Posts

Belajar dari Nehemia: Sudahkah Doa Menjadi Respons Pertamamu?

Oleh Yosephine Sitanggang, Jakarta

Dalam kehidupan ini, ada banyak informasi yang kita terima setiap hari. Ada informasi yang menyenangkan hati kita, tapi ada pula informasi yang membuat kita sedih.

Beberapa hari lalu aku menerima sebuah informasi yang menyedihkan hatiku. Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi, aku kaget dan kecewa saat dosenku menginformasikan bahwa alur bimbingan dengannya berbeda dengan dosen-dosen lainnya. Jika dosen lain memperbolehkan mahasiswa untuk bimbingan per bab, dosenku memintaku untuk menyelesaikan bab 1 hingga 5 terlebih dulu barulah aku boleh bimbingan dengannya.

Aku pun jadi gelisah oleh informasi ini. Apalagi di bulan Mei nanti aku harus melakukan studi lapangan ke Jogja, sehingga waktuku menuntaskan skripsiku menjadi sangat pendek. Saat itu, di tengah rasa gelisahku, respons pertamaku adalah aku segera menghubungi temanku dan menceritakan kepadanya tentang kesulitan skripsi yang baru saja kualami.

Namun, setelah curhat kepada temanku, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku pikir respons pertamaku untuk langsung menghubungi temanku saat aku menerima informasi buruk ini tidaklah tepat. Kemudian, aku ingat akan kisah Nehemia yang beberapa hari lalu aku pelajari secara pribadi dari sebuah buku Pendalaman Alkitab (PA). Melalui buku inilah aku merasa ditegur.

Nehemia diberi tahu oleh Hanani, salah seorang saudaranya, bahwa orang-orang Yahudi yang tetap tinggal di Yerusalem mengalami kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok-tembok Yerusalem sudah terbongkar dan gerbangnya pun telah terbakar (Nehemia 1:1-3). Kabar buruk yang dibawa oleh Hanani itu membuat Nehemia begitu berduka atas keadaan bangsanya. Dalam Nehemia 1:4, respons pertama yang dilakukan oleh Nehemia setelah mendengar kabar ini adalah dengan berpuasa dan berdoa kepada Allah. Di sini, Nehemia menunjukkan penyerahan dirinya secara utuh kepada Allah.

Pada masa Nehemia, bangsa Israel adalah bangsa terjajah yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Persia. Meski berstatus sebagai orang Israel, kala itu Nehemia mendapatkan kepercayaan yang tinggi dengan menjadi pengurus minuman raja. Namun, posisi yang tinggi ini tidak membuat Nehemia melupakan nasib bangsanya sendiri. Selama bekerja, akibat kabar buruk yang diterimanya itu, Nehemia jadi tampak sedih dan hal ini terlihat oleh raja Artahsasta. Raja pun bertanya mengapa. Setelah menceritakan tentang kabar buruk yang diterimanya, raja pun bertanya kepada Nehemia. “Jadi, apa yang kauinginkan?” (Nehemia 2:4).

Nehemia tidak langsung menjawab pertanyaan raja saat itu juga, melainkan dia berdoa kepada Allah semesta langit. Alkitab memang tidak mencatat apa isi doa yang dinaikkan oleh Nehemia kepada Allah, namun, kembali kita dapat melihat bahwa Nehemia sungguh-sungguh menyerahkan diri dan keputusannya kepada Allah hingga akhirnya Allah menjawab pergumulan Nehemia dengan jalan raja Artahsasta mengizinkan Nehemia dan bangsanya pulang ke Yerusalem untuk membangun kembali kota itu.

Kisah Nehemia ini begitu menegurku. Seringkali, ketika mendapatkan suatu informasi, yang entah baik atau buruk, respons pertama yang kulakukan adalah segera mencari orang lain untuk menjadi tempat ceritaku dan membiarkan rasa senang atau khawatir berlebih menguasai hatiku. Aku tidak menjadikan Allah sebagai Pribadi pertama yang kucari.

Memang, dalam keadaan seperti itu, adalah sesuatu yang wajar untuk segera mencari orang lain seperti teman, sahabat, ataupun keluarga untuk kita segera bercerita. Tapi, belajar dari Nehemia, respons terbaik untuk menanggapi setiap informasi yang kita terima adalah dengan berdoa terlebih dulu kepada Allah. Dengan berdoa dan menyerahkan dirinya pada Allah, Nehemia pun belajar untuk tidak mengambil keputusan yang gegabah, yang didasarkan atas emosi yang dia rasakan saat itu. Meski Allah tidak segera saat itu juga menjawab doa Nehemia, tetapi Allah menuntun Nehemia pada keputusan yang tepat hingga akhirnya Nehemia diizinkan untuk kembali ke Yerusalem dan membangun kota itu (Nehemia 2:6).

Allah memang memberikan teman, sahabat, keluarga, ataupun komunitas supaya kita saling menguatkan dan turut berjuang dengan kita. Namun, seharusnya itu semua tidak menggantikan posisi Allah sebagai Pribadi pertama yang ada dalam kehidupan kita. Melalui teladan Nehemia, aku belajar untuk menyerahkan setiap perasaanku atas setiap informasi yang kuterima terlebih dahulu kepada Allah. Sebelum berbicara dan menceritakan keluh kesahku kepada orang lain, aku belajar untuk berdoa terlebih dulu.

Baca Juga:

Ingatlah Yesus yang Pernah Menderita bagi Kita

Aku pun mengingat apa yang terjadi di minggu menjelang Jumat Agung lima tahun yang lalu, ketika aku menghadapi masa tersulit dalam hidupku. Saat itu, ketika aku sedang merasakan tekanan yang besar di pekerjaanku, secara tiba-tiba ayahku terserang stroke yang parah.