Posts

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.

Ketika Aku Menyadari Selama Ini Aku Telah Salah Berdoa

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku memiliki seekor anjing yang kuberi nama Putih, walaupun warna bulunya bukanlah putih. Sejak ia berumur 3 minggu dan terpisah dari induknya, aku telah merawatnya. Aku memberinya susu formula, mengganti tempat tidurnya, sampai terbangun tengah malam untuk memberinya minum susu. Aku begitu menyayangi Putih karena bagiku dia adalah seperti sahabatku sendiri.

Suatu hari, Putih sakit. Ia tidak mau makan dan juga muntah-muntah. Walaupun obat sudah kuberikan, tetapi tidak ada dampak apapun yang terjadi kepada Putih. Karena aku sangat menyayanginya, aku tidak mau jika Putih mati. Jadi aku berdoa memohon supaya Tuhan berkenan menyembuhkan Putih.

Kejadian ini berlangsung beberapa hari sebelum ulang tahunku. Dalam salah satu doaku, aku pernah memohon pada Tuhan supaya di usiaku yang bertambah, Tuhan membuat imanku makin kuat dan teguh. Aku ingin menjadi seorang yang dewasa di dalam iman. Tapi, ketika melihat keadaan Putih yang sakit tanpa ada tanda-tanda kesembuhan, aku merasa imanku pada Tuhan menjadi goyah. Aku berdoa, tetapi aku sendiri merasa ragu dengan doaku, aku tidak yakin dengan doa-doa yang kunaikkan pada Tuhan. Dengan dalih supaya Tuhan “makin berkenan”, aku sempat berjanji jika Putih sembuh maka aku akan menulis sebuah kesaksian.

Suatu ketika, saat aku hendak berdoa di gereja, aku melihat ayat Alkitab yang kupasang menjadi wallpaper di ponselku.

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya” (Matius 21:22).

Ayat ini membuatku bertanya-tanya. Rasa-rasanya aku telah bersungguh-sungguh berdoa supaya Putih bisa sembuh. Tapi, mengapa tidak terjadi apapun? Bukankah di ayat tersebut dikatakan bahwa apapun yang kuminta dengan penuh percaya pasti akan dikabulkan?

Namun, Tuhan menegurku. Bukan Tuhan yang tidak menjawab doaku, tetapi aku menyadari bahwa aku telah berdoa dengan cara yang salah. Alih-alih berdoa memohon supaya kehendak Tuhan yang terjadi, aku malah memaksa Tuhan supaya Dia menuruti kehendakku sendiri dengan dalih supaya Putih bisa sembuh.

Tanpa kusadari, aku telah menjadikan Tuhan seperti seorang pembantu yang harus menuruti apa yang kukehendaki. Melalui teguran dari ayat di atas, aku sadar bahwa seharusnya aku berdoa dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan sungguh-sungguh akan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya, seperti Doa Bapa Kami yang berkata, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10). Dan, kehendak-Nya itulah yang terbaik untukku, juga untuk Putih.

Aku belajar untuk mengakui bahwa apapun yang terjadi, itu adalah yang terbaik dan ketika Tuhan mengizinkan hal tersebut terjadi, bukan karena Tuhan tidak sanggup untuk melakukannya, tetapi Dia memiliki rencana yang lebih indah. Tuhan ingin supaya aku menyerahkan semuanya ke dalam tangan-Nya dan di dalam hatiku aku tetap mengakui bahwa apapun yang terjadi pada Putih, Tuhan tetap berlaku baik.

Setelah aku mengubah pemahamanku akan berdoa, aku pun tetap berusaha mengupayakan kesembuhan Putih sebisa mungkin. Aku memberinya obat, susu, dan air putih. Perlahan-lahan, aku melihat ada tanda-tanda kesembuhan! Putih sudah mau makan dan tepat sehari setelah ulang tahunku aku melihat kesehatan Putih mengalami peningkatan. Secara berangsur-angsur, akhirnya Putih pun bisa kembali sehat seperti sedia kala.

Jika dulu aku berdoa ingin menuliskan kesaksian ini hanya kalau Putih sembuh, sekarang aku mengubahnya sedikit. Aku menuliskan kesaksian ini bukan karena Tuhan menyembuhkan Putih, tetapi karena Tuhan memang baik. Tuhan telah mengajariku pemahaman yang benar tentang berdoa.

Jika seandainya waktu itu Tuhan menjawab doaku dengan Putih yang tidak jadi sembuh, aku percaya Tuhan tetap baik. Mungkin pada awalnya aku akan merasa kecewa, tapi seiring dengan perjalananku bersama-Nya, aku percaya bahwa Dia tidak akan membiarkanku tinggal berlama-lama dalam kekecewaanku. Tuhan selalu menyediakan sukacita jauh dari apa yang kupikirkan. Aku akan tetap berdoa kepada Tuhan, meminta supaya Dia mengajariku untuk mengerti dan selalu bersyukur atas kejadian apapun dalam hidupku.

Kiranya kesaksian sederhana ini boleh menjadi berkat untuk kita semua.

“Dan Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu” (Mazmur 37:4).

Baca Juga:

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.