Posts

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

Wabah Virus Corona: Dari Ancaman, Terbit Harapan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

*Kim Cheung tinggal di Tiongkok. Sejak virus corona merebak, kota tempat tinggalnya diisolasi. Artikel Kim sebelumnya dapat dibaca di sini.

Hingga 2 Maret 2020, sudah 89,081 kasus terkonfirmasi, 3.057 orang meninggal dunia dan 45,156 pulih. (Data dari Worldometers).

Sudah dua bulan berlalu sejak Novel Corona Virus (Covid-19) pertama kali mewabah pada 31 Desember 2019 dan sebulan berlalu sejak kota-kota di sekitar Wuhan (termasuk kota di mana aku tinggal) diisolasi.

Banyak orang sepertiku dilarang meninggalkan rumah. Tak jelas kapan kami bisa kembali bekerja atau harus tetap bekerja dari rumah.

Apakah wabah ini akan semakin memburuk? Sampai kapan hidup kami akan dipengaruhi oleh kondisi ini? Tak ada yang tahu jawabannya.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, aku telah menyaksikan banyak orang Tiongkok membagikan pengalaman terisolasi di kota mereka sendiri melalui media sosial. Beberapa meratapi kebosanan mereka. Yang lain bercanda karena akhirnya mereka tahu seperti apa rasanya “hidup di penjara”. Beberapa lagi mengatakan bahwa sekarang mereka mengerti mengapa para ibu yang baru melahirkan dan harus tinggal di rumah seringkali merasa depresi. Akan tetapi, seiring dengan semakin tingginya kasus diagnosa dan kematian karena virus corona, tidak ada satupun yang berani bertindak gegabah.

Sebulan terakhir ini terasa seperti seabad bagiku. Ini bukan hanya tentang berapa lama aku terjebak di rumah. Setiap harinya, aku diperhadapkan dengan apa yang seringkali aku saksikan dalam film Contagion. Kondisi ini membuatku semakin merefleksikan kehidupan lebih mendalam.

Kita melihat kebenaran dengan lebih jelas di saat-saat yang sulit. Seperti dikatakan melalui Pengkhotbah 7: 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Dalam menghadapi bencana dan kematian, kita dipaksa untuk memperhitungkan satu realita kehidupan: kita semua kelak akan mati.

Rasa Takut dalam Ketiadaan Harapan

Selama sebulan belakangan, tidak ada di antara kami yang menganggap enteng masalah ini. Kami menghadapi sebuah wabah epidemik, rasa takut kami semakin menggema. Orang-orang sulit untuk berpikir jernih. Kepanikan menguasai. Mereka memborong barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan, plus percaya kepada berita-berita bohong yang merebak.

Aku tidak memikirkan berita-berita tersebut sampai aku masuk ke supermarket terdekat dan melihat orang-orang belanja dengan rakusnya di sekitarku. Itulah saat di mana ketakutan menyelimutiku. Dua bungkus biskuit yang ingin kubeli berubah jadi satu kardus. Aku juga langsung membeli sekarton susu dan makanan lain. Bagaimana jika aku tidak punya kesempatan untuk membeli semuanya ini di kemudian hari? Bagaimana jika aku kehabisan makanan di rumahku sendiri? Selain kebutuhan sehari-hari, semua orang juga menambah stok obat demam dan obat batuk, sembari berharap bahwa semua ini akan memberikan rasa aman yang sangat kami butuhkan dalam menghadapi keputusasaan.

Rumor-rumor semakin berkembang dan justru makin menggelikan dari hari ke hari. Dalam satu kesempatan di malam hari, sebuah pernyataan resmi dirilis. Katanya ada satu obat Tiongkok bernama Shuang Huang Lian yang bisa menghentikan virus corona. Banyak orang yang salah paham dan mengira itu adalah pasta teratai kuning telur yang seringkali digunakan sebagai isi kue bulan, kue tradisional Tiongkok. Salah paham ini terjadi karena ada kata-kata bahasa Mandarin yang bunyinya mirip satu sama lain. Ketika besoknya aku bangun, bukan hanya obat-obatan yang ludes terjual melainkan kue bulan juga.

Ketakutan menyetir orang untuk melakukan berbagai macam tindakan tak masuk akal. Ketika kita kekurangan rasa damai yang berasal dari pengetahuan akan kebenaran, sangat mudah bagi kita untuk mempercayai kebohongan serta terperangkap dalam rasa takut dan kekhawatiran.

Namun, sebagai orang yang menjadi milik Kristus, kami memegang kebenaran, kedamaian, dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami (Roma 15:13). Oleh karenanya, kami tidak perlu takut atau khawatir akan apa yang akan terjadi, tapi kami bisa terus menaruh harapan kepada-Nya seiring dengan perjuangan kami melawan ketidakpastian.

Penyakit yang Memperbudak Kami

Selain rasa takut, kami juga merasa terjebak. Namun, sebuah percakapan antara aku dengan seorang teman dari luar negeri membantuku melihat sudut pandang lain dari krisis yang terjadi di negaraku, bahkan juga di dunia. Ketika aku bercerita bahwa sebulan terakhir di rumahku terasa menyesakkan seperti di penjara, dia memberitahuku bahwa hidup memang selalu seperti ini—hanya saja dalam cara yang berbeda.

Sebelum wabah virus corona merebak, kami terbelenggu dengan jadwal rutinitas kami yang super sibuk. Sebaris dialog dari film The Shawshank Redemption merangkum itu semua: “Kita sibuk menghidupi diri sendiri.”

Saat itu, kita sebenarnya telah diperbudak. Namun, pengejaran kita akan kesenangan duniawi menjebak kita untuk berpikir bahwa kita ini bebas. Dunia di mana kita hidup sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara yang besar. Meskipun terlihat seakan kita bisa bebas memilih apa yang kita inginkan, kita tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab kita untuk belajar, bekerja dan terhadap keluarga kita. Begitu pula mereka yang tampaknya bebas dan bisa traveling ke mana saja.

Itulah mengapa banyak orang khawatir dan depresi. Dan meskipun kita berfantasi tentang pindah ke luar negeri dan memulai hidup yang baru, kita tidak menyadari bahwa kita mengulang hidup yang sama di mana saja.

Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 14: 6). Ketika kita datang kepada-Nya, Dia membebaskan kita dari pencarian kita akan tujuan dan kepuasan hidup yang tanpa akhir.

Wabah ini juga telah memperlihatkan belenggu-belenggu lain yang tak tampak dari permukaan. Kami melihat sisi gelap dari manusia. Oleh karena makin sedikitnya stok masker, beberapa penjual menaikkan harga (satu masker bisa dihargai 4.30 dolar AS atau setara dengan Rp 58 ribu). Begitu juga dengan masker bekas yang dijual kembali.

Supermarket juga menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Sebuah kubis kini dijual seharga 8.60 dolar AS atau setara dengan Rp 116 ribu! Bahkan ada laporan bahwa Persatuan Palang Merah Wuhan secara diam-diam menahan semua masker donasi dan baju pelindung. Alhasil, barang-barang ini tidak bisa sampai ke garda depan staf medis.

Dan ada pula berita tentang geng bersenjata di Hong Kong yang mencuri tisu toilet senilai 206 dolar AS (Rp 2,8 juta) dari supermarket karena takut akan kekurangan tisu toilet.

Membaca berita-berita seperti ini semakin membuat kami kehilangan harapan. Aksi-aksi manusia itu rasanya lebih menakutkan daripada melihat statistik virus corona yang terus meningkat. Aku percaya bahwa dengan usaha para ahli kesehatan dunia, kelak kita akan menemukan vaksin untuk melawan wabah ini.

Namun rasa sakit yang ada di dalam diri kita—dosa—akan tetap ada. Meskipun kita akan menemukan obat untuk berbagai penyakit fisik dan kembali ke kehidupan kita yang penuh “damai”, namun mereka yang korup akan tetap korup.

Jiwa kita sakit dan kesakitan ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona. Tak ada obat, praktik-praktik spiritual maupun agama yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Hanya satu Pribadi yang bisa:

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Yesus adalah penyembuh kita yang luar biasa. Dia sendiri menanggung rasa sakit dan membayar harga mahal untuk menebus dosa kita dengan kematian-Nya. Dan penyembuhan ini cuma-cuma. Dia memberikannya kepada kita dengan penuh cinta.

Di saat-saat seperti ini, kita tidak perlu takut atau merasa bahwa kebebasan kita direnggut. Sebagai gantinya, semoga krisis yang kita alami ini mengarahkan kita kepada Kristus, memimpin kita untuk percaya kepada-Nya dan menerima berkat yang terbesar—kesembuhan sejati yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Semenjak virus Corona mewabah, negeriku diliputi kepanikan dan ketakutan. Kami hanya bisa terduduk di rumah, bahkan hanya turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Gambar diambil dari screenshot video
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 疫情蔓延的当下,我们的盼望在哪里?

Waktu terasa berjalan amat lambat belakangan ini.

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Ini adalah hari ketiga perayaan Tahun Baru Imlek (27 Januari 2020)—waktu di mana kami seharusnya sibuk mengunjungi sanak famili dan teman-teman. Namun kenyataannya, kami hanya terduduk di rumah sambil terus memantau keadaan terkini dari media sosial tentang penyebaran virus Corona. Bahkan hanya untuk turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Delapan hari telah berlalu sejak media resmi mulai memberitakan penyebaran virus Corona. Ketika aku pertama melihat beritanya di 20 Januari, kupikir ini bukan masalah serius. Aku malah janjian dengan dua temanku yang baru pulang dari Eropa untuk bertemu merayakan tahun baru Imlek. Namun hari ini, semua janji pertemuan telah kubatalkan. Aku sudah bersiap tidak meninggalkan rumah atau mengunjungi siapa pun selama dua minggu ke depan.

Virus Corona menyebar lebih cepat dari yang dibayangkan. Hanya semalam, kemudian dikonfirmasi bahwa virus itu dapat menular dari manusia ke manusia. Semua masker ludes. Kota Wuhan bak kota mati. Supermarket kosong… Rumor dan berita-berita yang tidak jelas bertebaran ke mana-mana, membuat orang semakin takut. Berselancar di media sosial, update berita terbaru muncul hampir tiap detik. Namun, berapa jumlah sebenarnya orang yang tertular tidak ada angka yang valid. Berapa orang yang sudah meninggal? Berapa orang yang sungguh terinfeksi? Tidak ada yang tahu pastinya.

Hanya beberapa hari lalu, aku masih bisa melihat banyak orang di jalanan, tapi hari ini, jalanan kosong, kotaku seperti kota hantu. Hampir semua orang panik, dan orang-orang tua mulai berdiskusi tentang seberapa mengerikannya virus itu.

Kami tidak tahu seberapa berbahayanya virus Corona. Beberapa ahli dari Hong Kong mengindikasikan bahwa kekuatan virus kali ini 10 kali lebih kuat daripada SARS, sementara beberapa ahli lain mengatakan bahwa wabah kali ini tidak separah yang dulu. Saat ini, asal mula virus belum terkonfirmasi (meski ada yang bilang bermula dari pasar hewan di Wuhan). Spekulasi lainnya mengatakan periode inkubasi virus bisa berlangsung sampai 14 hari, dan virus ini bisa menyebar juga selama masa inkubasi—semua hal ini menambah ketakutan dan kepanikan.

Dua hari lalu, aku melihat temanku membagikan bagaimana kondisi sebenarnya di banyak rumah sakit di Wuhan, dan hatiku tersayat. Rumah sakit di sana dijejali orang-orang sakit yang tak terlayani. Para dokter dan suster tak punya perlindungan yang cukup atau pun masker, dan mereka tidak bisa beristirahat sewajarnya, bahkan hanya untuk makan siang pun sulit. Suplai makanan terbatas. Para pekerja medis kelelahan karena beban kerja mereka melonjak tajam, dan hanya bisa makan sehari sekali—itu pun hanya mie instan. Dan, para suster di sana berlinangan air mata.

Hatiku berduka. Rasanya tak sanggup buatku menonton berita di TV. Bagaimana bisa seseorang tak bersedih menghadapi situasi ini? Selain berdoa, rasanya tak ada hal lain yang bisa kami lakukan.

Siang hari ini, aku mendengar dua kenalanku, orang Kristen di Wuhan, mengalami demam. Besar kemungkinan mereka telah terinfeksi virus Corona. Hatiku semakin berat. Bagaimana kelak masa depan? Akankah virus ini menjadi bencana dunia? Apakah ini sungguh kiamat? Deretan pertanyaan ini membuatku semakin khawatir dan tak berdaya.

Namun, saat ini dunia hanya mampu memberikan jawaban berupa kepanikan dan putus asa, padahal yang sejatinya dibutuhkan adalah harapan yang teguh. Ketika kita harap-harap cemas akan bagaimana obat dan vaksin untuk mengentaskan wabah ini, apakah kita juga sebagai anak Tuhan kehilangan harapan dan putus asa? Jika harapan kita hanya disandarkan pada hal lahiriah, apakah bedanya kita dengan mereka yang tidak percaya? (Roma 8:24).

Ketika kita diselimuti kepanikan dan putus asa, kita seharusnya berpegang lebih erat kepada Tuhan dan firman-Nya. Hanya Tuhanlah harapan kita. Kiranya kebenaran-kebenaran ini menguatkan kita:

Tuhan memegang kendali

Meskipun situasi tampaknya mengerikan, hal yang teramat pasti adalah Tuhan kita memegang kendali. Meskipun Si Jahat ingin mencuri dan melenyapkan kehidupan, Tuhan tetap memegang kendali penuh. Tanpa seizin-Nya, tak ada satu hal pun dapat terjadi. Jika Tuhan tidak mengizinkan, sehelai rambut di kepala kita pun takkan jatuh ke tanah (Lukas 12:6-7). Ketika aku berpegang pada kebenaran ini, aku merasa terhibur.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Tuhan telah berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Bahkan di tengah pencobaan dan kesakitan, Tuhan senantiasa beserta kita. Dan, Dia pun akan menyelamatkan kita pada akhirnya (Yohanes 6:37).

Karena aku tahu Dia ada bersama kita, kita tidak perlu takut atau khawatir (Matius 10:28). Meskipun virus ini mengerikan, Pencipta surga dan bumi ada bersama kita, dan kita mampu beroleh damai sejahtera.

Tuhan akan memberikan jalan keluar

Ketika kita merasa takut dan panik karena kabar-kabar yang terus berdatangan, marilah kita berpegang teguh pada janji Tuhan. Tuhan tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita (1 Korintus 10:13). Dia akan memberikan jalan keluar supaya kita mampu mengatasinya.

Hendaknya kita pun senantiasa berdoa. Meskipun banyak gereja di Tiongkok membatalkan kegiatan mereka demi keamanan, kami masih bisa berkumpul dengan keluarga dan berdoa. Ketika aku mempelajari Lukas 4:17-22 siang ini, aku sekali lagi menyadari apa sesungguhnya Injil itu.

Injil yang Yesus Kristus wartakan adalah tentang keselamatan kita. Namun, sebagai pendosa, kita lebih tertarik kepada kedagingan kita. Aku menyadarinya sedari berita tentang wabah virus Corona merebak, aku begitu terpaku pada notifikasi di ponselku, terus merefresh berita-berita terbaru. Tapi, banyak berita yang kubaca rupanya malah hoaks dan tak berdampak apa-apa selain menambah panik. Mengapa aku tidak meluangkan lebih banyak waktuku untuk berdoa dan berpegang pada firman-Nya lebih lagi?

Aku mengajakmu untuk bersama-sama mendoakan kota Wuhan dan orang-orang yang terinfeksi di Tiongkok dan seluruh dunia. Menemukan pengobatan untuk virus Corona adalah baik, tetapi itu hanya menyelesaikan penderitaan secara fisik. Tidakkah kita juga berfokus mendoakan agar mereka yang belum mengenal Kristus dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamatan yang kekal?

Kiranya Tuhan menguatkan hati kita, teruntuk bagi kami di Tiongkok yang harus mendekam di rumah kami masing-masing. Kiranya kita semakin mengenal Tuhan, demikian juga dengan orang-orang di Tiongkok.

Tuhan masih memegang kendali. Janji Tuhan tak pernah gagal. Kehendak-Nya dinyatakan di atas bumi.

“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Petrus 1:5).

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?