Posts

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Diperhadapkan dengan dua pilihan biasanya jadi momen yang memusingkan, namun bisa juga menyenangkan. Memusingkan karena mau tidak mau harus pilih salah satu, tapi satu sisi bisa jadi menyenangkan karena kita masih punya pilihan. Contoh, pilih beasiswa A atau B? Pergi ke Raja Ampat atau Perth? Abang ini atau si mas itu?

23 Mei 2019 menjadi momen memusingkan untukku karena aku diperhadapkan pada dua pilihan: ikut ujian seleksi dosen atau ujian seleksi di industri otomotif? Dua bidang pekerjaan yang berbeda, tapi sama-sama di tempat yang bergengsi.

Kalau kulihat jalinan benang merah hidupku, aku punya passion dalam mengajar. Tapi, aku tak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Aku berpikir, kira-kira di ujian yang mana aku paling berpeluang lolos? Jika memang aku ikut ujian dosen dan lolos, apakah ini benar-benar kehendak Allah? Bagaimana jika ikut ujian di industri otomotif yang ternyata jadi kehendak-Nya? Atau, bagaimana kalau malah bukan keduanya?

Aku pun berdoa, memohon agar Tuhan membuatku peka akan pilihan mana yang paling baik untuk kuambil. Aku juga berdiskusi dengan orang tua, kakak, dan sahabatku. Aku yakin mereka dapat dipakai Tuhan untuk memberiku jawaban. Mereka menyarankan supaya aku ikut ujian seleksi dosen, tapi tetap mencoba bernegosiasi dengan industri otomotif apakah memungkinkan jika jadwal ujianku di sana diundur.

Waktu terus berjalan, pesan dalam bentuk posel (email)tak kunjung dibalas. Dengan iman, kuserahkan pilihan ini pada Tuhan. Kusiapkan diriku sebaik-baiknya sampai akhirnya pada hari pengumuman, ternyata aku dinyatakan gagal.

Sedih. Sangat sedih. Pikiran liar pun mulai menggerogoti, “Kenapa kemarin gak pilih ujian di industri otomotif aja!” Kalimat penyesalan dan kekecewaan yang sulit untuk tidak kupikirkan dan kuucapkan.

Berkat di balik pilihan yang tampaknya salah

Di tengah rasa sedihku, aku coba mengingat perkataan sahabatku, “Jangan lihat berkat Tuhan itu hanya dari ketika kamu mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, tapi lebih dari itu, berkat Tuhan sama indahnya di tengah kegagalanmu sekalipun. Walau kadang kamu baru menyadarinya setahun, dua tahun, atau bahkan 10 tahun setelah kegagalan itu terjadi.”

Perkataan sahabatku itu benar. Berbulan-bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 25 April 2020 aku merasa takjub. Meski aku tidak lolos ujian dan menjadi dosen di universitas itu, aku tetap diajak untuk mengikuti Pendalaman Alkitab (PA) dengan komunitas pasca sarjana yang berasal dari kampus tersebut. Ceritanya, pada tanggal 28 Mei 2019, waktu sebelum aku mengikuti ujian seleksi, seniorku mengenalkanku dengan alumni pengurus persekutuan mahasiswa Kristen pasca sarjana. Alumni itu rupanya ikut ujian seleksi bersamaku. Beliau bertanya, apakah aku orang Kristen atau bukan? Aku kaget, menanyakan tentang iman seseorang agaknya jarang jadi pembuka obrolan. “Ya, aku Kristen,” jawabku. Dia lalu mengajakku ikut kelompok PA di daerah Dago. Karena aku butuh oase pasca ujian, aku mengiyakan ajakan itu.

Ketika PA berlangsung, kami saling berkenalan, membahas materi, berdoa, dan foto bersama. Kegiatan-kegiatan ini sudah biasa terjadi saat ber-PA dalam kelompok. Namun, yang jarang terjadi adalah aku diundang untuk langsung masuk ke dalam grup WhatsApp mereka. Pikirku, “Untuk apa? Aku hanya ikut kelompok PA ini sekali. Aku tidak bisa ikut pendalaman Alkitab lagi dengan kalian, karena terpaut oleh jarak. Aku di Bekasi dan kalian di Bandung”. Tapi sebagai bentuk penghormatanku, aku mengiyakan undangan itu.

Meski telah berbeda kota, aku tetap berkomunikasi dengan mereka. Sampai akhirnya pada tangggal 25 April 2020, aku kembali bisa ikut PA bersama mereka walau secara virtual dari tempat kami masing-masing akibat dampak dari pandemi. Bersyukur dengan pandemi ini juga, aku diajarkan bahwasanya jarak itu bukan penghalang kita untuk melakukan PA bersama.

Dari pengalaman sederhanaku ini, aku jadi mempunyai slogan, “Gagal ujiannya, dapatin komunitasnya.” Ya bagiku ini penting, karena setidaknya walau kita gagal untuk berkarya di tempat yang kita tuju, namun kita mendapatkan komunitas yang berlatar belakang sama, yang akhirnya dapat memahami dan mengerti keadaan kita, bahkan memberikan solusi dengan saling berbagi informasi mengenai lowongan mengajar lainnya.

Mengutip sebuah kalimat dari saat teduhku tanggal 27 Juli 2019, tertulis begini:

“If you’re discouraged by some failure today, remember that Jesus may use it to teach you and lead you forward in your service for Him”

“Jika kamu kecewa karena kegagalan hari ini, ingatlah bahwa Yesus dapat memakainya untuk mengajar dan memimpin kamu melangkah maju dalam pelayananmu kepada-Nya”

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya. Jadi, kalau kamu jadi aku, kamu pilih yang mana? Larut dalam kegagalan atau dapatin komunitasnya?

Selamat memilih untukmu yang sedang di rumah aja.

Baca Juga:

Kelulusan yang Tertunda: Momen untuk Memahami Kehendak Tuhan

Ketika studi S-3ku hampir selesai, dosen pembimbing memberiku opsi untuk menunda kelulusan. Opsi ini sulit, sungguhkah ini kehendak Tuhan? Tapi, dari momen inilah aku jadi belajar bagaimana dan seperti apakah itu kehendak Tuhan.

Sidang di Hari Natal, Ini Perjalananku Bersama Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Jika hari Natal adalah hari yang dipenuhi syukur dan sukacita, pernah ada satu masa bagiku di mana Natal menjadi hari yang menakutkan, hari yang menentukan lulus atau tidaknya aku.

Tepat setahun lalu, 25 Desember 2018, Tuhan menganugerahkan hari Natal sebagai hari penentuan lulus tidaknya pendidikan S-2ku. Aku tidak pernah berpikir hari Natal menjadi hari sidangku. Dua puluh empat tahun aku hidup dan merasakan Natal yang penuh sukacita, tapi Natal tahun 2018 menjadi Natal yang rumit, sulit kuungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku saat itu. Sukacita, tapi rasanya lebih banyak ketakutannya.

Tepat di bulan Oktober, aku dan profesorku sepakat supaya sidangku bisa diselenggarakan pada tanggal 18 Desember 2018. Profesorku tahu kalau aku orang Kristen dan beliau ingin aku bisa bahagia dan lega sebelum aku merayakan Natal. Aku bersyukur memiliki profesor seperti beliau yang selalu menghargaiku meskipun dia bukanlah orang Kristen. Sebulan berlalu, aku merasa menulis tesis tidak semudah yang kurencanakan. Aku berdoa, memohon Tuhan supaya sidangku bisa mundur dari kesepakatan awal.

Pertengahan November biasanya aku selalu bersukacita karena Natal semakin dekat. Namun, saat itu aku hanya bisa berpikir kalau sidangku sudah semakin dekat. Bukannya semangat, aku malah menyalahkan diri. Kenapa aku tidak bisa menyelesaikan tesisku lebih cepat? Lebih parahnya, aku malah menyalahkan kondisi, kenapa waktu cepat sekali berjalan.

Tanggal 19 November 2018, waktunya aku mengirim email kepada dua dosen pengujiku untuk menanyakan kepada mereka, apakah mereka bisa mengujiku pada tanggal 18 Desember. Satu pengujiku menjawab bisa dan satunya lagi tidak. Aku bahagia ketika salah satu pengujiku tidak bisa pada tanggal 18. Bibirku sontak berkata, “Terima kasih Tuhan.” Aku langsung mengabari profesorku bahwa salah satu penguji tidak bisa hadir pada tanggal 18. Alhasil, profesor memintaku untuk menanyakan kapan penguji tersebut bisa mengujiku.

“25 Desember”, jawabnya.

Email itu kuterima tanggal 27 November. Beliau bersedia mengujiku pada hari Natal pukul 10.00. Membaca itu, aku sangat senang karena sidangku benar-benar mundur. Namun, profesorku kaget dan bertanya. “Apa kamu yakin mau sidang saat Natal?”

“Ya, Prof,” bibirku refleks menjawab.

Beberapa menit setelah jawaban itu terlontar, perasaanku berubah dan aku merenung. “Iya ya, sidangku bakalan di hari Natal. Di saat semua orang Kristen pergi ke gereja dengan sukacita, aku malah harus ke ruang sidang sendirian dengan ketakutan luar biasa.”

Hari terus berganti. H-21, H-14, H-7, sampai akhirnya H-1, air mataku terus mengalir, jantungku terasa berdetak lebih cepat dan tubuhku terasa sangat lelah. Aku ingat, suatu ketika air mataku menetes karena aku memaksa diri begadang. Klimaksnya terjadi pada H-7 di saat aku hanya tidur 3 jam karena berlatih sidang berturut-turut di depan profesor, asisten profesor, juga teman-teman labku.

Jiwaku seperti tidak memiliki Allah

Aku selalu membiarkan diriku hanyut akan ketakutan dan kelelahanku daripada menyadari bahwa aku punya Allah yang berkuasa. Namun, dengan kuasa-Nya, Roh Kudus yang diam dalamku mengingatkanku akan firman Tuhan yang pernah ditabur.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihat, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” (Ibrani 10:25).

Aku sangat bersyukur dengan dua benih firman ini. Di tengah waktuku yang terbatas, Tuhan mengingatkanku untuk terus berjuang mengikuti dan menikmati setiap pertemuan komunitas yang dianugerahkan-Nya kepadaku. Mulai dari kelompok tumbuh bersama dengan sesama pelajar Indonesia, sampai ibadah gereja. Aku benar-benar dibentuk untuk tidak egois dengan pengejaranku semata, yaitu hanya berfokus kepada tesisku dan menjauhkan diri dari persekutuan yang ada. Melalui persekutuan ini, selain firman Tuhan yang kudapat, perhatian dan kehadiran teman-temanku seperti pupuk yang tidak hanya menumbuhkan benih firman, tapi juga menumbuhkan kesehatan jasmani yang hampir tak pernah kuperhatikan karena mengejar tesis.

Di hari Natal ini, yang juga bertepatang dengan satu tahun peringatan sidangku, aku tetap menikmati pertumbuhan dari Tuhan lewat firman-Nya yang penuh kuasa. Dia benar-benar Allah yang setia. Kesetiaan-Nya tak hanya berhenti di satu titik kehidupanku, tetapi juga terus mengiringiku melewat titik-titik kehidupanku berikutya. Tuhan menjadi bunga di dalam duri ketakutanku dan Dia juga menjadi buah manis, tidak hanya di saat sidang sampai proses revisiku selesai, tapi juga sampai detik ini ketika aku bisa mendapatkan pekerjaan.

Tuhanlah satu-satunya Pribadi yang selalu berhasrat untuk menabur dan memberi pertumbuhan. Namun, harus ada orang yang bersedia menjadi tempat benih itu bertumbuh, yaitu hatiku dan juga hatimu.

Doaku, kiranya di Natal tahun ini, kita tidak lagi menjadikan Natal sebagai formalitas perayaan semata, pergi ke gereja-gereja untuk mengikuti ibadah perayaan. Biarlah lewat Natal tahun ini, hasrat Tuhan yang besar bisa kita rasakan bersama-sama, sehingga damai sejahtera kelahiran-Nya benar-benar hidup di dalam hati kita.

Selamat hari Natal! Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Natal adalah Pengorbanan dan Pembaharuan Diri

“Lip, pernah nggak kepikiran, kenapa kalau jelang Natal orang sibuk mendandani pohon Natal?” ucap temanku memecah senyap.

Benang Merah Hidup

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Aku yang duduk di bangku kelas 4 SD 14 tahun silam, pernah bercita-cita untuk membuat sebuah novel ciptaanku sendiri. Saking besarnya cita-citaku tersebut, aku pun langsung menyicilnya perlahan. Menulis setiap apa yang aku rasakan tiap harinya. Namun, lambat laun semangat menulisku menurun akibat banyaknya tugas dari sekolahku. Sampai akhirnya aku kuliah, semangat untuk melanjutkan tulisanku itu pun tak muncul lagi.

Di saat aku kuliah, sahabatku membujukku bahkan menantangku untuk mulai membaca buku rohani yang halamannya sekitar 30 lembar. Itu karena salah satu proyek ketaatan kami dalam kelompok kecil. Aku teringat dan berbicara di dalam hatiku: “Semangat masa kecilku untuk menulis saja tidak pernah kunjung, ini lagi disuruh membaca yang notabene aku tak pernah suka membaca selain membaca buku pelajaran”. Bagiku membaca di luar buku pelajaran hanya membuang-buang waktu saja, apalagi buku rohani. Mendengar khotbah tiap hari Minggu sudah cukup. Tapi, karena itu adalah proyek ketaatan aku pun mencoba menerima tantangan tersebut.

Tepat satu minggu setelahnya, akhirnya aku pun bisa menyelesaikan tantangan tersebut. Ya seperti yang kubayangkan, sahabatku itu pun kembali memberiku buku yang lain dengan halaman yang lebih banyak. Aku lagi-lagi bisa menyelesaikannya dengan baik karena aku adalah salah satu wanita perfeksionis yang tidak bisa melewatkan satu pun tanggung jawab sekecil apapun itu.

Di dalam proses aku menyelesaikan tantangan itu, lambat laun aku malah menyukainya. Dalam proses tersebut, aku teringat bahwa dulu aku punya bakat dalam menulis. Lalu, tanpaku sadari, Tuhan meneguhkanku lewat KTBku. Saat itu kami menikmati “Alone with God” di taman Monas. Pemimpin kelompokku menyuruh kami adik kelompoknya untuk mengingat-ingat benang merah hidup kami sejak dahulu kala, dan membuat sebuah komitmen apa yang harus kami lakukan berdasarkan benang merah hidup kami tersebut. Aku pun termenung dan berkata dalam hati “Iya ya Tuhan, dulu Tuhan beri aku semangat menulis, akhir-akhir ini Tuhan memberi kesempatan kepadaku untuk suka membaca, apakah Tuhan berkehendak untuk aku bisa kembali menulis dan menjadi berkat lewat tulisanku dengan beberapa referensi buku rohani yang sudah dan yang akan ku baca?”. Itulah pertanyaan dalam doaku kepada Tuhan dan itu jugalah yang menjadi bagian komitmen untukku kerjakan kedepan.

Namun lagi-lagi tanpa bisa dihindari, tuntutan kuliah selalu saja menjadi penghalangku untuk bisa menulis, walau proses membaca buku rohaniku tetap terus berjalan. Sampai akhirnya aku melanjutkan studiku dan tertekan dengan yang namanya tesis. Maju tak mampu, mundur pun segan, di situlah akhirnya tekadku membara kembali untuk mewujudkan komitmenku dalam membuat sebuah tulisan.

Di sini aku belajar bahwasanya merenungkan benang merah hidup kita itu penting, sekalipun awalnya ada bagian di mana salah satu benang merah hidup kita tersebut merupakan hal yang tidak kita sukai atau bahkan hal yang kita anggap tidak penting. Namun, ketahuilah ini bisa saja dipakai Tuhan menjadi sebuah karya yang indah bagi kemuliaan-Nya, seperti kata firman Tuhan di Roma 8:28 “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”

Ambillah waktu sejenak untuk mengilas balik dan menggali apa talenta kita dari benang merah hidup kita, sehingga pada akhirnya kita bisa sama-sama mengembangkan talenta kita yang terpendam tersebut. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk semakin peka.

Baca Juga:

Segala Sesuatu Ada Masanya, Gagal Hari Ini Bukan Berarti Gagal Seterusnya

Dua kali aku gagal untuk menempuh pendidikan di institusi negeri, dua kali pula aku merasa ingin menyerah. Namun, kegagalan itu kemudian menunjukkanku karya Tuhan yang luar biasa.

Kerinduanku Ketika Mengingat Besar Pengurbanan-Nya di Kalvari!

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Dua tahun yang lalu, aku memiliki kerinduan untuk membawa satu jiwa bisa mengenal Tuhan. Kerinduan itu pun dijawab Tuhan dengan berita bahwa aku berhasil diterima di salah satu universitas di Taiwan. Aku begitu bersemangat, sebab di negeri yang akan kutuju itu ada banyak orang yang belum mengenal Tuhan. Dalam hati aku berbisik, “Tuhan, aku benar-benar akan berjuang melakukannya.”

Melihat semangatku itu, salah seorang penatua di gerejaku pun bertanya, “Apa yang membuatmu semangat sekali kuliah di sana?”

Dengan suara lantang, aku menjawab, “Aku ingin menuntut ilmu dan membawa satu jiwa mengenal Dia. Doakan aku Ibu.”

“Pastinya,” refleks beliau seketika.

Dipertemukan dengan orang-orang baru

Ketika aku sudah tiba di Taiwan, aku masuk ke kamar asramaku. Tapi, aku tak melihat ada seorang pun di dalam. Kulihat meja-meja temanku, kucoba menebak dari mana asal mereka. Dari penelusuran sederhanaku itu, aku menyimpulkan kalau mereka adalah orang-orang lokal di negeri ini. Ketika seorang seniorku yang adalah orang Indonesia dan yang sudah tinggal di Taiwan selama enam bulan mengunjungiku, dia mengiyakan kesimpulanku. Katanya, teman-teman seasramaku adalah orang-orang Taiwan. Mereka belum datang ke asrama karena perkuliahan belum dimulai.

Seminggu berselang, ketka perkuliahan siap dimulai, satu per satu mereka pun berdatangan. Mereka kaget melihat kehadiranku, mungkin karena warna kulit kami berbeda. Tapi aku coba membuat suasana pertemanan yang hangat supaya mereka bisa terbuka dan berteman baik nantinya.

Aku memberikan gantungan kunci khas Indonesia buat mereka, berkenalan, dan menceritakan apa alasanku memilih negara dan kampus ini, juga memberitahukan pada mereka kalau aku seorang Kristen. Ketika tahu bahwa aku orang Kristen, mereka mengajukan beberapa pertanyaan. Bagi mereka yang kebanyakan acuh tak acuh pada keberadaan Tuhan, percaya kepada Tuhan adalah sesuatu yang aneh. Aku berusaha menjawab pertanyaan mereka dengan apa yang aku tahu dari Alkitab. Aku menceritakan kasih Tuhan yang nyata, yang aku rasakan sepanjang hidupku. Mereka meresponsku dengan mengiyakan saja, tanpa tertarik untuk mengetahui lebih dalam. Bagi mereka, apa yang kusampaikan itu adalah hal yang tidak masuk akal.

Meski begitu, aku tidak berkecil hati. Misi keduaku adalah aku mencoba terlibat dalam setiap aktivitas mereka: makan malam bersama, cuci baju di laundry bersama, mengunjungi lab mereka satu per satu, mendengarkan cerita hidup mereka, mengikuti seminar tesis, sampai ikut merayakan hari besar mereka secara langsung di salah satu rumah mereka. Hal-hal itu kuperjuangkan hari demi hari meskipun selama melakukannya aku mengalami cultural shock, perbedaan sistem pendidikan, tekanan dari profesor, juga kandasnya agenda jalan-jalan bersama teman-teman Indonesiaku. Tapi, aku bersyukur dan bersukacita menjalaninya. Bagiku, teman-teman baruku ini adalah anugerah yang harus kuperjuangkan, agar mereka juga bisa mendengar dan kelak mengenal Allah yang aku kenal.

Satu temanku akhirnya lulus, dan dua lagi memutuskan untuk pindah ke asrama yang hanya dihuni dua orang dalam satu kamar. Mereka ingin pindah karena mereka tidak mau beradaptasi lagi jika nanti ada mahasiswa baru yang masuk ke kamar kami tersebut. Perasaanku tercabik, kupikir kesempatan untuk mengenalkan Tuhan kepada mereka akan pergi tak lama lagi. Kerinduanku belum selesai kulakukan, tapi berujung dengan perpisahan. Aku menangis kepada Tuhan, aku merasa bersalah karena aku belum mencapai visi itu, dan aku juga tak ingin kehilangan mereka.

Di dalam masa kesedihanku, aku tetap setia berdoa bagi mereka dan juga berdoa kiranya teman baruku adalah orang Filipina. Doaku untuk untuk memiliki teman sekamar orang Filipina adalah keinginan besarku. Mereka biasanya mampu berbahasa Inggris dengan baik, sehingga nantinya aku bisa sekalian belajar meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku. Peluang ini rasanya sangat besar terjadi, karena jumlah mahasiswa Filipina lumayan banyak ada di kampusku.

Namun, kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Satu bulan kemudian, datanglah teman kamar baruku. Dia bukan orang Filipina, melainkan orang Vietnam. Aku merasa sedih, tapi kurasa aku tidak layak untuk bersedih, karena aku tahu doaku itu hanya keinginanku semata. Aku mencoba memulihkan perasaanku dengan mengingat kembali visiku dan menyanyikan sebuah lagu yang berjudul “Sudahkah yang Terbaik ‘Ku Berikan?

Lirik lagu ini, ayat pertama dan ketiganya berkata demikian:

Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus Tuhanku?
Besar pengurbanan-Nya di Kalvari!
Diharap-Nya terbaik dariku.

Telah ‘ku perhatikankah sesama,
atau ‘ku biarkan tegar?
‘Ku patut menghantarnya pada Kristus
dan kasih Tuhan harus ‘ku sebar.

Reff:
Berapa yang terhilang t’lah ‘ku cari
dan ‘ku lepaskan yang terbelenggu?
Sudahkah yang terbaik ‘ku berikan
kepada Yesus, Tuhanku?

Kesempatan baru yang Tuhan berikan

Semangatku pun kembali. Apapun kondisinya, aku berjanji untuk tidak melupakan dan terus memperjuangkan visiku. Aku coba melakukan misi yang sebelumnya sudah kulakukan ke ketiga mantan teman kamarku, dan puji Tuhan, temanku yang baru ini sangat terbuka. Bahkan dia bersedia kuajak ke gereja walaupun hanya sekali. Aku tetap bersyukur, dan aku berdoa supaya benih firman yang telah dia dengar bisa berakar dalam hidupnya. Walaupun aku tidak tahu seberapa lama masa pertumbuhan benih firman itu, namun aku beriman bahwa suatu saat benih itu akan berbuah secara nyata dalam hidupnya.

Perjuanganku untuk membawa jiwa kepada Tuhan rasanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penderitaan Tuhan Yesus bagiku. Namun, aku berdoa bagi kamu yang saat ini membaca tulisanku, supaya kita sama-sama terbeban, sekecil apapun itu, untuk membawa satu jiwa mengenal Tuhan.

Sebuah lagu yang kutulis di atas, bait keduanya berbunyi demikian:

Begitu banyak waktu yang terluang, sedikit ‘ku b’ri bagi-Nya.
Sebab kurang kasihku pada Yesus;
mungkinkah hancur pula hati-Nya?

Lirik ini menjadi suatu pengingat, agar kita pun mau memiliki kerinduan tersebut, dan pada akhirnya memperjuangkannya. Hidup kita sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan, lalu lenyap. Yuk kita gunakan waktu-waktu kita untuk Tuhan Yesus, yang telah berkurban di Kalvari demi kita.

Selamat menghayati hari-hari menjelang Paskah dan menikmati kebangkitan Tuhan Yesus di dalam hati kita!

Baca Juga:

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Sebagai atlet, aku berusaha keras untuk menggapai prestasi. Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku. Tetapi, di balik prestasiku yang seolah gagal, Tuhan sesungguhnya tidak berhenti bekerja dalam hidupku.

Ketika Orang Tuaku Tidak Menyetujui Hubungan Kami

Oleh Vina Agustina Gultom, Bekasi

Satu tahun lalu, aku dan pacarku memutuskan untuk menjalin relasi pacaran. Namun, perjalanan hubungan kami di masa-masa awal tidaklah mudah. Kedua orang tuaku menolak pacarku karena dia berasal dari suku yang berbeda dengan keluargaku.

Bagi orang tuaku, juga mungkin bagi banyak orang tua lainnya, melihat anaknya mendapatkan pasangan yang satu suku adalah hal yang diinginkan, atau bahkan didamba-dambakan. Bagi mereka, jika anaknya berpasangan dengan yang tidak satu suku, pasti terasa ada yang kurang. Bahkan, ada pula yang tidak mengizinkannya sama sekali.

Sebagai anak, aku belajar mengerti keinginan orang tuaku. Memiliki pasangan yang satu suku memang baik. Jika sedang kumpul keluarga tidaklah sulit untuk akrab karena sudah tahu bagaimana cara beradat dan berbahasa. Namun, apakah pasangan hidupku harus selalu satu suku? Apakah ini yang memang Tuhan Yesus ajarkan atau hanyalah stereotip belaka? Dua pertanyaan yang mungkin sulit untuk dijawab.

Namun, saat aku mencari tahu dari Alkitab, Tuhan Allah berfirman dalam Kejadian 2:18, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Apakah kata sepadan di sini berarti dia yang berasal dari satu suku? Berdasarkan terjemahan Alkitab versi New English Translation, kata “sepadan” di sini merujuk kepada kesesuaian atau cocok. Lebih rinci lagi, sepadan adalah pasangan yang saling mengisi dan bertumbuh untuk memenuhi tujuan Allah dalam pernikahan. Di sini terlihat jelas bahwa sepadan tidaklah mutlak harus satu suku.

Sebagai seseorang yang pernah bergumul dengan hal ini, aku ingin membagikan pesan untuk teman-teman, terkhusus apabila kamu juga mengalami pergumulan sepertiku.

1. Serahkanlah hubungan kalian kepada Tuhan melalui doa. Lebih dalam lagi, terus doakan hati keluarga yang menolak pasanganmu.

2. Cobalah jelaskan dan buka pola pikir keluargamu bahwasannya pasangan satu suku itu tidak menjamin segalanya. Jaminan utama adalah kedekatan pasangan kita kepada Sang Pencipta serta karakter yang dimilikinya. Karena pada dasarnya “Allah melihat apa yang ada di kedalaman hati sebagai ukuran sejati diri kita” (dikutip dari buku The End of Me, Kyle Idleman). Selain itu, menikah bukan saja tentang bagaimana bisa membahagiakan keluarga secara kasat mata, tapi lebih dari itu adalah tentang bagaimana kamu dan pasanganmu bisa melakukan visi Allah dalam keluargamu nantinya. Dan, hal yang sifatnya esensial ini tidak dibatasi oleh perbedaan suku semata. Lebih lagi, ceritakan juga apa saja kelebihan yang dimiliki pasanganmu, di mana kelebihan itu tidak dimiliki oleh kebanyakan orang. Serta, bukakan juga keuntungan jikalau kita memiliki pasangan yang berbeda suku, seperti halnya keluarga akan jadi lebih indah karena ada keberagaman suku di dalamnya.

3. Ajaklah pasanganmu itu ke rumah. Izinkanlah keluarga menilai sendiri kepribadian pasanganmu tersebut. Memang ini kelihatannya tidak manjur, apalagi jika keluargamu memilki “trauma” tersendiri terhadap kasus perbedaan suku sebelumnya. Namun, lagi-lagi tidak ada yang sia-sia selagi kita mau berusaha.

4. Jika langkah 1-3 belum juga membuat keluargamu “luluh”, buatlah strategi di mana keluargamu bisa secara nyata “hidup” bersama dengan pasanganmu. Pengalamanku sebelumnya, aku mengajak bapak dan ibuku untuk menjemputku secara langsung ke negara di mana aku menempuh pendidikanku. Walau aku bisa saja menginapkan bapak ibuku di penginapan, namun aku tidak mau. Aku membiarkan bapakku untuk mengalami hidup bersama pasanganku di asramanya, dan ibuku di asramaku. Pasanganku pun menyetujui pemikiranku itu. Walau ada beberapa temanku yang tidak setuju, namun aku terus menyakini bahwa Tuhan pasti menyertai setiap niat baik.

* * *

Dua hari pertama, bapakku masih belum “luluh”. Namun, puji Tuhan di hari ketiga sampai hari terakhir bapakku berada di sana, akhirnya beliau pun mulai “luluh”. Lebih dari itu, bapakku yang awalnya adalah orang yang paling menentang hubunganku pun akhirnya bersedia dipotong rambutnya oleh pasanganku. Itu terjadi di luar ekspektasiku. Bapakku yang memiliki kebiasaan memotong rambut sendiri, tiba-tiba ingat akan ceritaku sebelumnya bahwa pasanganku punya keterampilan memotong rambut. Bahkan, uang tambahannya di negeri perantauan pun dihasilkannya dari keterampilan tersebut. Sampai akhirnya, bapakku pun menyatakan pujiannya kepada pasanganku dan mengakui bahwa dia adalah seorang yang hebat. Itu semua dapat terjadi karena ada beberapa hal lain yang bapakku telah saksikan dan rasakan secara nyata selama mereka tinggal bersama.

Aku sangat bersyukur akan hal tersebut. Aku percaya ini boleh terjadi bukan karena pandainya aku membuat strategi, namun ini terjadi karena hebatnya Tuhan yang memberiku hikmat. Walau aku tak tahu bagaimana hubungan kami ke depannya, tapi kami berkomitmen untuk menyerahkan selalu hubungan ini kepada Tuhan. Satu firman Tuhan yang membuatku terkesan adalah, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Roma 8:31). Inilah yang membuat aku dan pasanganku dapat melangkah dengan tegap. Kalau memang Tuhan berkehendak pasti Dia akan menyertai hubungan kami sampai waktu yang telah Dia tentukan untuk kami bisa hidup bersama selamanya.

Satu bagian dasar terpenting ialah pergumulan kita dengan pasangan kita untuk selalu mencari kehendak Tuhan. Bila semakin yakin akan kehendak Tuhan, maka kita berjuang untuk penerimaan orang tua akan perbedaan suku tersebut. Kiranya ini bisa menjadi semangat dan langkah praktis untukmu yang memiliki pergumulan sama denganku.

Tuhan memberkati kita.

Baca Juga:

4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Meski aku tahu bahwa Tuhan mengasihiku, setiap hari aku bergumul untuk menempatkan-Nya di posisi pertama di hidupku. Dan, dari pengalaman inilah aku ingin membagikan empat hal kepadamu.

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Aku adalah mahasiswi program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Tahun ini adalah semester terakhirku sebelum nantinya aku meraih gelar master. Setelah berjibaku dengan proses penelitianku, sekarang aku telah menyelesaikan analisis dan sedikit lagi tesisku dapat selesai.

Proses pengerjaan tesis ini berjalan lancar. Hingga suatu ketika, pada hari Jumat 9 November 2018 pukul 00:48, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Di laptopku, aku membuka dua dokumen yang berbeda. Satu adalah tesisku, dan satunya lagi adalah catatan tambahan. Saat itu aku bersiap untuk tidur, jadi aku save dokumen tersebut dengan mengklik Ctrl + S seperti biasa. Aku yakin bahwa proses penyimpanan dokumen itu tidak bermasalah. Aku lalu tidur dengan tenang karena aku merasa pencapaianku hari itu sudah maksimal.

Namun, ketenangan yang semalam kurasakan berubah menjadi kekhawatiran. Sekitar pukul 12:50, aku berniat melanjutkan kembali penulisan tesisku. Ketika aku mengklik dokumen yang semalam telah kusimpan, betapa kagetnya aku mendapati bahwa semua tulisan yang sudah kutulis hilang. Aku cermati detail dokumen tesisku, dari yang semula sebesar 3.328 KB ternyata sekarang menjadi 0 KB. Kucoba membuka satu dokumen lainnya yang berisi catatan tambahan, ternyata dokumen ini tidak bermasalah.

Aku gelisah. Aku coba berbagai cara supaya dokumen tesisku bisa dipulihkan. Aku menghubungi beberapa temanku yang kuanggap ahli, tapi mereka tidak bisa menolongku. Kata salah satu temanku, drive di laptopku eror, jadi saat aku mengklik save, dokumen tesisku tidak tersimpan dan hilang. Malangnya, momen eror itu terjadi saat aku mengklik “save” pada dokumen tesisku, bukan pada dokumen catatan tambahan.

Aku coba mengendalikan diri untuk tetap tenang. Kucoba usaha lain. Aku menghubungi salah satu staf dari layanan penyimpanan dokumen Dropbox yang biasa kugunakan. Setelah dicek pada database mereka, cadangan dokumen tesisku tidak ditemukan. Aku menangis dan berteriak pada Tuhan. “Kenapa semua ini terjadi ya Bapa? Ampuni aku kalau aku bersalah kepada-Mu.”

Setelah beberapa waktu bergumul untuk menenangkan diri, aku merasa lebih tenang. Hati kecilku berbisik, “Kamu masih punya cadangan tesismu yang tanggal 7 November, Vin. Bersyukurlah.” Aku sadar bahwa dokumen tesisku yang aku simpan tanggal 9 November tidak akan pernah kembali. Tiada jalan lain selain aku mengulang kembali penulisan tesisku. Prosesnya berat. Aku harus mengingat-ingat lagi tesis sebanyak 10 lembar dan menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Dari kehilangan, aku mendapatkan

Di tengah stres yang kurasakan, seorang sahabatku yang bernama Okta datang menghiburku. Dia lalu meminjamiku sebuah buku yang berjudul “Go and Do”. Salah satu bagian buku itu mengatakan bahwa iman haruslah dihidupi secara nyata. Aku merasa Tuhan seolah menyentilku dengan pernyataan itu. Aku lalu teringat ayat dari Yakobus 2:17 yang berbunyi: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Bagian lain dari buku ini juga menegurku, bahwa di dunia yang membutuhkan garam dan terang ini, aku perlu memiliki waktu untuk berdiam diri bersama Allah. Aku lalu menyadari bahwa belakangan ini aku sudah tidak pernah lagi memiliki waktu untuk berdiam dan berlutut kepada Tuhan. Aku hanya saat teduh sekadarnya, padahal biasanya aku selalu menikmati satu pujian dalam setiap saat teduhku. Ini semua terjadi karena selama ini tesisku berjalan baik. Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin menyelesaikan tesisku dengan cepat. Namun, tanpa kusadari aku pun jadi mengabaikan relasiku dengan Tuhan. Saat teduh yang seharusnya menjadi momen intimku dengan-Nya, menjadi sekadar rutinitas biasa yang kulakukan.

Ketika obsesiku untuk menyelesaikan tesisku lebih besar dibandingkan keberserahanku kepada Tuhan, di sanalah aku membiarkan watak lamaku yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan diriku. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang kemudian meliputi diriku. Namun, syukur kepada Tuhan, karena anugerah-Nya memampukanku untuk bertumbuh di tengah peristiwa buruk yang kualami.

Aku berkomitmen untuk membangun dan mendapatkan kembali relasi yang erat dengan Tuhan. Aku tidak hanya membaca firman Tuhan sambil lalu, tapi aku merenungkannya, menyanyikan satu buah pujian sebagai respons syukurku kepada-Nya, dan membagikan berkat yang kudapat hari itu kepada teman-temanku.

Aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah setia mendoakanku. Aku yakin aku bisa mengalami pemulihan ini juga semua karena dukungan doa. Kiranya seperti apa yang tertulis dalam renungan saat teduh Santapan Rohani di tanggal 12 November 2018, “Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan”, aku dapat mengimaninya dalam proses penyelesaian tesisku dan hidupku ke depannya.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Galatia 5:25.

Baca Juga:

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Aku tidak terlahir di keluarga Kristen. Ketika aku memutuskan untuk percaya pada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku sempat menolakku. Namun, kisah itu tidak berhenti di situ, Tuhan terus melanjutkan karya-Nya.