KARTINI: berKARya dengan haTI dan beraNI
“Perempuan yang baik hati beroleh hormat,” (Amsal 11:16a)
Teruntuk para wanita Indonesia, biarlah kebaikan hatimu terpancar melalui tutur kata dan tingkah lakumu sehari-hari.
Selamat Hari Kartini!
“Perempuan yang baik hati beroleh hormat,” (Amsal 11:16a)
Teruntuk para wanita Indonesia, biarlah kebaikan hatimu terpancar melalui tutur kata dan tingkah lakumu sehari-hari.
Selamat Hari Kartini!
Sebuah cerpen oleh Noni Elina
Suara pintu kamar terbuka, Obed dengan seragam SMP-nya memasuki ruangan dengan lunglai. Dia menatap sayu sesosok manusia yang sedang asik main game online di atas kasur miliknya, dia adalah kakak laki-lakinya. Setelah menaruh tas sekolah di atas meja belajar, Obed duduk di atas karpet dan bersandar pada dipan.
“Hmmmh.”
“Kenapa, Bed? Laper?” Tanya Timo pada adiknya. Tidak ada jawaban. Hanya keheningan dan suara permainan dari handphone yang terdengar. Timo menatap Obed, kemudian menutup aplikasi permainan online di handphonenya. Ia memegang pundak Obed dan bertanya, “Kamu marah kakak main di sini? Pinjam kasur sebentar soalnya AC di kamar kakak rusak.”
“Main aja kak, kan biasanya juga gitu,” sahut Obed dengan enggan.
“Terus kamu kenapa kok murung?” Belum juga adiknya menjawab, Timo bertanya lagi, “Kamu di-bully di sekolah? Siapa yang berani ngelakuin itu? Kamu nggak kenapa-napa?” Tatapan mata Timo khawatir. Obed hanya menggeleng kepala.
“Cerita dong, Bed. Sekarang banyak kasus tentang bullying dikalangan siswa. Kalau itu terjadi sama kamu, jangan disimpan sendiri. Harus cerita sama orang dewasa ya.” Timo menyenggol bahu Obed, memberi isyarat supaya adiknya berbicara.
Timothy adalah seorang mahasiswa semester akhir berusia 22 tahun, sedangkan Obed siswa SMP berusia 15 tahun. Meski rentang usia mereka cukup jauh, 7 tahun, kedua saudara ini memiliki hubungan yang sangat dekat. Obed menatap kakaknya, lalu kembali menunduk.
“Aku suka sama seseorang, sejak kelas 7,” kata Obed kemudian. Timo berusaha mencerna kalimat tersebut, “Sekarang kamu kelas berapa?”
“Kelas 9, masa kakak lupa adiknya kelas berapa?” Tanya Obed sedikit kesal.
“Oh iya, iya… Sekarang kamu sudah kelas 9 ya. Ya memang sudah waktunya suka sama lawan jenis,” sahut Timo kemudian.
“Jangan bilang sama Papa Mama.” Obed mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Timo dengan tatapan mengancam. “Iya, iya… Tenang, kakakmu ini bisa dipercaya.” Disambut dengan senyum di bibir Obed.
Timo melingkarkan tangannya di pundak Obed sambil menggodanya, “Terus gimana, kamu mau nyatain cinta?”
“Kan, Papa Mama bilang anak SMP belum boleh pacaran.” Obed menatap Timo dengan penuh tanya, “Kakak waktu SMP pacaran?” Timo menggeleng-geleng kepalanya untuk menjawab pertanyaan itu.
“Kalau sekarang kakak punya pacar?” Tanya Obed lagi. Mereka saling menatap, satu menit berlalu terasa begitu lama. Timo menggelengkan kepala lagi. “Bah…” diikuti dengan tawa kecil Obed.
“Tapi kakak pernah pacaran, kan?” Tanya Obed lagi, masih dengan senyum di bibirnya. Timo bergeming, dia hanya mendesah panjang dan berdiri dari duduknya.
“Jadi selama 22 tahun ini Kak Timo belum pernah punya pacar?” Obed tidak bisa bisa menahan tawanya lagi. Timo tampak kesal karena apa yang dikatakan adiknya benar, dia memang belum pernah berpacaran.
“Tapi kakak hampir berpacaran!” Kata Timo menatap adiknya dengan jengkel.
“Oh ya?” Tanya Obed dengan memasang wajah konyol ciri khasnya sehingga membuat Timo ingin menggelitiknya. Terjadilah ‘pertikaian’ sengit yang singkat siang itu.
“Jadi kakak punya beberapa tips buat kamu, ya. Kakak ingin kamu bisa lebih baik dari kakak.” Sembari membetulkan bajunya setelah ‘bertikai’ dengan Obed, Timo memasang wajah serius.
“Maksudnya, kakak mau ngasih tips supaya aku bisa pacaran sekarang?”
“Bukan gitu juga!” Jawab Timo cepat, dia menatap ke luar jendela kamar. Suara bising jalanan sayup-sayup terdengar.
“Nggak ada yang salah dengan menyukai seseorang. Kenapa kamu harus pasang wajah murung begitu?” Timo menatap Obed, yang sedang menunduk. Lalu remaja itu menceritakan kisahnya…
***
Di sekolah…
Sedang ada pertandingan basket antar kelas di sekolah Obed, dia duduk di tribun penonton bersama teman laki-lakinya yang lain. Lalu, dari jauh Obed melihat Rachel bersama satu teman perempuannya datang mendekat. Mereka berdua sempat beradu pandang selama sedetik, Obed langsung mengalihkan pandangannya ke pertandingan yang sedang berlangsung. Lalu Rachel duduk tepat di sampingnya. Rachel duduk di sampingnya! Obed dapat mengetahui hal itu dari gelak tawa Rachel yang khas. Posisi duduk Obed mulai gelisah, lalu akhirnya dia bangkit berdiri dan melangkah ke arah yang berlawanan dengan Rachel. Setelah 5 langkah, lalu dia kembali duduk dan menikmati pertandingan. Rachel yang menyadari hal itu, menatap ke arah Obed dari kejauhan.
Sepulang sekolah di depan kelas, Ezer dan Obed sedang mendiskusikan siapa yang perlu bergabung di kelompok kesenian mereka. “Menurutku, Rachel sama Lulu cocok banget buat gabung dengan kelompok kita. Gimana?” Ketika mendengar hal itu, Obed terdiam. Dia tampak sensitif ketika nama Rachel disebut, “Kalau Lulu sih oke, tapi kalau Rachel menurutku…”
“Hei, Rachel!” Teriak Ezer sambil melambaikan tangan. Obed belum menyelesaikan kalimatnya, namun Ezer telah memanggil Rachel yang kebetulan sedang lewat di depannya.
“Kamu mau gabung sama kelompok kesenian kami nggak?” Tanya Ezer. Obed mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Hai Ezer, hai Obed…” Rachel nampak kebingungan menatap Ezer dan Obed satu persatu. Tapi Obed tidak menatapnya. “Boleh… aku mau.” Sahut Rachel kemudian sembari tersenyum.
“Sorry aku nggak bisa gabung dengan kelompok ini.” Lalu Obed beranjak pergi meninggalkan kedua orang temannya yang kebingungan. Rachel menatap kepergian Obed dengan raut wajah sedih.
***
“Kamu pergi gitu aja?” Tanya Timo tidak percaya. Obed mengangguk pelan. Timo mendesah panjang lalu melipat kedua tangannya di dada.
“Kalau kamu suka sama dia, kenapa kamu bersikap seolah-olah dia tidak menarik?” Tanyanya lagi.
“Karena aku terlalu gugup.” Suara Obed terdengar lirih. Tatapan matanya begitu sayu, tidak seperti biasanya. Obed merupakan anak laki-laki yang cukup pintar karena masuk ke peringkat 5 besar di kelas, namun kali ini Timo melihat adiknya tersebut seakan-akan tidak mampu menjawab soal yang begitu sulit.
“Dengar ya dik, menyukai seseorang di usiamu, itu normal.”
“Aku tahu, tapi aku takut tidak bisa mengendalikan diri ketika ada di sekitarnya.”
“Seperti apa misalnya?”
“Ingin menjadikan dia pacar. Kakak tahu kan, di masa sekarang anak SD aja sudah ada yang pacaran. Kadang, aku ingin sama seperti teman-temanku yang lain. Tapi Papa Mama selalu mengingatkan kita waktu persekutuan doa keluarga, batasan relasi sama lawan jenis, kan.” Papa Mama mereka selalu memiliki kebiasaan untuk melakukan persekutuan doa sebelum tidur. Papa merupakan ketua majelis di Gereja, sedangkan Mama guru sekolah Minggu.
“Kakak setuju kalau anak di usiamu belum waktunya pacaran, tapi apa salahnya dengan berteman? Dengar ceritamu tadi, malah terlihat seperti kamu membenci Rachel.”
“Aku nggak benci Rachel.”
“Tapi sikapmu mengatakan itu.”
“Aku sedang lari dari pencobaan seperti Yusuf!” Kata Obed sambil mengerutkan keningnya dan menatap Timo dengan putus asa.
“Tapi Rachel tidak sedang menggodamu seperti istri Potifar, kan?” Mendengar jawaban kakaknya Obed termenung.
“Itu soal pengendalian diri dan sudut pandangmu yang perlu diubah.” Setelah melihat tidak ada perlawanan dari ekspresi Obed, Timo melanjutkan, “Jadi, kita perlu lihat perempuan, apalagi yang seiman dengan kita sebagai seorang saudara. Kamu nggak mungkin berbuat macam-macan sama Naomi, kan?” Timo menyebutkan nama sepupu mereka yang usianya sama dengan Obed.
“Macam-macam gimana?”
“Yah, you know… Seperti ciuman dan perbuatan lainnya yang biasa dilakukan suami istri.” Jelas Timo. Obed nampak membayangkan maksud perkataan Timo barusan lalu raut wajahnya berubah kaget.
“Ya nggak mungkin! Aku sama Naomi??” Membayangkannya saja membuat Obed ngeri, karena Naomi adalah saudara sepupunya, anak dari adik Papanya. Timo mengangguk, lalu melanjutkan penjelasannya.
“Ya, kan? Semua perempuan yang seiman dengan kita adalah saudara. Seperti kamu nggak mungkin melakukan hal ‘macam-macam’ dengan Naomi, seperti itu juga seharusnya sama Rachel. Selayaknya seorang saudara, kita bisa bersikap ramah, saling menolong, menghibur, hal semacam itu. Itu tidak dilarang di Alkitab, jadi meskipun kamu suka sama Rachel dan memandang dia spesial, it’s okay. Jadilah saudara seiman yang baik buat dia. Suatu saat kalau kamu sudah cukup dewasa dan siap ke hubungan yang serius, baru deh bisa pacaran. Cuma ya itu tadi, sewaktu pacaran pun, dia masih saudara. Setelah menikah, baru deh boleh ‘macam-macam’.”
Obed termangu mendengar penjelasan kakaknya itu. Dia kemudian bertanya, “Kakak belajar dari mana kalimat itu?”
Timo menghela nafasnya panjang, “Kakak berharap ada yang bilang semuanya itu waktu kakak umur 15 tahun.”
“Jadi, dulu kakak seperti aku? Makanya nggak pernah pacaran sampai umur segini?” Pertanyaan Obed membuat Timo tertawa.
“Setiap orang prosesnya beda-beda. Jadi, jangan malah cuek sama perempuan. Belajar jadi saudara yang baik. Kita juga perlu doa minta hikmat dan pengendalian diri sama Tuhan. Bersikap cuek dan menjauhkan diri itu bukan pengendalian diri, jatuhnya kamu jadi seperti nggak ramah. Oke?” Timo menepuk pundak Obed lalu berdiri. “Yuk kita makan siang bareng, kamu ganti baju sana.” Ajak Timo kemudian dan melangkah ke luar kamar. Sebelum Timo membuka pintu, Obed menyela “Kak ada satu pertanyaan lagi.” Timo menoleh ke belakang sedang tangannya memegang gagang pintu kamar.
“Kalau aku sudah jadi saudara yang baik buat Rachel, tapi dianya malah baper, gimana?”
Timo tersenyum dan berkata, “Itu tanggung jawab dia sendiri untuk mengendalikan perasaannya. You do you.” Lalu dia pun keluar kamar. Tidak lama kemudian pintu terbuka dan Timo menunjukkan wajahnya kembali dan berkata, “Oh ya, satu lagi. Baca Kidung Agung 2:7.” Dengan senyum lebarnya.
Obed berdiri menatap kepergian kakaknya dan meraih handphone di tasnya. Lalu dia membuka aplikasi Alkitab dan membaca Kidung Agung 2:7 “…jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!”
Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang
Pagi ini aku menikmati saat teduhku yang membahas tentang Timotius. Sosok ini mungkin tidak asing di telinga kita. Nama Timotius tersemat dalam dua surat yang ditulis Paulus. Namun, siapakah sebenarnya Timotius dan teladan apakah yang bisa kita raih dari kisahnya?
Timotius dikenal bertumbuh sebagai pribadi yang mengasihi Allah. Awalnya, kupikir karakter baik ini pastilah ada dalam diri Timotius karena pengaruh dari Paulus, tapi setelah kubaca lagi bagian-bagian dari suratnya, rupanya ada orang lain lagi yang turut memberi andil dalam perjalanan iman Timotius.
Alkitab tidak banyak mencatat tentang masa kecil Timotius. Dia tumbuh besar di kota Listra sebagai anak dari perempuan Yahudi bernama Eunike, yang telah percaya pada Yesus. Sedangkan ayahnya diyakini berkebangsaan Yunani (Kisah Para Rasul 16:1). Minimnya penyebutan tentang ayah Timotius menunjukkan besar kemungkinan apabila Timotius diasuh hanya oleh ibunya seorang. Tetapi, dalam 2 Timotius 1:5, tertulis nama Lois, nenek dari Timotius yang rupanya turut merawat Timotius. Menjadi orang tua tunggal bukanlah perkara yang mudah, terlebih pada zaman Timotius. Ada kemungkinan mereka mendapatkan stigma, apalagi status Eunike dan Lois sebagai orang percaya yang merupakan kaum marjinal pada masyarakat kekaisaran Romawi abad pertama. Tetapi, teladan dari merekalah yang akhirnya membawa Timotius pada keselamatan.
Saat teduh pagi ini pun mengusikku. Apakah aku bisa menjadi seperti Lois dan Eunike yang mampu memberi teladan baik bagi orang lain?
Lois dan Eunike membuktikan bahwa wanita yang kerap dipandang sebagai kaum yang lemah rupanya punya peran yang besar. Alkitab kita mencatat ada banyak tokoh wanita lain yang juga dipakai Allah untuk mewujudkan rencana-Nya. Ada Sarah yang melahirkan Ishak sebagai penggenapan janji Allah atas Abraham, juga Maria yang dipakai Allah untuk melahirkan sang Juruselamat.
Dalam kisah penciptaan, wanita adalah makhluk yang diciptakan terakhir. Ketika air dipisahkan dari daratan, wanita belum ada. Ketika binatang dan tumbuh-tumbuhan bermunculan, wanita masih tetap belum ada. Hingga akhirnya Allah menciptakan wanita (Hawa) dari rusuk pria (Adam). Allah melihat bahwa dunia dan manusia yang sudah diciptakan-Nya tidak akan lengkap tanpa ciptaan-Nya yang terakhir ini. Wanita menjadi “puncak” dari seluruh penciptaan dan melalui ini Allah ingin menyampaikan bahwa wanita diperlukan dan sangat penting.
Wanita disebut penolong yang sepadan. Wanita diciptakan untuk kemampuan-kemampuan yang bisa menolong pria dan ciptaan lainnya.
Aku jadi teringat dengan salah satu film yang berjudul, War Room. Seorang wanita tua, Ny. Clara yang setia berdoa. Dia memiliki satu ruangan khusus yang menjadi tempatnya untuk berdoa. Ruangan itu disebutnya sebagai tempatnya untuk berperang. Berperang untuk berdoa melawan segala kedagingannya, berdoa untuk orang-orang di sekelilingnya bahkan berdoa agar semakin banyak orang yang percaya kepada Kristus.
Singkat cerita, suatu hari dia dipertemukan dengan seorang wanita muda, Elizabeth Jordan yang banyak bergumul dengan hidupnya. Wanita yang mengaku Kristen tetapi belum mengenal lebih sungguh siapa Allah. Lewat perjumpaan rutinnya dengan Ny. Clara, Elizabeth ditolong untuk mengenal siapa Allah. Mereka tekun untuk berdoa bersama hingga Elizabeth akhirnya memutuskan menjadikan lemarinya sebagai ruangan khusus buatnya untuk berdoa. Elizabeth beserta keluarga pada akhirnya mengenal siapa Allah melalui Ny. Clara.
Aku sendiri sadar, banyak orang yang ada di sekitarku. Tetapi aku sering lalai untuk memperhatikan mereka karena kesibukan-kesibukanku.
Terkadang berpikir bahwa waktu yang aku gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan, studi dan hal-hal lainnya masih kurang, bagaimana aku harus memikirkan mereka.
Mungkin di saat aku sedang menyelesaikan tugasku, ada orang tua yang merindukan telepon dariku.
Mungkin di saat aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, ada rekan di sebelahku yang ingin bercerita menyampaikan pergumulannya akan pekerjaan.
Mungkin di saat aku sedang menulis ini pun, ada teman kosku yang sedang menantiku untuk keluar dan bercerita sejenak.
Kadang, aku berpikir bahwa momen-momen tersebut hanya akan menghabiskan waktuku padahal sebenarnya momen-momen itulah yang bisa menolongku untuk menyatakan Kristus dalam kehidupan mereka.
Allah menciptakan perempuan sama mulianya dengan laki-laki. Perempuan juga punya andil dalam menorehkan kisah sejarah umat manusia, sebagaimana teladan Lois dan Eunike serta bagaimana pemikiran Kartini yang akhirnya menata kembali tatanan feodalisme Jawa abad 20.
Selamat menyatakan Kristus di tengah kehidupan kita!
3 Hal yang Hilang Jika Kita Menikah dengan Pasangan Tidak Seiman
Semua manusia mencari kenyamanan. Ketika manusia telah menemukannya maka sangat sulit bagi mereka untuk meninggalkannya dan pergi menghadapi risiko-risiko baru. Begitu juga halnya dengan memilih pasangan hidup.
Oleh Rosa*, Bekasi
Belakangan ini berita tentang korban pelecehan seksual yang berani bersuara tersiar di banyak media. Membaca berita-berita itu membuatku seolah merasa lega, sebab masyarakat mulai menyadari bahwa pelecehan seksual sejatinya adalah sebuah kejahatan yang harus diusut tuntas.
Aku sendiri pernah mengalami pelecehan seksual dua kali. Kejadian pertama terjadi saat aku berusia 17 tahun. Peristiwa itu membuat depresi dan hampir tidak lulus sekolah. Terlebih lagi pelakunya adalah kakak kelasku sendiri. Kejadian kedua terjadi saat aku kuliah. Mantan kekasihkulah yang melakukannya. Dua cerita kelam ini kusimpan sendiri. Aku tak berani mengadu dan bercerita, sebab bicara soal pelecehan adalah topik yang dianggap tabu.
Kendati dua peristiwa itu sudah lama berlalu, namun trauma yang ditinggalkan masih tertanam. Sebagai perempuan, aku tahu aku perlu menjaga tubuhku—terkhusus area-area privatku—dengan sebaik mungkin sebagai upaya menjaga kekudusan bagi Tuhan. Namun, ketika apa yang kujaga dinoadai oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab, seketika aku merasa hancur. Aku merasa kotor dan tak layak di hadapan Tuhan. Aku pun trauma berelasi dengan lawan jenis, terlebih apabila terjadi sentuhan fisik.
Trauma itu perlahan pudar ketika akhirnya aku lahir baru, walaupun untuk dapat mengampuni itu membutuhkan banyak jatuh bangun. Roma 6:22 mengatakan bahwa aku telah dimerdekakan dari dosa dan aku telah menjadi hamba Allah. Aku mendapatkan perspektif baru bahwa semua manusia diciptakan berharga di mata Tuhan, masa laluku tidak menentukan nilai diriku di hadapan-Nya. Kristus telah menebusku dengan harga yang sangat mahal, dan Dia mengampuni semua dosaku tanpa memandangku hina. Kebenaran inilah yang menolongku untuk mengampuni diriku sendiri, juga kedua pelaku pelecehan yang pernah menodaiku.
Peristiwa yang mengingatkan kembali luka masa lalu
Suatu pagi, salah satu teman komselku memberitahuku berita di media sosial. Berita itu berkisah tentang pelecehan seksual. Aku seketika tersentak ketika mengetahui pelakunya adalah teman baikku sendiri. Temanku itu memang merupakan cowok yang cukup populer. Meski kami berbeda kampus, kami saling mengenal dan berelasi baik. Sepengetahuanku berkawan dengannya, dia adalah orang yang sopan dan menghargai perempuan. Apalagi kebanyakan teman dia pun kebanyakan perempuan.
Aku merasa tak percaya bahwa temanku itu sungguh melakukan hal tak terpuji ini. Namun rasa tak percaya ini sirna ketika akhirnya dia mengakui kepada publik bahwa itu adalah perbuatannya. Aku geram sekaligus kecewa. Aku geram kepada temanku itu yang tega melakukan hal demikian, tapi satu sisi lainnya aku pun kecewa: mengapa temanku di balik perangai baiknya tega melakukan ini? Pikiranku pun teringat akan kepedihan yang dulu kualami. Aku rasanya bisa memahami bagaimana perasaan para korban. Mungkin mereka merasa trauma, depresi, dan hancur seperti yang dahulu kurasakan. Di tengah kekalutan pikiran itu, aku menenangkan diri dengan berdoa. Kumohon pada Tuhan agar Dia mengaruniakanku kebijaksanaan untuk menyikapi ini.
Aku lalu mendapati kabar terbaru. Temanku itu mengakui diri bersalah dan siap menerima semua sanksi yang dijatuhkan padanya. Pada sore harinya, dia pun menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang.
Bicara soal pelecehan seksual, peristiwa-peristiwa yang muncul ke permukaan hanyalah pucuk dari gunung es. Banyak dari korban tak berani bersuara karena takut diancam oleh pelaku, atau bahkan oleh masyarakat sendiri. Akibatnya, kisah-kisah pelecehan itu menumpuk menjadi kasus yang tak terselesaikan, dan menyisakan trauma di hidup para korban. Dan, jika korban-korban pun tak berani bersuara, terlebih langka lagi kita mendapati para pelaku yang menyadari kesalahannya. Terlepas dari kesalahannya, aku cukup mengapresiasi langkah temanku itu untuk mengakui dan bersedia dihukum dengan layak atas perbuatannya.
Teruntuk teman-teman yang pernah menjadi korban, aku pernah merasakan betapa beratnya trauma yang harus kita tanggung. Kita takut dijauhi oleh rekan-rekan, mendapatkan cap buruk, atau bahkan diancam. Namun, di tengah kemelut ketakutan yang menyelimutimu, aku berdoa kiranya kamu dapat melihat terang kasih Tuhan. Kamu tak dapat menyimpan trauma ini sendirian. Kepada orang yang kompeten dan sungguh bisa dipercaya, kamu bisa mengutarakan beban hatimu, seperti yang firman Tuhan katakan: “Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya” (Yakobus 5:16). Kamu berhak untuk berbicara dengan jujur.
Kendati kamu merasa kotor dan hina, ingatlah bahwa nilai diri kita hanya ditentukan oleh apa yang Kristus telah lakukan bagi kita di atas kayu salib. Kebenaran inilah yang akan menolongmu untuk pulih. Dan, kepada para pelaku pelecehan, ingatlah bahwa tindakan dosa sekecil apa pun tetaplah dosa. Tuhan melihat setiap tindakan dan motivasi hati kita (Amsal 15:3).
Kiranya damai sejahtera dan anugerah Tuhan beserta kita semua.
Soli Deo Gloria!
*Bukan nama sebenarnya.
Kamu diberkati oleh artikel ini?
Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!
Berbuat dan berbuah. Dua kata ini cuma berbeda di satu huruf, namun perbedaan maknanya sangat menentukan perjalanan kehidupan kita sebagai pengikut Yesus.
Oleh Olivia Elena Hakim, Jakarta
“Liv, satu hal yang perlu kita perhatikan sebagai penatua,” ujar salah seorang rekan pelayanan, sesaat sebelum aku resmi menjadi penatua di gereja. “Kita harus hati-hati banget sekarang, karena hidup kita seperti di dalam akuarium.” Aku hanya tersenyum. Sebagai perempuan muda di negara berflower penuh netizen +62, ini mah bukan hal baru. Bukankah hidup kita sudah kerap berjingkat dengan penuh kewaspadaan di antara berbagai mitos demi menjadi seorang perempuan yang “baik dan benar”? Dari kecil, kita akrab dengan teguran “Anak perempuan nggak boleh…” lalu beranjak remaja, “Eh kamu sudah gadis, nggak boleh….”
Kita hidup dalam sebuah konstruksi realitas, apapun gender dan jenis kelamin kita (cek juga artikel Ari Setiawan, Mengupas Mitos Maskulinitas). “Persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda lain yang digunakan dalam konteks sosial,” kata Oom Ferdinand Saussure.
Mitos adalah bagian dari keseharian kita. Roland Barthes mengajarkan mitos merupakan gagasan tentang sebuah realitas yang dikonstruksi secara sosial dan disahkan sebagai sesuatu yang “alami” alias wajar saja.
1. “Hmm, kamu gendutan ya? Iteman ya?”
Setelah menginjakkan kaki dalam dapur redaksi sebuah majalah fesyen nasional, aku tahu bahwa sama sekali tidak ada yang “alami” atau “wajar” dari gambaran kecantikan yang kita anggap “alami” atau “wajar”. Tim Digital Imaging dengan tekun menghilangkan lipatan ketiak dan menyamarkan warna kulit ketiak yang gelap (Siapa di sini yang suka insecure sama ketiak kalian gara-gara melihat foto-foto seleb atau iklan deodoran?). Tahun demi tahun nguli di sana, gambar-gambar editan pun menjadi keseharian—yang agak ‘berisi’ dibuat mengerucut tirus, lembaran rambut yang tidak rapi dihilangkan, gigi diputihkan, dan kulit dibuat mulus tanpa noda setitik pun. Lalu dicetak dan disebarluaskan ke khalayak, sebagai panduan fashion & beauty.
Maka, tanpa dikomando tanpa di-briefing, barisan perempuan se-Indonesia pasti bisa dengan kompak menyuarakan ciri-ciri perempuan yang dianggap cantik di negara ini: Putih, rambut lurus, langsing. Inilah yang disebuah Stuart Hall sebagai “kesadaran palsu”—“The role of mass media turns out to be production of consent rather than a reflection of consensus that already exists.”
Jadi, sobat muda, foto-foto yang kalian lihat di layar gawai kalian tidak merefleksikan kenyataan; mereka “hanya” memproduksi efek realitas. Aku bersyukur, di saat media sosial kita dikeroyok tanpa ampun oleh foto-foto influencer, selebgram, selebtwit, tiktokers, maupun seleb-seleb lainnya yang menyodorkan kecantikan dengan standar tertentu, makin banyak campaign yang menyuarakan keragaman konsep kecantikan, seperti @januhairy maupun akun idolaku @tarabasro.
Tapi jika kalian masih sulit untuk melepaskan standar kecantikan usang itu dari benak kalian, ada buku yang wajib kalian baca. Buku ini berjudul “Putih”, karya L. Ayu Saraswati. Jika kalian masih sering berteman dengan oknum-oknum yang kalau ketemuan malah komentar soal fisik kamu, maklumi saja mungkin dia pikniknya kurang jauh dan kopinya kurang kental. Nggak usah dianggap serius gurauannya. Mungkin dari kecil, semua temannya putih dan kurus, jadi referensinya kurang banyak.
2. “Dengan body kaya gitu, pastilah dia bisa dapet lebih ”
Heiiiiits klean para woman womini lupus yang suka julid sama rezeki orang….sadar nggak, kerap kita menganggap perempuan ‘cantik’ hidupnya otomatis bakal lebih mudah dari para Sobat MisQueen dan rakyat jelata lainnya? Kita menganggap dia bisa mendapatkan apapun yang dia mau dengan modal fisiknya yang mempesona, akibatnya semua prestasi yang diraih selalu dikaitkan sama fakta bahwa dia cantik. Akibatnya kita asyik stalking feed medsosnya dia sambil rebahan, dan lupa untuk berusaha meraih ambisi kita sendiri. Coba bangun dan kerja keras untuk mewujudkan visi hidupmu, tanpa sibuk mengecek ‘keberuntungan’ orang lain. It’s your own life, not theirs. Baca yuk Amsal 28:20, “Orang yang dapat dipercaya mendapat banyak berkat, tetapi orang yang ingin cepat menjadi kaya, tidak akan luput dari hukuman.” Nggak usah ingin ‘cepat kaya’, nggak usah juga sirik sama yang menurutku ‘bisa cepat kaya’ karena penampilan fisiknya. Lagipula nggak semua ‘orang cantik’ hidupnya mudah kok. Nggak percaya? Cobalah buku ‘Cantik itu Luka’ karya Eka Kurniawan atau ‘Setan van Oyot’ karya Djoko Lelono.
3. “Kamu nyebelin banget. Mau dapet ya?”
Siklus istimewa kita sebagai perempuan, sayangnya sering ditunggangi untuk memperkuat narasi kalau perempuan itu ‘labil’, ‘emosional’, ‘lemah’. Kadang, hal itu membuat kita dipandang ‘tidak kompeten’ untuk posisi-posisi strategis di organisasi yang memerlukan pengambilan keputusan logis. Atau dijadikan excuse untuk mengacuhkan ekspresi emosi kita. Karakteristik perempuan dan lelaki yang unik seharusnya tidak dijadikan alasan untuk saling menyingkirkan atau tidak menganggap serius satu sama lain. Lelaki sangat dipersilakan menjadi perawat, perempuan sangat dipersilakan menjadi dokter. Tanpa meninggalkan karakter khas dari jenis kelaminnya. Aku pun banyak dibuat berdecak kagum oleh Jacinda Ardern, PM Selandia Baru yang dengan karakteristik keperempuanannya dalam memimpin, sukses menangani kasus penembakan massal di masjid Christchurch dan pandemi COVID19. Fakta unik lainnya, dia PM Selandia Baru pertama yang hamil dan melahirkan pula di tengah masa dinasnya. Buat kalian yang masih memerlukan ‘tonjokan’ lebih untuk berpikir progresif melampaui mitos kalau perempuan terlalu baperan untuk dianggap kompeten menduduki posisi tertentu, cek Becoming dari Michelle Obama (kalau malas baca yowis, nonton aja dokumenternya di Netflix).
So, mari kita melangkahi mitos-mitos yang mengungkung atau mencoba mendefinisikan hidup kita. Lepaskan dirimu, karena kita semua adalah ‘perempuan yang layak’ dengan ciri khas kita masing-masing, sambil mengingat bahwa Tuhan menciptakan kita dengan kemuliaan dan hormat yang setara – seperti dalam Mazmur 8:4-5, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.”
“There is a diva in there, but all she needs is a little bit of a bold lip.”
— Jonathan Van Ness.
Lahir dengan jenis kelamin “laki-laki” pun lambat laun akan disertai dengan berbagai tuntutan dari lingkungan sosial. Namun, tak semua tuntutan yang diberikan kepada kita sebagai laki-laki harus dilakukan, karena ada tuntutan yang bersifat faktual, tapi ada juga tuntutan yang bersifat mitos.
Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu
Dalam dunia yang penuh dengan kasus penyelewengan hak hidup seorang manusia, kita semua, orang Kristen, secara khusus mereka yang kaum wanita, menginginkan emansipasi (pembebasan dari perbudakan). Tak satupun dari semua wanita yang pernah berbincang denganku menginginkan dirinya dianggap rendah derajatnya oleh orang lain. Mirisnya, sejarah telah dengan sangat jelas mengisahkan bagaimana para wanita selama ini sering dianggap sebagai objek yang terus disalahgunakan. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah, semua itu dianggap wajar oleh masyarakat dan budaya kita.
Aku punya banyak teman wanita yang telah diperlakukan dengan tidak pantas dan tidak adil bahkan oleh orang terdekat mereka. Beberapa tahun yang lalu, di suatu hari yang tidak kusangka-sangka, salah seorang teman wanita menghubungiku dan menyampaikan sesuatu yang menyesakkan dada. Ia katakan bahwa telah dinodai berkali-kali. Dan yang lebih memilukan hatiku adalah ketika ia memilih untuk diam dan tidak melaporkannya kepada pihak berwajib. Ia punya beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah ia takut ditinggalkan dan direndahkan oleh orang lain, termasuk kekasihnya. Aku memang punya pemikiran lain dan mendorongnya untuk bertindak tegas. Namun di akhir percakapan kami, dengan hati terluka bagai disayat-sayat dengan pisau tajam, aku tetap menghormati keputusannya itu.
Aku tahu, meski dengan kasus yang berbeda, ada banyak wanita yang merasakan tekanan yang sama. Aku tahu begitu banyak air mata kaum wanita yang tercurah di tempat gelap dan sepi yang menuntut keadilan. Mereka semua haus akan kasih sayang dan menginginkan rasa hormat. Mereka tahu mereka mempunyai “nilai” yang tak boleh diabaikan begitu saja. Dan mereka benar. Mereka memang pantas dihormati sebagaimana Allah menetapkan memberikan mereka hak untuk itu.
Dalam kondisi yang telah rusak dan tercemar dengan segala jenis perendahan harkat yang menimpa kaum wanita, Yesus Kristus secara mengejutkan, menjungkirbalikan anggapan umum yang telah mendarah-daging pada masyarakat kuno abad pertama. Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya? Mengapa saksi pertama dari mukjizat yang amat besar, yang telah mengubah seluruh peradaban ini adalah seorang wanita, yang saat itu kesaksiannya dianggap tak berguna dalam pengadilan? Bahkan bagi orang Yahudi, ada doa mereka yang berbunyi: “Kami bersyukur, ya Tuhan Raja semesta alam, karena Tuhan telah menjadikan kami laki-laki dan bukan perempuan”.
Dapat dibayangkan “kepedihan jiwa” seorang wanita, apalagi mereka yang telah hidup dalam kebangkrutan moral, jika mendengarkan teriakan doa seperti itu. Apabila seorang wanita yang telah hidup bersahaja dan mati-matian menjaga kehormatan saja dapat dihancurkan oleh doa semacam itu, bagaimana dengan para wanita yang punya masa lalu kelam? Bagaimana terpukulnya seorang wanita yang selama hidupnya telah terlanjur mengambil begitu banyak pilihan keliru yang sudah menyeretnya penyesalan yang amat dalam?
Apakah para pria berbeban memikirkan semua ini dengan kesungguhan hati? Tentu saja! Ada jutaan ayah yang berjuang mati-matian untuk membela putri mereka. Ada jutaan suami yang bahkan rela kehilangan segalanya untuk istri mereka. Dan semua itu benar-benar dapat membuat hati meleleh. Tetapi dengan berani aku menjamin bahwa tidak ada yang dapat menandingi kasih sayang yang meluap-luap dan keseriusan menggebu-gebu seperti yang dimiliki seorang pria dari Nazaret bernama Yesus Kristus, Tuhan kita, kepada semua wanita di manapun berada. Ia tahu persis keterpurukan banyak wanita dan mengenal baik sensitivitas hati mereka. Ia memandang jauh ke dalam sanubari mereka.
Kembali pada kebangkitan Kristus. Bukankah peristiwa penting ini harus pertama-tama disaksikan oleh seorang yang juga penting? Jawabannya ya! Karena Maria memang penting. Lebih dari itu, karena wanita amat berharga bagi Allah.
Coba mundur beberapa langkah dan renungkan ketika Allah yang tiada batas, yang berkuasa atas dunia ini, yang menggantungkan milyaran bintang di angkasa, mau datang ke dalam dunia melalui rahim seorang perempuan muda bernama Maria. Dalam kedaulatan-Nya yang sempurna, Allah telah menetapkan tunangan Yusuf ini untuk mengambil bagian dalam proses penyelamatan seluruh umat manusia. Semua itu memang sepenuhnya adalah inisiatif dan pekerjaan Allah, yang tanpa kehendak dan kuasa-Nya tak mungkin untuk terlaksana. Tujuan-Nya memang tidak bergantung pada manusia manapun. Tetapi jangan pernah lupakan sebuah fakta mengagumkan ini: Allah memilih gender yang dianggap lemah untuk Ia hadir dalam dunia. Dengan kuasa-Nya Ia memilih seorang wanita dan memakainya untuk karya agung ini. Ia mau mengingatkan semua pria di manapun berada, dalam segala bentuk budaya, bahwa wanita benar-benar berharga di mata-Nya.
Kita tentu telah melihat bagaimana Ester/Hadasa dipakai oleh Allah untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi. Kita juga tahu bagaimana Allah bekerja melalui keberanian Debora (Hakim-Hakim 4-5). Kita terkagum-kagum ketika Rut dipelihara oleh Allah. Hati kita meleleh saat mendapati kisah Yesus memperlakukan wanita Samaria yang letih dan haus dengan penuh kasih sayang (Yohanes 4). Kita tak berhenti terpana dengan kelembutan hati-Nya saat Ia membela seorang wanita berdosa di rumah Simon orang Farisi (Lukas 7). Dan begitu banyak kisah lain lagi.
Maka jika Allah dapat memakai para wanita dengan berbagai layar belakang dan masa lalu yang berbeda untuk kemuliaan nama-Nya seperti yang dicatat oleh Kitab Suci, maka Allah yang sama pula akan memakai semua wanita yang mau hidup bagi-Nya. Apa pun pekerjaanmu, baik sebagai ibu rumah tangga, pengusaha, pegawai, guru, mahasiswa, ataupun yang lain, biarlah engkau bekerja dengan cara-Nya untuk kemuliaan-Nya. Apa pun latar belakangmu, baik seorang wanita muda yang kurang berpengalaman atau mungkin seorang janda yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, semuanya ada dalam pengawasan Allah. Bahkan untuk para wanita yang punya masa lalu kelam, bangkitlah dan hapus air matamu, berseru kepada-Nya dan pandang ke Salib itu dan berkatalah dengan lemah lembut “Aku Wanita, dan Aku Beharga”.
Yesus Kristus telah mati bagimu, Para Wanita untuk kemuliaan Allah. Hiduplah bagi-Nya.
Di Mana Kita Bisa Mengetahui Pimpinan Tuhan?
Sering sekali kita merasa bahwa Tuhan telah memimpin kita karena kita melihat kesan-kesan baik yang bisa kita terima. Tapi, pernahkah kita menyelidiki sungguh kah kesan yang baik itu pasti menunjukkan ke situlah jalan yang harus kita ambil?
Kita semua diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, namun dosa membuat kita terkadang tak menyadari bahwa kita diciptakan baik adanya. Terkhusus para perempuan, mungkin kita sering merasa kurang–kurang cantik, kurang langsing, kurang pintar, dan sederet kekurangan lainnya.
Namun, terlepas dari segala kekurangan itu, firman Tuhan bicara: (Yeremia 1:5).
“Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.”
Yuk, bagikan ini ke sahabat kamu dan ingatkan bahwa mereka berharga di mata Tuhan.
Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta
Aku tidak bermaksud menuliskan text book tentang cara “pendekatan”. Tetapi, setelah mendengar berbagai cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, aku merasa ada yang kurang “pas”. Maka, aku berharap paling tidak tulisan pendek ini bisa sedikit menolong mereka yang sedang bergumul untuk bergumul dengan benar.
Apa itu “pacaran”? Sederhananya, pacaran adalah masa di mana seorang pria dan seorang wanita mengambil komitmen untuk lebih saling mengenal dan menjajaki menuju ke pernikahan.
Perhatikan definisi itu. Hanya seorang pria dan seorang wanita, tidak bisa “seorang” dengan “beberapa orang”. Lalu, ada “komitmen” di situ. Tetapi komitmennya bukan untuk “hidup bersama”. Komitmennya bukan “to stay together forever and ever”. Komitmennya bukan “you are mine and I am yours.” Tidak ada hal seperti itu dalam pacaran. Komitmennya hanyalah “lebih saling mengenal dan menjajaki menuju ke pernikahan.” Maka di dalam pacaran, SAMA SEKALI tidak boleh ada relasi yang sifatnya seksual. Relasi yang dijalin bukan bersifat fisik tetapi komunikasi—pemikiran, perasaan, pengalaman, nilai hidup, iman, dan seterusnya. Komitmennya hanyalah menjajaki apakah aku dan dia bisa hidup bersama seumur hidup nantinya.
Walaupun pacaran memang tidak ada komitmen seperti pernikahan, bukan berarti boleh dimulai dengan sembarangan. Bagaimanapun pacaran melibatkan emosi, waktu, dan tenaga dari dua pihak, yang sangat sayang untuk disia-siakan. Maka untuk mulai berpacaran harus ada “tingkat kepastian tertentu”—merasa suka, cocok, mau komitmen berelasi, barulah dimulai. Sehingga faktor “gambling” dan “sembarangan” diminimalisir. Di masa pacaran nanti, kedua belah pihak akan sama-sama menilai lagi dan berdoa apakah benar bisa dilanjutkan ke pernikahan. Artinya setelah ada “tingkat kepastian yang lebih tinggi” baru memberanikan diri masuk ke komitmen seumur hidup.
Untuk masuk ke masa pacaran, ada dua pertanyaan yang perlu ditanyakan terlebih dulu oleh setiap orang:
Pertama, apakah benar ada ketertarikan, ada perasaan suka, dan melihat ada kecocokan?
Tidak bisa tidak. Perlu waktu untuk menjawab ini.
Kedua, apakah benar mau berkomitmen memasuki masa pacaran? Memang bukan komitmen untuk menikah, namun komitmen untuk mengkhususkan waktu, emosi dan pikiran, untuk mengenal dan menguji kecocokan menuju pernikahan.
Pikirkan dan doakan untuk menjawab dua pertanyaan itu. Libatkanlah Tuhan di dalam pergumulan yang sangat penting ini.
Mulai dari yang pria, kalau memang jawaban untuk yang pertama dan kedua adalah “ya”, baru sesudah itu dia boleh menyatakan secara eksplisit ke pihak wanita. Ini penting! Hanya setelah yakin, barulah seseorang boleh menyatakannya. Lalu, tunggu jawaban apakah pihak wanita juga setuju untuk masuk ke dalam masa pacaran. Maka giliran si wanita untuk bertanya kepada diri sendiri dua pertanyaan di atas itu dan mendoakannya.
Urutan tersebut harus jelas.
Beberapa kesalahan yang biasa terjadi:
Pertama, terlalu cepat memasuki masa pacaran. Tanpa ada “tingkat kepastian tertentu”—hanya berdasarkan perasaan suka (yang mungkin sesaat), lalu berani masuk ke masa pacaran.
Emosi memang selalu melambung jauh lebih cepat dari akal sehat. Pada waktu emosi melambung, dengan cepat kita akan berkata “tertarik, suka, cocok, MAU!” Itu sebabnya, perlu waktu untuk membuat emosi “turun” dan stabil dulu, baru bisa berpikir jernih apakah memang tertarik, suka, cocok, dan mau pacaran. Jangan mengambil komitmen apapun dalam keadaan emosi yang sedang sangat melambung. Banyak orang yang nekat mengambil komitmen saat dia sedang “melayang-layang” dan kecewa setelah “layangan”-nya turun ke bumi.
Berikan waktu beberapa bulan untuk berteman saja (tanpa romantisme at all!) dan usahakan tidak pergi berduaan tetapi pergi bersama dengan teman-teman lain. Jika relasi disertai banyak romantisme—kata-kata mesra, kontak terus menerus, sering pergi berduaan, apalagi ada kontak fisik, maka tidak pernah akan ada kematangan dalam pergumulan. Romantisme dan kontak fisik sudah berjalan mendahului komitmen dan akal sehat akan jauh tertinggal di belakang.
Kesalahan kedua, berlawanan dengan yang pertama, yaitu terlalu lama mengambil keputusan. Pria memang harus bertanya kepada diri sendiri dua pertanyaan di atas dan mendoakannya. Tetapi jangan lupa, ini bukan mencari kepastian untuk “menikah” tapi untuk “memasuki masa penjajakan menuju pernikahan”. Jadi tidak bisa harus pasti dan yakin “she is the one” baru mau memasuki masa pacaran. Tidak akan pernah yakin! Keyakinan itu baru bisa didapat nanti di masa pacaran. Maka masa memikirkan dan mendoakan ini tidak perlu terlalu lama (walaupun bukan berarti terlalu cepat dan sembarangan).
Alasannya adalah: ketika seorang pria merasa suka, sadar atau tidak sadar dia akan banyak “mendekati” si wanita. Dia akan cukup sering mengontak, memberi perhatian, dan sebagainya. Kalau si wanita tidak suka dengannya, maka gampangnya, si wanita pasti akan menjauh. Tapi, kalau si wanita suka, maka dia akan kasihan sekali karena perasaannya terus diaduk-aduk. Di satu sisi dia merasa si pria mendekati dia (membuat dia berharap), tapi di sisi lain si pria tidak maju-maju. Jadi seperti digantung—friendzoned. Apalagi kalau kemudian setelah sekian lama, akhirnya si pria memutuskan untuk tidak mau memasuki masa pacaran. Sekian lama si wanita merasa didekati, diperhatikan, lalu si pria tiba-tiba menjauh. Itu sangat menyakitkan. Memang namanya juga sedang bergumul dan jawabannya bisa “tidak”, tapi justru itu sebabnya jangan terlalu lama.
Dengan alasan yang sama, setelah pria menyatakan, jangan yang pihak wanita kemudian mem-friendzone-kan dia. Memang pasti perlu waktu untuk berpikir dan berdoa, tidak ada juga patokan berapa lama waktu yang diperlukan. Namun waktu enam bulan lebih tentu terlalu lama.
Kesalahan ketiga, si pria yang sama sekali belum ada kepastian ini berkata kepada pihak wanita, “aku lagi mendoakan kamu”. Wohooo… bagi wanita (yang cenderung lebih emosional), informasi itu dapat saja diartikan seperti “sebuah pernyataan langsung”. Bagi dia, pernyataan itu dapat berarti bahwa si pria menyukainya. Dia akan sangat berharap dan bisa saja sakit hati ketika akhirnya “hasil doa” si pria adalah “tidak”. Maka aku tidak menganjurkan cara seperti itu.
Pria harus berpikir dan berdoa sendiri dulu, walaupun sambil mendekati–asal jangan berlama-lama. Setelah ada keputusan bahwa dia mau, barulah menyatakan. Barulah saat itu “bola”nya dilempar kepada si wanita untuk memutuskan. Jangan sampai setelah bola dilempar ke si wanita, dengan alasan “sama-sama mendoakan”, lalu si wanita memutuskan “mau” sementara si pria memutuskan “tidak”. Bukan begitu urutannya.
Kuharap tulisan singkat ini menolongmu untuk bergumul memasuki masa pacaran.
Selamat bergumul—bergumul dengan benar.
Apakah Mengikuti Kata Hati Bisa Membuat Kita Berbahagia?
“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berkali-kali. Untuk apapun keputusan yang ingin kita ambil, dan kalau kita ingin berbahagia, ikutilah kata hati kita sendiri. Tapi, apakah benar begitu?
Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?
Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.
Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.
Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.
Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”
Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”
Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.
Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.
Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?
Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.
Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.
Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.
Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.
Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?
Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.
Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.
Baca Juga:
Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan
Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.