Posts

Nafsu dalam Pacaran: Dosa Terselubung yang Tidak Kita Bicarakan

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Lust in Dating: The Secret Sin We Don’t Talk About

Aku dan suamiku sudah menikah selama setengah tahun. Sebelum menikah, kami pacaran selama dua tahun lebih.

Selama masa-masa pacaran, kami bergumul dengan dosa yang amat kami sesali. Hanya teman yang paling dekat dan pemimpin di gereja kami yang tahu akan dosa itu: hawa nafsu.

Dari berpegangan tangan hingga peluk-pelukan, godaan untuk semakin dekat secara fisik semakin kuat saat relasi kami menjadi lebih erat.

Kami coba lawan godaan ini sebisa mungkin. Kami berdoa memohon pengendalian diri, menundukkan diri kami dalam firman Tuhan tentang kekudusan, membaca dan membaca lagi artikel dan renungan Kristen tentang mengalahkan nafsu, menetapkan batasan-batasan fisik, menangis dan merasa malu setiap kali kami melanggar kesepakatan, berusaha bertanggung jawab dan jujur berbicara ke pembimbing kami, dan datang ke konselor Kristen bersama-sama.

Namun, seringkali rasanya semua usaha itu sia-sia. Kami ‘melakukan’ semuanya dengan benar, iya kan?

Lucunya, meskipun kami pikir kami tahu apa yang Alkitab, buku, dan pasangan yang sudah menikah katakan tentang dosa hawa nafsu, kami tidak cukup mengerti. Sebatas pengetahuan tentang apa yang benar tidak cukup untuk menghindarkan kami dari melakukan hal yang salah. Jauh lebih mudah untuk memuaskan keinginan daging yang menggebu-gebu daripada mendengarkan bisikan Roh Kudus untuk menahan nafsu kami.

Hanya ketika kami mengalami konsekuensi dosa, kami akhirnya mengerti alasan di balik aturan-aturan yang dibuat. Tatkala memuaskan nafsu terasa menyenangkan saat itu, dampak setelahnya yang muncul bisa berupa perasaan malu, bersalah, dan sakit yang bertengger berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Kami menyadari bahwa ketika kami menyerah pada nafsu, kami sedang menyakiti satu sama lain dan mendukakan Tuhan yang telah menyucikan, menebus, dan membayar lunas kita dari dosa dengan pengorbanan Kristus di kayu salib.

Karena hawa nafsu adalah dosa terselubung, pasangan Kristen yang merasa dirinya baik cenderung tidak membahasnya karena berpikir mereka mungkin tidak akan jatuh di dalamnya. Namun, ketika kita terjatuh ke dalamnya, kita merasa sendiri dan terasing, bahkan juga merasa gagal dalam membina hubungan. Kita membangun pemahaman bahwa pasangan Kristen haruslah pasangan yang terlihat “rohani”, sehingga kita jadi ragu atau bahkan merasa kurang “rohani” jika kita membahas hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian diri dari hawa nafsu.

Ketika kubilang kita bergumul dengan hawa nafsu, kita sungguh bergumul dengannya.

Menemukan harapan di tengah peperangan kita

Aku telah melihat Tuhan memiliki tujuan untuk setiap masa yang terjadi dalam hidup kita, tak peduli betapa remeh atau susahnya itu. Tuhan menggunakan masa-masa di mana aku bergumul dengan kekudusan agar aku juga mengalami apa yang dirasakan Daud saat dia menyerukan pertobatannya dalam Mazmur 51.

Mazmur itu telah kubaca sebelumnya, sebagai doa pertobatan dan memohon ampun ketika aku berdosa terhadap Tuhan. Tapi, mazmur itu terasa lebih menyentuh sebagai ratapan pribadiku ketika aku benar-benar terjerat dengan dosa seksual.

Mazmur 51 menunjukkan suasana hati Daud ketika dia berada di titik terendah setelah dia berzinah dengan Batsyeba dan membunuh Uria.

Daud menyerukan penyesalannya pada Tuhan, mengakui dia telah amat berdosa terhadap Tuhan. Bukan Batsyeba, wanita bersuami yang diambil paksa oleh Daud. Bukan Uria, suami Batsyeba yang dibunuh oleh Daud. Bukan juga nabi Natan yang menentang kebohongan Daud.

Daud menyadari dia telah berdosa terhadap Tuhan saja: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” (Mazmur 51:4).

Mungkin kamu bisa merasakan betapa hancurnya perasaan Daud saat dia menyadari dosa terberatnya. Namun, seruan penyesalannya juga menyiratkan secercah harapan—suatu harapan bahwa dosa pribadinya akan membawanya kepada keselamatan dan pemulihan, baik untuk dirinya sendiri, maupun untuk bangsanya (Mazmur 51:7-15).

Di manakah harapan Daud berakar? Di mana dia mendapatkan harapan di tengah situasi nan gelap yang diakibatkan dosanya sendiri?

David tahu bahwa dosanya—perzinahan dan pembunuhan—bukanlah segalanya dan bukan pula akhir dari hidupnya. Dia tahu Tuhan tidak cuma kudus dan hakim yang adil terhadap segala dosa kita, tetapi juga Tuhan yang menunjukkan belas kasihan, kasih, dan keselamatan. Daud tahu Tuhan tidak hanya berkenan kepada persembahan secara fisik, tetapi juga “hati yang hancur” yang diberikan kepada-Nya dalam penyerahan diri dan pertobatan (Mazmur 51:17). Daud tahu tak peduli betapa jahat pelanggarannya, Tuhan sanggup menyapu bersih setiap titik dosa-dosanya (Mazmur 51:7-9, 14).

Tak hanya itu, Daud tahu pula bahwa Tuhan dapat menciptakan hati yang murni, membaharui dan meneguhkan jiwanya, serta memulihkannya agar dia bisa bersukacita atas keselamatan yang datang dari pada-Nya (Mazmur 51:10-12).

Memegang firman Tuhan dekat dengan hati kita

Aku tidak ingat berapa kali aku mendoakan mazmur ini dengan berlinangan air mata. Mazmur ini kupegang erat, sebagai janji dan penghiburan, melalui setiap halangan dan rintangan, di lembah gelap dan setiap sudut yang memalukanku.

Mazmur 51 mengingatkanku lagi dan lagi: bahwa meski aku telah berdosa terhadap Tuhan, dosa itu bukanlah akhir dari kisah hidup kami. Aku bisa berpaling pada Tuhan dan menemukan belas kasih dan pengampunan yang amat besar, jika aku menghampiri-Nya dengan pertobatan dan kerendahan hati—bukan karena hal-hal baik yang telah kulakukan, tapi murni karena kebesaran dan kebaikan-Nya.

Firman-Nya memberiku harapan dan kekuatan untuk berseru kepada-Nya setiap kali aku jatuh dan gagal, untuk menemukan pengampunan dan kekuatan dalam perjalananku, dan bahkan untuk menuliskan kisah ini.

Selama dua tahun lebih menjalin relasi, firman-Nya dan Roh-Nya menempa kami untuk menjadi pasangan yang setia kepada-Nya dalam kehidupan spiritual, emosional, dan fisik kami. Kami belajar bahwa senjata terpenting melawan hawa nafsu bukan cuma memusingkan diri dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tapi dengan duduk diam di kaki Yesus setiap hari, mendengarkan firman-Nya, dan memilih bagian yang terbaik: Tuhan dan Juruselamat kita sendiri (Lukas 10:38-42).

Seperti Daud yang mengubah pelanggarannya menjadi kesaksian bagi Tuhan, aku juga berdoa kiranya pergumulan kami dapat menguatkanmu untuk berani melawan dosa-dosamu, sesuai dengan apa yang tertulis dalam Alkitab:

Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu,
Dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!
Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran,
Supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.
Lepaskanlah aku dari hutang darah, ya Allah, Allah keselamatanku,
Maka lidahku akan bersorak-sorai memberitakan keadilan-Mu!
Ya Tuhan, bukalah bibirku, supaya mulutku memberitakan puji-pujian kepada-Mu!

Mazmur 51:14-17

Baca Juga:

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengan tunanganku dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Our Love Story Went Wrong

“Di mana kamu mendapatkan sukacita terbesarmu?”

Aku berhenti sejenak, mengingat apa yang membuatku tersenyum, apa yang membuatku bertahan menjalani keseharianku, dan apa yang paling membawa kebahagiaan untukku.

“Kurasa aku mendapatkan sukacita terbesarku . . . dalam dirimu,” Ucapku dengan lembut.

“Aku juga.”

***

Inilah bagian dari kisah cinta kita di mana kita tersenyum sambil menatap satu sama lain dengan malu-malu, menggenggam tangan dan merangkul satu sama lain dalam cinta—cinta yang penuh dengan kebahagiaan, romantis, dan terasa seperti melayang-layang.

Bagian cerita inilah yang membuat kita sadar bahwa kita sedang menghidupi kisah-kisah cinta yang diceritakan dalam dongeng, lagu, buku, dan film. Kisah cinta yang disajikan pada kita dengan segala kalimat, lirik, dan adegannya, hingga tanpa sadar kita telah membeli sesuatu yang sama berkali-kali.

Namun, justru pada bagian inilah kisah cinta kita berjalan ke arah yang keliru. Sebab, kisah cinta yang sejati tidaklah seperti itu, dan kisah cinta yang sedang kita jalani sekarang tidak akan bertahan selamanya.

***

Aku sedang menjalani hubungan dengan tunanganku, David, selama 2 tahun. Dan hari demi hari, aku semakin jatuh cinta dengannya.

Namun selalu ada bahaya ketika aku mencintainya dengan sangat. Cinta itu dapat membuatku mencintainya lebih dari cinta pertama dan terbaikku: Tuhan.

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku mendapati diriku melewati batas itu: ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengannya dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Tapi mengapa itu seperti hal yang buruk? Apa yang salah dengan lebih mencintai calon suamiku daripada Tuhan?

Itu sangat berbahaya. Hal itu menarikku dari menyembah Tuhan kepada memberhalakan seorang manusia biasa yang penuh kelemahan dan kekurangan (Roma 1:25). Terkadang aku mendapati diriku sangat mencintainya hingga aku lupa bahwa dia hanyalah manusia. Dan walaupun dia berusaha sebaik mungkin untuk mencintaiku dengan benar, dia terkadang gagal—akupun juga. Dan saat itulah kita merasa kecewa, tersakiti, dan marah pada pasangan kita.

Itu adalah dosa. Hal itu melanggar perintah pertama Tuhan pada kita: bahwa kita tidak menyembah allah lain di hadapan-Nya (Keluaran 20:3). Berhala bukan hanya patung kayu kecil atau sebuah altar di dalam rumah yang kita sembah, melainkan hal yang bertakhta di kehidupanku. Berhala adalah hal yang kucintai, dambakan dan hargai lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini.

Dan itulah hal yang mendukakan Tuhan. Tuhan bersedih ketika aku pergi menjauh dari-Nya menuju pelukan kekasih lain, sebuah karunia yang Tuhan sendiri berikan padaku, tapi yang telah kubelokkan dan kusalahgunakan untuk keegoisanku. Mengkhianati Tuhan juga menyakitiku dalam cara-cara yang tidak dapat kumengerti secara kognitif, namun kurasakan secara spiritual, ketika rohku berduka bersama dengan Roh Kudus.

Berkali-kali aku diperlihatkan pada konsekuensi dari mencintai pasanganku lebih daripada Tuhan. Namun konsekuensi ini ditujukan untuk menuntunku pada pertobatan dan untuk mendisiplinkanku untuk kebaikanku (Ibrani 12:5-11). Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh temanku: “Tuhan tidak memberikanmu seseorang untuk melihat dia mengambil tempat-Nya di hidupmu.”

Mengasihi tunanganku lebih dari Bapa seringkali menuntun pada rasa sakit dan hubungan yang merenggang. Karena ketika aku meninggikannya hingga dia menjadi tuhan dalam hidupku—sosok yang kupercaya dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhanku, yang mencintai dan mengerti diriku tanpa syarat, dan yang selalu ada denganku dalam segala kondisi, baik secara fisik maupun emosional—aku mendapati dirinya gagal memenuhi semua itu. Seharusnya hal ini tidak mengherankan, tapi aku tidak dapat menahan diriku dari perasaan kecewa, bahkan seperti merasa ditipu. Dan semua itu karena aku mempercayai kebohongan yang kubuat sendiri.

Lalu bagaimana caranya kita mengasihi pasangan kita tanpa memberhalakan mereka?

Momen ketika kami mengaku bahwa kami mendapatkan sukacita terbesar dalam pelukan satu sama lain merupakan pengalaman yang pahit namun manis—pahit karena kami tahu bahwa cinta kami dapat dengan mudah berubah menjadi berhala jika kami tidak berhati-hati; namun manis, karena kita telah menemukan orang yang jiwa kita kasihi dan yang dengannya kita akan disatukan (Kidung Agung 3:4, Kejadian 2:1-24).

Momen itu merupakan pengingat bahwa cinta romantis seperti itu, sama dengan cinta lainnya, hanyalah bayang-bayang dari Cinta terbesar yang pernah ada: cinta yang diwujudkan di kayu salib melalui Anak Allah, yang menanggung dosa-dosa kita dan mati bagi kita

Aku belajar bahwa satu-satunya cara untuk mencintai David dengan benar, dan juga satu-satunya cara David untuk mencintaiku dengan benar, adalah dengan mencintai Tuhan dengan benar (1 Yohanes 4:19). Hal ini berarti menanyakan pada diri kita siapa Tuhan bagi kita; dan jika Tuhan adalah Tuhan kita, kita meresponinya dengan menjalani hidup yang menyembah Allah dengan sepenuhnya.

Hal ini berarti menyatakan Tuhan sebagai Raja dari hati kita, dengan mengutamakan pertumbuhan relasi kita dengan Cinta pertama kita, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tidak hanya ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, atau ketika kita menghabiskan waktu dengan keluarga kita, tapi juga di saat-saat kita sedang sendiri.
Hubungan yang berpusat pada Kristus didasari oleh komitmen, kebergantungan dan keintiman. Ini artinya dengan sadar memiliih untuk mencintai Tuhan di atas pasangan kita, bersandar hanya pada Kristus sebagai batu penjuru, dan mendekat pada-Nya tiap hari, dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari.

Semenjak kami menyadari bahwa kami perlu menempatkan Tuhan di atas satu sama lain, kami telah menyediakan waktu untuk berdoa, mengucap syukur, dan merenungkan Firman-Nya bersama-sama ketika kami bertemu. Kami juga memulai kebiasaan mendoakan satu sama lain tiap hari, menanyakan hal yang ingin didoakan, dan menguatkan satu sama lain melalui Firman.

Pada akhirnya, kisah cinta kita adalah tentang mengalami apa yang pemazmur alami ketika dia menulis: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” dan bahwa “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah” (Mazmur 16:2, 11). Ini berarti menghargai Tuhan sebagai hartaku yang paling berharga, dan menikmati-Nya sebagai kenikmatan terbesarku (Matius 6:21). Inilah caranya kami menjalani kisah cinta kami dengan benar: dengan menemukan sukacita terbesar kami yang hanya ada di dalam Dia seorang, bersama-sama.

Baca Juga:

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?