Posts

3 Hal yang Kugumulkan dalam Mengampuni

Oleh: Ian Tan
(artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things About Forgiveness I Grapple With)

3-THINGS-ABOUT-FORGIVENESS-I-GRAPPLE-WITH

Pengampunan lebih sering dibicarakan daripada dipraktikkan. Mengapa begitu sulit untuk mengampuni? Apa sebenarnya arti mengampuni?

1. Mengampuni tidak berarti melupakan
Kita mungkin sering mendengar ungkapan bahwa kita harus “mengampuni dan melupakan”. Tetapi, praktiknya, upaya “mengampuni dan melupakan” itu bisa membuat sebagian kita sangat lelah dan frustrasi oleh luka-luka masa lalu dan masalah yang sebenarnya belum sepenuhnya selesai. Ketika kita mengampuni seseorang, tidak berarti berbagai konsekuensi menyakitkan yang telah ditimbulkan oleh orang itu serta merta hilang. Ini adalah hal yang menurutku paling sulit dihadapi.

Bayangkanlah situasi suami atau istri yang berselingkuh. Sekalipun ia kemudian menyesali dan minta ampun kepada pasangannya, sangat wajar jika suami atau istri yang telah dikhianati itu tetap hancur dan sakit hatinya. Melupakan hal yang menyakitkan bukanlah sesuatu yang alamiah bagi kita sebagai manusia yang diberi Tuhan kapasitas untuk mengingat. Kecuali ada keajaiban yang membuat memori menyakitkan itu hilang, kita akan tetap dapat mengingatnya dalam waktu yang lama. Sangat sering aku berkata “Tidak apa-apa, aku memaafkanmu,” dan menyadari bahwa perasaanku sebenarnya berkata lain. Pengampunan tidak sedikit pun menghapus memori yang menyakitkan.

2. Mengampuni tidak berarti kita mendapat keadilan
Selain mustahil melupakan kesalahan orang kepada kita, tindakan mengampuni orang yang sebenarnya tidak layak diampuni itu sama halnya dengan tidak mendapat keadilan. Di dalam Alkitab, kita belajar bahwa seringkali, pengampunan harus tetap diberikan sekalipun tidak diminta.
Belum lama ini aku membaca tentang seorang pria dari Kamboja, Sokreaksa Himm, yang menyaksikan seluruh anggota keluarganya dibantai oleh tentara Khmer Merah di depan matanya sendiri saat ia berusia 14 tahun. Trauma masa remaja itu membuatnya tumbuh dalam kepahitan dan kemarahan, menyebabkan ia ingin membalas dendam. Sekian tahun kemudian, Sokreaksa mengenal Yesus sebagai Juruselamat pribadinya dan belajar bahwa ia harus mengampuni untuk mengatasi kebencian dan kepahitan yang ia miliki terhadap orang-orang yang telah membunuh keluarganya. Akhirnya, ia mencari para pembunuh itu, tetapi bukan untuk membalas dendam. Ia memberitahu mereka satu per satu bahwa ia telah memaafkan mereka. Bagiku sungguh mengherankan bahwa seorang manusia bisa mengampuni dalam situasi yang demikian. Para pembunuh itu tidak memohon pengampunan, mereka bahkan tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka. Pengampunan berarti kita tidak membalas orang lain setimpal dengan kesalahan mereka.

3. Mengampuni tidak menjamin adanya perubahan
Apa yang terjadi setelah pengampunan diberikan? Akankah orang yang diampuni berubah? Pengalamanku selama bertahun-tahun sebagai seorang guru mengajarku bahwa tidak ada jaminan bahwa orang yang diampuni akan mengalami transformasi hidup. Ia bisa saja terus mengulangi kesalahan yang sama. Setiap kali aku duduk bersama murid-muridku untuk mengoreksi kelakuan mereka yang salah dan memberitahu mereka bahwa mereka sudah dimaafkan, selalu saja ada perasaan ragu bahwa mereka akan berubah, karena aku ingat bahwa mereka sudah pernah melakukan kesalahan yang sama.

Mengampuni—mungkinkah dilakukan?
Kesadaran bahwa mengampuni itu tidak menghapus ingatan akan kesalahan orang, tidak adil bagi kita yang telah disakiti, dan tidak ada jaminan bahwa hidup orang yang diampuni akan berubah, dapat membuat kita merasa mustahil untuk mengampuni. Namun, kita diminta untuk meneladani Kristus yang mengampuni dosa hingga mati di kayu salib (Kolose 3:12-13). Apa yang sudah dilakukan Yesus membuatku mengerti bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sebuah pengampunan. Yesus memberikan nyawa-Nya bagi pengampunan kita, yang sesungguhnya sangat tidak layak menerima pengampunan itu.

Menurutku, kita perlu mengubah cara kita memandang diri kita dan orang lain. Seringkali aku menemukan bahwa aku sulit mengampuni karena aku membanding-bandingkan besarnya kesalahan orang lain dengan kesalahanku sendiri. Kita baru dapat mengampuni ketika kita lebih dulu memandang salib Yesus, mengingat bahwa di hadapan Allah semua kesalahan sesungguhnya sama-sama tidak layak diampuni, namun oleh anugerah-Nya, Yesus menyucikan kita dengan darah-Nya.

Mengampuni dan melupakan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Tetapi, mengampuni sekalipun kita ingat kesalahan yang telah menyakiti kita, itu adalah anugerah Allah, dan dapat terjadi hanya karena Yesus dan apa yang telah Dia lakukan bagi kita. Mari memandang salib-Nya untuk mendapatkan kekuatan yang kita butuhkan untuk mengampuni, karena pengampunan hanya dapat dimungkinkan oleh Dia yang telah mati dan telah mengampuni kita.