Posts

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

“Biasalah warga +62”

Kalimat itu tertulis di sebuah stiker WA. Ketika seorang teman berkata atau berbuat sesuatu yang menurutku udik, stiker tersebut jadi respons yang kurasa pas. Tapi, meski cuma candaan, tanpa kusadari aku melabeli “warga +62” atau warga negara Indonesia sebagai pihak yang kurang tahu sopan santun atau kampungan. Tidak berusaha membenarkan diri, namun aku melihat bukan hanya aku yang melakukannya.

Lebih lanjut, ketika melihat berita mengenai penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, seringkali aku melihat komentar di sosial media yang kurang mengenakkan. Kritik dan kekecewaan terhadap penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia datang dari berbagai penjuru. Kemelut, konflik, dan debat-debat di kolom komentar tidak bisa dihindari hingga terkadang membacanya membuatku menghela napas.

Pernahkah terpikir oleh kita mengapa kita lahir sebagai orang Indonesia pada waktu seperti ini?

Menjadi Nehemia bagi Indonesia

Nehemia bin Hakhalya merupakan orang Yahudi yang dibuang ke Persia dan bekerja sebagai juru minuman Raja Artahsasta I (raja Persia) di Puri Susan. Suatu hari ia mendengar kabar mengenai Yerusalem, kampung halamannya; dan kondisi orang-orang Yahudi yang terluput, yang terhindar dari penawanan dari salah seorang dari saudara dari Yehuda.

“Orang-orang yang masih tinggal di daerah sana, yang terhindar dari penawanan, ada dalam kesukaran besar dan dalam keadaan tercela. Tembok Yerusalem telah terbongkar dan pintu-pintu gerbangnya telah terbakar.”

(Nehemia 1:3)

Ketika Nehemia mendengar berita itu, dia duduk menangis dan berkabung selama beberapa hari. Nehemia kemudian berpuasa dan berdoa kepada Allah untuk memohon pengampunan atas dosanya, kaum keluarganya, serta bangsanya; dan memohon belas kasihan Allah untuk memulihkan bangsanya. Tidak berhenti di situ, Nehemia kemudian kembali ke kampung halamannya untuk membangun kembali Tembok Yerusalem, sebuah tindakan yang nekad namun penuh dengan kasih untuk bangsanya. Perlu diingat kembali bahwa sebagai seorang juru minuman raja yang tinggal di istana, Nehemia sebenarnya telah hidup dalam zona nyaman. Namun, Nehemia memutuskan untuk menginggalkan segala kenyamanan dan kemapanannya untuk melakukan sesuatu bagi bangsa yang dikasihinya.

Mungkin sebagian dari kita, seperti Nehemia, hidup dalam kenyamanan dan privilese yang kadang membuat kita terlena dan merasa aman. Kenyamanan menumpulkan indera-indera kita; membuat kita seringkali abai dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini: budaya korupsi yang mengakar, penegakan hukum dan keadilan yang seolah mati suri, kemiskinan di mana-mana, keagamaan yang serba formalitas belaka, serta kekerasan dan intoleransi yang dibiarkan saja. Kita berpikir bahwa masalah-masalah ini hanya ada di dunia maya dan tidak bersentuhan langsung dengan kita dalam kehidupan nyata. Kita mungkin bekerja pada sektor yang “tidak menantang”, sehingga kita berpikir bahwa urusan untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas bukanlah bagian kita, bahkan mungkin kita yang berhadapan kondisi-kondisi tersebut, cenderung memilih untuk mengambil tempat yang aman dan bekerja secara mekanik: datang ke kantor setiap pagi, mengerjakan bagian kita sebisanya, kemudian pulang ke rumah dan melupakan apa pun yang terjadi di kantor hari ini. Yang penting pekerjaan selesai, yang penting aku tidak berbuat curang.

Namun, orang Kristen tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala (Matius 10:16a). Dalam anugerah Tuhan, masing-masing kita diberikan bagian untuk berkarya untuk sesuatu yang lebih besar daripada atasan atau instansi/perusahaan tempat kita bekerja; kita dipanggil untuk mengerjakan misi Allah bagi dunia di dalam pekerjaan kita.

“Jangan kira, karena engkau di dalam istana raja, hanya engkau yang akan terluput dari antara semua orang Yahudi. Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain, dan engkau dengan kaum keluargamu akan binasa. Siapa tahu, mungkin justru untuk saat yang seperti ini engkau beroleh kedudukan sebagai ratu.

(Ester 4:13-14)

Seperti Nehemia dalam jabatannya sebagai juru minuman raja di istana atau Ester dalam jabatannya sebagai ratu, kita dipanggil dalam profesi kita untuk berkontribusi menghadirkan shalom di dunia. Dalam kedaulatan Tuhanlah Nehemia dan Ester memiliki jabatan yang strategis pada waktu tantangan besar sedang terjadi, sehingga Nehemia dan Ester dapat membuat perubahan. Sama seperti Nehemia dan Ester, kita dipanggil untuk merespons panggilan Allah secara spesifik bagi hidup kita, untuk berani keluar dari “cangkang kenyamanan” dan mau berjuang bagi bangsa kita.

Mewujudkan shalom tidak melulu bicara soal transformasi besar-besaran pada sebuah bangsa atau komunitas. Shalom yang adalah damai sejahtera, keadaan di mana Allah berkuasa, dapat kita hadirkan ketika kita bersedia melihat dengan hati dan melayani setiap orang yang kita jumpai dengan sepenuh hati. Ketika seorang guru mengajar muridnya, ketika seorang dokter mengobati pasiennya, ketika seorang petugas kebersihan menjaga lingkungan tetap asri, Allah dapat memakai setiap buah pekerjaan itu bagi kemuliaan-Nya.

Jika Engkau Mempunyai Mata, Maka Melihatlah

“Jika engkau mempunyai mata, maka melihatlah” adalah salah satu judul bab dalam Buku Vision of Vocation (Panggilan untuk Mengenal dan Mengasihi Dunia) oleh Steven Garber. Judul bab ini (tentu beserta isinya) menghantuiku—mengguncangku untuk membuka mata dan telinga selebar-lebarnya terhadap lingkungan sekitar. Aku tahu bahwa kondisi Indonesia jauh dari kata ideal, tapi apakah aku benar-benar “tahu”? Aku melihat ketidakadilan dan kemiskinan di depan mata, tapi apakah aku benar-benar “melihat”? Bagaimana denganmu? Apakah kamu “melihatnya”?

“Usahakanlah kesejahteraan kota kemana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.”

(Yeremia 29:7)

Kita tidak perlu menjadi pejabat publik atau posisi strategis lain untuk mengambil bagian dalam membangun bangsa dan negara kita. Panggilan atau pekerjaan apa pun yang Tuhan percayakan bagi kita; apabila kita menyadari bahwa kita mengerjakannya untuk Tuhan demi menghadirkan kesejahteraan bagi negara ini, maka kita telah menjadi bagian dalam pekerjaan Tuhan bagi Indonesia.

Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk menjadi Nehemia-Nehemia, Ester-Ester, dan Daniel-Daniel di masa kini. Kiranya dalam anugerah-Nya, Tuhan menolong kita untuk sungguh-sungguh melihat, sungguh-sungguh berdoa, dan sungguh-sungguh berkarya bagi Tuhan, Bangsa Indonesia, dan sesama.

Soli Deo Gloria.

May we be a people, a people mending broken lives
Giving hope to broken world by the grace of God
May we be a people, a people serving God and man
Bringing love and dignity, in Jesus’ Name
(lirik bait kedua Bring Your Healing to The Nation – Liz Pass dan David Pass)

Semoga kita menjadi umat yang dapat memperbaiki hidup yang rusak
Memberi harapan bagi dunia yang rusak dalam kasih karunia Tuhan
Semoga kita menjadi umat yang melayani Tuhan dan manusia
Membagikan cinta dan martabat, di dalam nama Tuhan Yesus

div style=”line-height: 20px; background-color: #dff2f9; padding: 20px;”>Baca Juga:

Lima, Dua, Satu

Ketika Tuhan memberi talenta dengan jumlah yang berbeda, banyak orang berpikir Dia tidak adil. Mengapa tidak dibuat sama? Mengapa harus berbeda?