Posts

Kasih Tuhan di Masa Corona

Oleh Jefferson, Singapura

Memasuki bulan keempat di tahun 2020, aku tidak menyangka kalau wabah COVID-19 akan jadi separah ini. Situasi di Singapura sendiri bereskalasi dengan cepat selama beberapa minggu terakhir. Pengetatan berkala peraturan-peraturan social distancing pun mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan kebijakan “pemutus arus”—yang mirip dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta—hari Jumat minggu lalu. Salah satu upaya yang diperkenalkan untuk menghambat laju penyebaran coronavirus adalah menutup kantor-kantor dari berbagai sektor non-esensial selama satu bulan, dimulai dari Selasa kemarin. Kantorku yang bergerak di bidang konsultasi lingkungan pun terkena imbasnya.

Aku cukup terkejut ketika mendengar harus bekerja dari rumah selama sebulan, terutama karena perusahaanku belum pernah melakukannya sejak pandemi ini dimulai. Group chat kantor pun mulai ribut dalam keresahan, membuat aku yang tadinya tenang-tenang saja jadi ikutan panik.

Pada saat itulah aku mulai menyadari dan merasakan dampak dari wabah COVID-19 secara langsung. “Ketakutan dan penderitaan semakin nyata di mana-mana,” pikirku. Pengamatan ini kemudian berkembang menjadi pertanyaan, “Menghadapi situasi seperti ini, tanggapan seperti apa yang iman Kristen berikan? Dan apa bedanya dengan reaksi dari dunia?”

Di antara banyak tulisan dan opini yang disuarakan oleh berbagai kalangan, artikel karangan N. T. Wright menuntunku untuk merenungkan tentang hal ini lebih dalam dari yang kukira, di mana aku melihat keindahan dan keunikan dari jawaban Kekristenan untuk pandemi ini.

“Kekristenan tidak menawarkan jawaban apapun atas coronavirus

Artikel itu dibuka dengan pengamatan beliau terhadap suatu refleks—layaknya lutut yang diketuk palu karet—dari banyak kalangan untuk memberikan sebuah label kepada peristiwa ini, entah sebagai “hukuman”, “pertanda”, maupun “respons alam”. Teori-teori konspirasi pun menyebar secepat virus korona menular. Orang-orang ini dijuluki N. T. Wright sebagai “Rasionalis” karena menuntut penjelasan rasional atas segala kejadian. Berseberangan dengan mereka adalah kaum “Romantisis” yang sentimentalis, yang menuntut suatu “desahan lega“, kepastian instan bahwa pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.

Terhadap kedua reaksi tersebut, N. T. Wright memberikan alternatif respons yang iman Kristiani usung dalam bentuk ratapan, di mana kita mengakui dengan jujur kalau kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian maupun hasil akhirnya. Ratapan beliau jabarkan sebagai tindakan “bergerak keluar dari kecemasan kita terhadap dosa-dosa dan pergumulan pribadi yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”. Tradisi ratapan yang Alkitabiah mengajak kita untuk berempati dengan penderitaan mereka yang berhadapan dengan pandemi ini dalam kondisi yang jauh dari ideal, seperti di kamp pengungsi yang padat di Yordania dan daerah penuh kekerasan perang seperti Gaza.

Beliau kemudian mengajak kita untuk menilik isi dari sejumlah mazmur ratapan. Beberapa mazmur memang ditutup dengan pembaharuan keyakinan akan penyertaan dan pengharapan dari Tuhan di tengah permasalahan, namun ada juga mazmur-mazmur yang berakhir dalam kegelapan dan kekalutan (seperti Mazmur 88 dan 89). Dari kedua jenis mazmur ratapan ini, kita melihat bahwa praktik ratapan tidak selalu memberikan jawaban atas segala rasa duka dan frustrasi yang kita alami. Meskipun begitu, ratapan selalu menyingkapkan suatu misteri yang dinyatakan oleh Alkitab kepada para peratap: TUHAN sendiri pun meratap.

Ratapan Allah Tritunggal terekam jelas dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Ada banyak bagian yang mencatat hati Tuhan yang berduka, seperti ketika melihat keberdosaan dan kejahatan manusia (Kejadian 6:5-6) serta ketika bangsa Israel pilihan-Nya sendiri berpaling dari-Nya untuk menyembah berhala (Yesaya 63:10). Di sisi lain, dalam Perjanjian Baru kita melihat air mata sang Anak di makam Lazarus (Yohanes 11:35) dan ”erangan” Roh Kudus di dalam diri kita (Roma 8:26) sambil kita sendiri “mengerang” bersama seluruh ciptaan (Roma 8:23). [Terjemahan Bahasa Indonesia memakai kata “keluhan” untuk kata yang secara konsisten diterjemahkan sebagai “groan(-ings)” / “erangan” oleh terjemahan-terjemahan Bahasa Inggris.]

Dari semua pengamatan ini, N. T. Wright menyimpulkan bahwa orang Kristen tidak dipanggil untuk (mampu) menjelaskan apa yang sedang terjadi dan mengapa itu terjadi, melainkan untuk meratap. Bersama dengan Roh Tuhan yang meratap dalam diri kita, ratapan kita menjadikan kita bait-bait Allah yang menyatakan penyertaan dan kasih-Nya di tengah dunia yang sedang menderita karena wabah COVID-19.

Ikut meratap bersama Tuhan yang meratap

Walaupun tulisan yang kuringkas di atas memperluas wawasan dan mengajarkan sebuah cara bagaimana kita dapat merespons wabah COVID-19 dengan Alkitabiah dan bijak, aku merasa kurang puas dengan konklusi yang N. T. Wright ambil. Aku merasa masih ada kaitan yang lebih mendalam antara ratapan kita dengan ratapan Allah yang tidak dipaparkan oleh beliau. Dalam perenunganku tentang hal ini, sebuah frasa dari Yesaya 53:3 mendadak muncul dalam benakku: “man of sorrows”, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “seorang yang penuh kesengsaraan”. Frasa ini digunakan dalam nubuatan nabi Yesaya tentang Hamba TUHAN yang menderita untuk memikul ganjaran dari dosa dan kejahatan yang sepatutnya kita terima (Yesaya 52:13–53:12), yang kemudian digenapkan oleh Yesus Kristus ketika Ia disesah, dihina, dan disalibkan sekitar 2000 tahun yang lalu.

Deskripsi Yesus sebagai man of sorrows inilah yang menggugah hatiku. Sebagai Tuhan atas seluruh ciptaan, Yesus Kristus adalah satu-satunya Pribadi di jagat raya yang memahami penderitaan secara penuh. Ia mampu melenyapkan kesengsaraan hanya dengan satu patah kata (bdk. Matius 26:53)! Yesus tidak perlu datang ke dunia, tapi Ia tetap mengambil rupa manusia dan mengalami penderitaan dengan sensasi panca indera yang sama dengan kita (Yesaya 53:7) hingga mati (53:8) sehingga “oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh” (53:5; bdk. 1 Petrus 2:24). Kurasa terjemahan Indonesianya tidak menggambarkan dengan penuh makna dari frasa ini. Bukan hanya “penuh kesengsaraan”, penderitaan yang Yesus alami pada Jumat Agung menjadikan-Nya “seorang sengsara”, kesengsaraan dalam wujud darah dan daging manusia.

Dalam perenungan inilah aku melihat hubungan antara ratapan kita dengan ratapan Tuhan: Yesus Kristus telah lebih dulu meratapi dan berempati dengan semua dosa dan penderitaan kita, bahkan mengalami sendiri segala penderitaan itu dan menanggungnya di atas kayu salib sampai mati, sehingga kita dapat “bergerak keluar dari kecemasan kita… yang egois untuk melihat penderitaan dunia dengan lebih luas”, meratapi dan berempati dengan penderitaan orang lain. Kebenaran ini digambarkan dengan indah oleh Paulus, “[Pribadi Allah Bapa] yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimana mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32)

Allah yang kita sembah, yang menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus, tidaklah jauh dari kita semua (bdk. Ibrani 4:15). Ia tidak tinggal diam ketika melihat ciptaan-Nya yang menurut hikmat mereka sendiri mencoba untuk merasionalisasi dan meromantisasi jawaban atas segala kejahatan dan penderitaan di dunia. Kepada kaum-kaum Rasionalis, Romantisis, dan semua pandangan manusiawi lainnya, Allah menjawab dengan memilih untuk datang sendiri ke dalam dunia, merasakan segala penderitaan itu dalam wujud dan indera yang sama dengan kita, meratap bersama kita, dan menebus upah dosa hingga tuntas di atas kayu salib.

Kurasa bertepatannya momen wabah COVID-19 ini dengan masa Lent atau prapaskah dan peringatan Jumat Agung dan Paskah bukanlah sebuah kebetulan. Mengapa begitu? Karena di tengah masa coronavirus yang gelap pekat, cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus (2 Korintus 4:4), terang kasih Tuhan yang terus menyertai kita, dapat terlihat bersinar lebih cemerlang.

Meratap di tengah kegelapan, berharap pada sang Terang kasih dunia

Jadi, bagaimana kita dapat melakukan praktik ratapan di masa kini? Yang jelas, ratapan tidak dilakukan dengan berusaha menemukan penjelasan di balik situasi COVID-19 yang kompleks seperti golongan Rasionalis, maupun mencari penghiburan instan seperti kaum Romantisis. Sebaliknya, kita meratap dengan melihat keluar dari diri kita untuk menolong dan berempati dengan penderitaan orang lain, seperti yang N. T. Wright usulkan dan, aku ingin menambahkan, mengarahkan orang lain untuk melihat dan percaya kepada Kristus yang meratap bersama kita dan menanggung semua penderitaan itu untuk kita.

Melalui doa-doa yang kita panjatkan, percakapan-percakapan online dengan teman dan kerabat kita, serta mencari tahu dan menolong mereka yang membutuhkan bantuan—baik secara dana, pangan, maupun emosi—untuk melewati pandemi ini, kita memberitakan Injil kasih keselamatan dalam Yesus Kristus. Teman-teman kosku membantu menajamkan langkah yang terakhir dengan mengingatkan bahwa bantuan yang dapat kita berikan kepada orang lain pun adalah berkat yang Tuhan telah anugerahkan kepada kita terlebih dahulu. Dengan kata lain, pengucapan syukur yang tulus adalah bagian penting dari tindakan kita menyalurkan berkat Tuhan untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Dengan segala waktu dan sumber daya tambahan yang kudapatkan dari keharusan untuk bekerja dari rumah selama sebulan ke depan, aku tahu apa yang akan kuaplikasikan dari perenungan ini: mengucap syukur setiap saat atas berkat-berkat yang Tuhan terus berikan, meratapi penderitaan demi penderitaan yang disebabkan oleh pandemi COVID-19, dan membantu mereka yang membutuhkan sejauh yang kubisa. Melalui semua tindakanku ini, aku berdoa agar dunia dapat mengenal dan berharap kepada Yesus Kristus yang meratap bersama kita dan telah memberi diri-Nya untuk menanggung segala penderitaan kita.

Maukah kamu ikut meratap bersamaku dan membagikan pengharapan ini sehingga realita kasih Tuhan di masa corona semakin nyata di tengah dunia yang terinfeksi oleh dosa?

Selamat Jumat Agung dan Paskah! Tuhan Yesus menyertai dan memberkati, soli Deo gloria.

P. S. Judul tulisan ini diadaptasi dari novel karangan Gabriel García Márquez yang berjudul Love in the Time of Cholera (“Kasih di Masa Kolera”)

Baca Juga:

Ketika Aku Divonis Sakit Oleh Pikiranku Sendiri

Tahun 2016 aku pernah menderita Pneumonia, lalu dinyatakan sembuh. Namun, berita-berita tentang virus yang kubaca membuatku cemas. Pikiran buruk pun menghantui, aku over-thinking.

Paskah dalam Masa-masa Sulit

Oleh Robert Solomon, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Plagues, Quarantines, and Lent

Banyak orang saat ini tak bisa beraktivitas dengan leluasa dan dianjurkan untuk menghabiskan waktu dan bekerja dari rumah saja. Ada lebih banyak waktu yang dapat dipergunakan untuk membaca dan berelasi dengan orang-orang terkasih. Alih-alih menghabiskan waktu untuk menghibur diri sendiri, alangkah baiknya jika kita mempergunakan waktu kita untuk membaca, berdoa, dan melayani dengan berbagai cara yang Tuhan ingin kita lakukan.

Waktu aku masih muda dulu, aku membaca buku berjudul “The Plague” (wabah) karya Albert Camus. Camus adalah pemikir eksistensialis dan seorang ateis. Dia menulis novel ini pada 1947, dua tahun setelah Perang Dunia II usai. The Plague bercerita tentang wabah di Oran, sebuah kota di Algeria. Kota itu menutup perbatasan dan berjuang mati-matian untuk mengentaskan wabah.

Kisah perjuangan melawan wabah itu menunjukkan beragam perilaku dan motivasi manusia kala menghadapi krisis. Bagi Camus, ketiadaan makna dari kehidupan memaksa orang-orang untuk mencarinya—dan baginya, makna itu didapat dalam solidaritas antar manusia.

Sosok yang menjadi pahlawan bagi Camus adalah seorang dokter yang menggulung lengan bajunya untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meskipun sang dokter tahu bahwa situasi yang dihadapinya suram. Para rohaniawan digambarkan Camus sebagai sosok yang tidak berguna, mereka hanya bisa menyuarakan kata-kata yang tak bisa menyembuhkan atau menolong orang dalam wabah ini.

Camus adalah seorang ateis dan dia tidak menyadari bahwa selama masa wabah pes di Eropa abad ke-14, tingkat kematian di kalangan rohaniawan gereja 20% lebih tinggi daripada populasi pada umumnya. Akibat wabah ini, sepertiga populasi Eropa musnah.

Kematian para rohaniawan bukanlah hukuman tambahan bagi mereka, tapi karena merekalah yang melayani orang-orang yang terinfeksi dan sekarat. Para rohaniawan bukannya “tidak berguna” seperti yang digambarkan masyarakat sekuler. Faktanya, iman Kristen mewartakan pesan yang berisi harapan terbesar bagi umat manusia di tengah suasana paling suram, sebagaimana C.S Lewis mengingatkan kita.

Dalam artikelnya yang berjudul, “On Living in an Atomic Age”, Hidup dalam Era Atom, ketika ketakutan akan bahaya senjata nuklir mengancam umat manusia, Lewis menuliskan kata-katanya. Secara sederhana, kita bisa mengubah kata “bom” yang ditulis Lewis dengan “virus corona”, dan kebenarannya tetaplah sama.

“Di satu sisi, kita terlalu banyak memikirkan bom atom. ‘Bagaimana kita bisa hidup di era nuklir seperti ini?’ Aku tergerak untuk menjawab: ‘Mengapa gelisah? Bayangkan, kamu bisa saja hidup di abad 16 ketika wabah menjangkiti kota London hampir setiap tahun, atau kamu hidup di masa Viking ketika orang-orang dari Skandinavia mendarat di tanahmu dan menyembelihmu kala malam; atau, kamu hidup di masa-masa penyakit kanker, sifilis, kelumpuhan, serangan udara, kecelakaan kereta api, juga kecelakaan lalu lintas seringkali terjadi’

Dengan kata lain, janganlah kita membesar-besarkan kesusahan yang kita hadapi saat ini. Percayalah kepadaku, wahai ibu dan bapak, kamu dan semua yang kamu kasihi telah dihukum menghadapi kematian bahkan sebelum bom atom ditemukan; dan banyak dari kita menghadapi kematian dengan cara yang mengenaskan. Memang, sekarang generasi kita mengenal sesuatu yang lebih baik daripada leluhur kita—anestesi; tapi kematian tetaplah tak terhindarkan. Sangat konyol untuk merintih dan bersedih hanya karena para ilmuwan menambah daftar kesakitan dan kematian yang lebih dini kepada dunia yang sejatinya telah dipenuhi oleh kengerian dan derita, di mana kematian itu sendiri bukanlah sebuah kesempatan, tapi kepastian.

“Inilah hal pertama yang harus kita lakukan: dan langkah pertama yang harus diambil adalah kita perlu menenangkan diri kita. Jika bom atom yang akan membinasakan kita, biarkanlah hal itu terjadi di saat kita melakukan kegiatan kita sehari-hari seperti biasa—berdoa, bekerja, mengajar, membaca, mendengarkan musik, memandikan anak-anak, bermain tenis, mengobrol dengan rekan kita sambil minum dan bermain—bukannya bersembunyi seperti kawanan domba yang ketakutan dan selalu memikirkan tentang bom. Bom-bom itu mungkin menghancurkan tubuh kita (bakteri pun bisa melakukannya), tetapi mereka tidak mampu mengatur pikiran kita.”

Bagi Camus, virus itu melambangkan kejahatan manusia—sama seperti yang terjadi saat perang dunia berlangsung. Virus itu hidup dan menjangkiti hati manusia dan masyarakat, serta menyebar seperti infeksi endemik. Camus tak punya solusi nyata atau pun harapan.

Namun, orang Kristen punya pandangan berbeda. Kita menantikan hari ketika Kristus akan datang kembali untuk menghapus setiap tetes air mata dan mengakhiri kejahatan serta penderitaan (Wahyu 21:4).

Yesus Kristuslah harapan kita yang sesungguhnya. Dialah yang telah mengalahkan maut serta dosa yang menjangkiti umat manusia—dengan mengalahkannya di kayu salib dan bangkit dari maut. Marilah kita memandang kepada Kristus dan menguatkan hati di kala badai menerpa. Kristus telah mengalahkan dunia (Yohanes 16:33).

Kata “quarantine” atau “karantina” digunakan pertama kali pada abad 14 di Venezia, mengingatkan kita akan keadaan menyeramkan yang saat ini juga dihadapi di Italia. Kala itu, Venezia adalah sebuah pusat perdagangan dengan pelabuhan yang sangat sibuk. Untuk mencegah masuknya wabah, pemerintah saat itu mewajibkan semua kapal tetap di laut selama 40 hari sebelum bisa berlabuh.

Kata asli yang digunakan adalah “Quaranta giorni” yang artinya periode selama 40 hari. Kata ini diadaptasi menjadi “quarantine” dalam bahasa Prancis dan Inggris, dan juga diasosiasikan dengan 40 hari pencobaan Kristus di padang gurun (Markus 12-13), juga 40 hari masa pra-Paskah.

Kita tidak menampik, hari ini pun kita menjalani masa pra-Paskah dalam situasi yang tidak seperti biasanya. Setiap hari kita mendengar berita tentang karantina dan lockdown. Pikiran kita secara alami berkutat tentang COVID-19 yang merebak di banyak negara. Tapi, adalah penting untuk juga memfokuskan pikiran kita kepada Kristus, sebab masa pra-Paskah adalah masa-masa untuk mengingat kembali penderitaan, kematian, dan kebangkitan-Nya.

Namun, banyak orang Kristen mungkin telah lupa bahwa saat ini kita ada dalam masa-masa pra-Paskah! Pikiran tentang virus membuyarkan perhatian kita, seperti Petrus yang berfokus pada gelombang laut daripada Yesus, hingga akhirnya dia tenggelam (Matius 14:29-30).

Jadi, marilah kita menghormati Tuhan dengan memfokuskan kembali pikiran kita kepada-Nya, mempercayai-Nya, menaati-Nya, dan melayani dalam nama-Nya. Janganlah kita kehilangan kebiasaan kita untuk menyembah-Nya secara pribadi dan bersama-sama, meskipun kita menghadapi tantangan saat ini.

Marilah kita “bersukacita dalam pengharapan, sabar dalam kesesakan, dan bertekun dalam doa!” (Roma 12:12). Seiring kita mengisi hari-hari dalam karantina, marilah kita menghayati pra-Paskah dengan mengingat apa yang biasanya kita lakukan pada masa ini (berdoa, berpuasa, berbalik pada Tuhan, menguduskan diri kita sepenuhnya untuk Tuhan dan melakukan apa yang baik).

Dalam kesunyian dan keheningan, marilah kita menghadap hadirat-Nya. Meskipun kita mendengar kata “social distancing”, atau pun kita merasa kesepian dan terkurung, kiranya kita dapat senantiasa menemukan keintiman rohani bersama Allah dan dalam tubuh Kristus.

Benarlah apa yang Alkitab katakan: “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya” (Yesaya 26:3).

Baca Juga:

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Yehuda, di bawah kepemimpinan Raja Ahas memilih berpaling dari Allah dan jatuh ke dalam kegelapan. Berkaca dari peristiwa itu, manakah yang mau kita pilih: merangkul, atau menjauhi Terang?

Refleksi Mazmur 91: Belajar Memahami Janji Tuhan dengan Benar

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Merebaknya pandemi virus COVID-19 di seluruh dunia telah menghadirkan kecemasan dan ketakutan. Ketika jumlah pasien di Nusantara semakin meningkat dalam beberapa minggu terakhir, masyarakat Indonesia tidak lagi bisa menganggap sepi ancaman pandemi ini. Semua orang, termasuk orang-orang Kristen, berusaha untuk menyikapi situasi ini sesuai dengan keyakinan masing-masing.

Seperti yang bisa diduga, tidak semua orang Kristen berbagi keyakinan yang sama. Sebagian mengalami ketakutan yang berlebihan. Sebagian yang lain tampak tenang. Kelompok yang terakhir ini meyakini bahwa wabah dan tulah tidak akan menimpa orang yang beriman. Banyak ayat dimunculkan sebagai dukungan. Salah satunya adalah Mazmur 91.

Penafsiran historis terhadap teks ini menunjukkan bahwa Mazmur 91 memang telah menjadi penghiburan dan pengharapan bagi bangsa Yahudi maupun umat Kristen di sepanjang zaman. Sebagian orang bahkan menjadikan teks ini sebagai mantera maupun bacaan wajib tiap malam, terutama ketika bencana datang menghadang. Beberapa misionaris yang menghadapi tantangan besar di ladang juga menjadikan teks ini sebagai ayat favorit mereka.

Menjadikan Mazmur 91 sebagai penghiburan di tengah bahaya yang datang memang wajar. Beragam kata yang berkaitan dengan perlindungan muncul berkali-kali dalam teks ini: lindungan (ayat 1), naungan (ayat 1), perlindungan (ayat 2, 9), pertahanan (ayat 2), perisai dan pagar tembok (ayat 4), perteduhan (ayat 9), keselamatan (ayat 16). Begitu pula pelbagai kata kerja yang mengarah pada ide yang sama: melepaskan (ayat 3), menudungi (ayat 4), menjaga (ayat 11), menatang (ayat 12), meluputkan dan membentengi (ayat 14). Sehubungan dengan kasus virus Corona Covid-19, mazmur ini menjanjikan bahwa penyakit sampar dan menular tidak akan menakutkan bagi orang yang beriman (ayat 5-6). Walaupun ribuan orang akan rebah, kita hanya akan menonton saja (ayat 7-8).

Benarkah mazmur ini menjanjikan perlindungan mutlak dari bahaya? Benarkah orang Kristen tidak mungkin tertular suatu wabah? Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan seolah-olah peristiwa buruk sama sekali tidak akan menimpa orang percaya.

Pertama, fungsi awal mazmur ini dalam konteks ibadah. Jika kita memerhatikan dengan cermat, mazmur ini menggunakan kata ganti orang yang berlainan. Di ayat 1-2 pemazmur berbicara tentang “orang yang duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa”. Mulai ayat 3-13 pemazmur menggunakan sapaan “engkau”. Ayat 14-16 menampilkan Allah sebagai pembicara. Perbedaan kata ganti ini diyakini oleh banyak penafsir sebagai petunjuk ke arah penggunaan mazmur ini dalam konteks ibadah (liturgi). Ada kemungkinan mazmur ini dinyanyikan secara bersahut-sahutan selama ibadah.

Jika benar demikian, semua janji dalam mazmur ini hanya berlaku secara umum bagi umat Allah. Keadaan spesifik masing-masing orang mungkin akan berbeda. Allah mungkin memiliki rencana tertentu bagi individu tertentu. Walaupun demikian, mazmur ini secara umum bisa dijadikan penghiburan di tengah ketakutan.

Kedua, jenis bahaya yang dimaksud. Semua bahaya yang disebutkan dalam mazmur ini—peperangan (ayat 5), penyakit (ayat 6), malapetaka dan tulah (ayat 10)—sebaiknya dipahami sebagai hukuman dari Allah kepada orang-orang fasik. Dugaan ini didukung secara eksplisit oleh ayat 8: “Engkau hanya menontonnya dengan matamu sendiri dan melihat pembalasan terhadap orang-orang fasik”. Selain itu, penggunaan istilah “jerat penangkap burung” (ayat 3) dan “tulah” (ayat 10) mengarah pada maksud jahat dari orang-orang fasik yang mencoba menciderai orang percaya, tetapi Allah merespons itu dengan hukuman. Dalam situasi seperti ini, kita bisa meyakinkan diri kita bahwa semua upaya jahat itu tidak akan berhasil. Kalau pun berhasil, hal itu justru akan mengerjakan kebaikan bagi kita (lihat Kejadian 50:20).

Jika maksud pemazmur memang seperti itu, Mazmur 91 tidak boleh diterapkan secara mutlak dalam konteks persebaran virus COVID-19. Tidak ada tanda-tanda bahwa wabah ini merupakan hukuman Allah bagi orang fasik. Ini adalah persoalan biasa. Siapa saja bisa terpapar. Beberapa pasien adalah orang-orang Kristen yang sungguh-sungguh mengasihi Tuhan.

Ketiga, jenis sastra teks ini yang puitis. Untuk memahami maksud suatu teks, pembaca perlu mengetahui jenis sastra (genre) dari teks tersebut. Kita tidak akan membaca buku sejarah layaknya membaca sebuah puisi, begitu pula sebaliknya. Masing-masing jenis sastra memiliki karakteristik dan aturan penafsiran sendiri-sendiri. Hal yang sama berlaku pada Mazmur 91.

Teks ini ditulis dalam bahasa puisi: beragam metafora, permainan kata, pengulangan ide, dan ungkapan-ungkapan figuratif. Sebagai contoh, marilah kita melihat ayat 13: “Singa dan ular tedung akan kaulangkahi, engkau akan menginjak anak singa dan ular naga”. Apakah kita seharusnya menafsirkan bagian ini secara harfiah? Tentu saja tidak! Akan sangat konyol dan memalukan kalau ada orang Kristen yang secara gegabah melangkahi dan menginjak binatang-binatang buas sambil berharap dia akan baik-baik saja. Teks ini tidak untuk diterapkan secara harfiah.

Keempat, cakupan penerima janji. Semua janji di mazmur ini bersifat bersyarat (kondisional). Janji-janji itu tidak berlaku untuk semua orang atau siapa saja. Di awal mazmur ini sudah diajarkan bahwa kebaikan Allah di sini hanya ditujukan kepada mereka yang “duduk dalam lindungan Yang Mahatinggi dan bermalam dalam naungan Yang Mahakuasa” (ayat 1). Kata “duduk” (Ibrani yāshab) seharusnya diterjemahkan “berdiam”. Bukan sekadar duduk, tetapi memang tinggal di sana (lihat semua versi Inggris). Terjemahan “bermalam” (lûn) menyiratkan istirahat atau ketenangan setelah bepergian jauh (LAI:TB “bermalam”). Dengan kata lain, orang yang berdiam dan bermalam dalam TUHAN adalah mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan kubu pertahanan (ayat 2). Metafora di ayat 1-2 ini selanjutnya diulang lagi di ayat 9. Jadi, sekali lagi, janji ini hanya berlaku bagi mereka yang menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan.

Apakah yang dimaksud dengan “menjadikan TUHAN sebagai tempat perlindungan dan perteduhan”? Pemazmur menjelaskan itu di ayat 14-15. Berlindung dan berteduh pada TUHAN berarti memiliki relasi personal dengan Allah yang intim (ayat 14). Keintiman ini diungkapkan melalui frasa “hatinya melekat kepada-Ku” (LAI:TB). Kata Ibrani di balik terjemahan ini bisa berarti “mengasihi” atau “menempel pada sesuatu”. Beberapa versi Inggris menggabungkan dua makna ini sekaligus (ESV “he holds fast to me in love”; RSV “he cleaves to me in love”). Ungkapan lain yang menggambarkan keintiman tersebut adalah “mengenal nama-Ku”. Kata kerja “mengenal” di sini tentu saja bukan sekadar tahu, tetapi benar-benar dekat. Istilah “nama” di sini pun bukan sekadar sebutan atau panggilan. Nama berbicara tentang Pribadi. Dengan kata lain, mengenal nama berarti mengenal secara dekat.

Menjadikan TUHAN sebagai perlindungan dan perteduhan juga berarti menyandarkan diri pada Allah melalui doa (ayat 15). Yang mendapatkan janji TUHAN adalah mereka yang “berseru kepada-Ku”. Doa ini lahir dari kelemahan, keterbatasan, dan ketidakberdayaan (“dalam kesesakan”). Di samping itu, doa ini juga muncul dari iman, dari hati yang berani berkata: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai” (ayat 2).

Kelima, pemahaman Tuhan Yesus tentang mazmur ini. Pada momen pencobaan di padang gurun, Iblis mengutip salah satu ayat dari mazmur ini (ayat 11-12). Yang dikutip tentu saja yang berisi janji ilahi bahwa TUHAN akan menyuruh para malaikat untuk menopang orang benar sehingga kakinya tidak akan terantuk (Matius 4:6). Bukankah Yesus orang yang benar? Bukankah para malaikat pasti akan menatang Dia? Lalu apakah Yesus akhirnya benar-benar melompat dari bubungan bait Allah? Tentu saja tidak! Tuhan Yesus memahami bahwa teks ini tidak boleh ditafsirkan dan diterapkan secara sembarangan. Menggunakan ayat ini secara sembrono berarti mencobai TUHAN (Matius 4:7).

Dengan memahami 5 (poin) di atas, kita tidak akan kaget ketika melihat seorang yang sungguh-sungguh beriman ternyata terkena suatu wabah atau bencana. Janji-janji di Mazmur 91 memang berlaku secara umum. TUHAN pasti memiliki rencana yang lebih baik bagi orang tersebut. Sikap Tuhan Yesus ketika dicobai oleh Iblis dengan menggunakan ayat ini memberikan pencerahan penting untuk memandang janji-janji ilahi ini dengan benar. Bagi Yesus Kristus, yang terpenting bukan perlindungan bagi diri sendiri, melainkan penggenapan rencana Allah. Untuk apa memperoleh perlindungan tetapi gagal memenuhi panggilan Allah? Bukankah perlindungan dari Allah seharusnya ditujukan untuk penggenapan rencana-Nya? Jika Allah memandang bahwa kematian seseorang lebih memuliakan Dia, untuk apa Dia memberikan kelepasan dari kematian? Namun, jika kelepasan memang lebih bermanfaat bagi penggenapan rencana-Nya, Allah pasti akan campur tangan. Intinya, baik hidup atau mati, semua untuk kepentingan Allah. Mana saja yang lebih memuliakan TUHAN, itu yang kita jadikan pilihan.

Pemahaman di atas juga menghindarkan kita dari gaya hidup yang sembrono. Semua upaya untuk menghindarkan diri dari pandemi virus ini harus dilakukan: sering mencuci tangan dengan benar, menjaga pola makan yang sehat, beristirahat dengan cukup, tidak stres, rajin berolah raga dan menghindari kerumunan orang. Kita juga berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menjadi penyebar atau perantara virus. Hindari aktivitas yang bisa membuat kita terpapar. Sama seperti Kristus yang tidak mau sembarangan menerapkan janji-janji Allah di mazmur ini, demikian pula dengan kita. Bagian kita adalah menjaga diri sebaik mungkin sambil terus mendekat kepada Allah. Jika sesuatu yang buruk tetap terjadi, hal itu berarti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik daripada sekadar perlindungan. Allah sedang menyertakan kita dalam rencana-Nya.

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini.

Baca Juga:

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Ketika keadaan tampak kelam, jalan keluar tak terlihat, harapan tetaplah ada. Tuhan kita setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.

Andra Tutto Bene, Semua Akan Baik-baik Saja

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Di Hong Kong, seorang pria merampok supermarket demi mendapatkan tisu toilet. Juga di Australia, seorang perempuan bertengkar hebat karena berebut barang di supermarket.

Jika kamu pernah membaca dua berita di atas dari portal berita internasional, mungkin terdengar menggelikan. Kok bisa orang-orang merampok dan bertengkar untuk hal-hal yang sepele?

Namun, inilah realitas dunia yang kita hadapi belakangan ini. Kala pandemi virus Covid-19 menjangkiti berbagai belahan dunia, masing-masing orang mencari cara untuk bertahan dan menyelamatkan dirinya. Di beberapa negara, benda yang paling langka adalah tisu toilet. Orang-orang memborong tisu dalam jumlah besar karena takut kehabisan, dan takut apabila kotanya dikarantina dan mereka tak bisa ke mana-mana.

Setiap hari kita disuguhkan berita dan informasi di media sosial mengenai dampak virus ini. Kita setuju virus ini berbahaya, tapi yang tak kalah berbahayanya adalah bagaimana manusia meresponsnya. Di tengah krisis dan ancaman, manusia menunjukkan sifat “buas”nya—keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri tanpa berpikir tentang orang lain.

Sebagai orang Kristen, kita tidak dipanggil untuk hidup bagi diri diri sendiri. Kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi dunia (Matius 5:16). Oleh karena itu, hadirnya pandemi ini adalah momen yang amat baik kita untuk:

1. Mengembangkan rasa solidaritas

Solidaritas adalah kemampuan untuk merasakan satu rasa penderitaan orang lain, merasa senasib, dan perasaan setia kawan. Solidaritas sebenarnya adalah sifat alami yang muncul dalam diri manusia, sebagaimana dibuktikan oleh penelitian dari Lembaga Penelitian Bencana, Universitas Delaware. Lembaga ini telah melakukan 700 penelitian terkait bencana dan krisis sejak 1963 secara detail. Kesimpulannya, di saat bencana datang orang dapat tetap tenang dan saling membantu, walau memang ada orang-orang yang ketakutan dan melakukan kekerasan. Yang selalu terjadi saat dan pasca bencana adalah orang-orang saling berbagi dan menguatkan satu sama lain.

Rutger Bregman, seorang filsuf muda Belanda mengamati sebuah tulisan di dinding rumah yang berbunyi demikian:

“Hai tetangga, jika kamu berusia lebih dari 65 tahun dan kekebalan tubuhmu lemah, aku ingin membantumu. Beberapa pekan ke depan, aku bisa membantumu berbelanja di luar. Jika kamu perlu bantuan, tinggalkan pesanmu di pintu rumahmu dengan nomor teleponmu. Bersama, kita bisa menjalani semuanya. Kamu tidak sendirian!”

Bencana bisa menyerang siapa saja, dan tentunya yang paling rentan adalah mereka yang berusia lanjut dan kekuatan fisiknya lemah. Namun, kita melihat dalam beberapa berita internasional bahwa krisis karena pandemi corona ini tak cuma memunculkan kisah-kisah seram, tetapi juga kisah yang memantik kembali harapan kita. Di Tiongkok, ketika warga Wuhan diisolasi, mereka saling menyemangati dengan berteriak “Jiayou!”. Di Italia, terutama di Napoli dan Siena, orang-orang menyanyi dari jendela rumah mereka, saling memberi semangat, terkhusus bagi mereka yang terinfeksi.

Solidaritas seperti inilah yang selayaknya kita kembangkan dalam keseharian kita. Kita bisa mengesampingkan dulu perbedaan-perbedaan: agama, preferensi politik, dan lain-lain. Fokuslah kepada satu tujuan: menolong mereka yang rentan agar krisis ini dapat segera berlalu.

2. Menebarkan harapan dan belas kasih

Seorang ibu di Puglia, Italia, mengatakan kalimat yang menjadi viral di media sosial. Andra tutto bene!

Andra tutto bene (semua akan baik-baik saja). Perkataan ini meneduhkan, memberi semangat, mengobarkan kembali harapan, dan menunjukkan belas kasih. Semua akan baik-baik saja bukan berarti mengingkari peristiwa buruk yang tengah terjadi, tetapi perkataan ini mengajak kita untuk melihat jauh melampaui hari ini: bahwasannya harapan akan hari depan yang baik tetap ada. Pesan dari ibu itu tak cuma untaian kata, tetapi mereka yang membacanya seolah diajak berdoa dan yakin bahwa ada Tuhan yang memelihara.

Di tengah kondisi krisis dan ketidakpastian, kita tidak dipanggil untuk bersikap takut dan lemah, tetapi kita dipanggil untuk melangkah dengan harapan. Ibrani 6:19 berkata, “Pengharapan itu adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa kita, yang telah dilabuhkan sampai ke belakang tabir.”

Sewaktu Perang Dunia II meletus, Prof. Viktor Frankl mengobsevasi para tahanan yang mendekam di kamp konsentrasi Nazi. Dari pengamatannya, dia mendapati bahwa hanya orang-orang yang punya harapan yang bertahan hidup. Mereka mampu bertahan meskipun penderitaan yang mereka terima amat besar.

Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar kita, tapi kita bisa menentukan seperti apa kita ingin merespons: dengan takut dan panik, atau dengan iman dan pengharapan?

Jika kita memilih merespons dengan iman dan pengharapan, kita bisa mewujudkannya dengan menaati aturan pemerintah untuk melakukan pembatasan sosial, tidak menyebarkan berita yang tak teruji kebenarannya, serta tidak serakah menimbun barang-barang pokok demi kepentingan pribadi kita.

Kiranya masa-masa ini menjadi momen pengingat bagi kita bahwa dalam masa terkelam sekalipun, harapan tetap ada. Tuhan kita adalah setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya.

Kyrie Elesion, Tuhan kasihanilah kami dan sembuhkanlah dunia ini.

Baca Juga:

Jangan Hidup dalam Kekhawatiran

Tuhan senantiasa mencukupiku, tapi kok aku khawatir terus? Khawatir adalah pergumulan manusia sepanjang segala zaman, tapi kabar baiknya: Allah selalu setia dan dapat diandalkan.

Yuk baca artikel Yulinar berikut ini.

Ibadah Online, Salah Satu Kontribusi Gereja Redakan Pandemi Covid-19

Oleh Yakub Tri Handoko, Surabaya

Dampak virus corona Covid-19 semakin meluas. Hampir semua area merasakan dampaknya. Salah satunya adalah ibadah hari Minggu. Sebagian gereja, baik di Indonesia maupun luar negeri (Singapura, Hong Kong, dan lainnya) sudah tidak lagi mengadakan pertemuan bersama di gedung gereja. Mereka mulai melakukan ibadah secara online (live streaming atau recorded sermon). Beberapa menawarkan beberapa opsi ibadah yang beragam sekaligus, tergantung pada preferensi jemaat masing-masing.

Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra. Sudah banyak jemaat, hamba Tuhan, gereja maupun sinode yang menanyakan pendapatku tentang hal ini. Gerejaku di Surabaya juga menggumulkan isu yang sama.

Apakah ibadah online boleh ditiadakan hanya gara-gara sebuah wabah? Perlukah ibadah konvensional (secara tatap muka) tetap dipertahankan? Bagaimana pandangan Alkitab tentang hal ini?

Untuk memahami isu ini dengan baik, kita perlu menegaskan terlebih dahulu alasan utama di balik wacana penghentian ibadah konvensional. Wacana ini seharusnya didorong oleh keinginan untuk berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat, bukan ketakutan akan tertular virus ini. Seperti yang sudah diberitakan berkali-kali oleh instansi-instansi yang berwenang, menghindari pertemuan dalam skala besar merupakan salah satu langkah penting dan efektif untuk menekan persebaran Covid-19. Semakin sering pertemuan dilakukan dan semakin banyak orang yang terlibat, semakin besar pula risiko persebaran virusnya. Jika ini yang terjadi, gelombang pandemi ini tidak akan kunjung mereda. Jumlah korban jiwa akan terus bertambah. Rumah sakit di Indonesia tidak akan memiliki kapasitas ruangan dan tenaga perawatan yang memadai untuk menolong para korban. Berbagai estimasi ilmiah menunjukkan bahwa jika situasi tidak berubah, kekacauan akan muncul semakin besar.

Di tengah situasi seperti ini, gereja-gereja seharusnya terpanggil untuk memberikan kontribusi nyata. Bukan hanya slogan-slogan rohani yang menguatkan hati, tetapi sebuah langkah konkrit. Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh gereja. Salah satunya adalah mengkaji ulang pengadaan ibadah konvensional. Aku meyakini bahwa upaya ini tidak melanggar firman Tuhan.

Pertama, pembatasan sosial (social distancing) merupakan himabuan pemerintah yang baik. Sebagai warga negara yang baik, kita tidak memiliki alasan untuk tidak menaati himbauan yang baik seperti ini (Roma 13:1-7). Selain itu, Tuhan juga memerintahkan umat Allah untuk mengusahakan kesejahteraan kota di mana Tuhan membuang mereka (Yeremia 29:7). Mengurangi jumlah pertemuan dan jemaat yang hadir dalam ibadah-ibadah konvensional merupakan tanggung jawab sosial bagi semua masyarakat, termasuk orang-orang Kristen. Tidak menghiraukan himbauan ini akan memberikan pesan negatif kepada dunia bahwa orang-orang Kristen tidak memiliki kepekaan sosial. Sekali lagi, ini bukan tentang ketakutan atau kelemahan iman. Sama sekali tidak. Ini tentang kepedulian dan kontribusi bagi masyarakat.

Kedua, hari Sabat bukan alasan untuk tidak berbuat kebaikan. Tuhan Yesus sering berdebat dengan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat tentang pelaksanaan Sabat. Walaupun sama-sama menerima perintah untuk menghormati hari Sabat, mereka berbeda pendapat tentang aplikasi detailnya. Tradisi Farisi membuat pelaksanaan Sabat begitu rumit. Ada banyak aturan tambahan. Tuhan Yesus beberapa kali bersilang pendapat dengan mereka tentang aturan-aturan itu. Suatu kali mereka memersoalkan murid-murid yang memetik bulir gandum untuk dimakan pada hari Sabat (Matius 12:1-8). Yesus membenarkan tindakan murid-murid sambil memberikan contoh bagaimana Daud dan para pengikutnya telah melanggar sebuah aturan ibadah demi mempertahankan jiwa mereka (Markus 2:25-26). Yesus bahkan menegaskan bahwa hari Sabat diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya (Markus 2:27). Maksudnya, jangan sampai “ketaatan” pada aturan relijius atau ritual tertentu justru mengabaikan yang terpenting, yaitu nyawa manusia. Poin ini juga diajarkan oleh Yesus ketika Dia menyembuhkan orang atau melakukan kebaikan lain pada hari Sabat (Matius 12:10-13). Intinya, sekali lagi, jangan sampai perayaan Sabat menghalangi kita untuk berbuat kebaikan.

Ketiga, pertimbangan historis tentang esensi ibadah memberi ruang bagi ibadah yang tidak konvensional. Ada banyak contoh historis yang relevan dan bisa dipaparkan di sini. Cukuplah untuk melihat beberapa saja. Yang pertama adalah kehancuran bait Allah Salomo oleh tentara Babel. Selama berabad-abad umat Allah (terutama kerajaan Yehuda di selatan) menjadikan bait Allah di Yerusalem sebagia kebanggaan dan pusat ibadah. Elemen-elemen ibadah penting dilakukan di sana: persembahan kurban, hari raya pendamaian, dan sebagainya. Dengan kehancuran bait Allah, bangsa Yehuda dipaksa untuk memikirkan ulang esensi ibadah mereka. Yang terpenting dalam ibadah bukanlah persembahan, tetapi ketaatan (1 Samuel 15:22). Pembuangan ke Babel menghadirkan pergeseran besar yang lebih baik dalam ibadah umat Tuhan: fokus pada ritual (persembahan kurban) bergeser pada ketaatan (pengajaran firman). Ibadah bersama dalam skala besar sekarang menjadi ibadah dalam skala yang lebih kecil. Para ahli bahkan menduga pembuangan ke Babel ini menjadi cikal-bakal berdirinya rumah ibadat Yahudi (sinagoge) yang lebih berfokus pada pengajaran hukum Taurat.

Contoh historis lainnya adalah sebuah isu peperangan dalam pemberontakan Makabe melawan penguasa Siria (dinasti Seleukus). Perjuangan bangsa Yahudi di bawah kepemimpinan keluarga imam Matatias (terutama di bawah pimpinan Yudas Makabe) terus meraih kesuksesan. Mereka menjadi ancaman serius bagi penguasa asing. Nah, salah satu strategi musuh untuk melemahkan perjuangan ini adalah dengan menyerang pasukan Makabe pada hari Sabat. Awalnya, bangsa Yahudi menolak untuk melawan, sehingga banyak korban berjatuhan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk memberikan perlawanan, sekalipun hal itu tergolong pelanggaran Sabat menurut tradisi populer pada waktu itu. Mereka menyadari bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting daripada ketaatan kaku terhadap hari Sabat.

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana umat Allah bersikap pada saat situasi khusus yang buruk. Mereka dipaksa untuk memikirkan ualng esensi dari segala sesuatu. Mereka menggumulkan kembali apa yang penting dan apa yang lebih penting.

Keempat, konsep teologis tentang gereja dan tradisi gereja mula-mula juga memberi tuntunan yang cukup jelas. Gereja adalah orang, bukan bangunan (1 Korintus 1:2). Di mana umat Tuhan berkumpul, di situ ada gereja. Yang penting adalah kehadiran Allah, bukan rumah Allah secara fisik. Tidak heran, tempat ibadah jemaat mula-mula cukup variatif. Kadang di bait Allah, di rumah ibadat Yahudi mapun di rumah-rumah jemaat (Kisah Para Rasul 2:42-47). Jumlah kehadiran di setiap ibadah terbatas.

Praktik seperti ini terus dipertahankan di periode berikutnya, terutama pada saat penganiayaan terhadap orang-orang Kristen semakin meningkat dan meluas. Mereka harus berkumpul dalam skala kecil dan sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan. Mereka menggunakan gaya ibadah dan liturgi yang beragam, sesuai dengan keadaan. Yang terpenting bagi mereka adalah persekutuan dengan orang percaya yang lain, tidak peduli berapa pun jumlahnya, tidak peduli bagaimana suasana ibadahnya, tidak peduli di mana tempatnya.

Kelima, persekutuan orang Kristen tidak dibatasi oleh lokasi. Yang disebut gereja adalah semua orang di segala tempat yang memanggil nama Yesus sebagai Tuhan (1 Korintus 1:2). Ini disebut gereja universal. Kristus sebagai Gembala Agung. Yang dipentingkan dalam persekutuan ini adalah kesehatian. Lokasi bukanlah halangan. Sebagai contoh, Paulus mengajak jemaat di Korintus untuk bersatu dengan dia dalam roh dan mengambil keputusan bersama tentang suatu kasus di jemaat (1 Korintus 5:3-5). Perbedaan lokasi tidak menghalangi Paulus untuk hadir secara rohani atau berkumpul di dalam roh. Dengan cara yang sama, ibadah online, terutama dalam kondisi khusus, tetap bisa mengakomodasi persekutuan.

Berdasarkan semua pertimbangan di atas, aku mengsulkan gereja-gereja untuk secara serius menjauhi pertemuan ibadah dalam jumlah besar. Ini adalah tanggung jawab sosial kita. Dunia sedang mengawasi kita. Jangan sampai kita menjadi syak atau batu sandungan bagi orang lain.

Secara lebih spesifik dan praktis, aku mengusulkan agar gereja-gereja menawarkan beragam opsi ibadah sekaligus supaya dapat mengakomodasi sebanyak mungkin aspirasi jemaat. Berikut ini beberapa tips praktis yang bisa dilakukan:

Yang pertama tentu saja adalah menyediakan ibadah online. Jika peralatan memadai dan kecepatan internet kencang serta sudah terbiasa, gereja bisa mengadakan ibadah live streaming. Pastikan saja bahwa proses mengunggah berkas dan mengunduhnya berjalan dengan cepat dan mulus. Jangan sampai terjadi masalah teknis (jaringan lambat atau crash). Jika live streaming tidak memungkinkan, ibadah yang sudah direkam terlebih dahulu bisa menjadi pilihan. Rekaman ini lalu diunggah ke internet (ada banyak pilihan), dan tautan diinfokan ke jemaat pada Hari Minggu pagi (atau sesuai jam ibadah).

Gereja juga perlu memikirkan sejumlah lokasi berbeda bagi jemaat yang ingin bersekutu dalam skala kecil. Semakin banyak pilihan lokasi semakin sedikit jumlah jemaat yang akan berkumpul di tempat yang sama. Ini sangat baik untuk mengurangi resiko persebaran. Gedung gereja tetap bisa dijadikan sebagai salah satu pilihan lokasi. Jika pimpinan gereja tetap mengadakan ibadah seperti biasa di gereja, hal itu tidak masalah, karena jumlah jemaat yang hadir juga tidak akan banyak. Mereka sudah tersebar ke berbagai lokasi. Jangan lupa untuk melakukan pembersihan ruangan dan peralatan secara maksimal, baik di gereja atau setiap lokasi persekutuan yang lain.

Jika sebuah gereja memiliki pemimpin awam yang banyak, mereka bisa diminta untuk menyampaikan firman Tuhan di persekutuan kecil sesuai lokasi masing-masing. Jika tidak memungkinkan, setiap persekutuan bisa menonton ibadah streaming/rekaman bersama-sama.

Opsi terakhir yang perlu dipikirkan adalah ibadah keluarga. Setiap keluarga didorong untuk mengadakan ibadah Minggu sendiri-sendiri. Para rohaniwan bisa menyediakan liturgi dan ringkasan khotbah yang dapat dijadikan patokan bagi setiap keluarga. Jika kepala keluarga tidak pandai berkhotbah, dia bisa membacakan saja ringkasan yang ada. Bila perlu, ajak semua anggota keluarga untuk mengikuti ibadah online bersama-sama.

Kiranya artikel ini bisa memberikan sepercik pencerahan bagi banyak orang yang mengalami kebingungan dan keresahan. Aku meyakini bahwa situasi khusus yang terlihat buruk ini justru merupakan ajakan yang baik dari TUHAN kepada gereja-gereja untuk merenungkan kembali hakikat gereja dan ibadah. Apakah selama ini kita terlalu asyik dengan tradisi dan kenyamanan beribadah sehingga sukar untuk memikirkan sesuatu yang baru? Apakah kita selama ini telah mengabaikan bahwa gereja adalah orang, bukan bangunan? Persekutuan, bukan sekadar perkumpulan? Apakah kita serius menghidupi slogan “gereja adalah keluarga besar dan keluarga adalah gereja kecil”?

Soli Deo Gloria.

* * *

Tentang penulis:

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M adalah gembala di Reformed Exodus Community Surabaya. Tulisan ini sebelumnya sudah ditayangkan di sini

Baca Juga:

Mengapa Kita Perlu Menunda Pertemuan Fisik?

Mengapa orang-orang Kristen perlu menunda aktivitas pertemuan selama masa-masa pandemi virus Covid-19? Apakah karena kita kekurangan iman bahwa Tuhan akan melindungi kita?

Mengapa Kita Perlu Menunda Pertemuan Fisik?

Oleh Dr. Alex Tang
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Should Stop Meeting Together

Mengapa orang-orang Kristen perlu menunda aktivitas pertemuan selama masa-masa pandemi virus Covid-19? Apakah karena kita kekurangan iman bahwa Tuhan akan melindungi kita? Bukankah Tuhan menjanjikan perlindungan-Nya sebagaimana tertulis di Mazmur 91:5-6 agar kita tidak “takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang berjalan di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang”?

Gereja-gereja menunda pertemuan ibadah dan pertemuan-pertemuan lainnya sebagai antisipasi dalam mencegah penyebaran virus. Berbagai cara alternatif pun dilakukan. Ada gereja yang menyiarkan ibadahnya secara daring, atau hadir dalam media-media lain agar para jemaat tetap mendapatkan dukungan dan terhubung dengan firman Tuhan.

Pertemuan ibadah di mana jemaat hadir bersama-sama adalah bagian yang penting dalam tradisi gereja Kristen. Kita bertemu bersama untuk koinonia; perjamuan kudus, persekutuan, berdoa, menyembah, dan mendidik jemaat. Bahkan di masa-masa penganiayaan pun, gereja selalu berusaha untuk bertemu bersama secara sembunyi-sembunyi terlepas dari bahaya yang mengancam. Lantas, mengapa sekarang kita menghindari pertemuan tatap muka? Mengapa kita harus membatalkan semua pertemuan fisik yang sudah kita rencanakan?

Bukan kekurangan iman, tapi kita tidak mencobai Tuhan

Pertama, gereja-gereja menunda pertemuan fisik bukanlah tanda bahwa gereja kekurangan iman, melainkan gereja beriman kepada Tuhan yang menciptakan manusia dan mengaruniakannya dengan pemikiran yang rasional. Ya, Tuhan menjanjikan perlindungan-Nya. Tapi, apakah dengan begitu kita lalu terjun dari lantai 10 sebuah gedung dan percaya Tuhan akan mengirim malaikat-malaikat-Nya sebelum tubuh kita terluka? Bukankah Mazmur 91:11-12 berkata, “Sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu”?

Kita perlu berpikir, apakah ini masalah iman, atau kesombongan? Iblis merayu Yesus ketika dia membawa-Nya ke puncak tertinggi bait Allah dan menyuruh-Nya lompat. Iblis bahkan mengutip Mazmur 91:11-12 (Iblis juga tahu firman Tuhan!). Tapi, Yesus merespons Iblis dengan tegas. Yesus berkata bahwa Dia tidak mencobai Allah, mengutip dari Ulangan 6:16, “Jangalah kamu mencobai TUHAN, Allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa.”

Yesus dengan tepat menegaskan masalahnya di sini bukanlah tentang iman, tetapi tentang mencobai Allah. Di Masa, bangsa Israel berdebat dengan Musa perihal kekurangan air, dan Musa menegur mereka karena telah mencobai Allah dengan ketidaktaatan dan keraguan mereka. Itulah mengapa generasi Musa tidak melihat Tanah Perjanjian, tapi mendapatkan hukuman untuk mengembara di padang gurun selama 40 tahun sampai mereka semua mati (Mazmur 95:8-10).

Jadi, ketika kita saling bertanya tentang iman kita, kita perlu meyakini bahwa kita tidak sedang mencobai Tuhan. Kadang, kita hanya ingin melihat Tuhan menepati firman-Nya. Aku mempunyai saran bahwa menunda pertemuan selama masa ini bukanlah tindakan kekurangan iman, tetapi sebuah sikap penyembahan kepada Tuhan.

Pembatasan sosial adalah tanggung jawab kita

Kedua, pembatasan sosial (social distancing) dianggap sebagai cara yang efektif untuk membatasi penyebaran virus Covid-19. Virus ini hanya dapat aktif dalam tubuh manusia dan disebarkan dari satu manusia ke manusia lain melalui droplet (batuk, bersin) dan kontak di area yang sudah terkontaminasi (seperti meja dan kursi). Virus jadi semakin mudah menyebar ketika orang-orang berkumpul dalam jumlah besar dan dalam kumpulan itu ada satu orang yang terinfeksi. Ketika orang yang terinfeksi mampu diidentifikasi dengan cepat dan segera dirawat (saat ini tidak ada perawatan yang sifatnya efektif, hanya suportif), virus itu akan mati dan tidak menyebar.

Memutus rantai persebaran virus dari manusia ke manusia akan menolong mengurangi jumlah orang yang terinfeksi pandemi ini. Oleh karena itu, kita perlu membatalkan semua pertemuan publik di mana orang-orang datang secara bersama-sama dan dalam jumlah besar. Inilah yang disebut dengan pembatasan sosial dan merupakan tanggung jawab kita untuk melaksanakannya. Kita melakukan ini untuk saling melindungi, terkhusus bagi kaum lansia di atas 65 tahun yang paling berisiko meninggal dunia karena terjangkit virus ini.

Dampak lain dari pembatasan sosial adalah memperlambat penyebaran virus. Jika terlalu banyak orang terinfeksi dalam waktu bersamaan, fasilitas kesehatan kita akan kebanjiran pasien, sebagaimana terjadi di Italia dan Iran, dan Tiongkok.

Bisakah kita melakukan sesuatu?

Kita tidak bisa mengentaskan pandemi ini sendirian. Dalam lingkup kita yang terbatas, yang bisa kita lakukan adalah menjaga kebersihan pribadi, patuh pada anjuran dari instansi kesehatan dan pemerintah, serta mempercayakan para petugas medis untuk melaksanakan tugasnya.

Tips praktis bagi kita semua

– Tinggallah di rumah sebisa mungkin.
– Hindari perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri jika memungkinkan (meskipun kita sudah mengeluarkan biaya, kesehatan kita jauh lebih penting daripada uang).
– Cuci tangan dengan sabun dan air saat di rumah dan gunakan pembersih tangan saat di luar rumah.
– Jika sakit dengan gejala batuk dan demam, tinggallah di rumah dan jangan mengunjungi teman.
– Makan di rumah, atau beli makanan bungkus jika memungkinkan.
– Jika harus pergi makan ke luar, gunakan pembersih tangan untuk membersihkan area di sekitar tempat duduk dan bawalah peralatan makan pribadi.
– Hindari menyentuh hidung, wajah, dan mulut.
– Jangan duduk berdekat-dekatan dengan orang lain.
– Hindari tempat-tempat ramai, bahkan taman bermain atau ruangan terbuka sekalipun.

Tanggung jawab sosial yang kita lakukan adalah bentuk ibadah kita untuk mengasihi sesama. Keputusan untuk membatalkan atau menunda aktivitas gereja adalah sikap yang bertanggung jawab dalam menanggapi pandemi virus corona. Gereja-gereja harus mencari cara lain untuk tetap terhubung dengan jemaatnya secara daring, sesuai dengan perkembangan teknologi. Marilah terus berdoa agar pandemi ini dapat segera berakhir dan kita dapat melanjutkan kembali persekutuan kita seperti sediakala.

* * *

Tentang penulis:

Dr. Alex Tang adalah seorang pengkhotbah, pembicara, cendekiawan, penulis dan pendiri Kairos Spiritual Formation Ministries. Dia juga menjabat sebagai Konsultan Senior Pediatri (Ilmu kedokteran tentang kesehatan anak) di KPJ Johor Specialist Hospital, Johor Bahru dan sebagai rekanan Profesor Pediatri di Clinical School Monash University. Dr. Tang juga mengajar teologi praktis di Malaysia Bible Seminary (MBS) dan East Asia School of Theology (EAST) di Singapura. Kunjungi situsnya di www.alextang.org

Baca Juga:

Bosan Saat Berdoa? Cobalah Metode Berdoa Berdasarkan Alkitab

Sulit menikmati doa?
Bingung bagaimana harus berdoa?

Teman kita, Novita, pernah mengalaminya. Dia lalu membaca satu buku yang mencerahkannya. Yuk baca artikel Novita.

Virus Corona: Takut itu Manusiawi, Tapi Jangan Biarkan Kepanikan Menguasai

Oleh Daniel Ryan Day, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Coronavirus Pandemic: I’m Afraid, And I Don’t Even Know Why

Sebulan terakhir aku merasa biasa-biasa saja. Aku malah membuat beberapa lelucon dan video pendek mengolok-olok orang-orang yang takut dengan virus corona. Tapi, sekarang pertandingan olahraga ditunda, presiden berpidato mendadak dan serius, rumor-rumor beredar kalau perusahaanku akan tutup sementara, penerbangan-penerbangan akan dibatalkan, kampus-kampus mulai kuliah online, dan larangan bepergian ke banyak negara diberlakukan.

Kemarin malam, kepanikan segera menyebar setelah gubernur di tempat tinggalku meminta semua sekolah ditutup selama tiga minggu penuh. Paginya, aku bangun dengan informasi tiga orang positif terkena virus di kota tempat tinggalku.

Semua kabar itu merasuk ke benakku. Aku jadi sakit kepala. Otakku terus berpikir, “Gimana kalau?”. Sekarang, aku 100 persen bisa berkata…

Aku takut, dan aku sendiri tidak tahu kenapa!

Apakah karena anak-anakku akan sakit? Atau mungkin aku yang terjangkit? Atau karena pekerjaanku jadi terancam? Atau karena aku tidak bisa nonton pertandingan basket NBA? Atau, karena aku ikut merasakan histeria ketakutan yang juga dirasakan orang-orang sejak Januari? Atau, karena semuanya itu menumpuk di satu momen?

Aku tahu hidupku masih muda, tapi aku belum pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Miliaran dolar hilang akibat kerugian ekonomi. Pemerintah melarang pertemuan di atas 100 orang. Industri-industri utama terhenti. WHO sudah mendeklarasikan pandemi global. Dan sekarang, semua orang yang kutahu (termasuk aku) tidak bisa berhenti membicarakan virus ini. Ia dibicarakan di mana-mana: di depanku, di depanmu, di depan siapa pun, selama 24 jam 7 hari.

Aku menebak, mungkin kamu juga merasa takut. Atau, kamu cuma “mengamati”.

Jadi, bagaimana seharusnya?

Mungkin ini momen yang tepat buat kita mengambil waktu sejenak. Tarif nafas. Hembuskan. Tenang dan fokuskan diri pada salah satu halaman yang kita tak asing dalam Alkitab:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Langkah pertama: naikkanlah doa

Kita bisa bilang pada Tuhan kalau kita memang takut, dan kita tak tahu kenapa. Kita bisa menuliskan hal-hal buruk yang mungkin menurut kita bisa terjadi dan meminta Tuhan untuk menguji hati kita mengapa kita merasa gundah. Alih-alih panic buying atau share banyak informasi yang tidak jelas di media sosial, kita bisa berhenti untuk berdoa, mendekat pada Pertolongan yang Sejati.

Langkah kedua: ucapkanlah syukur

Kitab Filipi tidak cuma bilang bahwa kita perlu menyampaikan kekhawatiran pada Tuhan, tapi sampaikanlah kekhawatiran itu dengan ucapan syukur. Kita bisa melihat kembali hari-hari kita dahulu dan memuji-Nya atas kebaikan yang disediakan-Nya bagi kita sampai saat ini. Mengucap syukur mendorong kita untuk melihat kesetiaan Tuhan, sehingga kita dapat percaya bahwa Dia pun memegang masa depan kita.

Langkah ketiga: bacalah Mazmur

Mazmur 27 bisa jadi bagian yang baik untuk memulai. Lihatlah bagaimana para pemazmur bergumul dengan hal-hal yang terjadi di luar kendali mereka, tapi lihatlah juga berapa kali mereka kembali memuji Allah karena pertolongan-Nya.

Langkah keempat: carilah cara untuk melayani orang lain

Ingatkah kisah tentang Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta? Pengikut Kristus sepanjang sejarah telah menunjukkan kasih dan perhatian yang sama seperti yang Yesus lakukan. Virus corona adalah salah satu kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih itu.

Kita bisa memulainya dengan menanyakan kabar teman kita dan menyemangatinya. Jika kamu mengenal seseorang yang berisiko, atau berada di area rawan, cobalah hubungi mereka dan tanyakan bila ada hal yang dapat kamu bantu. Dan, jika kamu mengenal orang-orang yang tak mampu pergi ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, kamu bisa membelikan makanan-makanan beku yang bisa mereka simpan di rumah dan konsumsi dengan cepat (Tapi, yakinkan dulu bahwa dirimu tidak terjangkit virus). Yang paling penting, tanyalah Tuhan apa yang Dia ingin kamu lakukan dan ikutilah pimpinan-Nya.

Langkah kelima: tetaplah bergerak

Bagian ini adalah poin yang kutambahkan secara personal. Kamu tidak akan menemukannya di Alkitab, tapi inilah yang menolongku. Jika selama masa social distancing atau pembatasan sosial kamu merasa stres, kamu bisa berjalan-jalan di rumahmu, melakukan olahraga kecil, atau sekadar pemanasan.

Lima langkah sederhana ini tidak dapat mengentaskan virus corona, juga bukanlah obat untuk menuntaskan khawatirku dan khawatirmu. Kekhawatiran akan datang kembali, tapi ketika ia datang, kita bisa mengulangi langkah-langkah ini lagi. Kitab Filipi berjanji, ketika kita membawa kekhawatiran kita kepada-Nya, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akan akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus.

Beberapa tahun lalu aku pernah kewalahan karena pekerjaanku. Aku berdiri di tepi pantai dan berdoa seraya melihat ombak. Aku sadar, ombak-ombak itu cukup besar untuk berpindah-pindah, dan tiba-tiba sepenggal lirik lagu mengalun di benakku. Lagu yang muncul saat itu rasanya lagu yang cocok pula untuk situasi kita hari ini:

Kiranya ombak kedamaian dari Allah menerpaku
Membawaku ke tempat di mana seharusnya aku berada

Kedamaian Allah berkuasa untuk memindahkan kita dari tempat yang penuh rasa khawatir, kepada tempat yang penuh percaya. Ini tidak berarti kita tidak akan takut lagi, tapi kita dapat menempatkan ketakutan kita pada konteks yang tepat, ketakutan yang membawa kita mendekat pada Tuhan yang mengasihi kita.

Baca Juga:

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Yesus tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamai ketimbang dalam relasi. Aku pun begitu. Aku melayani-Nya tapi tak merasa dekat dengan-Nya.

Wabah Virus Corona: Dari Ancaman, Terbit Harapan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

*Kim Cheung tinggal di Tiongkok. Sejak virus corona merebak, kota tempat tinggalnya diisolasi. Artikel Kim sebelumnya dapat dibaca di sini.

Hingga 2 Maret 2020, sudah 89,081 kasus terkonfirmasi, 3.057 orang meninggal dunia dan 45,156 pulih. (Data dari Worldometers).

Sudah dua bulan berlalu sejak Novel Corona Virus (Covid-19) pertama kali mewabah pada 31 Desember 2019 dan sebulan berlalu sejak kota-kota di sekitar Wuhan (termasuk kota di mana aku tinggal) diisolasi.

Banyak orang sepertiku dilarang meninggalkan rumah. Tak jelas kapan kami bisa kembali bekerja atau harus tetap bekerja dari rumah.

Apakah wabah ini akan semakin memburuk? Sampai kapan hidup kami akan dipengaruhi oleh kondisi ini? Tak ada yang tahu jawabannya.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, aku telah menyaksikan banyak orang Tiongkok membagikan pengalaman terisolasi di kota mereka sendiri melalui media sosial. Beberapa meratapi kebosanan mereka. Yang lain bercanda karena akhirnya mereka tahu seperti apa rasanya “hidup di penjara”. Beberapa lagi mengatakan bahwa sekarang mereka mengerti mengapa para ibu yang baru melahirkan dan harus tinggal di rumah seringkali merasa depresi. Akan tetapi, seiring dengan semakin tingginya kasus diagnosa dan kematian karena virus corona, tidak ada satupun yang berani bertindak gegabah.

Sebulan terakhir ini terasa seperti seabad bagiku. Ini bukan hanya tentang berapa lama aku terjebak di rumah. Setiap harinya, aku diperhadapkan dengan apa yang seringkali aku saksikan dalam film Contagion. Kondisi ini membuatku semakin merefleksikan kehidupan lebih mendalam.

Kita melihat kebenaran dengan lebih jelas di saat-saat yang sulit. Seperti dikatakan melalui Pengkhotbah 7: 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Dalam menghadapi bencana dan kematian, kita dipaksa untuk memperhitungkan satu realita kehidupan: kita semua kelak akan mati.

Rasa Takut dalam Ketiadaan Harapan

Selama sebulan belakangan, tidak ada di antara kami yang menganggap enteng masalah ini. Kami menghadapi sebuah wabah epidemik, rasa takut kami semakin menggema. Orang-orang sulit untuk berpikir jernih. Kepanikan menguasai. Mereka memborong barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan, plus percaya kepada berita-berita bohong yang merebak.

Aku tidak memikirkan berita-berita tersebut sampai aku masuk ke supermarket terdekat dan melihat orang-orang belanja dengan rakusnya di sekitarku. Itulah saat di mana ketakutan menyelimutiku. Dua bungkus biskuit yang ingin kubeli berubah jadi satu kardus. Aku juga langsung membeli sekarton susu dan makanan lain. Bagaimana jika aku tidak punya kesempatan untuk membeli semuanya ini di kemudian hari? Bagaimana jika aku kehabisan makanan di rumahku sendiri? Selain kebutuhan sehari-hari, semua orang juga menambah stok obat demam dan obat batuk, sembari berharap bahwa semua ini akan memberikan rasa aman yang sangat kami butuhkan dalam menghadapi keputusasaan.

Rumor-rumor semakin berkembang dan justru makin menggelikan dari hari ke hari. Dalam satu kesempatan di malam hari, sebuah pernyataan resmi dirilis. Katanya ada satu obat Tiongkok bernama Shuang Huang Lian yang bisa menghentikan virus corona. Banyak orang yang salah paham dan mengira itu adalah pasta teratai kuning telur yang seringkali digunakan sebagai isi kue bulan, kue tradisional Tiongkok. Salah paham ini terjadi karena ada kata-kata bahasa Mandarin yang bunyinya mirip satu sama lain. Ketika besoknya aku bangun, bukan hanya obat-obatan yang ludes terjual melainkan kue bulan juga.

Ketakutan menyetir orang untuk melakukan berbagai macam tindakan tak masuk akal. Ketika kita kekurangan rasa damai yang berasal dari pengetahuan akan kebenaran, sangat mudah bagi kita untuk mempercayai kebohongan serta terperangkap dalam rasa takut dan kekhawatiran.

Namun, sebagai orang yang menjadi milik Kristus, kami memegang kebenaran, kedamaian, dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami (Roma 15:13). Oleh karenanya, kami tidak perlu takut atau khawatir akan apa yang akan terjadi, tapi kami bisa terus menaruh harapan kepada-Nya seiring dengan perjuangan kami melawan ketidakpastian.

Penyakit yang Memperbudak Kami

Selain rasa takut, kami juga merasa terjebak. Namun, sebuah percakapan antara aku dengan seorang teman dari luar negeri membantuku melihat sudut pandang lain dari krisis yang terjadi di negaraku, bahkan juga di dunia. Ketika aku bercerita bahwa sebulan terakhir di rumahku terasa menyesakkan seperti di penjara, dia memberitahuku bahwa hidup memang selalu seperti ini—hanya saja dalam cara yang berbeda.

Sebelum wabah virus corona merebak, kami terbelenggu dengan jadwal rutinitas kami yang super sibuk. Sebaris dialog dari film The Shawshank Redemption merangkum itu semua: “Kita sibuk menghidupi diri sendiri.”

Saat itu, kita sebenarnya telah diperbudak. Namun, pengejaran kita akan kesenangan duniawi menjebak kita untuk berpikir bahwa kita ini bebas. Dunia di mana kita hidup sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara yang besar. Meskipun terlihat seakan kita bisa bebas memilih apa yang kita inginkan, kita tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab kita untuk belajar, bekerja dan terhadap keluarga kita. Begitu pula mereka yang tampaknya bebas dan bisa traveling ke mana saja.

Itulah mengapa banyak orang khawatir dan depresi. Dan meskipun kita berfantasi tentang pindah ke luar negeri dan memulai hidup yang baru, kita tidak menyadari bahwa kita mengulang hidup yang sama di mana saja.

Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 14: 6). Ketika kita datang kepada-Nya, Dia membebaskan kita dari pencarian kita akan tujuan dan kepuasan hidup yang tanpa akhir.

Wabah ini juga telah memperlihatkan belenggu-belenggu lain yang tak tampak dari permukaan. Kami melihat sisi gelap dari manusia. Oleh karena makin sedikitnya stok masker, beberapa penjual menaikkan harga (satu masker bisa dihargai 4.30 dolar AS atau setara dengan Rp 58 ribu). Begitu juga dengan masker bekas yang dijual kembali.

Supermarket juga menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Sebuah kubis kini dijual seharga 8.60 dolar AS atau setara dengan Rp 116 ribu! Bahkan ada laporan bahwa Persatuan Palang Merah Wuhan secara diam-diam menahan semua masker donasi dan baju pelindung. Alhasil, barang-barang ini tidak bisa sampai ke garda depan staf medis.

Dan ada pula berita tentang geng bersenjata di Hong Kong yang mencuri tisu toilet senilai 206 dolar AS (Rp 2,8 juta) dari supermarket karena takut akan kekurangan tisu toilet.

Membaca berita-berita seperti ini semakin membuat kami kehilangan harapan. Aksi-aksi manusia itu rasanya lebih menakutkan daripada melihat statistik virus corona yang terus meningkat. Aku percaya bahwa dengan usaha para ahli kesehatan dunia, kelak kita akan menemukan vaksin untuk melawan wabah ini.

Namun rasa sakit yang ada di dalam diri kita—dosa—akan tetap ada. Meskipun kita akan menemukan obat untuk berbagai penyakit fisik dan kembali ke kehidupan kita yang penuh “damai”, namun mereka yang korup akan tetap korup.

Jiwa kita sakit dan kesakitan ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona. Tak ada obat, praktik-praktik spiritual maupun agama yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Hanya satu Pribadi yang bisa:

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Yesus adalah penyembuh kita yang luar biasa. Dia sendiri menanggung rasa sakit dan membayar harga mahal untuk menebus dosa kita dengan kematian-Nya. Dan penyembuhan ini cuma-cuma. Dia memberikannya kepada kita dengan penuh cinta.

Di saat-saat seperti ini, kita tidak perlu takut atau merasa bahwa kebebasan kita direnggut. Sebagai gantinya, semoga krisis yang kita alami ini mengarahkan kita kepada Kristus, memimpin kita untuk percaya kepada-Nya dan menerima berkat yang terbesar—kesembuhan sejati yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Semenjak virus Corona mewabah, negeriku diliputi kepanikan dan ketakutan. Kami hanya bisa terduduk di rumah, bahkan hanya turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Gambar diambil dari screenshot video
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 疫情蔓延的当下,我们的盼望在哪里?

Waktu terasa berjalan amat lambat belakangan ini.

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Ini adalah hari ketiga perayaan Tahun Baru Imlek (27 Januari 2020)—waktu di mana kami seharusnya sibuk mengunjungi sanak famili dan teman-teman. Namun kenyataannya, kami hanya terduduk di rumah sambil terus memantau keadaan terkini dari media sosial tentang penyebaran virus Corona. Bahkan hanya untuk turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Delapan hari telah berlalu sejak media resmi mulai memberitakan penyebaran virus Corona. Ketika aku pertama melihat beritanya di 20 Januari, kupikir ini bukan masalah serius. Aku malah janjian dengan dua temanku yang baru pulang dari Eropa untuk bertemu merayakan tahun baru Imlek. Namun hari ini, semua janji pertemuan telah kubatalkan. Aku sudah bersiap tidak meninggalkan rumah atau mengunjungi siapa pun selama dua minggu ke depan.

Virus Corona menyebar lebih cepat dari yang dibayangkan. Hanya semalam, kemudian dikonfirmasi bahwa virus itu dapat menular dari manusia ke manusia. Semua masker ludes. Kota Wuhan bak kota mati. Supermarket kosong… Rumor dan berita-berita yang tidak jelas bertebaran ke mana-mana, membuat orang semakin takut. Berselancar di media sosial, update berita terbaru muncul hampir tiap detik. Namun, berapa jumlah sebenarnya orang yang tertular tidak ada angka yang valid. Berapa orang yang sudah meninggal? Berapa orang yang sungguh terinfeksi? Tidak ada yang tahu pastinya.

Hanya beberapa hari lalu, aku masih bisa melihat banyak orang di jalanan, tapi hari ini, jalanan kosong, kotaku seperti kota hantu. Hampir semua orang panik, dan orang-orang tua mulai berdiskusi tentang seberapa mengerikannya virus itu.

Kami tidak tahu seberapa berbahayanya virus Corona. Beberapa ahli dari Hong Kong mengindikasikan bahwa kekuatan virus kali ini 10 kali lebih kuat daripada SARS, sementara beberapa ahli lain mengatakan bahwa wabah kali ini tidak separah yang dulu. Saat ini, asal mula virus belum terkonfirmasi (meski ada yang bilang bermula dari pasar hewan di Wuhan). Spekulasi lainnya mengatakan periode inkubasi virus bisa berlangsung sampai 14 hari, dan virus ini bisa menyebar juga selama masa inkubasi—semua hal ini menambah ketakutan dan kepanikan.

Dua hari lalu, aku melihat temanku membagikan bagaimana kondisi sebenarnya di banyak rumah sakit di Wuhan, dan hatiku tersayat. Rumah sakit di sana dijejali orang-orang sakit yang tak terlayani. Para dokter dan suster tak punya perlindungan yang cukup atau pun masker, dan mereka tidak bisa beristirahat sewajarnya, bahkan hanya untuk makan siang pun sulit. Suplai makanan terbatas. Para pekerja medis kelelahan karena beban kerja mereka melonjak tajam, dan hanya bisa makan sehari sekali—itu pun hanya mie instan. Dan, para suster di sana berlinangan air mata.

Hatiku berduka. Rasanya tak sanggup buatku menonton berita di TV. Bagaimana bisa seseorang tak bersedih menghadapi situasi ini? Selain berdoa, rasanya tak ada hal lain yang bisa kami lakukan.

Siang hari ini, aku mendengar dua kenalanku, orang Kristen di Wuhan, mengalami demam. Besar kemungkinan mereka telah terinfeksi virus Corona. Hatiku semakin berat. Bagaimana kelak masa depan? Akankah virus ini menjadi bencana dunia? Apakah ini sungguh kiamat? Deretan pertanyaan ini membuatku semakin khawatir dan tak berdaya.

Namun, saat ini dunia hanya mampu memberikan jawaban berupa kepanikan dan putus asa, padahal yang sejatinya dibutuhkan adalah harapan yang teguh. Ketika kita harap-harap cemas akan bagaimana obat dan vaksin untuk mengentaskan wabah ini, apakah kita juga sebagai anak Tuhan kehilangan harapan dan putus asa? Jika harapan kita hanya disandarkan pada hal lahiriah, apakah bedanya kita dengan mereka yang tidak percaya? (Roma 8:24).

Ketika kita diselimuti kepanikan dan putus asa, kita seharusnya berpegang lebih erat kepada Tuhan dan firman-Nya. Hanya Tuhanlah harapan kita. Kiranya kebenaran-kebenaran ini menguatkan kita:

Tuhan memegang kendali

Meskipun situasi tampaknya mengerikan, hal yang teramat pasti adalah Tuhan kita memegang kendali. Meskipun Si Jahat ingin mencuri dan melenyapkan kehidupan, Tuhan tetap memegang kendali penuh. Tanpa seizin-Nya, tak ada satu hal pun dapat terjadi. Jika Tuhan tidak mengizinkan, sehelai rambut di kepala kita pun takkan jatuh ke tanah (Lukas 12:6-7). Ketika aku berpegang pada kebenaran ini, aku merasa terhibur.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Tuhan telah berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Bahkan di tengah pencobaan dan kesakitan, Tuhan senantiasa beserta kita. Dan, Dia pun akan menyelamatkan kita pada akhirnya (Yohanes 6:37).

Karena aku tahu Dia ada bersama kita, kita tidak perlu takut atau khawatir (Matius 10:28). Meskipun virus ini mengerikan, Pencipta surga dan bumi ada bersama kita, dan kita mampu beroleh damai sejahtera.

Tuhan akan memberikan jalan keluar

Ketika kita merasa takut dan panik karena kabar-kabar yang terus berdatangan, marilah kita berpegang teguh pada janji Tuhan. Tuhan tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita (1 Korintus 10:13). Dia akan memberikan jalan keluar supaya kita mampu mengatasinya.

Hendaknya kita pun senantiasa berdoa. Meskipun banyak gereja di Tiongkok membatalkan kegiatan mereka demi keamanan, kami masih bisa berkumpul dengan keluarga dan berdoa. Ketika aku mempelajari Lukas 4:17-22 siang ini, aku sekali lagi menyadari apa sesungguhnya Injil itu.

Injil yang Yesus Kristus wartakan adalah tentang keselamatan kita. Namun, sebagai pendosa, kita lebih tertarik kepada kedagingan kita. Aku menyadarinya sedari berita tentang wabah virus Corona merebak, aku begitu terpaku pada notifikasi di ponselku, terus merefresh berita-berita terbaru. Tapi, banyak berita yang kubaca rupanya malah hoaks dan tak berdampak apa-apa selain menambah panik. Mengapa aku tidak meluangkan lebih banyak waktuku untuk berdoa dan berpegang pada firman-Nya lebih lagi?

Aku mengajakmu untuk bersama-sama mendoakan kota Wuhan dan orang-orang yang terinfeksi di Tiongkok dan seluruh dunia. Menemukan pengobatan untuk virus Corona adalah baik, tetapi itu hanya menyelesaikan penderitaan secara fisik. Tidakkah kita juga berfokus mendoakan agar mereka yang belum mengenal Kristus dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamatan yang kekal?

Kiranya Tuhan menguatkan hati kita, teruntuk bagi kami di Tiongkok yang harus mendekam di rumah kami masing-masing. Kiranya kita semakin mengenal Tuhan, demikian juga dengan orang-orang di Tiongkok.

Tuhan masih memegang kendali. Janji Tuhan tak pernah gagal. Kehendak-Nya dinyatakan di atas bumi.

“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Petrus 1:5).

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?