Posts

trauma

Apa yang Aku Pelajari dari Pengalaman Traumatis

Oleh Yohanes Alexander

Trauma bisa terjadi oleh siapa saja dan di mana saja. Penyebabnya pun bermacam-macam, bisa disebabkan oleh keluarga, lingkungan pertemanan, kecelakaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tentu memiliki dampak bagi seseorang, baik secara fisik maupun psikis (keadaan jiwa/mental). Sayangnya, seringkali kita hanya berfokus pada luka fisik, tapi kurang memperhatikan luka psikis, sehingga trauma secara psikis seringkali membutuhkan waktu sembuh yang lama, seperti yang pernah kualami beberapa tahun lalu di suatu sore..

Saat itu aku berencana mengunjungi rumah pacarku. Kukendarai motor besarku dengan perasaan berseri-seri karena tak sabar menemuinya. Lagi pula, ada nggak sih hal yang lebih menyenangkan selain “ngapel-in” pacar? Seakan-akan seluruh duniaku teralihkan padanya, hingga membuatku begitu bersemangat mengunjunginya.

Aku pun mengendarai motorku dengan cepat. Untunglah jalanan lengang. Saat aku berkendara di belakang sebuah mobil, tiba-tiba mobil itu berbelok ke arah kanan secara mendadak seperti sedang menghindari sesuatu. Seketika itu pula aku terkejut karena tepat di depanku ada 2 gadis kecil yang sedang tergesa-gesa menyeberangi jalan. Aku pun berusaha menghindari mereka dengan memiringkan bagian depan motorku. Namun tak ayal, bagian samping motorku menghantam mereka, hingga kecelakaan tersebut tak terelakkan.

Aku pun terjatuh dengan kepala yang membentur aspal. Helm yang aku gunakan rusak dan kelopak mataku mengucurkan darah. Dalam hitungan detik, banyak orang mulai berkerumun menyaksikan kecelakaan itu. Beberapa tukang ojek pangkalan pun dengan sigap membopong aku ke sebuah mobil bak terbuka. Aku dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa menderita gegar otak ringan. Benturan itu mengakibatkan aku muntah dan merasakan pusing yang luar biasa.

Saat alis dan kelopak mataku sedang dijahit di ruang IGD, aku merasa kalut dan sedih membayangkan apa yang telah terjadi. Aku benar-benar merasa down, apalagi saat tahu bahwa dua gadis cilik yang aku tabrak ada di rumah sakit yang sama. Satu gadis cilik mendapatkan perawatan secukupnya dan diperbolehkan pulang karena lukanya cukup ringan, sedangkan gadis cilik lainnya masih berjuang hidup karena harus menjalani operasi di kepala.

Perasaan khawatir sekaligus bersalah sungguh memenuhi rongga dadaku, tapi aku memilih untuk bertanggung jawab atas keadaan mereka.

Namun, aku kembali dikejutkan dengan mahalnya biaya perawatan medis untuk si gadis kecil dan aku harus menanggungnya sendiri. Entah siapa yang salah dalam kasus ini, tapi lingkungan kita terbiasa menuntut pertanggungjawaban hanya pada si penabrak, bagaimanapun kejadiannya. Karena itu aku harus menguras semua dana di tabunganku dan mencari sisanya dalam bentuk pinjaman agar dapat melunasi biaya pengobatan tersebut.

Dengan semua yang telah kualami, aku tetap bersyukur si gadis cilik ini dapat selamat dan beraktivitas kembali seperti biasanya.

Walau begitu, untuk beberapa waktu lamanya aku mengalami trauma. Aku tidak berani menyentuh motorku terlebih mengendarainya. Ya, secara fisik aku sudah pulih, tapi secara mental aku kacau dan hancur. Aku perlu waktu untuk menata emosi dan perasaanku. Trauma ini begitu membekas. Entah kapan aku bisa pulih dari perasaan ini.

Hingga beberapa tahun kemudian aku diingatkan akan sosok Musa di Alkitab.

Sepanjang yang aku baca, Musa mengalami banyak trauma dalam hidupnya. Sejak bayi ia sudah masuk dalam pusaran trauma bangsanya sendiri yang saat itu ditindas oleh bangsa Mesir kuno, disembunyikan di semak-semak tepi sungai karena semua bayi yang lahir masa itu akan dibunuh atas perintah raja Firaun. Hal lain yang aku pelajari adalah jati dirinya yang seorang Israel pun disembunyikan. 

Meskipun Musa memiliki wajah dan jubah seperti pangeran Mesir, ia tetap menjadi bagian dari bangsa Israel yang saat itu menderita di bawah perbudakan. Setelah Israel melewati berbagai rintangan dan penderitaan, Musa akhirnya menjadi pemimpin mereka, walau pengalamannya memimpin bangsa Israel dipenuhi trauma dan banyak tantangan.

Jika kita ada di posisi Musa, bisa dimaklumi kalau ia geram terhadap dirinya sendiri, terhadap rakyat yang ia pimpin, bahkan terhadap Tuhan. Ia bisa saja berkeluh kesah dan mengomel, namun Musa tidak melakukannya. Sampai titik akhir hidupnya, ia masih memperhatikan masa depan rakyatnya. Musa berpesan, “Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan…” (Ulangan 30:19-20).

Bagaimana Musa meresponi “traumanya” memberikan inspirasi padaku. Ia tidak menyalahkan diri sendiri atau orang lain, tidak terjebak dalam penyesalan diri, dan tidak mengingat-ingat trauma yang ia alami atau melupakannya seolah-olah hal itu tidak pernah terjadi. Musa dapat menempatkan rasa traumanya dalam cakupan yang lebih luas, tidak hanya trauma yang ia rasakan sendiri, tetapi trauma yang dirasakan bangsa Israel. Trauma tersebut pun tidak membuat Musa berhenti melayani bangsa Israel. Sikap inilah yang membuatku dimampukan untuk mengatasi trauma yang aku alami.

Melalui apa yang kualami, aku juga belajar bahwa trauma adalah perasaan tak berdaya atas kejadian yang terjadi di luar kemampuan kita mengontrolnya, apalagi mencegahnya. Padahal perasaan tak berdaya itu tidak apa-apa, sebab tidak semua hal dapat kita kendalikan atau cegah, bagaimanapun usaha terbaik yang dapat kita lakukan. Terlebih ada satu pribadi yang akan selalu menemani, seperti yang Musa katakan:

“Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati.” (Ulangan 31:8).

Tetapi ketika kita memilih berlarut dalam penyesalan dan rasa bersalah, maka kita akan semakin sulit keluar dari trauma. Trauma yang tinggal dalam hati bisa menggerogoti seluruh diri, termasuk mengganggu dan menghambat kita. Sikap kita terhadap diri sendiri dan dalam berelasi dengan sesama pun dapat terganggu. Kita menjadi getir dan geram, serta energi, pikiran, dan tubuh pun jadi tersedot karena luka itu. Karena itu, bawalah segala kekhawatiran kita pada Pribadi yang selalu memelihara kita (1 Petrus 5:7).

Kalau kita pikirkan kembali, bukankah Alkitab adalah buku yang menceritakan tentang Allah yang mau ikut merasakan trauma yang dialami sebuah bangsa yang tertindas?

Untuk alasan tersebutlah Kristus datang, sebuah rencana agung yang tak terperi. Dan kita dapat bercerita tentang trauma itu dengan mengenang kematian dan kebangkitan Kristus yang telah menanggung setiap dosa kita, menebus kita dari hidup yang sia-sia, dan melepaskan kita dari trauma yang tidak seharusnya kita alami, sembari berharap kelak Kristus akan datang kembali untuk menyongsong kita di awan-awan permai.