Posts

Ketika Kenyamanan Justru Menghancurkanmu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Ada kutipan berbahasa Inggris yang berkata demikian: “Hard times create strong men, strong men create good times, good times create weak men, and weak men create hard times.” 

Beribu-ribu tahun sejarah mencatat, manusia selalu berupaya menjadikan kondisi hidupnya lebih baik. Tetapi, sejarah mencatat pula bahwa kondisi baik yang bisa kita sejajarkan dengan kenyamanan tak pernah jadi tujuan akhir yang tetap. Meraih kenyamanan tak berarti masalah hilang, justru malah melahirkan masalah-masalah baru. Nah, kalau begitu, apakah itu artinya kita tidak boleh mengupayakan kenyamanan? Untuk menjawabnya aku mau mengajakmu menjelajah lebih dalam tentang bagaimana kenyamanan membentuk hidup dan dunia kita. 

Hidup dalam kondisi nyamanan bukanlah hal buruk. Tetapi, dari apa yang kuperhatikan dan kualami, kenyamanan yang salah tempat membuat banyak orang menjadi hancur. Kenyamanan dapat perlahan berubah menjadi candu, dan jika itu terlepas dari kebenaran, maka bersiaplah untuk menjumpai kehancuran. Tentu ini bukan artinya kita malah mencari-cari masalah lalu menolak keindahan dan kenikmatan secara mutlak. Itu jelas konyol. Namun, seperti yang Timothy Keller katakan, “Hal-hal baik dari dunia ini yang dianggap sebagai berkat (keindahan, kuasa, kenyamanan, kesuksesan, pengakuan), yang diterima di luar Allah adalah kutuk. Semua itu akan menggoda dan menghabisi kita.” 

Jika sampai di sini kamu merasa tulisan ini terlalu keras, ambillah sedikit waktu untuk berdoa karena Dia mengizinkan momen ini untuk mengingatkanmu. Tapi, jangan lupa, lanjutkan membaca sampai akhir.

Mari mengingat kembali satu kisah tentang seorang wanita yang ditulis ribuan tahun sebelum Kristus lahir di Betlehem. Alkitab tidak menyebutkan namanya, apalagi zodiaknya! Kita hanya diberi informasi bahwa sosok ini ialah istri Lot, keponakan Abraham. Memang ada tradisi Yahudi yang mengatakan namanya adalah Ado atau Edith, tapi kita tidak dapat memastikan. 

Meskipun kita tidak terlalu mengenal orang ini, tetapi apa yang terjadi dalam hidupnya adalah kisah tragis yang populer dan dapat menjadi pengingat bagi kita. Aku bahkan sangat yakin “soal” tentang istri Lot selalu muncul dalam lomba cerdas cermat Alkitab untuk anak-anak di gereja. “Siapa tokoh dalam Alkitab yang menjadi tiang garam?”

Tuhan yang penuh kasih sekaligus Tuhan yang amat membenci dosa, menghancurkan Sodom dan Gomora, dua kota yang terkenal karena kebejatannya. Memang Lot dan keluarganya tinggal di sana, namun mereka mendapatkan peringatan dan kesempatan dari Tuhan untuk meninggalkan tempat itu. Sayang sekali, istri Lot tidak mengindahkan peringatan yang berasal dari Tuhan untuk melarikan diri dan tidak menoleh ke belakang. Dia (istri Lot), terlalu nyaman di sana dan dengan demikian mencelakai dirinya sendiri. 

Dari sini kita dapat melihat bahwa sebenarnya persoalan terbesar istri Lot bukan hanya karena dia tinggal di Sodom, melainkan karena Sodom yang telah tinggal di dalam dirinya. Sodom telah memberinya banyak hal. Mungkin rumah mewah dan usaha yang lancar. Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita agar kita sadar penuh bahwa meskipun kita tinggal di dalam dunia, jangan membiarkan dunia tinggal di dalam kita.

Dunia selalu menawarkan kenyamanan dan membuatmu sejenak lupa dengan berbagai bahaya yang menanti. Berapa banyak dari kita yang telah merasa hancur karena jatuh dalam hubungan yang salah dimulai dengan alasan kenyamanan? Berapa banyak orang yang telah melalaikan pekerjaan, keluarga, termasuk pelayanan karena minuman keras, obat terlarang, hingga game online? Berapa banyak orang telah menyesal karena sadar akan banyak hal yang telah dia rusak pada waktu yang lampau? Semua dimulai dengan mencoba, lalu mengulanginya karena nyaman, dan akhirnya kecanduan. Istri Lot menjadi tiang garam karena dia menoleh ke belakang, melawan apa yang sudah diperingatkan Tuhan kepadanya, sekaligus sebuah petunjuk jelas bahwa ada sesuatu yang tidak mau dia lepaskan dari Sodom. Istri Lot lupa ada yang jauh lebih berharga dari semua itu, nyawanya.

Sekali lagi, ini bukan berarti kita tidak boleh menikmati semua hal di dalam dunia ini. Kamu tentu boleh mengunduh game online di gawaimu dan memainkannya. Jika kamu punya uang yang cukup, kamu bahkan boleh membeli Playstation 6 dan memberikan Playstation 5 punyamu padaku. Namun, meminjam dan sedikit memodifikasi perkataan Tim Keller, segala macam kenyamanan yang kamu terima dan nikmati di luar Allah dan Firman-Nya, yang kamu gunakan hanya untuk memuaskan dirimu sendiri, adalah berhala yang akan membuatmu menyesal. Jangan lupa berhala bukan hanya sekadar patung, melainkan segala sesuatu yang menyita perhatianmu melebihi perhatianmu pada Tuhan.

Untuk kamu yang mengenal baik kelemahanmu sendiri, jangan merasa sangat hebat. Jangan biarkan dirimu memulai sesuatu yang kamu tahu tidak mampu kamu tangani, dapat mencelakaimu, dan terutama yang berseberangan dengan Firman Tuhan. Ingat, kamu tidak sendiri. Kamu ditunggu oleh orang-orang yang mencintaimu di rumah. Ada juga saudara-saudara seimanmu yang menunggumu di gereja. Minta Tuhan untuk memberimu hikmat dalam memilih, juga keberanian untuk menolak.

Untuk kamu yang telah terlanjur jatuh dalam kesalahan, dan kini sedang berjuang meninggalkan kebiasaan buruk yang lama, ingat, kamu juga tidak sendiri! Ada jutaan orang di panti rehabilitasi, ruang konseling, dan di berbagai tempat yang sedang berjuang melawan diri sendiri, demi orang-orang yang dicintainya dan yang mencintainya. Minta Tuhan agar memberimu kekuatan untuk bertahan dalam perjuangan ini.

Dan untuk kita semua, ingatlah kita tidak sendiri, ada Tuhan Yesus, Sang Juruselamat yang telah mengambil rupa sebagai hamba, yang telah mati di Kalvari untuk menebus dosa kita, yang bangkit dari kematian mengalahkan maut, yang naik ke surga, memberikan jaminan keselamatan, dan yang memateraikan Roh Kudus pada setiap orang percaya. 

Hiduplah menurut keinginan Roh itu karena di dalamnya ada hidup dan damai sejahtera (Roma 8:6).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

5 Langkah Keluar dari Zona Nyaman

Keluar dari zona nyaman tidak selalu bicara tentang langkah-langkah ekstrem yang berisiko besar. Kita bisa memulai perjalanan ini dari langkah-langkah kecil yang mengarah pada tujuan utama.

Zona nyaman apa yang sedang menjebakmu? Bagaimana caramu keluar darinya? Yuk share yuk.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Biasalah warga +62”

Kalimat itu tertulis di sebuah stiker WA. Ketika seorang teman berkata atau berbuat sesuatu yang menurutku udik, stiker tersebut jadi respons yang kurasa pas. Tapi, meski cuma candaan, tanpa kusadari aku melabeli “warga +62” atau warga negara Indonesia sebagai pihak yang kurang tahu sopan santun atau kampungan. Tidak berusaha membenarkan diri, namun aku melihat bukan hanya aku yang melakukannya.

Lebih lanjut, ketika melihat berita mengenai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, seringkali aku melihat komentar di sosial media yang kurang mengenakkan. Kritik dan kekecewaan terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia datang dari berbagai penjuru. Kemelut, konflik, dan debat-debat di kolom komentar tidak bisa dihindari hingga terkadang membacanya membuatku menghela napas.

Pernahkah terpikir oleh kita mengapa kita lahir sebagai orang Indonesia pada waktu seperti ini?

Menjadi Nehemia bagi Indonesia

Nehemia bin Hakhalya merupakan orang Yahudi yang dibuang ke Persia dan bekerja sebagai juru minuman Raja Artahsasta I (raja Persia) di Puri Susan. Suatu hari ia mendengar kabar mengenai Yerusalem, kampung halamannya; dan kondisi orang-orang Yahudi yang terluput, yang terhindar dari penawanan dari salah seorang dari saudara dari Yehuda.

“Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”

(Nehemia 1:3)

Ketika Nehemia mendengar berita itu, dia duduk menangis dan berkabung selama beberapa hari. Nehemia kemudian berpuasa dan berdoa kepada Allah untuk memohon pengampunan atas dosanya, kaum keluarganya, serta bangsanya; dan memohon belas kasihan Allah untuk memulihkan bangsanya. Tidak berhenti di situ, Nehemia kemudian kembali ke kampung halamannya untuk membangun kembali Tembok Yerusalem, sebuah tindakan yang nekad namun penuh dengan kasih untuk bangsanya. Perlu diingat kembali bahwa sebagai seorang juru minuman raja yang tinggal di istana, Nehemia sebenarnya telah hidup dalam zona nyaman. Namun, Nehemia memutuskan untuk menginggalkan segala kenyamanan dan kemapanannya untuk melakukan sesuatu bagi bangsa yang dikasihinya.

Mungkin sebagian dari kita, seperti Nehemia, hidup dalam kenyamanan dan privilese yang kadang membuat kita terlena dan merasa aman. Kenyamanan menumpulkan indera-indera kita; membuat kita seringkali abai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini: budaya korupsi yang mengakar, penegakan hukum dan keadilan yang seolah mati suri, kemiskinan di mana-mana, keagamaan yang serba formalitas belaka, serta kekerasan dan intoleransi yang dibiarkan saja. Kita berpikir bahwa masalah-masalah ini hanya ada di dunia maya dan tidak bersentuhan langsung dengan kita dalam kehidupan nyata. Kita mungkin bekerja pada sektor yang “tidak menantang”, sehingga kita berpikir bahwa urusan untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas bukanlah bagian kita, bahkan mungkin kita yang berhadapan kondisi-kondisi tersebut, cenderung memilih untuk mengambil tempat yang aman dan bekerja secara mekanik: datang ke kantor setiap pagi, mengerjakan bagian kita sebisanya, kemudian pulang ke rumah dan melupakan apa pun yang terjadi di kantor hari ini. Yang penting pekerjaan selesai, yang penting aku tidak berbuat curang.

Namun, orang Kristen tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala (Matius 10:16a). Dalam anugerah Tuhan, masing-masing kita diberikan bagian untuk berkarya untuk sesuatu yang lebih besar daripada atasan atau instansi/perusahaan tempat kita bekerja; kita dipanggil untuk mengerjakan misi Allah bagi dunia di dalam pekerjaan kita.

“Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.

(Ester 4:13-14)

Seperti Nehemia dalam jabatannya sebagai juru minuman raja di istana atau Ester dalam jabatannya sebagai ratu, kita dipanggil dalam profesi kita untuk berkontribusi menghadirkan shalom di dunia. Dalam kedaulatan Tuhanlah Nehemia dan Ester memiliki jabatan yang strategis pada waktu tantangan besar sedang terjadi, sehingga Nehemia dan Ester dapat membuat perubahan. Sama seperti Nehemia dan Ester, kita dipanggil untuk merespons panggilan Allah secara spesifik bagi hidup kita, untuk berani keluar dari “cangkang kenyamanan” dan mau berjuang bagi bangsa kita.

Mewujudkan shalom tidak melulu bicara soal transformasi besar-besaran pada sebuah bangsa atau komunitas. Shalom yang adalah damai sejahtera, keadaan di mana Allah berkuasa, dapat kita hadirkan ketika kita bersedia melihat dengan hati dan melayani setiap orang yang kita jumpai dengan sepenuh hati. Ketika seorang guru mengajar muridnya, ketika seorang dokter mengobati pasiennya, ketika seorang petugas kebersihan menjaga lingkungan tetap asri, Allah dapat memakai setiap buah pekerjaan itu bagi kemuliaan-Nya.

Jika Engkau Mempunyai Mata, Maka Melihatlah

“Jika engkau mempunyai mata, maka melihatlah” adalah salah satu judul bab dalam Buku Vision of Vocation (Panggilan untuk Mengenal dan Mengasihi Dunia) oleh Steven Garber. Judul bab ini (tentu beserta isinya) menghantuiku—mengguncangku untuk membuka mata dan telinga selebar-lebarnya terhadap lingkungan sekitar. Aku tahu bahwa kondisi Indonesia jauh dari kata ideal, tapi apakah aku benar-benar “tahu”? Aku melihat ketidakadilan dan kemiskinan di depan mata, tapi apakah aku benar-benar “melihat”? Bagaimana denganmu? Apakah kamu “melihatnya”?

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

(Yeremia 29:7)

Kita tidak perlu menjadi pejabat publik atau posisi strategis lain untuk mengambil bagian dalam membangun bangsa dan negara kita. Panggilan atau pekerjaan apa pun yang Tuhan percayakan bagi kita; apabila kita menyadari bahwa kita mengerjakannya untuk Tuhan demi menghadirkan kesejahteraan bagi negara ini, maka kita telah menjadi bagian dalam pekerjaan Tuhan bagi Indonesia.

Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk menjadi Nehemia-Nehemia, Ester-Ester, dan Daniel-Daniel di masa kini. Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk sungguh-sungguh melihat, sungguh-sungguh berdoa, dan sungguh-sungguh berkarya bagi Tuhan, Bangsa Indonesia, dan sesama.

Soli Deo Gloria.

May we be a people, a people mending broken lives
Giving hope to broken world by the grace of God
May we be a people, a people serving God and man
Bringing love and dignity, in Jesus’ Name
(lirik bait kedua Bring Your Healing to The Nation – Liz Pass dan David Pass)

Semoga kita menjadi umat yang dapat memperbaiki hidup yang rusak
Memberi harapan bagi dunia yang rusak dalam kasih karunia Tuhan
Semoga kita menjadi umat yang melayani Tuhan dan manusia
Membagikan cinta dan martabat, di dalam nama Tuhan Yesus

div style=”line-height: 20px; background-color: #dff2f9; padding: 20px;”>Baca Juga:

Lima, Dua, Satu

Ketika Tuhan memberi talenta dengan jumlah yang berbeda, banyak orang berpikir Dia tidak adil. Mengapa tidak dibuat sama? Mengapa harus berbeda?

Keluar dari Zona Nyaman

Oleh: Sukma Sari

Tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan, tidak ada pertumbuhan di zona nyaman

Kalimat ini mengingatkanku pada mutiara. Perhiasan yang indah itu tidaklah terbentuk dalam situasi yang nyaman. Sebaliknya, butiran-butiran mutiara itu terbentuk oleh lapisan-lapisan mineral yang dikeluarkan tiram ketika ada tamu tak diundang (pasir, misalnya) yang masuk ke dalam cangkangnya dan menyebabkan iritasi.

Aku juga punya cangkang pribadi yang indah dan nyaman. Dunia kecilku sendiri. Sebagai anak tunggal dalam keluarga, selama 19 tahun aku telah membangun dunia kecil yang terdiri dari aku, daku, dan diriku. Aku tidak punya saudara kandung, hanya punya orangtua yang selalu sibuk. Aku tidak perlu berbagi apapun dengan siapapun. Aku senang dengan dunia kecilku, dan aku ingin duniaku selalu seperti itu!

Ketika aku mulai kuliah, aku menemukan bahwa kehidupan ternyata jauh lebih besar daripada dunia kecilku. Aku bertemu dengan orang-orang yang beda pandangan hidupnya, beda cara berpikirnya, beda kebiasaannya, beda gaya-hidupnya, dan aku sangat tidak nyaman dengan semua itu. Aku tidak mengerti mengapa orang tidak bisa melihat apa yang kulihat atau melakukan apa yang kulakukan, tetapi, mengapa aku harus memusingkan diri dengan pendapat mereka? Jadi, aku memutuskan untuk mulai membatasi interaksiku dengan orang lain. Lagipula kata “berbagi” itu tidak ada dalam kamusku.

Namun, pada masa itu juga, Tuhan membawaku mengenal anugerah keselamatan-Nya di dalam Yesus Kristus. Di sanalah titik balik dalam hidupku. Menjadi seorang pemimpin kelompok kecil di kampus memaksaku untuk keluar dari cangkangku. Aku harus bertemu secara teratur dengan anggota kelompokku, baik itu kakak tingkat maupun adik tingkat. Aku harus berbagi hidup dengan mereka, mendengarkan mereka, dan berusaha memahami mereka. Sungguh tidak mudah. Rasanya dunia yang telah kubangun dengan hati-hati selama 19 tahun kini hancur berantakan. Sebagai contoh, dalam dunia kecilku dulu, aku tidak pernah berpikir bisa mengasihi orang yang tidak sependapat denganku atau orang yang telah menyakitiku dengan perkataan dan perbuatan mereka. Tetapi, dalam Matius 22:39, Yesus memberi perintah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Hari ini, setelah sekian tahun berlalu, aku sungguh bersyukur Tuhan telah menarikku keluar dari dunia kecilku. Masa-masa tidak nyaman itu telah mempersiapkanku untuk masuk ke dalam dunia kerja, di mana aku harus berinteraksi dengan banyak orang yang jauh dari sempurna (termasuk diriku). Aku harus berbagi hidup dengan mereka. Bisa dibilang setiap hari, aku harus menghadapi beragam orang dengan visi, kepentingan, dan sikap yang berbeda-beda. Betapa aku senantiasa diingatkan untuk selalu bergantung dan belajar dari Juruselamatku yang Mahakasih.

Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu,” seru nabi Yesaya sembari mengakui dosa-dosanya dan dosa-dosa bangsanya di hadapan Allah (Yesaya 64:8). Sebelum menjadi bejana yang indah dan berguna, tanah liat harus melewati serangkaian proses pembentukan. Pertama-tama, pembuat bejana akan membersihkan tanah liat dari segala macam kotoran yang melekat. Setelah itu, ia akan menekannya berulang-ulang sampai lembut dan mudah dibentuk. Ia lalu akan memanaskan tanah liat yang sudah dibentuk pada suhu tinggi. Semua proses ini samasekali tidak menyenangkan, tetapi jika tidak dilakukan, tanah liat akan tetap menjadi tanah liat, dan tidak akan berubah menjadi bejana yang indah. Proses serupa juga kualami dalam zona pertumbuhanku.

Apakah kamu merasa Allah sedang menarikmu keluar dari cangkang pribadimu? Mungkin Dia telah menunjukkan beberapa area dalam hidupmu yang perlu kamu perbaiki. Mungkin Dia sedang menunjukkan beberapa kebiasaan yang perlu kamu latih sebagai persiapan untuk babak hidupmu selanjutnya. Percayalah pada pimpinan-Nya, meski sepertinya mustahil mengubah cara hidupmu selama ini. Sang Pembuat bejana tahu keindahan karya-Nya setelah nanti selesai dibentuk.

Tidak ada kenyamanan di dalam zona pertumbuhan, tetapi anugerah Tuhan akan memampukan kita untuk terus bertumbuh makin serupa dengan-Nya. Ketika kita menemui banyak tantangan dalam perjalanan pertumbuhan kita, mari ingatkan diri selalu: “Jangan menyerah! Sabar! Tuhan belum selesai membentuk diri kita!”