Posts

#GaliDasarIman: Apakah yang Tidak Tahu Tidak Berdosa?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Pertanyaan di atas mencoba mengeksplorasi keterkaitan antara kesalahan dan pengetahuan. Maksudnya, apakah seseorang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya salah dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, apakah orang itu perlu diberi tahu bahwa tindakan itu adalah salah?

Terhadap pertanyaan ini Alkitab menyediakan jawaban yang cukup jelas dan konsisten. Ketidaktahuan tidak membebaskan seseorang dari dosa. Tindakan seseorang tetap diperhitungkan sebagai dosa walaupun orang itu tidak menyadarinya.

Poin ini diungkapkan dengan baik dalam sebuah perumpamaan Alkitab tentang hamba-hamba yang tidak taat (Lukas 12:37-48). Perumpamaan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan: “Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan” (ayat 47-48a). Alasan di balik hal ini juga dijelaskan: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (ayat 48b). Ketidaktahuan hanya mengurangi, bukan meniadakan, hukuman.

Alkitab juga mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu semua manusia sebenarnya sudah mengetahui kehendak Allah. Persoalan manusia bukanlah “tidak tahu,” melainkan “tidak mau tahu” atau “tidak mampu”. Dosa manusia adalah “menindas kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Kepada mereka sudah dinyatakan kebenaran-kebenaran ilahi melalui wahyu umum, misalnya ciptaan yang dapat dinalar (Roma 1:19-20) atau hukum moral dalam hati mereka (Roma 2:14-15). Permasalahannya, mereka tidak mau dan/atau tidak mampu menaati pengetahuan tersebut.

Untuk memperjelas hal ini, ada baiknya kita mengenal dua istilah: dosa dan pelanggaran. Dosa merujuk pada segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah yang sempurna. Pelanggaran berarti ketidaksesuaian dengan aturan (perintah atau larangan) tertentu. Ada dua teks Alkitab yang perlu untuk disinggung di sini. Roma 4:15 mengajarkan: “Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.” Selanjutnya dikatakan: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Dari teks ini terlihat bahwa semua kesalahan adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu pantas dikategorikan sebagai pelanggaran.

Ketidakmampuan untuk hidup seturut dengan wahyu Allah bersumber dari natur manusia yang berdosa. Hal yang sama bahkan menimpa mereka yang diberi wahyu khusus. Paulus dengan jujur mengungkapkan pengalamannya: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku” (Roma 7:15-17). Jadi, persoalan terbesar manusia bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmampuan.

Sebuah ilustrasi mungkin bermanfaat untuk menerangkan kebenaran di atas. Banyak orang di pedalaman terbiasa mandi di sungai yang kotor. Mereka bahkan menyikat gigi mereka dengan air yang sama. Dari kacamata orang perkotaan yang sudah mengenal beragam informasi kesehatan, kebiasaan ini sangat berbahaya. Dari kacamata mereka sendiri yang sudah tinggal di sana berabad-abad, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam kebiasaan tersebut. Mereka tidak tahu informasi kesehatan yang memadai. Kalaupun tahu, belum tentu mereka mempercayainya. Bahkan sekalipun mereka tahu dan mempercayainya, belum tentu mereka mau dan mampu hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman dan aman dengan apa yang mereka lakukan. Mereka belum tentu mampu mendapatkan air yang bersih dalam jumlah yang memadai.

Apakah ketidaktahuan penduduk setempat terhadap kesehatan menjadikan kebiasaan mereka dapat ditolerir? Apakah tindakan mereka dapat dianggap benar hanya gara-gara mereka tidak mengetahui apa yang ideal? Tentu saja tidak, bukan? Demikian pula dengan dosa dan pengetahuan kita. Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu disebut pelanggaran. Bagi mereka yang tahu, kesalahan mereka tergolong dosa sekaligus pelanggaran. Dalam keadilan Allah yang sempurna, Ia akan mempertimbangkan ketidaktahuan seseorang (yang tidak tahu akan menerima hukuman lebih ringan), tetapi tetap tidak meniadakan hukuman sama sekali (yang tidak tahu tetap dihukum).

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Baca Juga:

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

Banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja.

Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

⠀⠀⠀⠀

#GaliDasarIman: Apakah Keberadaan Allah Jelas Bagi Semua Orang?

Oleh Wilson Jeremiah
Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Maksud pertanyaan ini lebih tepatnya, “Apakah keberadaan Allah jelas bagi semua pada dirinya sendiri, tanpa diajarkan atau tanpa tanda-tanda khusus?” Mungkin sebagian orang berkata, “Jelas lah!”, dan juga akan berpikir pertanyaan seperti agak konyol. Juga sebagian mungkin berkata, “Kita ini di Indonesia, penuh dengan agama yang berbeda-beda. Pastilah orang percaya Tuhan itu ada!” Juga Menurut Roma 1:19-20, Allah telah menyatakan diri-Nya kepada semua orang sehingga mereka sedikit banyak tahu bahwa Allah itu ada.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kalau begitu, untuk apa apologetika? Apalagi penginjilan? Toh, kalau semua orang tahu bahwa Allah ada dan beragama, ngapain lagi kita susah-susah belajar apologetika dan penginjilan yang berisiko kita menyinggung bahkan kehilangan teman atau orang lain di sekitar kita? Tentu saja jika kita menjawab pertanyaan utama kita bahwa keberadaan Allah JELAS bagi semua orang, pembelajaran apologetika serta praktek penginjilan menjadi kurang penting, bahkan sia-sia.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Tetapi, jika kita memikirkan lebih jauh, kita akan mendapati bahwa sesungguhnya keberadaan Allah tidak selalu jelas bagi semua orang. Jika kita memahami “semua orang” di sini termasuk orang di luar Indonesia, atau orang Indonesia yang sudah mencicipi budaya luar negeri, kita akan melihat jumlah orang agnostik dan ateis yang cukup signifikan sekalipun masih minoritas. Apalagi di era globalisasi serta kemajuan dalam sains dan teknologi, semakin banyak orang (Indonesia) yang mayoritas beragama yang mulai dipengaruhi oleh ateisme atau budaya sekularisme dari berbagai negara luar. Mengapa demikian?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa Alkitab, khususnya Roma 1:19-20, mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya mengetahui akan adanya Allah tetapi samar-samar dan tidak menyeluruh. Dosa manusia mengaburkan bahkan menjauhkan pikiran mereka dari Allah yang benar, sehingga mereka berkata bahwa Allah tidak ada (Mazmur 14:1-3; Roma 3:10-12). Apalagi, Allah dikatakan sebagai roh yang tidak kelihatan (Yohanes 4:24) dan tidak ada yang pernah melihat-Nya (Yohanes 1:18; 1 Yohanes 4:12).⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Oleh sebab itu, aku beberapa kali menjumpai orang-orang yang tidak mengaku percaya akan Allah tetapi kepada “sebuah kuasa yang lebih tinggi dari dirinya” (a higher power). Kita juga mendapati bahwa banyak agama-agama yang tidak mengajarkan Allah yang berpribadi dan berkomunikasi dengan ciptaan-Nya, tetapi lebih kepada “Allah dalam diri kita” atau “dalam dunia ini.” Jadi, kita mungkin heran bahwa ada agama yang “tidak bertuhan” dan tidak menyinggung sedikitpun tentang Allah, lebih mirip dengan sebuah filsafat atau cara hidup saja.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Maka dari itu, sebagai orang Kristen, kita perlu belajar dan mempraktikkan apologetika, minimal karena dua alasan. PERTAMA, apologetika berguna untuk memperjelas bahwa Allah itu ada bagi orang-orang yang tidak percaya Allah ada, bahkan untuk mereka yang sudah percaya pada Allah dan beragama. Di zaman seperti sekarang ini, khususnya di mana kredibilitas agama dan iman sering dipertanyakan, apologetika dapat menolong kita untuk memahami bahwa lebih rasional dan masuk akal bagi kita untuk percaya akan keberadaan Allah dari pada tidak.

KEDUA, bukan hanya untuk memperjelas keberadaan Allah saja, tetapi apologetika berguna untuk memperjelas Allah seperti apa yang kita percayai dan sembah. Di tengah pasar global yang menawarkan begitu banyak ide dan gambaran (palsu) mengenai siapa Allah itu, kita perlu memahami bagaimana kita dapat mengenal Allah yang benar, sehingga kita dapat merespons dengan hidup tepat sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah yang benar itu. Tanpa pengetahuan dan pengenalan yang benar akan Allah, kita tidak mungkin mampu memahami arti dan tujuan hidup kita di dunia yang kompleks ini.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Kesimpulannya: Karena tidak semua orang mampu menangkap dengan jelas akan keberadaan Allah, maka apologetika diperlukan untuk menunjukkan bahwa keberadaan Allah sesungguhnya cukup jelas dan Allah seperti apa yang harus kita percayai. Teolog Herman Bavinck berkata bahwa apologetika adalah ilmu Kristen yang pertama muncul (“the first Christian science”), dan yang tentunya akan terus dibutuhkan sepanjang zaman.⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Renungkanlah:⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Apakah kita sudah meyakini akan keberadaan Allah, serta mengenal Allah yang kita yakini dan percayai itu?

* * *

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
Wilson Jeremiah adalah anggota tim API yang sedang menempuh studi Ph.D. dalam bidang Systematic Theology di Trinity Evangelical Divinity School, USA.⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Artikel ini sebelumnya sudah pernah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API). Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika.

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?