Posts

Tak Hanya Tentang Rasa, Cinta Membutuhkan Kesiapan

Sebuah cerpen oleh Jenni, Bandung

Setelah menjemput keponakannya, Chelin, pulang sekolah, Sasa mengajaknya ke sebuah kafe. Rencananya, siang itu Sasa akan mengajak main Chelin dan mamanya. Sembari menunggu mama Chelin yang datang menyusul, Sasa memperhatikan wajah keponakannya itu yang tampak begitu kusut. Sedari tadi dahinya ditekuk dan matanya tak lepas dari layar ponsel. Bahkan jus alpukat kesukaannya tidak bisa membuatnya tersenyum.

“Kenapa, tuh, kok cemberut gitu?” Sasa bertanya lembut tapi Chelin bergeming. “Chelin?” tanyanya lagi.

Pertanyaan itu akhirnya dijawab dengan helaan nafas. Chelin meletakan ponselnya dan hampir mau bercerita, tapi dia mengurungkan niatnya.

“Tante ga akan ngerti, deh,” gerutu Chelin bermuram durja.

“Looh, cerita dulu,… baru setelah itu Tante bisa tahu kira-kira bakalan ngerti ga,nih.”

“Ah, tapi nanti Tante pasti cerita sama mama,” celetuk Chelin, yang lalu menutup mulutnya, menyesal keceplosan mengutarakan pikirannya.

“Mana rahasia antara kita yang pernah bocor ke mama? Gak ada, loh…”

“Ga jadi, ah!”

Sebersit kerunyaman masih tersisa di wajah Chelin yang duduk di kelas VII SMP, namun menurut bibinya masih unyu-unyu.

“Kalau tentang apanya Tante boleh tahu?” Sasa kembali bertanya dengan lembut.

Chelin menyeruput jusnya sambil mengayun-ayunkan kakinya dengan gugup. “Yaa tentang … biasalah anak muda,” ujarnya dengan pembawaan dewasa.

“Percintaan?” Celetukan Sasa membuat Chelin menelan cepat. Insting detektif Sasa bangkit. Ternyata tebakannya tepat. Demi mengembalikan rona ceria di wajah keponakan unyu-unyunya, Sasa pun melancarkan strategi.

“Tante punya cerita percintaan. Kita tukeran cerita, gimana?”

Chelin segera saja terpikat. Tawaran itu merubuhkan pertahanan yang membentengi rahasianya.

“Janji dulu jangan bilang mama papa.” Chelin mengangkat jari manisnya, untuk cantelan, simbol perjanjian yang selalu mereka lakukan. Sasa segera menyambutnya, mengaitkan jari kelingking dan menempelkan jempol mereka, “Janji!”

“Oke, jadi,… ” Chelin mengembuskan nafas, “Chelin tuh lagi suka banget sama temen sekolah Chelin. Kami saling suka, tapi orang tua kami ga mengijinkan pacaran, soalnya masih sekolah.”

Raut sedih menghiasi wajah Chelin. Dia kembali melanjutkan, “Jadi, kami lagi mikir buat backstreet aja. Tapi Chelin ragu karena kalau backstreet bakalan ribet dan banyak bohongnya. Andai diberi ijin, kami ga perlu seribet ini. Kami sudah besar, bisa jaga diri, kok!”

Sasa diam untuk beberapa saat. Ia mencondongkan tubuhnya dan menatap keponakannya dengan lembut. “Tante bukan belain orang tua kamu, ya. Tapi kalau berkaca dari pengalaman Tante, di usia Chelin lebih baik jangan dulu pacaran, apalagi backstreet.”

Langsung saja wajah Chelin menjadi kusut lagi. Sasa segera angkat suara sebelum keponakannya itu terlanjur kecewa.

“Pas banget, nih, Tante mau cerita ini ke Chelin. Dulu waktu Tante kelas satu SMA, tuh, tante pernah punya pacar. Awalnya sebatas teman duduk sebelahan dan gak langsung cocok. Tapi lama-lama, kok, kayak nyambung,ya sama dia. Kaya klik banget! Terus lama-lama, kok, jadi happy ya kalau bareng dia? Yang tadinya mau ga masuk karena sakit, karena inget dia, sakitnya hilang. Jadi rajin masuk sekolah, loh. Terus, yang tadinya malas sama pelajaran kelompok, karena sekelompok sama dia, Tante jadi semangat! Waah, pokoknya sejak dekat dengan dia tuh, jadi semangat sekolahnya, dan kayaknya dia juga sih, soalnya jarang absen. Hebat banget, kan kekuatan cinta kita!” tutur Sasa penuh semangat.

Chelin menyimak dengan antusias. “Terus gimana? Oma Opa beri izin pacaran?”

“Saat itu dunia berasa punya berdua. Kami merasa sudah cukup dewasa dan bisa menentukan jalan sendiri. Kami abaikan nasihat, apalagi izin orang tua. Langsung saja kami jadian! Wah berbunga-bunga rasanya. Ke mana-mana bareng. Indah banget deh, pokoknya. Tapi, ternyata pacaran itu sebuah komitmen, bukan hasil dari sekadar saling suka. Perlu pribadi yang dewasa untuk dapat sanggup menjalani komitmen. Dan, bagi Tante yang waktu itu belum dewasa, hal itu terlalu berat. Kami berdua belum siap.”

Sasa berhenti sebentar. Ditatapnya Chelin yang ternyata menyimak dengan serius.

“Hubungan kami berjalan agak sulit. Banyak berantem karena masalah sepele. Saling Nuntut. Ga mau ngalah, apalagi ngertiin kelemahannya. Ego kami terlalu besar. Waktu itu kami belum mengerti apa itu cinta dan komitmen. Kami ga paham apa itu relasi, dan bagaimana membangunnya. Lalu, karena ketidakpahaman itu, kami saling melukai. “

Chelin diam menyimak, tanpa disadari jus alpukatnya sudah habis. “Apa pacar Tante yang itu jadi suami Tante?”

“Hahaha,” polosnya Chelin menggelitik hati Sasa. “Maksud Tante cerita ini bukan tentang apakah pacarannya bisa sampai ke jenjang pernikahan atau engga. Karena, ada yang berakhir, tapi ada juga yang langgeng sampai menikah. Walaupun, menurut Tante perjalanannya mungkin sulit karena menjalaninya sambil berproses mengenal diri sendiri. Pendapat Tante, sih, dulu Tante terlalu cepat memutuskan untuk pacaran.”

“Berdasarkan pengalaman Tante,… masa muda sebaiknya diisi untuk mengenal diri sendiri. Perdalam ilmu, gali minat dan bakat, belajar bergaul yang benar, memahami bagaimana mengelola emosi. Hal-hal itu, selain baik untuk diri sendiri, juga baik untuk membina hubungan. Nah, barulah bisa coba menjalin hubungan,” sambung Sasa.

“Tapi kalau sudah terlanjur suka gimana, dong?” celetuk Chelin.

“Chelin, mungkin ada yang bilang cinta itu buta. Tapi, sebenernya jatuh cinta itu adalah pilihan. Kita bisa, kok mengendalikan perasaan kita. Gimana caranya? Dengan ga mudah jatuh cinta. Kendalikan dan kenali perasaan kita. Bisa jadi, yang kita anggap cinta ternyata hanya sekadar suka. Itulah mengapa kita pun jangan mengambil hati orang kalau belum kenal betul dengan perasaan kita.” Sasa mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Alkitab.

“Tante jadi inget Firman Tuhan, nih, di kitab Kidung Agung 2:7,… jangan membangkitkan dan menggerakan cinta sebelum diingininya. Maksudnya, kalau belum saatnya, jangan cepat-cepat jatuh cinta.”

“Tapi Chelin cinta banget sama dia… Asal cinta kami kuat, Chelin yakin bisa lewati banyak kesulitan,” ujar Chelin dengan yakin.

“Chelin, kekuatan cinta itu memang kuat, tapi kita juga harus sanggup menjalaninya. Inget di sekolah Minggu ada kisah Yakub, dia rela bekerja 14 tahun demi bisa menikahi Rahel. Tujuh tahun kedua baginya hanya beberapa hari saja. Cinta memberinya kekuatan untuk melalui semua itu. Begitulah cinta, memberi kekuatan untuk berkorban. Tapi gimana kalau pribadi kita belum sanggup? Bisa-bisa setelah berkorban malah menuntut balas budi, atau sebagai penerimanya kita tidak bisa memberikan respon yang benar karena belum paham makna pengorbanan itu.”

Chelin mengangguk-angguk. Ia bertopang dagu pada kedua tangannya. “lya juga, ya,” ujarnya.

“Cinta memang kuat dan bisa menghasilkan sesuatu yang hebat, seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan untuk kita,” Sasa memandang keponakannya dengan hangat. “Tuhan Yesus rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus jiwa dari dosa. Dan ga hanya itu, setelah bangkit Tuhan Yesus juga memberikan Roh Kudus untuk menyertai dan memimpin setiap orang. Itulah buah dari cinta-Nya, keselamatan.”

Chelin terdiam sebentar, tangannya memegang erat gelas jus alpukat yang sudah kosong.

“Jadi pacaran itu tentang komitmen antara dua orang, ya? Dan supaya membuahkan hasil yang baik, komitmen itu memerlukan kedewasaan, pengorbanan dan ketulusan. Kalau sejauh itu, Chelin jadi ga tahu kira-kira kami siap atau engga, ya menjalani hubungan,” ujar Chelin agak merenung.

“Kalau kami berteman dulu dan masing-masing meningkatkan diri sendiri dulu, mungkin ga ya nanti kita tetap pacaran?”

“Tante pun enggak tahu. Seiring berkembangnya pribadi kalian, bagaimana perasaan kalian nanti di masa depan, kita nggak tahu”

“Kira-kira kalau nanti berjodoh akan seperti apa ya hasil relasi kami nanti?” Chelin makin penasaran.

“Wah, kalau itu hanya Tuhan yang tahu,” sahut Sasa sambil tertawa lebar. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ternyata mama Chelin menelepon. Sasa segera mengangkatnya dan bercakap-cakap sebentar.

“Chelin, mama sudah sampai di dekat kafe. Yuk, kita berangkat!” ajak Sasa sambil membereskan bawaan dan memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah siap, Chelin meraih tangan bibinya. Keponakannya itu menatapnya dengan mata berbinar, “Soal yang tadi, Chelin akan coba pikirin… Nanti kelanjutannya, Chelin cerita lagi ke Tante, ya!” ucapnya dengan pelan. Sasa tersenyum dan mengelus kepala keponakannya. “Oke, Chelin!”

Apa yang Harus Aku Lakukan Ketika Menyukai Seseorang?

Sebuah cerpen oleh Noni Elina

Suara pintu kamar terbuka, Obed dengan seragam SMP-nya memasuki ruangan dengan lunglai. Dia menatap sayu sesosok manusia yang sedang asik main game online di atas kasur miliknya, dia adalah kakak laki-lakinya. Setelah menaruh tas sekolah di atas meja belajar, Obed duduk di atas karpet dan bersandar pada dipan.

“Hmmmh.”

“Kenapa, Bed? Laper?” Tanya Timo pada adiknya. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan dan suara permainan dari handphone yang terdengar. Timo menatap Obed, kemudian menutup aplikasi permainan online di handphonenya. Ia memegang pundak Obed dan bertanya, “Kamu marah kakak main di sini? Pinjam kasur sebentar soalnya AC di kamar kakak rusak.”

“Main aja kak, kan biasanya juga gitu,” sahut Obed dengan enggan.

“Terus kamu kenapa kok murung?” Belum juga adiknya menjawab, Timo bertanya lagi, “Kamu di-bully di sekolah? Siapa yang berani ngelakuin itu? Kamu nggak kenapa-napa?” Tatapan mata Timo khawatir. Obed hanya menggeleng kepala.

“Cerita dong, Bed. Sekarang banyak kasus tentang bullying dikalangan siswa. Kalau itu terjadi sama kamu, jangan disimpan sendiri. Harus cerita sama orang dewasa ya.” Timo menyenggol bahu Obed, memberi isyarat supaya adiknya berbicara.

Timothy adalah seorang mahasiswa semester akhir berusia 22 tahun, sedangkan Obed siswa SMP berusia 15 tahun. Meski rentang usia mereka cukup jauh, 7 tahun, kedua saudara ini memiliki hubungan yang sangat dekat. Obed menatap kakaknya, lalu kembali menunduk.

“Aku suka sama seseorang, sejak kelas 7,” kata Obed kemudian. Timo berusaha mencerna kalimat tersebut, “Sekarang kamu kelas berapa?”

“Kelas 9, masa kakak lupa adiknya kelas berapa?” Tanya Obed sedikit kesal.

“Oh iya, iya… Sekarang kamu sudah kelas 9 ya. Ya memang sudah waktunya suka sama lawan jenis,” sahut Timo kemudian.

“Jangan bilang sama Papa Mama.” Obed mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Timo dengan tatapan mengancam. “Iya, iya… Tenang, kakakmu ini bisa dipercaya.” Disambut dengan senyum di bibir Obed.

Timo melingkarkan tangannya di pundak Obed sambil menggodanya, “Terus gimana, kamu mau nyatain cinta?”

“Kan, Papa Mama bilang anak SMP belum boleh pacaran.” Obed menatap Timo dengan penuh tanya, “Kakak waktu SMP pacaran?” Timo menggeleng-geleng kepalanya untuk menjawab pertanyaan itu.

“Kalau sekarang kakak punya pacar?” Tanya Obed lagi. Mereka saling menatap, satu menit berlalu terasa begitu lama. Timo menggelengkan kepala lagi. “Bah…” diikuti dengan tawa kecil Obed.

“Tapi kakak pernah pacaran, kan?” Tanya Obed lagi, masih dengan senyum di bibirnya. Timo bergeming, dia hanya mendesah panjang dan berdiri dari duduknya.

“Jadi selama 22 tahun ini Kak Timo belum pernah punya pacar?” Obed tidak bisa bisa menahan tawanya lagi. Timo tampak kesal karena apa yang dikatakan adiknya benar, dia memang belum pernah berpacaran.

“Tapi kakak hampir berpacaran!” Kata Timo menatap adiknya dengan jengkel.

“Oh ya?” Tanya Obed dengan memasang wajah konyol ciri khasnya sehingga membuat Timo ingin menggelitiknya. Terjadilah ‘pertikaian’ sengit yang singkat siang itu.

“Jadi kakak punya beberapa tips buat kamu, ya. Kakak ingin kamu bisa lebih baik dari kakak.” Sembari membetulkan bajunya setelah ‘bertikai’ dengan Obed, Timo memasang wajah serius.

“Maksudnya, kakak mau ngasih tips supaya aku bisa pacaran sekarang?”

“Bukan gitu juga!” Jawab Timo cepat, dia menatap ke luar jendela kamar. Suara bising jalanan sayup-sayup terdengar.

“Nggak ada yang salah dengan menyukai seseorang. Kenapa kamu harus pasang wajah murung begitu?” Timo menatap Obed, yang sedang menunduk. Lalu remaja itu menceritakan kisahnya…

***

Di sekolah…

Sedang ada pertandingan basket antar kelas di sekolah Obed, dia duduk di tribun penonton bersama teman laki-lakinya yang lain. Lalu, dari jauh Obed melihat Rachel bersama satu teman perempuannya datang mendekat. Mereka berdua sempat beradu pandang selama sedetik, Obed langsung mengalihkan pandangannya ke pertandingan yang sedang berlangsung. Lalu Rachel duduk tepat di sampingnya. Rachel duduk di sampingnya! Obed dapat mengetahui hal itu dari gelak tawa Rachel yang khas. Posisi duduk Obed mulai gelisah, lalu akhirnya dia bangkit berdiri dan melangkah ke arah yang berlawanan dengan Rachel. Setelah 5 langkah, lalu dia kembali duduk dan menikmati pertandingan. Rachel yang menyadari hal itu, menatap ke arah Obed dari kejauhan.

Sepulang sekolah di depan kelas, Ezer dan Obed sedang mendiskusikan siapa yang perlu bergabung di kelompok kesenian mereka. “Menurutku, Rachel sama Lulu cocok banget buat gabung dengan kelompok kita. Gimana?” Ketika mendengar hal itu, Obed terdiam. Dia tampak sensitif ketika nama Rachel disebut, “Kalau Lulu sih oke, tapi kalau Rachel menurutku…”

“Hei, Rachel!” Teriak Ezer sambil melambaikan tangan. Obed belum menyelesaikan kalimatnya, namun Ezer telah memanggil Rachel yang kebetulan sedang lewat di depannya.

“Kamu mau gabung sama kelompok kesenian kami nggak?” Tanya Ezer. Obed mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Hai Ezer, hai Obed…” Rachel nampak kebingungan menatap Ezer dan Obed satu persatu. Tapi Obed tidak menatapnya. “Boleh… aku mau.” Sahut Rachel kemudian sembari tersenyum.

“Sorry aku nggak bisa gabung dengan kelompok ini.” Lalu Obed beranjak pergi meninggalkan kedua orang temannya yang kebingungan. Rachel menatap kepergian Obed dengan raut wajah sedih.

***

“Kamu pergi gitu aja?” Tanya Timo tidak percaya. Obed mengangguk pelan. Timo mendesah panjang lalu melipat kedua tangannya di dada.
“Kalau kamu suka sama dia, kenapa kamu bersikap seolah-olah dia tidak menarik?” Tanyanya lagi.

“Karena aku terlalu gugup.” Suara Obed terdengar lirih. Tatapan matanya begitu sayu, tidak seperti biasanya. Obed merupakan anak laki-laki yang cukup pintar karena masuk ke peringkat 5 besar di kelas, namun kali ini Timo melihat adiknya tersebut seakan-akan tidak mampu menjawab soal yang begitu sulit.

“Dengar ya dik, menyukai seseorang di usiamu, itu normal.”

“Aku tahu, tapi aku takut tidak bisa mengendalikan diri ketika ada di sekitarnya.”

“Seperti apa misalnya?”

“Ingin menjadikan dia pacar. Kakak tahu kan, di masa sekarang anak SD aja sudah ada yang pacaran. Kadang, aku ingin sama seperti teman-temanku yang lain. Tapi Papa Mama selalu mengingatkan kita waktu persekutuan doa keluarga, batasan relasi sama lawan jenis, kan.” Papa Mama mereka selalu memiliki kebiasaan untuk melakukan persekutuan doa sebelum tidur. Papa merupakan ketua majelis di Gereja, sedangkan Mama guru sekolah Minggu.

“Kakak setuju kalau anak di usiamu belum waktunya pacaran, tapi apa salahnya dengan berteman? Dengar ceritamu tadi, malah terlihat seperti kamu membenci Rachel.”

“Aku nggak benci Rachel.”

“Tapi sikapmu mengatakan itu.”

“Aku sedang lari dari pencobaan seperti Yusuf!” Kata Obed sambil mengerutkan keningnya dan menatap Timo dengan putus asa.

“Tapi Rachel tidak sedang menggodamu seperti istri Potifar, kan?” Mendengar jawaban kakaknya Obed termenung.

“Itu soal pengendalian diri dan sudut pandangmu yang perlu diubah.” Setelah melihat tidak ada perlawanan dari ekspresi Obed, Timo melanjutkan, “Jadi, kita perlu lihat perempuan, apalagi yang seiman dengan kita sebagai seorang saudara. Kamu nggak mungkin berbuat macam-macan sama Naomi, kan?” Timo menyebutkan nama sepupu mereka yang usianya sama dengan Obed.

“Macam-macam gimana?”

“Yah, you know… Seperti ciuman dan perbuatan lainnya yang biasa dilakukan suami istri.” Jelas Timo. Obed nampak membayangkan maksud perkataan Timo barusan lalu raut wajahnya berubah kaget.

“Ya nggak mungkin! Aku sama Naomi??” Membayangkannya saja membuat Obed ngeri, karena Naomi adalah saudara sepupunya, anak dari adik Papanya. Timo mengangguk, lalu melanjutkan penjelasannya.

“Ya, kan? Semua perempuan yang seiman dengan kita adalah saudara. Seperti kamu nggak mungkin melakukan hal ‘macam-macam’ dengan Naomi, seperti itu juga seharusnya sama Rachel. Selayaknya seorang saudara, kita bisa bersikap ramah, saling menolong, menghibur, hal semacam itu. Itu tidak dilarang di Alkitab, jadi meskipun kamu suka sama Rachel dan memandang dia spesial, it’s okay. Jadilah saudara seiman yang baik buat dia. Suatu saat kalau kamu sudah cukup dewasa dan siap ke hubungan yang serius, baru deh bisa pacaran. Cuma ya itu tadi, sewaktu pacaran pun, dia masih saudara. Setelah menikah, baru deh boleh ‘macam-macam’.”

Obed termangu mendengar penjelasan kakaknya itu. Dia kemudian bertanya, “Kakak belajar dari mana kalimat itu?”

Timo menghela nafasnya panjang, “Kakak berharap ada yang bilang semuanya itu waktu kakak umur 15 tahun.”

“Jadi, dulu kakak seperti aku? Makanya nggak pernah pacaran sampai umur segini?” Pertanyaan Obed membuat Timo tertawa.

“Setiap orang prosesnya beda-beda. Jadi, jangan malah cuek sama perempuan. Belajar jadi saudara yang baik. Kita juga perlu doa minta hikmat dan pengendalian diri sama Tuhan. Bersikap cuek dan menjauhkan diri itu bukan pengendalian diri, jatuhnya kamu jadi seperti nggak ramah. Oke?” Timo menepuk pundak Obed lalu berdiri. “Yuk kita makan siang bareng, kamu ganti baju sana.” Ajak Timo kemudian dan melangkah ke luar kamar. Sebelum Timo membuka pintu, Obed menyela “Kak ada satu pertanyaan lagi.” Timo menoleh ke belakang sedang tangannya memegang gagang pintu kamar.

“Kalau aku sudah jadi saudara yang baik buat Rachel, tapi dianya malah baper, gimana?”

Timo tersenyum dan berkata, “Itu tanggung jawab dia sendiri untuk mengendalikan perasaannya. You do you.” Lalu dia pun keluar kamar. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan Timo menunjukkan wajahnya kembali dan berkata, “Oh ya, satu lagi. Baca Kidung Agung 2:7.” Dengan senyum lebarnya.

Obed berdiri menatap kepergian kakaknya dan meraih handphone di tasnya. Lalu dia membuka aplikasi Alkitab dan membaca Kidung Agung 2:7 “…jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!