud berkata:

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN dan merenungkan Taurat itu siang dan malam.”

Aku sungguh bersyukur ketika membaca bagian firman Tuhan ini. Aku diingatkan bahwa seringkali kita meminta Tuhan memberkati rencana-rencana yang telah kita buat, tetapi lupa untuk melibatkan Tuhan dalam menyusun rencana tersebut. Kita lebih suka pada berkat-Nya daripada hubungan dengan-Nya. Padahal, orang yang mencintai firman Tuhan dan merenungkannya siang dan malam disebut “berbahagia” oleh pemazmur. Dengan berelasi dengan Tuhan, kita sudah diberkati dengan kebahagiaan.

Seperti Daud, aku terinspirasi untuk dapat berelasi dengan Tuhan karena rindu untuk selalu dekat dengan-Nya. Aku belajar untuk memperbaiki fokusku—bukan kepada berkat, melainkan kepada Sang Sumber Berkat itu sendiri.

Aku rindu untuk mengajak teman-teman agar kita senantiasa membangun relasi dengan Tuhan dalam doa dan pembacaan firman. Marilah kita berdoa dan meminta hikmat Roh Kudus dalam menyusun perencanaan kita di tahun yang baru ini, agar apa yang kita rencanakan sesuai dengan apa yang Ia kehendaki bagi kita. Ia yang akan membimbing dan memampukan kita dalam melaksanakannya!

2. Kesetiaan, Proses Hari demi Hari

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Kita cenderung mengukur kemajuan dan kesuksesan dari hal-hal yang besar, padahal firman Tuhan justru mengingatkan kita untuk belajar setia dari hal-hal yang kecil.

Aku pernah membuat resolusi tahun baru untuk mengurangi penggunaan kertas yang berlebihan di kantor tempatku bekerja. Sebelumnya, aku selalu mencetak hasil desain untuk memeriksanya. Untuk mewujudkan resolusiku tersebut, aku membiasakan diri untuk memeriksa semuanya di laptop sebelum dicetak. Apa yang kulakukan nampaknya sederhana, tetapi ternyata tidak semudah itu untuk dilakukan. Aku belajar untuk setia pada kebiasaan kecil ini. Aku percaya perubahan besar harus dimulai dari diri sendiri!

Dalam menjalani resolusiku ini, aku teringat pada perumpamaan talenta dalam Matius 25 ayat 14 sampai 30, yang memberi pesan serupa dengan Lukas 16 ayat 10. Hasil yang kita peroleh akan semakin berarti apabila kita menghargai setiap proses yang dilalui. Ketika kemajuan yang diperoleh tidak seberapa, jangan turuti keinginan si jahat yang membuat hati kita tergoda untuk berhenti setia. Ingat, Tuhan kita yang setia akan “menguatkan hatimu dan memelihara kamu terhadap yang jahat” (2 Tesalonika 3:3).

3. Yesus, Harapan yang Sejati

Apa yang sebenarnya menjadi harapan kita yang terutama? Kalau diri Allah yang menjadi sasaran akhir dari harapan kita, maka kita berada di jalur yang benar. Namun, kita perlu mengoreksi kembali tujuan kita ketika apa yang kita harapkan justru adalah apa yang diciptakan Allah.

Perenungan selanjutnya adalah, apakah harapan-harapan itu menyenangkan hati Allah, atau jangan-jangan hanya nafsu pribadi semata? Aku pernah membuat resolusi untuk menabung di tahun ini, agar tahun depan bisa membeli barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Menyadari bahwa aku hanya ingin memuaskan diri tanpa tujuan yang jelas, aku akhirnya menggunakan uang tabunganku untuk membeli buku rohani untukku dan adik-adik rohaniku.

“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:2).

Aku berdoa agar kita semua senantiasa menjadikan Yesus sebagai tujuan utama dari segala hal yang ingin kita capai. Bukan lagi kehendak kita sendiri, tetapi kehendak Yesus yang kita lakukan dalam kehidupan kita.

Biarlah semangat kita untuk menjalani komitmen yang kita buat bersama Tuhan terus membara seperti api Roh Kudus, bukan lagi seperti kembang api. Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi anak-anak yang setia dan hidup berkenan kepada Tuhan dalam relasi yang indah bersama-Nya.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Allah Bekerja dalam Kehilangan Kita

Tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan. Bahkan, banyak yang berpikir bahwa kehilangan akan menghasilkan rasa sakit dan tidak perlulah menjadi bagian hidup manusia. Namun, tidak bisa kita pungkiri, semua orang pasti akan merasakan kehilangan.

Kasih-Nya Merobohkan dan Membangun

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Aku memiliki seorang teman yang waktu SMA sering menyendiri. Pernah sekali waktu aku bersama teman-teman lainnya melihat dia menangis sendirian, kami pun menghiburnya supaya dia tidak sedih lagi. Setelah sekian lama tidak berjumpa dan berkomunikasi, tak disangka dia menemukan media sosialku dan mengirimiku pesan. Akhirnya pada suatu kesempatan kami pun berbicara lewat telepon.

Sekian lama mengobrol, dia pun mulai bercerita tentang kondisi kehidupan pribadi dan keluarganya. Dia sangat sulit untuk mengampuni, bahkan sering mendendam. Sanak saudaranya sering bertengkar dan dia tidak tahan dengan semuanya itu. Kudengarkan semua cerita kehidupannya dan tentang dirinya sendiri yang belum yakin akan imannya, terutama perihal keselamatan.

Aku tahu temanku membutuhkan Kristus, dalam hati aku berdoa memohon supaya Tuhan memimpinku untuk mewartakan Kabar Baik kepadanya. Aku mulai bercerita bahwa hal yang dia alami pernah juga menjadi bagian dalam hidupku. Keberdosaan membuat kita melihat segala hal dengan pola pikir kita sendiri dan kita sulit untuk menemukan hal baik dari segala yang terjadi.

Kuceritakan padanya tentang Tuhan Yesus yang meninggalkan takhta-Nya di surga. Dia yang mencipta segala yang ada, telah datang ke dalam dunia. Dia dilahirkan di kandang domba, difitnah, disiksa, dan mati di kayu salib. Dia ditolak karena keberdosaan kita yang lebih menyukai kegelapan daripada terang. Namun, di dalam keadaan sebagai seteru, Dia mengampuni kita. Kita yang sepantasnya dihukum karena dosa, namun karena kasih-Nya, Tuhan Yesus memberikan anugerah yang tidak terbayarkan itu secara cuma-cuma kepada kita.

Temanku mulai bertanya mengapa Yesus mau melakukan-Nya. Aku mengatakan karena begitu besar kasih-Nya kepada kita, Dia ingin kita kembali bersekutu dengan-Nya di dalam kekudusan. Siapa yang mau datang kepada-Nya diberi-Nya kuasa untuk menjadi anak-anak Allah. Aku menjelaskan pada temanku itu ada dua hal yang akan terjadi ketika kita mengalami kasih Tuhan.

Kasih-Nya merobohkan

Ya, kasih-Nya telah merobohkan segala benteng yang memisahkan kita dari-Nya, segala kuasa dosa yang membelenggu yang membuat kita sangat sulit mengampuni seseorang dan pola pikir kita yang berpusat kepada diri sendiri.

“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24).

Kasih-Nya membangun

Selanjutnya, Dia membuat jalan bahkan menjadi jalan yang baru dan yang memberikan kehidupan, bukan untuk sementara, tetapi selamanya.

“Karena Ia telah membuka jalan yang baru dan yang hidup bagi kita melalui tabir, yaitu diri-Nya sendiri” (Ibrani 10:20).

Sebelumnya kita berdosa dan menjadi musuh Allah. Tetapi, ketika Tuhan menerima kita kembali, kita bukan lagi musuh, tetapi anak-anak-Nya. Perdamaian kita melalui Yesus Kristus membuat kita memiliki hidup yang melimpah di dalam anugerah, sehingga kita dapat berdamai dengan diri sendiri dan melihat setiap orang dengan kasih. Kita dimampukan mengampuni orang ang bersalah kepada kita, bahkan mengasihi mereka dan mengambil kebaikan dari segala sesuatu yang terjadi di dalam hidup kita, terus diproses setiap hari semakin serupa dengan-Nya. Di akhir telepon, aku mengajak dia untuk menyerahkan diri kepada Yesus Kristus, agar dia dipulihkan-Nya dan mengalami anugerah kasih-Nya.

* * *

Di kemudian hari, aku mendapat kabar dari temanku bahwa dia mulai rutin membaca Alkitab. Walaupun masih agak sulit untuk membaca di rumah, dia tetap berjuang dan memintaku untuk berbagi firman Tuhan lewat ponsel. Aku memberinya satu lagu karya John Newton, Amazing Grace. Lagu ini menjadi pujian dan ucapan syukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya yang menyelamatkan siapa pun yang mau datang dan berserah kepada-Nya. Aku sangat bersyukur Tuhan menyentuh hati temanku untuk dia kembali pada-Nya. Kukatakan pada temanku untuk membagikan kembali apa yang sudah di dapatkan dan terus belajar menerapkan firman Tuhan dalam hidupnya, dimulai dari hal-hal yang paling sederhana.

Barangkali pengalaman yang sama pernah teman-teman alami, sulit mengampuni seseorang yang telah menyakiti kita. Ingatlah kembali bahwa Kristus telah mati bagi kita dan kita telah diubahkan menjadi manusia baru. Hanya kasih-Nya yang mampu merobohkan sekaligus membangun. Merobohkan manusia lama kita yang masih terbelenggu di dalam keberdosaan sehinga kita kembali dibangun di dalam kebenaran dan kasih Kristus.

Janganlah kasih itu hanya tinggal pada kita, beritakanlah perbuatan-Nya yan ajaib kepada setiap orang.

Soli Deo Gloria!

Amazing grace! How sweet the sound,
That saved a wretch like me
I once was lost, but now am found
Was blind but now I see.

Baca Juga:

Belajar Penginjilan dari Paulus (Pengajaran dari Kisah Para Rasul 17:16-34)

Bagaimana Paulus memberitakan Injil kepada orang-orang di Athena? Apa yang kita bisa adopsi dan adaptasi ke dalam keadaan kita sekarang?

Yang Terlupakan dari Pelayanan: Kasih Yang Semula

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Kaum muda dengan semangatnya yang berapi-api dan energinya yang meluap-luap selalu berhasil mengisi dan menghidupi wadah pelayanan dan persekutuan di lingkungan sekolah, kampus, dan gereja. Sungguh luar biasa melihat kaum muda yang memberi diri untuk melayani sebagai pengurus dalam berbagai acara dan kegiatan-kegiatan rohani.

Aku yakin hampir semua sobat muda pernah atau bahkan sedang menjadi bagian di dalam suatu kegiatan pelayanan. Namun, pernahkah kita coba menilik diri kita masing-masing, apakah kita memiliki motivasi yang benar dalam melayani? Adakah motivasi-motivasi lain yang seringkali jauh dari dasar pelayanan yang sesungguhnya? Jangan-jangan, selama ini pelayanan kita hanyalah sebuah rutinitas semata!

Tuhan Yesus Kristus melalui pewahyuan yang diberikan kepada Yohanes di dalam Wahyu 2:1-7 mengingatkan kita akan motivasi sesungguhnya dalam melayani Tuhan. Sebelumnya, Paulus telah mengabarkan Injil dan melayani di Efesus selama tiga tahun (Kisah Para Rasul 20:31). Ketika Paulus hendak meninggalkan kota Efesus, ia memperingatkan jemaat untuk berjaga-jaga dari pengajaran sesat yang akan masuk dan memengaruhi jemaat Efesus (Kisah Para Rasul 20:29-30).

Tuhan Yesus mengetahui segala pekerjaan pelayanan yang dilakukan oleh jemaat Efesus: jerih payah menjaga jemaat dari orang-orang jahat, ketekunan mereka di tengah-tengah kesulitan, bahkan melawan setiap orang yang hendak menarik jemaat keluar dari kebenaran firman. Mereka bahkan telah mencobai dan memeriksa dengan teliti apa yang diajarkan oleh rasul-rasul palsu dan mendapati mereka sebagai pendusta. Jemaat Efesus telah memberi teladan sikap rela menderita.

Secara kasat mata, tentu kita bisa mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus adalah hal yang sangat baik. Namun, Tuhan Yesus mampu melihat sampai ke dasar hati manusia. Tuhan Yesus berkata, “Aku tahu segala pekerjaanmu; baik jerih payahmu maupun ketekunanmu” (Wahyu 2:2). Pujian Tuhan Yesus kepada jemaat Efesus mirip dengan apa yang dituliskan oleh Paulus dalam ucapan syukurnya kepada jemaat di Tesalonika, “Sebab kami selalu mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita” (1 Tesalonika 1:3).

Ada bagian penting yang dimiliki oleh jemaat Tesalonika, tetapi hilang dari jemaat Efesus. Jemaat di Tesalonika mempunyai, “pekerjaan iman, usaha kasih, dan ketekunan pengharapan”, sedangkan jemaat Efesus hanya mempunyai “pekerjaan, jerih payah, dan ketekunan”. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mencela mereka, sebab mereka telah meninggalkan kasih yang semula. Mereka melakukan pekerjaan, jerih lelah, dan ketekunan tanpa iman, kasih, dan pengharapan.

Iman adalah inti dari kekristenan. Kita diselamatkan oleh iman yang bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah (Efesus 2:8). Kebenaran ini memampukan kita untuk mengakui di dalam hati dan seluruh hidup kita bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Juruselamat kita.

Pengharapan bahwa kita akan menerima kemuliaan Allah (Roma 5:2)—itulah yang menjadi dasar mengapa kita harus tetap bertahan di dalam penderitaan sewaktu mengikut Tuhan di dunia ini dan senantiasa bersukacita dalam kesesakan. Kita percaya bahwa kita memiliki sebuah pengharapan yang kekal, pengharapan yang membawa kita kepada sukacita yang lebih besar daripada menaklukkan roh-roh jahat, yaitu sukacita karena nama kita terdaftar di sorga (Lukas 10:20). Sebuah pengharapan yang begitu indah bagi kita untuk dapat hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus di dalam kekekalan.

Semuanya itu dapat kita alami semata-mata karena kasih karunia Tuhan. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa karena melanggar perintah Tuhan, manusia takut dan bersembunyi dari Tuhan. Namun, Allah mencari manusia dan berkata padanya, “Di manakah engkau?”. Sejak mulanya Allah yang berinisiatif untuk mencari dan menyelamatkan kita dengan menebus kita dari hidup yang penuh keberdosaan. Paulus dalam 1 Korintus 13:13 menyebutkan bahwa iman, pengharapan, dan kasih harus tetap tinggal, dan yang paling besar di antaranya adalah kasih. Allah adalah kasih itu sendiri, dan kasih akan selalu ada sedari awal sampai selamanya.

Apa yang dilakukan oleh jemaat Efesus dapat pula terjadi pada diri kita: mengerjakan pelayanan tanpa sungguh-sungguh menjadikan Tuhan sebagai pusat dari pelayanan kita. Pelayanan sekadar dijalankan sebagai sebuah pekerjaan, bukan dimaknai sebagai ungkapan kasih kita pada Allah dan upaya untuk menjadi berkat bagi sesama.

Jikalau saat ini kita diperkenankan untuk mengambil bagian dalam pelayanan, marilah kita mengarahkan hati kita kepada-Nya dan tidak meninggalkan kasih yang semula Tuhan anugerahkan kepada kita. Bukan tentang seberapa besar pelayanan yang kita terima dan jalankan, tetapi seberapa besar hati yang kita berikan pada Tuhan di dalam setiap pelayanan kita.

Soli deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Hidup Tidak Berjalan Sesuai Harapan Kita

“Mengapa, Tuhan?” Pertanyaan itu sering muncul ketika kenyataan hidup tidak berjalan sesuai harapan. Dalam artikel ini, aku ingin mengajakmu menggali jawaban dari firman Tuhan terkait pertanyaan “mengapa” tersebut.