Posts

4 Mitos yang Kita Percayai dalam Relasi Sehari-hari

Berelasi dengan sesama pastilah ada jatuh-bangunnya, alias gak selalu mulus-mulus. Baik itu relasi dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, atau lainnya. Namun, apapun relasi yang kita jalani, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai pondasi utama kita dalam berelasi dengan sesama dan mintalah hikmat dari-Nya.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Hidup Kekristenan Itu Seperti Lari Estafet, Bukan Lari Cepat

Oleh Philip Roa

Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Christian Life is a Marathon not a Sprint

Gerejaku selalu mengawali setiap tahun dengan berdoa dan berpuasa. Inilah momen yang dinantikan oleh sebagian besar jemaat. Kami saling bertanya tentang apa pokok doa yang ingin didoakan. Salah satu topik yang paling sering kudengar adalah keinginan untuk punya relasi yang lebih intim dengan Tuhan. 

Tapi, bagaimana caranya kita lebih mendekat pada Tuhan dengan cara yang lebih konsisten? Bukan sekadar konsep “new year, new me” yang biasanya menguap setelah sebulan atau bahkan seminggu.

Jawabannya adalah bagaimana kita membangun suatu kebiasaan. Ketika kita menetapkan tujuan, kita sering membayangkan hasil akhirnya tanpa berpikir bagaimana membangun langkah-langkah kecil dan pondasi supaya bisa mencapai ke sana. Kadang tanpa kita sadari, kita mencari jalan pintas yang lebih cepat. Namun, jika tujuan kita adalah ingin mendekat pada Tuhan, maka ini bukanlah tentang hasil akhir semata. Ini adalah tentang relasi, perjalanan sepanjang hidup yang harus kita jalani dengan tekun setiap harinya. 

Ada satu kutipan yang cukup terkenal, “Kehidupan rohani itu seperti lari estafet, bukan lari cepat.” 

Inilah beberapa pondasi dasar yang telah kudapat selama bertahun-tahun yang selalu kuingat setiap kali aku berpikir tentang bagaimana mendekat pada Tuhan:

Usahakan untuk selalu meluangkan waktu

Di zaman ketika orang-orang ingin kepuasan instan, cara kita mengharapkan pelayanan yang cepat dari restoran fast-food atau kedai kopi bisa saja mempengaruhi cara kita berelasi dengan Tuhan. Kita mungkin mendekati-Nya seperti kita meminta seorang barista menyajikan kopi kita dengan sempurna. 

Di awal perjalanan imanku, aku diajari bahwa Tuhan adalah kawan dan sumber berkat, yang membuatku berfokus pada apa yang bisa kudapat dari-Nya. Pola pikir ini mempengaruhi juga bagaimana aku bersaat teduh. Aku akan membaca ayat dan renungan secara cepat, lalu berdoa dengan kalimat pembuka “Tuhan terima kasih buat hari ini” dilanjutkan dengan daftar permintaan. 

Singkatnya, Tuhan bukanlah sosok yang aku rindukan untuk meluangkan waktu bersama. Dia hanya kuhampiri untuk memenuhi kebutuhanku. 

Dengan pertolongan pembimbing rohani beberapa tahun setelahnya, aku pun punya pemahaman yang lebih baik tentang relasi bersama Tuhan dan betapa pentingnya meluangkan waktu bersama-Nya. Seperti relasi dengan manusia yang kita upayakan, relasi dengan Tuhan pun perlu dipelihara secara sadar dengan berusaha dan meluangkan waktu. 

Dalam Yohanes 1:1-3, Yesus yang adalah Allah pun meluangkan waktu bersama Bapa Surgawi. Injil mencatat banyak peristiwa ketika Yesus secara sengaja menarik diri dari kerumunan untuk menyendiri bersama Allah (Matius 14:23, Markus 1:35, Lukas 6:12). 

Lebih dari sekadar meluangkan waktu, Yesus menunjukkan pada kita bagaimana Dia meluangkan waktu lewat doa (Matius 6:9-13; 26:36-44). Apa yang menjadikan doa Yesus berbeda adalah Dia memprioritaskan kehendak Bapa di atas segalanya. 

Seperti Yesus, kita pun harus meluangkan waktu bersama Bapa supaya kita dapat mengenal hati-Nya, supaya kita memprioritaskan agenda-Nya (Yohanes 4:34). 

Aku selalu ingat apa yang pembimbing rohaniku bagikan beberapa tahun lalu: “Jika sesuatu penting buatmu, kamu tidak mencari waktu, tapi kamu menciptakan waktu buatnya.” Pemahaman ini mengubah pandanganku tentang saat teduh bersama Tuhan dan menolongku untuk memutuskannya menjadi aktivitas pertamaku di pagi hari. Tuhan layak kita utamakan, dan aku tak dapat memberi-Nya perhatian, penyembahan, dan pengabdian, jika yang kupersembahkan hanyalah sisa-sisa waktuku saja. 

Seiring aku mempelajari Alkitab, aku belajar untuk berusaha lebih mengerti konteks dari suatu ayat dan mengerti bagaimana orang-orang dalam Alkitab memahami Allah. Dari sinilah aku melihat bahwa Tuhan itu adil dan kudus, juga murah hati dan berbelas kasih. Semakin aku mengerti siapa Tuhan, semakin aku termotivasi untuk memprioritaskan Dia di hidupku. 

Merenungkan ayat atau bacaan

Yosua 1:8 memberitahu kita untuk merenungkan firman Tuhan supaya kita bertindak hati-hati dan mengalami berkat dari ketaatan. Untuk merenungkan, membutuhkan waktu yang disiapkan secara khusus dan kesiapan mental supaya kita bisa berpikir lebih dalam tentang apa yang kita baca.

Merenungkan firman Tuhan mungkin tak masuk prioritas ketika segala sesuatu telah menyita perhatian kita. Hal yang bisa menolong adalah menciptakan waktu-waktu luang dari waktu-waktu jeda atau kosong di dalam keseharian. Semisal, saat aku sedang naik angkutan umum ke tempat kerja atau saat jam istirahat aku merenungkan apa yang kubaca di pagi harinya. Aku juga mencoba menemukan tempat heningku sendiri. Aku mematikan notifikasi HP, atau kadang aku membawa Alkitab untuk membaca ulang perikop dan menelaah kembali kata-kata kunci yang kutemukan menarik. 

Tapi, bagaimana jika kamu adalah orang yang tidak bisa diam dan pikiranmu suka melayang ke mana-mana? Aku tahu beberapa orang yang seketika saja melamun saat badannya menempel di kasur. 

Sejauh ini aku merasakan bahwa berseru pada Allah (tentu di tempat yang tersembunyi) menolongku untuk berfokus. Ketika kusadari pikiranku mulai melantur, aku akan berseru pada Tuhan. Aku akan menceritakan bagaimana hari-hariku, atau apa yang membebaniku, yang sedang aku gumulkan, atau apa pun yang melayang di pikiranku. Hal yang sama juga kulakukan saat membaca Alkitab. Membaca dengan bersuara menolongku lebih konsentrasi. 

Satu bacaan yang kurenungkan terambil dari Matius 28:18-20 yang juga jadi perikop kunci buat gerejaku. Aku melihat bagaimana Yesus memberikan otoritas pada ayat 18 sebelum Dia memberikan perintah di ayat 19 dan 20. Penting buat para murid-Nya untuk mengerti bahwa otoritas untuk mengajar datang dari Kristus supaya mereka sadar bahwa inilah perintah, bukan sekadar saran. 

Seiring aku merenungkan implikasi dari perintah ini, aku memahami bahwa sebagai orang Kristen tugasku bukan sekadar datang ibadah di gereja. Tapi sebagai murid Kristus yang aktif, tugasku adalah membawa orang-orang datang pada-Nya. Dan, jika aku harus mengajar orang lain untuk taat, maka aku perlu memahami sendiri apa artinya menjadi taat. 

Pada akhirnya, Yesuslah yang memberikan misi kepada para murid sebagai sebuah kelompok di mana mereka melakukan misi ini bersama-sama. Aku pun dipanggil untuk melakukaan ini bersama dengan saudara saudariku dalam Kristus. 

Apa yang Alkitab katakan

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”

Mudah untuk menggambarkan keintiman bersama Tuhan sebagai sekadar meluangkan waktu bersama-Nya dan merenungkan firman-Nya, padahal ada yang kita lupakan: ketaatan. Alkitab mengatakan bahwa menjadi kawan sekerja Allah (tentunya ini relasi yang akrab) berarti kita menaati dan mengikut Dia (Yohanes 15:13-15).

Kaitan antara ketaatan dengan keintiman selalu mengingatkanku akan kisah Abraham, Musa, dan Maria. Ketika Abraham menaati panggilan Allah untuk pergi dari kampung halamannya, dia melihat bagaimana Allah melindungi dan mencukupi dia. Allah memberkati Abraham dengan memberinya Ishak di usia senjanya. Setelah Musa menaati panggilan Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, dia menyaksikan pekerjaan Allah melalui tulah, laut Teberau terbelah, dan berkat-berkat lainnya selama masa pengembaraan. Maria pun menaati Allah ketika dia dipanggil untuk menjadi ibu dari Yesus. Melalui Maria, nubuatan Perjanjian Lama pun tergenapi. 

Dari ketaatan ketiga tokoh itu, mereka diberkati dan merasakan kebaikan Tuhan buat diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. 

Dalam kehidupan pribadiku, aku mengalami sendiri bagaimana keintiman dengan Tuhan melibatkan juga upayaku untuk melatih iman. Aku menaati Tuhan dengan mengambil langkah yang Dia tetapkan buatku dan mempercayai-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu pada waktu-Nya. 

Dari perenunganku di Matius 18:18-20, aku bisa melihat bagaimana sulitnya memuridkan orang lain. Itu butuh pengorbanan besar. Aku perlu mengorbankan waktu-waktuku dalam setiap minggunya untuk menjangkau orang lain daripada cuma berdiam di kamar bermain gim atau membaca buku. 

Tapi, aku juga tahu bahwa membaca dan merenungkan firman Tuhan akan jadi sia-sia jika aku tidak taat. 

Jadi, aku pun menerima panggilan menjadi ketua komsel. Meskipun perjalananku tidak selalu lancar, 12 tahun ke belakang sungguh memuaskan, bagaimana aku, seorang lelaki muda mengenal dan mengasihi Allah. Menjadi seorang pemimpin juga menolongku untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus. Itu memotivasiku untuk bertanggung jawab atas kepemimpinanku dan anggota kelompokku. Aku telah melihat akan pentingnya tergabung dalam komunitas karena itulah yang akan menghibur, menegur, dan menguatkan satu sama lain. 

Menjadi intim dengan Tuhan bukanlah sekadar resolusi atau pokok doa ketika orang-orang bertanya apa yang jadi target rohaniku. Keintiman itu bisa diraih jika kita mengejarnya secara aktif. Meskipun terasa berat untuk keluar dari zona nyaman, mengenal Tuhan dengan dalam sungguhlah berkat dan hadiah yang indah.

Tentang Keinginan Kita dan Jawaban Tunggu

Oleh Hilary Charletsip
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Won’t God Give Me What I Want?

Lima menit.

Hanya dalam lima menit, aku bisa memesan segelas kopi, mendapatkannya, lalu mencium aromanya yang harum, dan menyeruput macchiato caramel yang enak itu.

Dalam lima menit juga, aku dapat mencari sebuah barang secara online, menambahkannya ke keranjang, membayarnya, dan menerimanya esok hari.

Kalau aku ingin menonton acara favoritku? Tinggal buka Netflix.

Kita tentunya punya banyak keinginan, tak cuma tentang barang fisik yang dapat dibeli. Keinginan kita juga berkaitan pada hal-hal yang tak berwujud yang kita capai dalam hidup— harapan, impian, dan permohonan doa kita kepada Bapa yang baik

Aku ingin menikah.
Aku ingin liburan.
Aku ingin…. Ini itu banyak sekali.

Kalau aku sendiri, sejujurnya aku hanya ingin satu hal karena ini yang terus menerus dikatakan orang buatku. Apakah aku siap duduk di belakang meja selama 40 jam seminggu sampai 30 tahun ke depan? Sama sekali tidak. Tapi, itulah yang akan dilakukan oleh seorang mahasiswa yang baru lulus.

Di tahun terakhir kuliahku, aku magang di sebuah perusahaan yang menawariku pekerjaan full-time, lengkap dengan fasilitas tunjangan. Aku bahkan tidak perlu wawancara. Tapi, lewat obrolan dengan orang-orang dewasa, doa, dan sedikit rasa ragu, aku tahu aku tidak akan cocok bekerja di situ seterusnya. Kutolak tawaran itu tanpa punya rencana cadangan, tapi aku percaya Tuhan akan menolongku.

Namun, berbulan-bulan setelah aku menolak tawaran kerja itu, hatiku merasa aku salah ambil keputusan. Semakin aku berdoa supaya dapat pekerjaan tetap, semakin aku tahu kalau usahaku belum akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Satu lamaran mengarahkanku ke lamaran lainnya tanpa proses wawancara, sementara perusahaan yang aku dambakan malah tidak pernah meresponsku.

Pergumulanku mencari pekerjaan tetap pun berlangsung selama empat setengah tahun. Ada banyak wawancara dan penolakan, air mata, dan saat-saat di mana aku menjadi sangat frustasi dengan setiap prosesnya. Terkadang aku mencoba bertindak sendiri, lelah mempercayai Tuhan. Setiap hari aku gelisah, kurang tidur, terburu-buru, dan cemas.

Melalui empat setengah tahun yang berat itu aku sadar bahwa terkadang Tuhan memakai tiap masa untuk menguatkan kita… untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.

Kita ingin pekerjaan itu, tapi kita tidak punya keterampilan yang sesuai untuk mencapai apa yang Tuhan ingin kita lakukan di posisi itu. Jika memang posisi itu yang Tuhan kehendaki, Tuhan pasti akan mengizinkan kita diproses lebih dulu supaya kita memiliki kualitas dan keterampilan yang sesuai. Inilah yang terjadi selama empat setengah tahun bekerja secara kontrak. Tuhan membentukku, memperlengkapiku, dan mengenalkanku kepada orang-orang yang membawa pengaruh baik di hidupku, yang akhirnya membawaku pada posisiku sekarang ini. Tuhan tidak sedang meninggalkanku, tapi Dia sedang membawaku keluar dari zona nyaman untuk menjadikanku kompeten sesuai dengan rencana-Nya.

Masa-masa bekerja selama berjam-jam sembari dituntut juga untuk multi-tasking mengajariku tentang prioritas dan ketekunan—tetap melakukan apa yang jadi tugasku sampai selesai. Tugas untuk melakukan presentasi di grup networking—yang meskipun mengintimidasi—membantuku mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum yang sekarang kulakukan setiap minggu dalam pekerjaanku.

Jika Tuhan seketika saja memberikan apa yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah menikmati proses yang menjadikan kita lebih unggul. Atau, mungkin juga kita tidak siap melaksanakan apa yang jadi kehendak-Nya.

Selama menjalani pekerjaan kontrak, Kolose 3:23 menjadi ayat yang kupegang teguh:

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Tidak masalah di mana aku berada atau apa yang kulakukan—entah aku menikmatinya atau tidak—aku tidak menganggap pekerjaanku hanya sebagai bekerja untuk orang-orang di sekitarku. Aku menganggapnya bekerja untuk Tuhan dan bersinar untuk-Nya. Pola pikir ini membantuku menumbuhkan kesabaran.

Ketika aku frustasi, aku ingat bahwa Tuhan selalu punya alasan tentang mengapa Dia mengizinkanku berada pada suatu waktu dan tempat. Entah apa yang kulakukan adalah untuk waktu singkat, atau waktu lama, aku akan berusaha bekerja dengan baik dan membayangkan Tuhan berada tepat di tempat kerja bersamaku. Kita mungkin tidak mengerti alasannya sekarang, tapi Mazmur 37:7-9 berkata: “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia;… jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”

Jika kamu sedang berdoa dan menanti, janganlah patah semangat. Tuhan akan mengubah masa gersang menjadi musim yang berbuah. Itu mungkin bukan masa depan yang kita impikan atau bayangkan, tetapi marilah kita beriman dan percaya pada waktu Tuhan dan rencana-Nya.

Jika kita belum mendapat kerja, belum menemukan pasangan, atau tidak bisa pergi liburan—apa pun itu, itu karena Tuhan sangat mengasihi kita. Dia terlalu mengasihi kita untuk memberikan sesuatu yang belum siap kita terima. Dia terlalu mencintai kita untuk memberikan sesuatu yang belum bisa kita tangani. Dia terlalu mengasihi kita untuk mengizinkan kita menetap, atau menyimpang dari jalan yang telah Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Mungkin rasanya berbeda, mungkin tidak nyaman, tetapi bagaimana pun, apa yang Tuhan sediakan bagi kita itu adalah baik.

Menunggu akan yang terbaik dari Tuhan mungkin tidak sesingkat dan senyaman menunggu pesanan kopi kita disajikan dalam lima menit. Tapi, bukankah menunggu akan tetap jadi menyenangkan jika kita bisa sembari menghirup aromanya, dan mengamat-amati barista memproses kopinya sampai tersaji sempurna?

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Semuanya Dimulai dengan Percaya Bahwa Tuhan Itu Baik

Oleh Gabrielle Triyono
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Starts With Believing God is Good

Kita semua mungkin pernah berkata “Thank God” atau “Tuhan baik” berkali-kali dalam hidup kita. Tapi, apakah pilihan dan cara hidup kita benar-benar mencerminkan apa yang kita katakan? Jawabanku adalah: tidak selalu. 

Tumbuh besar sebagai orang Kristen, aku diajarkan kalau Tuhan itu baik, dan memang aku telah mengalami sendiri kebaikan Tuhan. Tapi, meskipun aku mengalami kebaikan-Nya, seringkali aku masih ragu dengan apa yang Tuhan minta untuk kulakukan.

Pada suatu momen, Tuhan meneguhkan hatiku untuk putus dari suatu hubungan pacaran. Meskipun pada masa-masa yang lalu aku telah mengalami sendiri kesetiaan dan kebaikan Tuhan, tapi keterikatanku pada relasi dengan pacarku membutakanku dari melihat tuntunan Tuhan. Aku memaksakan kehendakku sendiri dan menganggap cara Tuhan bukanlah yang terbaik buatku. 

Tapi, ternyata aku salah.

Hubungan dengan pacarku membuatku jauh dari Tuhan. Aku kehilangan fokus kepada panggilan Tuhan. Buku-buku yang Tuhan tanamkan dalam hatiku untuk kutulis jadi tertunda, dan aku tidak bisa memberi diri sepenuhnya untuk melayani dalam persekutuan di gereja. Dan karena Yesus tidak pernah menjadi pusat dalam hubunganku dengan pacarku, kami  pun tidak bertumbuh secara rohani.

Sejak itu, aku melihat Tuhan berkarya lebih banyak dalam hidupku daripada sebelumnya.

Tuhan membuka pintu bagiku untuk menjadi pemimpin di persekutuan para lajang di gerejaku (meskipun aku baru join persekutuan ini beberapa bulan saja). Aku juga diundang untuk berbicara, berbagi kesaksian, dan memimpin ibadah untuk acara Natal para lajang di gerejaku. Sungguh mengharukan melihat bagimana ceritaku berpengaruh pada orang-orang yang juga bergumul dalam hidupnya. Salah satunya lewat buku yang kutulis, yang berjudul Living Revelations. Beberapa orang memberiku tanggapan bahwa karyaku itu bermanfaat bagi mereka. 

Aku pun mengalami Efesus 3:30 menjadi nyata dalam hidupku: Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.”Tuhan pasti memberiku lebih dari apa yang kubayangkan. Dia membuka lebih banyak pintu untuk pelayananku. 

Pengalaman ini membuatku sadar tentang kebenaran penting. Menyadari bahwa Tuhan itu baik menolong kita melangkah dalam ketaatan untuk melakukan panggilan kita.  Mazmur 18:30 mengingatkan kita, “Adapun Allah, jalannya sempurna.”

Seringkali kita melewatkan berkat Tuhan dengan menolak untuk menaati-Nya karena kita tidak percaya kalau jalan-Nya adalah sempurna. Aku perlu belajar bahwa meskipun jalan-Nya terlihat seperti bukan yang terbaik, tapi itulah yang terbaik buat kita. 

Pertemuan Simon Petrus dengan Yesus adalah contoh yang baik tentang pentingnya percaya pada panggilan Allah. Dalam Lukas 5, Yesus meminta Petrus untuk berlayar ke perairan yang dalam untuk menangkap ikan lagi, sedangkan Petrus baru saja menghabiskan sepanjang malam melaut tapi tidak ada ikan yang tertangkap.

Petrus pun menanggapi Yesus, Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Petrus sudah kelelahan, dan kita bisa melihat dari tanggapannya bahwa dia tidak merasa gagasan Yesus itu baik. Namun, walaupun dia ragu dan bimbang, dia tetap melakukannya.

Apa hasilnya? Berkat yang luar biasa.

Petrus dan rekan-rekan nelayannya menangkap begitu banyak ikan, sampai jala mereka pun mulai koyak (ayat 6). Lukas 5:8-9 mengatakan, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus… Dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap..” (titik beratku).

Petrus menyadari kebaikan Tuhan. Jika dia mengikuti perasaannya dan tidak mendengarkan Yesus, dia tidak akan pernah berada pada posisinya saat itu—di kaki Yesus, penuh kekaguman akan kuasa-Nya.

Mungkin kita seperti Simon Petrus. Tapi seperti pengalaman yang ditunjukkan Petrus, perasaan kita tidaklah selalu jadi cerminan kenyataan. Tuhan ingin memenuhi kita dengan kebaikan dan berkat-Nya, tapi itu dimulai dengan ketaatan kita.

Maukah kita menanggapi Yesus seperti Simon Petrus dan berkata, “Karena Engkau telah bilang begitu, maka aku akan melakukannya”

Jika kamu belum melihat tangan Tuhan berkarya dalam hidupmu, sekaranglah kesempatanmu untuk melihat kebaikan-Nya tercurah dalam hidupmu. Dan jika kamu telah melihat Tuhan berkarya dalam hidupmu, percayalah Dia akan melakukannya lagi dan lagi.

Hari ini, maukah kita mengikuti permintaan Yesus? Melakukan perintah-Nya dengan beriman, terlepas dari perasaan dan keraguan kita. Maukah kita menyadari kebenaran sederhana ini bahwa Tuhan selalu berlaku baik untuk kebaikan kita?

Kita tidak perlu takut dengan apa yang akan datang. Selama kita berjalan dengan Tuhan, kebaikan-Nya akan selalu menemani hidup kita. Mazmur 23:6 berkata, “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”.

Tidak ada yang lebih baik daripada hidup di dalam kehendak Tuhan.

Demi Perubahan Hidup, Aku Berani Ambil Keputusan Besar

Oleh Sarah Callen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How A Month With God Changed My Life

Beberapa bulan terakhir rasanya seperti penuh badai bagiku. Di bulan Agustus, aku merasa Tuhan memintaku untuk menjadikan bulan Septemberku sebagai momen Sabat–waktu khusus untuk berhenti dan beristirahat. Aku terpikir untuk berhenti kerja, berhenti menyusun planning, agar aku bisa meluangkan waktu berkualitas dengan Tuhan tanpa gangguan apa pun.

Di pekerjaanku, aku bisa bekerja sampai 14 jam sehari. Keputusan berhenti ini mengubah jam kerjaku menjadi 0 jam sehari. Buatku yang workaholic, perubahan drastis ini akan menyulitkan dan mengejutkanku. Aku terus meminta petunjuk supaya aku yakin, seperti ketika Allah meyakinkan Sarah.

Di dalam Alkitab, ada pola tentang bagaimana Tuhan memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk “keluar” agar mereka fokus pada-Nya. Bangsa Israel berjalan di padang gurun selama 40 tahun, menjumpai Tuhan dan belajar menanggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa membahayakan mereka. Yesus pun secara teratur meluangkan waktunya dalam kesunyian dan berdoa bersama Bapa. Sepanjang waktu yang kutentukan sebagai Sabat, aku terpaku pada beberapa ayat di Yeremia 29, yang ditulis untuk umat Tuhan yang sedang ditawan.

“Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 29:12-14a)

Ungkapan “dengan segenap hati” itu selalu menyentakku setiap kali aku membacanya. Aku sungguh ahli jika mencari Tuhan dengan ‘sebagian’ hatiku, tetapi jika seluruhnya kuserahkan, itu jadi cerita yang berbeda. Aku tahu Tuhan memanggilku ‘keluar’ dari rutinitasku supaya aku bisa mencari Dia sepenuh hati, dan aku tahu aku harus membuat beberapa perubahan.

Memangkas Kebisingan

Salah satu perubahan yang kulakukan adalah: aku memutuskan berhenti jadi subscribers sejumlah podcast. Aku perlu mengendalikan suara-suara manakah yang kuizinkan masuk ke dalam pikiranku dan membentuk hidupku.

Selama bertahun-tahun, aku mendengar berbagai podcast soal politik dan aku sangat menikmatinya, tapi di sisi lain aku pun merasa muak. Seiring waktu, podcast yang awalnya seru dan mendidik berubah menjadi ajang saling menuding dan menjatuhkan pihak lain, sehingga jika kudengarkan lebih lanjut bisa berdampak negatif buatku.

Meskipun aku tahu podcast itu memberiku dampak negatif, berhenti jadi subscribersnya ternyata sulit. Sebagian diriku masih ingin terikat pada rutinitasku. Aku juga tidak ingin kehilangan suara-suara yang sudah akrab kudengar. Loyalitasku pada acara podcast ini mungkin jadi penyebab, tapi kusadari ada yang lebih dari itu:

Aku tidak ingin melepaskan sesuatu yang sudah kugenggam erat. Aku tidak ingin berkorban. Aku ingin lebih mengenal Tuhan lebih erat dan akrab, mendengar-Nya lebih jelas daripada sebelumnya. Tapi, aku tidak mau menciptakan ruang untuk mendengar suara-Nya. Aku ingin Dia bekerja, sedangkan aku cuma menerima.

Menjumpai yang Lebih Baik

Di bulan September, aku melakukan yang terbaik untuk bulan yang kuanggap Sabat. Aku belajar lebih bijak menggunakan uangku, tidak lagi boros untuk sekadar jajan. Aku memilih untuk percaya pada pemeliharaan-Nya daripada mengkhawatirkan diriku sendiri.

Kutunda dulu pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktuku supaya aku bisa bersandar pada firman-Nya. Aku belajar merasa cukup dengan kehadiran Tuhan saja, bukan semata mencari berkat-berkat-Nya. Aku harus menguji, apakah aku beriman dengan murni atau transaksional alias mengharapkan imbalan. Kusadari aku terlalu egois, yang kupikirkan cuma diriku sendiri.

Tuhan seperti memberiku cermin. Dia menunjukkanku area-area mana di hidupku di mana aku membiarkan rasa malu dan gila kerja menguasaiku, menaruh percayaku pada zona nyaman yang kubuat sendiri, yang kuyakini itulah yang berkenan buat Tuhan.

Sekarang, aku sadar bahwa tugasku adalah aku perlu percaya pada Tuhan melebihi aku percaya pada diriku sendiri. Aku memilih untuk berserah.

Bagi seorang workaholic yang terlalu berlebihan dalam bekerja, keputusan menikmati Sabat akhirnya menunjukkanku bahwa Tuhan jauh lebih hebat dari diriku sendiri. Segala upayaku dalam bekerja tidak memiliki makna jika aku tidak memiliki relasi dengan-Nya. Momen-momen ketika aku melepaskan diri dari apa yang menjeratku, jadi pembelajaran yang meneguhkanku bahwa identitasku datang dari apa yang Tuhan katakan tentangku, bukan dari apa yang aku lakukan. Tuhan telah menyingkap dan menyembuhkan bagian-bagian hatiku yang terluka, yang tidak percaya, yang keras. Aku telah mencari Dia, dan Dia pun selalu hadir.

Tuhan selalu bisa kita jumpai saat kita ingin berelasi dengan-Nya.

Apa yang Tuhan katakan padamu dalam situasimu yang sekarang? Apa yang telah Dia bisikkan ke hatimu? Aku berdoa agar kita bijak mengelola waktu kita, memangkas hal-hal apa yang membisingkan telinga dan hati kita, serta memberi ruang bagi-Nya untuk berbicara kepada kita.

Apa pun langkahmu selanjutnya, aku berdoa agar Dia memenuhimu dengan keteguhan hati dan kamu memutuskan untuk selalu mengikut dan taat pada rencana-Nya.

Kamu Gpp? 5 Alasan Kita Sulit Mengungkapkan Perasaan

Mana nih tim yang selalu bilang “Aku gapapa” (padahal gak baik-baik aja)?

Sobat Muda, kita boleh dan perlu terbuka tentang perasaan kita kepada orang yang kita percayai.

Artspace ini didesain oleh @verses_illustrated dan diterjemahkan dari @ymi_today

5 Tips Makin Intim Bersahabat dengan Tuhan

Oleh YMI

Kita tidak asing dengan konsep menjadikan Tuhan Yesus sebagai tempat bercerita tentang apa pun. Tapi, seberapa sering kita berpikir bagaimana kita bisa berteman dengan-Nya? Alih-alih menjalin relasi yang cuma satu arah, bagaimana caranya membangun relasi yang intim dengan Tuhan Yesus?

Semua hubungan membutuhkan kerjasama dua pihak, layaknya dibutuhkan dua tangan agar dapat bertepuk tangan. Ada beberapa tips yang dapat menolong kita belajar untuk semakin bertumbuh dan bersukacita di dalam-Nya

1. Undang Tuhan masuk dalam setiap aspek hidup kita

Yohanes 15:15 mengatakan bahwa sebagai pengikut Yesus, kita tidak lagi disebut-Nya hamba, tetapi sahabat, yang bersama kita, Dia berbagi segala sesuatu yang telah Dia “pelajari dari Bapa”. Inilah keakraban yang Yesus rindukan. Dia ingin kita masuk dalam “inner-circle”-Nya. Betapa indahnya menjadi sahabat Kristus dan melibatkan Dia dalam setiap proses pembuatan keputusan dan rencana kita.

Memandang Tuhan sebagai sahabat tidak berarti hanya datang kepada-Nya ketika kita dalam masalah atau ketika kita sedang menjalankan rencana kita (dan meminta-Nya memberkati kita). Mintalah nasihat-Nya, libatkan Dia dalam tiap aspek hidup kita, dan serahkan pada-Nya “seluruh jalan kita”. (Amsal 3:5-6), dengan begitu kita akan berjalan semakin dekat dengan-Nya melalui tiap musim kehidupan dan tetap berada di jalan kebenaran.

2. Ambil waktu untuk mengikuti dan mengenal-Nya

Seperti kita yang senang berbagi cerita tentang keseharian kita pada seorang teman, kita juga bisa melakukan hal yang sama dengan Tuhan. Kapan pun kita bersukacita sepanjang hari, melihat karya tangan-Nya dalam ciptaan atau dalam ayat Alkitab yang kita renungkan, atau menyaksikan rencana yang Dia rajut datang terwujud, bagikanlah momen-momen tersebut dengan Tuhan. Melakukan semua ini akan memperdalam sukacita kita, seiring kita juga melihat berkat-berkat yang Dia sediakan bagi kita.

Namun, selain menikmati pemberian baik yang Dia berikan kepada kita, mari kita juga berikan waktu dan upaya untuk sungguh-sungguh mengenal Sang Pemberi, dengan menggemakan keinginan yang sama yang diungkapkan Musa dalam Keluaran 33:13 : “Maka sekarang, jika aku kiranya mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau, supaya aku tetap mendapat kasih karunia di hadapan-Mu…”

Mari minta Tuhan memberi tahu kita jalan-Nya agar kita dapat mengenal-Nya dan terus mendapatkan kasih karunia-Nya. Dan saat Dia melakukannya, mari kita simpan Firman-Nya dalam hati kita, dan biarkan firman-Nya mengarahkan jalan dan tindakan kita. Semakin banyak kita menghabiskan waktu bersama-Nya, semakin persahabatan dengan-Nya menggembirakan hati kita (Mazmur 37:4).

3. Ingatlah betapa Dia berbelas kasih kepada kita

Apa yang kamu lakukan ketika seorang teman baik mengecewakanmu atau membuat keputusan yang tidak kamu mengerti sama sekali?

Ada momen ketika kita kecewa pada Tuhan, ketika kita bimbang dan kita rasa Dia hanya diam saja. Atau, ketika kita bingung akan alasan mengapa Tuhan melakukan semua ini. Apakah kita memilih untuk meninggalkan-Nya atau memilih untuk tetap percaya?

Di masa-masa sulit, penting untuk mengingat dengan siapa kita membangun relasi sejak awal. Yesus adalah imam besar kita yang dicobai dalam segala hal sama seperti kita, dan Dia mampu berbelas kasih pada kelemahan kita, serta menunjukkan kepada kita jalan yang lebih baik ke depannya (Ibrani 4:15).

Saat kita berjalan bersama-Nya melalui pencobaan, penderitaan, dan rintangan dalam hidup ini, kita belajar bahwa hanya Dia satu-satu-Nya pribadi yang dapat kita percaya.

4. Terimalah rencana-Nya dengan rela dan terbuka

Pernahkah kamu cuma membaca chat dari temanmu karena menurutmu kata-katanya membuat perasaanmu hancur dan terluka? Kata-kata itu jadi begitu perih ketika kamu sedang mengalami ketidakadilan dan bergumul dengan masalah-masalahmu. Kadang, tanpa kita sadari kita pun suka ‘mengabaikan’ Tuhan seperti kita mengabaikan chat teman kita. Kita menganggap sabda-Nya itu terlalu keras dan kita lantas menyembunyikan luka dan dosa kita dari-Nya.

Teman sejati tetap bersama, bahkan saat kita sendiri merasa tidak layak dikasihi. Teman sejati ingin agar kita mampu melepaskan diri dari hal-hal yang membebani kita dan kita dapat berjalan dalam kebebasan (Ibrani 12:1).

Janganlah mengeraskan hati kita terhadap suara-Nya (Ibrani 3:12-14) atau mengabaikan Dia ketika kita merasa bahwa apa yang Dia minta dari kita terlalu sulit. Memahami isi hati Allah bagi kita—bahwa Dia ingin menyelamatkan kita dari cara-cara kita yang merusak diri sendiri—menolong kita melihat kebaikan yang menuntun pada pertobatan (Roma 2:4).

5. Bergabung dalam misi-Nya

Banyak dari kita yang berjuang menghidupi kata-kata Yesus dari Yohanes 15:14, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu”, karena kita tahu Dia memanggil kita untuk ketaatan yang tidak terikat pada kenyamanan atau kesenangan, tetapi untuk relasi yang terikat perjanjian dengan-Nya (Mazmur 25:14).

Tetapi, bagaimana jika kita melihat ketaatan dan persahabatan ini sebagai hak istimewa—jalan bagi kita untuk memahami hati dan rencana Allah bagi kita (Yohanes 15:15)? Sama seperti menghabiskan waktu bersama seorang teman dengan melakukan kegiatan yang kamu sukai yang membawa sukacita dalam persahabatan, tidak ada cara yang lebih baik untuk menumbuhkan sukacita yang lebih dalam dari persahabatan kita dengan Tuhan selain berjalan bersama-Nya, bermitra dengan-Nya, dan menjalankan misi bersama-Nya.

Misi Yesus jelas: untuk menarik semua orang kepada terang Allah yang luar biasa dan mendamaikan kita dengan Bapa (2 Korintus 5:18-20). Menjadi bagian dari misi-Nya (Matius 25:40) bisa berarti melakukan hal-hal yang membuat kita tidak nyaman: seperti berteman dengan orang-orang yang paling dekat di hat Tuhan—yang patah hati (Mazmur 38:14), berbagi apa yang kita miliki dengan orang lemah (Amsal 19:17), atau membela mereka yang tertindas (Amsal 31:8-9).

Melakukan semua hal di atas membuat kita paham besarnya kasih karunia-Nya terhadap kita, juga mengingatkan kita betapa kudusnya Dia, betapa berdosa dan tak berdayanya kita, dan betapa hebatnya Raja segala raja yang mengulurkan kasih dan persahabatan-Nya kepada kitia. Dan saat kita membawa harapan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang putus asa, harapan itu dapat menyalakan hati yang bersyukur atas kasih dan kemurahan-Nya.

Ketika kita melihat kasih Tuhan untuk kita di Alkitab dan melihat Dia sebagai sahabat, cara kita berhubungan dengan-Nya akan berubah—Dia akan menjadi seseorang yang kita kasihi, dan pribadi yang kita inginkan untuk berbagi berbagai pikiran dan rencana kita.

Belajar Mempercayai Tuhan Lebih Daripada Aku Mempercayai Nilai Tabunganku

Oleh Mikaila Bisson
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Trust God with Your Finance

Sepanjang hidupku, aku sudah dilatih untuk mengelola uang dengan baik. Saat sekolah, orang tuaku memulainya dengan membuatkanku rekening bank, dan setiap uang yang kuperoleh dari pekerjaan sambilan akan langsung masuk ke sana.

“Kamu menabung untuk keadaan darurat,” kata mereka—yang tentu saja tidak masuk akal bagiku saat itu. Namun, sekarang ceritanya telah berbeda.

Beberapa bulan lalu, pergelangan kakiku patah saat bermain outdoor game bersama teman-temanku. Akibatnya, aku harus dioperasi dan proses pemulihan yang cukup panjang harus kujalani. Kecelakaan itu tidak pernah kurencanakan, tapi ketika itu terjadi aku harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Barulah sekarang aku paham mengapa menabung untuk dana darurat itu penting. Ketika aku belajar mempercayakan keuanganku kepada Tuhan, rasanya cara pandangku tentang keuangan berubah menjadi lebih baik karena aku melihatnya dari tempat yang tepat.

Dalam Amsal 3:5, kita diperintahkan untuk, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

Mempercayai itu sulit, terutama untuk sesuatu yang begitu nyata dan penting seperti uang. Bagaimana kita bisa mempercayakan cicilan rumah, mobil, dan kesehatan kita kepada seseorang yang tidak dapat kita lihat? Bagaimana bisa, jika kita seorang Kristen, mempercayakan keuangan kita pada Tuhan, tapi tetap menabung dan menyiapkan uang untuk hal-hal tak terduga?

Ketika aku harus membayar biaya pengobatan dari kecelakaan yang tak kurencanakan, aku takut dan sedih. Namun, barulah ketika aku pelan-pelan mencerna semua perasaan itu, aku jadi lebih memahami apa artinya mempercayakan keuanganku kepada Tuhan.

Meskipun Alkitab tidak memberikan pedoman khusus tentang bagaimana menyusun anggaran bulanan atau portofolio keuangan kita, Alkitab memberikan bimbingan pada bagaimana kita harus bersikap terhadap uang, terkhusus pada perasaan takut akan kehilangannya.

Mempercayai Tuhan dengan keuangan kita seperti… percaya Dia menyediakan untuk kita–tak melulu uang.

Reaksi pertamaku ketika melihat tagihan tak terduga adalah takut. Lupakan fakta bahwa aku baru sembuh dari patah tulang, aku menangis karena tagihannya mahal. Asuransiku tidak sepenuhnya meng-cover tagihan, dan aku khawatir aku tidak akan pernah mendapatkan kembali tabungan yang telah kukumpulkan dengan susah payah.

Namun, Yesus berkata dalam Matius 6:25-26,

“… Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.”

Burung-burung pun Tuhan pelihara, tentulah Dia juga memelihara kita.

Tuhanlah yang memampukanku mengumpulkan tabungan untuk kecelakaan ini—bahkan ketika aku kesulitan meraihnya di masa itu. Tuhan juga merawatku dengan cara lain. Dia membantuku menemukan konselor di kotaku yang baru beberapa minggu sebelum aku putus dengan pacarku, memberiku para sahabat yang menolongku melewati masa-masa sulit, dan segala sesuatu lainnya.

Saat aku belajar mengenal karakter-Nya, Tuhan juga menunjukkanku cara pemeliharaan-Nya. Semua ini menunjukkanku bahwa Tuhan menginginkan yang terbaik bagiku dan rencana-Nya lebih besar daripada yang kutahu. Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya terus-menerus. Ketika iman percayaku memudar pada masa-masa tertentu, mengingat bagaimana Dia memeliharaku menolongku untuk tetap kuat. Dia memegang kendali dan selalu layak dipercaya.

Mempercayakan keuangan kita kepada Tuhan ibarat… menemukan sukacita di tengah kekhawatiran

Namun sesungguhnya, aku masih khawatir meskipun aku tahu Tuhan telah menjanjikan bahwa Dia pasti memelihara. Aku tetaplah manusia. Ketakutanku terkadang begitu melemahkan, sehingga aku harus mencari pertolongan pada konselorku, teman yang kupercaya, atau orang tuaku. Sementara itu, berkali-kali aku menangis karena takut akan masa depan, aku juga menangis meratap.

Aku selalu diberitahu bahwa tidak apa-apa berduka atas kehilangan, dan bagiku, kehilangan tabungan adalah kerugian yang sangat besar. Tapi Yesus berkata dalam Mazmur 34:18, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Sementara aku berduka karena kehilangan tabunganku, Tuhan dekat denganku.

Dia bekerja untuk menunjukkanku seluruh hal-hal berbeda yang dapat membawa sukacita padaku: keluarga yang akan merawatku saat aku membutuhkan mereka, seorang dokter yang membuat jadwal operasiku lebih cepat dari yang diharapkan, dan tubuh sehat yang memungkinkanku pulih dengan cepat.

Tabunganku memang penting bagiku, tapi yang lebih penting adalah cara Tuhan yang sederhana namun sangat penting bekerja untuk kebaikanku—dan membantuku menemukan sukacita!—tepat di depan mataku.

Seiring aku terus berupaya memperbaiki kondisi keuanganku, mempercayai Tuhan masihla menjadi hal yang sulit. Tetapi, ketika aku memahami dan mengenali sumber perasaan takutku dan bagaimana Alkitab menolongku memprosesnya, kekhawatiranku akan kehilangan uang pun memudar.

Ketika dulu aku mengandalkan diriku sendiri supaya hidup berkecukupan, sekarang aku telah meraih pandangan baru yang memampukanku untuk lebih mempercayai pemeliharaan Tuhan buatku, meskipun cara-Nya tidak selalu seperti yang kuharapkan.