Posts

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Oleh Zefanya Christiady Nugroho, Yogyakarta

Minggu, 15 Maret 2020 adalah hari bersejarah bagi orang Kristen di Indonesia. Untuk mencegah penularan virus, peribadahan di gedung gereja ditiadakan. Sebagai gantinya, jemaat dipersilakan untuk beribadah sendiri di rumah bersama keluarga atau kelompok kecil. Beberapa gereja memfasilitasi peribadahan dengan menyediakan layanan streaming via kanal YouTube gereja.

Ibadah minggu yang menjadi online ini memicu pro dan kontra. Aku sendiri tidak mempermasalahkan. Gereja online bukanlah kemunduran spiritualitas jemaat dalam beriman, melainkan bisa jadi sarana baru bagi jemaat untuk menemukan spiritualitasnya kembali. Aku ingat, saat kita masih bebas beribadah di gedung gereja, pendeta atau pemimpin ibadah berkali-kali mengingatkan jemaat untuk tidak fokus ke HP. Silent HP-mu! Fokus pada ibadah, pada Allah! Eh, sekarang kita malah jadi “fokus” ke HP karena mau tidak mau ibadah via streaming harus melihat layar. Aku sempat berpikir, “Tuhan, apakah Engkau lagi bercanda?”

Kaum muda di gereja pun jadi terpanggil untuk berkarya lebih. Generasi yang familiar dengan teknologi bisa menolong generasi senior agar streaming bisa berlangsung. Hal positif lainnya adalah, masuknya peribadatan dalam dunia online bisa jadi menjangkau lebih banyak orang. Entah itu kelompok kecil, kebaktian, atau PA online. Mungkin jemaat yang sudah lama undur diri atau terpisah jarak bisa lebih mudah untuk terhubung kembali.

Masalah ketika ibadah menjadi online

Namun, gereja online juga bukan tanpa kelemahan. Pertama, tatap muka secara fisik di satu tempat tidak bisa tergantikan kualitasnya. Di ibadah online, tidak ada yang tahu apakah kita sudah mempersiapkan diri dan hati dengan baik. Apakah kita tetap mengenakan pakaian yang rapi sebagai sikap menghormati Tuhan? Apakah kita sungguh fokus pada ibadah di saat notifikasi-notifikasi lain dengan mudahnya masuk? Kemudian, jika ibadah online terus dilakukan setelah pandemi selesai, apakah kita tergerak kembali untuk membayar harga datang ke gedung ibadah, atau memilih ibadah streaming dengan alasan sibuk?

Kedua, apakah gereja-gereja lokal masih mendapat tempat, mengingat minimnya sarana dan prasarana yang mendukung untuk mengadakan ibadah online? Apakah ada akses yang cukup bagi jemaat yang ingin, tetapi tidak mampu terkoneksi? Lalu, bilamana kita sudah puas dengan beberapa pengkhotbah favorit di kanal tertentu yang telah kita subscribe, apakah kita menemukan kenikmatan kembali mendengar pendeta di gereja lokal kita memberitakan Firman? Ketiga, jika peribadatan online terus dilakukan adalah gereja berisiko menempatkan umat sebagai audiens dan konsumen murni. Jemaat bisa jadi pasif dan transaksional. Selama merasa firman Tuhan yang dibawakan bagus, kebutuhan emosional terpenuhi, memberi persembahan, lalu selesai. Sebaliknya, gereja beresiko fokus pada viewers dan persembahan sebagai indikator keterlibatan jemaat. Sementara pandemi virus COVID-19 berlangsung, peribadatan online adalah hal yang baik. Tetapi, saat pandemi ini usai, kita perlu memikirkan kembali bagaimana ibadah komunal yang seharusnya.

Meski demikian, masalah-masalah yang kusebutkan di atas tak murni terjadi di gereja online. Di gereja offline pun bisa saja terjadi. Kita bisa saja datang ke gereja hanya karena merasa lagu-lagu yang dinyanyikan enak, atau khotbahnya bagus. Pun saat datang ke gereja, bisa pula pikiran kita tak fokus. Ketika bicara soal pertumbuhan iman, gerejaku mungkin juga gereja kita mentok di program. Pertumbuhan iman identik dengan program yang berjalan baik dan diikuti banyak orang. Makin ramai makin bagus. Kesehatian diukur dari kekompakan dan manajemen yang rapi. Bahkan, konflik dan luka batin cenderung diabaikan, serta kualitas karakter seseorang dinilai dari kerajinannya di gereja atau persekutuan.

Memikirkan kembali esensi beribadah

Kita perlu melihat kembali bagaimana gereja pada masa Rasul Paulus dahulu. Dalam suratnya di 1 Korintus 3:11-13, Paulus menuliskan demikian:

“Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.”

Dasar kita bergereja adalah Kristus sendiri. Gereja seharusnya menjadi “bangunan” yang stabil, kuat, dan di dalamnya bangsa-bangsa masuk memuliakan Allah. Di atas dasar itu, kita semua disusun sebagai material bangunan yang secara komunal, memberikan kontribusi terhadap kokohnya bangunan itu. Paulus memberikan gambaran material itu bisa terdiri dari jerami, emas, dan sebagainya. Tetapi, semuanya itu akan diuji dengan api, misalnya situasi pandemi saat ini bagiku adalah ujian untuk kualitas persekutuan kita: apakah selama ini aku hanya sebatas ikut-ikutan, atau benar-benar ikut Kristus sebagai murid-Nya? Karena itu, semoga setelah pandemi ini selesai, kita bisa lanjut membangun gereja atau persekutuan kita dari sisi kualitas manusianya, bukan kualitas gedung fisik dan medsos atau kanal video gereja. Misalnya dengan menggerakkan ibadah keluarga dan kelompok kecil, seperti yang terjadi selama pandemi ini. Gereja adalah kita, “bangunan” yang terdiri dari manusia yang semakin hari semakin terkoneksi satu sama lain oleh kasih Tuhan. Gedung atau media sosial adalah sarana pertemuannya.

Hadirnya pandemi COVID-19 di satu sisi bisa jadi merupakan cara untuk menguji kesatuan kita sebagai orang Kristen. Dalam Yohanes 17:23, tertulis demikian: “Supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” Alih-alih berfokus pada perbedaan, pandemi ini bisa jadi cara untuk orang Kristen menunjukkan kasih. Di saat masker menjadi langka dan orang-orang membeli dalam jumlah banyak untuk kepentingan pribadi, apakah gereja mampu menyediakannya kepada mereka yang tak mampu mendapatkannya? Seraya kita membagikannya, kita bisa turut menceritakan kisah kasih Allah bagi tetangga maupun orang-orang lain seraya mengindahkan instruksi kesehatan yang berlaku. Saat ada lansia yang sakit, apakah gereja turut hadir menjadi penolong?

Kiranya kita bisa melihat hadirnya gereja online tak cuma sebatas boleh dan tidak, tetapi mengevaluasi diri kita sendiri. Sudahkah kita berusaha menjadi gereja yang terkoneksi dengan masyarakat dan menjadi berkat bagi sekitar kita?

Yuk gunakan masa-masa social distancing ini sebagai momen untuk beristirahat sejenak dari kesibukan pelayanan. Jika terdapat konflik dalam relasi kita di gereja, mungkin ini jugalah momen yang tepat untuk berdamai. Nikmatilah pemeliharaan Allah dalam hidup kita dan fokus pada doa, sesuatu yang mungkin juga kita lupakan selama ini karena disibukkan dalam banyak program atau acara gereja.

Baca Juga:

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Belakangan ini Mazmur 91 menjadi diskusi hangat. Ada yang menafsirkan bahwa mazmur tersebut menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya. Namun, apakah benar begitu?

Untuk memahaminya, kita perlu belajar untuk mencerna teks Alkitab dan memahami janji Tuhan dengan benar.