Posts

Tak Hanya Tentang Rasa, Cinta Membutuhkan Kesiapan

Sebuah cerpen oleh Jenni, Bandung

Setelah menjemput keponakannya, Chelin, pulang sekolah, Sasa mengajaknya ke sebuah kafe. Rencananya, siang itu Sasa akan mengajak main Chelin dan mamanya. Sembari menunggu mama Chelin yang datang menyusul, Sasa memperhatikan wajah keponakannya itu yang tampak begitu kusut. Sedari tadi dahinya ditekuk dan matanya tak lepas dari layar ponsel. Bahkan jus alpukat kesukaannya tidak bisa membuatnya tersenyum.

“Kenapa, tuh, kok cemberut gitu?” Sasa bertanya lembut tapi Chelin bergeming. “Chelin?” tanyanya lagi.

Pertanyaan itu akhirnya dijawab dengan helaan nafas. Chelin meletakan ponselnya dan hampir mau bercerita, tapi dia mengurungkan niatnya.

“Tante ga akan ngerti, deh,” gerutu Chelin bermuram durja.

“Looh, cerita dulu,… baru setelah itu Tante bisa tahu kira-kira bakalan ngerti ga,nih.”

“Ah, tapi nanti Tante pasti cerita sama mama,” celetuk Chelin, yang lalu menutup mulutnya, menyesal keceplosan mengutarakan pikirannya.

“Mana rahasia antara kita yang pernah bocor ke mama? Gak ada, loh…”

“Ga jadi, ah!”

Sebersit kerunyaman masih tersisa di wajah Chelin yang duduk di kelas VII SMP, namun menurut bibinya masih unyu-unyu.

“Kalau tentang apanya Tante boleh tahu?” Sasa kembali bertanya dengan lembut.

Chelin menyeruput jusnya sambil mengayun-ayunkan kakinya dengan gugup. “Yaa tentang … biasalah anak muda,” ujarnya dengan pembawaan dewasa.

“Percintaan?” Celetukan Sasa membuat Chelin menelan cepat. Insting detektif Sasa bangkit. Ternyata tebakannya tepat. Demi mengembalikan rona ceria di wajah keponakan unyu-unyunya, Sasa pun melancarkan strategi.

“Tante punya cerita percintaan. Kita tukeran cerita, gimana?”

Chelin segera saja terpikat. Tawaran itu merubuhkan pertahanan yang membentengi rahasianya.

“Janji dulu jangan bilang mama papa.” Chelin mengangkat jari manisnya, untuk cantelan, simbol perjanjian yang selalu mereka lakukan. Sasa segera menyambutnya, mengaitkan jari kelingking dan menempelkan jempol mereka, “Janji!”

“Oke, jadi,… ” Chelin mengembuskan nafas, “Chelin tuh lagi suka banget sama temen sekolah Chelin. Kami saling suka, tapi orang tua kami ga mengijinkan pacaran, soalnya masih sekolah.”

Raut sedih menghiasi wajah Chelin. Dia kembali melanjutkan, “Jadi, kami lagi mikir buat backstreet aja. Tapi Chelin ragu karena kalau backstreet bakalan ribet dan banyak bohongnya. Andai diberi ijin, kami ga perlu seribet ini. Kami sudah besar, bisa jaga diri, kok!”

Sasa diam untuk beberapa saat. Ia mencondongkan tubuhnya dan menatap keponakannya dengan lembut. “Tante bukan belain orang tua kamu, ya. Tapi kalau berkaca dari pengalaman Tante, di usia Chelin lebih baik jangan dulu pacaran, apalagi backstreet.”

Langsung saja wajah Chelin menjadi kusut lagi. Sasa segera angkat suara sebelum keponakannya itu terlanjur kecewa.

“Pas banget, nih, Tante mau cerita ini ke Chelin. Dulu waktu Tante kelas satu SMA, tuh, tante pernah punya pacar. Awalnya sebatas teman duduk sebelahan dan gak langsung cocok. Tapi lama-lama, kok, kayak nyambung,ya sama dia. Kaya klik banget! Terus lama-lama, kok, jadi happy ya kalau bareng dia? Yang tadinya mau ga masuk karena sakit, karena inget dia, sakitnya hilang. Jadi rajin masuk sekolah, loh. Terus, yang tadinya malas sama pelajaran kelompok, karena sekelompok sama dia, Tante jadi semangat! Waah, pokoknya sejak dekat dengan dia tuh, jadi semangat sekolahnya, dan kayaknya dia juga sih, soalnya jarang absen. Hebat banget, kan kekuatan cinta kita!” tutur Sasa penuh semangat.

Chelin menyimak dengan antusias. “Terus gimana? Oma Opa beri izin pacaran?”

“Saat itu dunia berasa punya berdua. Kami merasa sudah cukup dewasa dan bisa menentukan jalan sendiri. Kami abaikan nasihat, apalagi izin orang tua. Langsung saja kami jadian! Wah berbunga-bunga rasanya. Ke mana-mana bareng. Indah banget deh, pokoknya. Tapi, ternyata pacaran itu sebuah komitmen, bukan hasil dari sekadar saling suka. Perlu pribadi yang dewasa untuk dapat sanggup menjalani komitmen. Dan, bagi Tante yang waktu itu belum dewasa, hal itu terlalu berat. Kami berdua belum siap.”

Sasa berhenti sebentar. Ditatapnya Chelin yang ternyata menyimak dengan serius.

“Hubungan kami berjalan agak sulit. Banyak berantem karena masalah sepele. Saling Nuntut. Ga mau ngalah, apalagi ngertiin kelemahannya. Ego kami terlalu besar. Waktu itu kami belum mengerti apa itu cinta dan komitmen. Kami ga paham apa itu relasi, dan bagaimana membangunnya. Lalu, karena ketidakpahaman itu, kami saling melukai. “

Chelin diam menyimak, tanpa disadari jus alpukatnya sudah habis. “Apa pacar Tante yang itu jadi suami Tante?”

“Hahaha,” polosnya Chelin menggelitik hati Sasa. “Maksud Tante cerita ini bukan tentang apakah pacarannya bisa sampai ke jenjang pernikahan atau engga. Karena, ada yang berakhir, tapi ada juga yang langgeng sampai menikah. Walaupun, menurut Tante perjalanannya mungkin sulit karena menjalaninya sambil berproses mengenal diri sendiri. Pendapat Tante, sih, dulu Tante terlalu cepat memutuskan untuk pacaran.”

“Berdasarkan pengalaman Tante,… masa muda sebaiknya diisi untuk mengenal diri sendiri. Perdalam ilmu, gali minat dan bakat, belajar bergaul yang benar, memahami bagaimana mengelola emosi. Hal-hal itu, selain baik untuk diri sendiri, juga baik untuk membina hubungan. Nah, barulah bisa coba menjalin hubungan,” sambung Sasa.

“Tapi kalau sudah terlanjur suka gimana, dong?” celetuk Chelin.

“Chelin, mungkin ada yang bilang cinta itu buta. Tapi, sebenernya jatuh cinta itu adalah pilihan. Kita bisa, kok mengendalikan perasaan kita. Gimana caranya? Dengan ga mudah jatuh cinta. Kendalikan dan kenali perasaan kita. Bisa jadi, yang kita anggap cinta ternyata hanya sekadar suka. Itulah mengapa kita pun jangan mengambil hati orang kalau belum kenal betul dengan perasaan kita.” Sasa mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Alkitab.

“Tante jadi inget Firman Tuhan, nih, di kitab Kidung Agung 2:7,… jangan membangkitkan dan menggerakan cinta sebelum diingininya. Maksudnya, kalau belum saatnya, jangan cepat-cepat jatuh cinta.”

“Tapi Chelin cinta banget sama dia… Asal cinta kami kuat, Chelin yakin bisa lewati banyak kesulitan,” ujar Chelin dengan yakin.

“Chelin, kekuatan cinta itu memang kuat, tapi kita juga harus sanggup menjalaninya. Inget di sekolah Minggu ada kisah Yakub, dia rela bekerja 14 tahun demi bisa menikahi Rahel. Tujuh tahun kedua baginya hanya beberapa hari saja. Cinta memberinya kekuatan untuk melalui semua itu. Begitulah cinta, memberi kekuatan untuk berkorban. Tapi gimana kalau pribadi kita belum sanggup? Bisa-bisa setelah berkorban malah menuntut balas budi, atau sebagai penerimanya kita tidak bisa memberikan respon yang benar karena belum paham makna pengorbanan itu.”

Chelin mengangguk-angguk. Ia bertopang dagu pada kedua tangannya. “lya juga, ya,” ujarnya.

“Cinta memang kuat dan bisa menghasilkan sesuatu yang hebat, seperti apa yang Tuhan Yesus lakukan untuk kita,” Sasa memandang keponakannya dengan hangat. “Tuhan Yesus rela mengorbankan nyawa-Nya demi menebus jiwa dari dosa. Dan ga hanya itu, setelah bangkit Tuhan Yesus juga memberikan Roh Kudus untuk menyertai dan memimpin setiap orang. Itulah buah dari cinta-Nya, keselamatan.”

Chelin terdiam sebentar, tangannya memegang erat gelas jus alpukat yang sudah kosong.

“Jadi pacaran itu tentang komitmen antara dua orang, ya? Dan supaya membuahkan hasil yang baik, komitmen itu memerlukan kedewasaan, pengorbanan dan ketulusan. Kalau sejauh itu, Chelin jadi ga tahu kira-kira kami siap atau engga, ya menjalani hubungan,” ujar Chelin agak merenung.

“Kalau kami berteman dulu dan masing-masing meningkatkan diri sendiri dulu, mungkin ga ya nanti kita tetap pacaran?”

“Tante pun enggak tahu. Seiring berkembangnya pribadi kalian, bagaimana perasaan kalian nanti di masa depan, kita nggak tahu”

“Kira-kira kalau nanti berjodoh akan seperti apa ya hasil relasi kami nanti?” Chelin makin penasaran.

“Wah, kalau itu hanya Tuhan yang tahu,” sahut Sasa sambil tertawa lebar. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, ternyata mama Chelin menelepon. Sasa segera mengangkatnya dan bercakap-cakap sebentar.

“Chelin, mama sudah sampai di dekat kafe. Yuk, kita berangkat!” ajak Sasa sambil membereskan bawaan dan memastikan tak ada yang tertinggal. Setelah siap, Chelin meraih tangan bibinya. Keponakannya itu menatapnya dengan mata berbinar, “Soal yang tadi, Chelin akan coba pikirin… Nanti kelanjutannya, Chelin cerita lagi ke Tante, ya!” ucapnya dengan pelan. Sasa tersenyum dan mengelus kepala keponakannya. “Oke, Chelin!”

Ketika Si Dia Kujadikan Berhala

Apa pun yang ada dalam hidup ini dapat menjadi berhala. Berhala bukan hanya patung atau gambar sesembahan, berhala juga bukan sekedar hal-hal buruk yang menjadi candu dalam kehidupan kita, namun berhala juga dapat berasal dari hal-hal baik dalam hidup ini yang lebih kita ingini daripada Allah.

Pasangan hidup juga dapat menjadi berhala, yaitu ketika gairah cinta dan semangat kita pada Tuhan mulai tergeser, beralih kepada orang yang kita cintai.

Hendaknya kita mengimani dan melakukan dengan sungguh, firman Tuhan Yesus untuk mencari, “dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu.”

Karena ketika yang terutama dalam hati kita adalah Yesus dan Kerajaan-Nya, kita akan memahami bagaimana cara mencari dan mencintai pasangan kita dengan pantas.

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata dan merupakan project kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dan Grace Alone Ministries @gracealoneministry

Apa Yang Salah dengan Keinginanku?

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

11:59:50.

Ah…sebentar lagi.

Suaraku bergairah menandakan semangatku yang sedang naik.

Tiga..Dua..Satu…Akhirnya.
Selamat ulang tahun.

Tuhan yang baik.
Terima kasih untuk hari ini ya.
Aku sudah berumur 22 tahun.
Tuhan, Kau tahu hanya satu keinginanku.
Berharap banget Tuhan mau kabulkan di tahun ini.
Punya pacar yang sayang padaku.
Terima kasih, Tuhan.
Amin.

Aku membuka mataku, merasa puas sudah menaikkan doa kepada Tuhan. Seperti biasa, selama lima tahun terakhir ini, tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 12:00:01
aku selalu memanjatkan doa yang sama kepada Tuhan. Aku menjadikan hal ini seperti suatu tradisi, bagi diriku sendiri.

Tradisi ini berawal ketika aku berusia 17 tahun.

Hari itu tepat sebelum hari ulang tahunku, Emily menarik tanganku dengan tergesa-gesa begitu melihatku masuk melewati gerbang sekolah.

“Melody. Ayo, ikut aku. Ada yang ingin aku ceritakan,” katanya penuh teka-teki. Aku mengikutinya ke ruang aula yang kosong pada pagi itu.

“Ada apa?” tanyaku.

Emily tidak langsung menjawab. Kuperhatikan wajahnya bersemu merah. Binar matanya yang indah berkejap-kejap menandakan berita yang disampaikan pastilah berita gembira. Emily meraih tanganku dan dengan suara berbisik tetapi terdengar jelas di telingaku, berkata,”Aku sudah punya pacar. Baru saja kemarin. Iwan menembakku dan aku langsung bilang iya.”

Selama beberapa detik, aku termangu tidak menyangka. Emily menatapku menunggu reaksiku. “Wah… Selamat ya. Itu berita gembira.”

Emily memelukku. “Kamu tahu, aku sudah mendoakan ini selama satu tahun sejak aku suka sama Iwan. Dan Tuhan mengabulkannya.”

Saat itulah aku memutuskan untuk berdoa hal yang sama. Meminta agar Tuhan memberikan seorang pacar untukku, seperti yang sudah Dia berikan kepada sahabatku. Dan untuk menjadikannya lebih bermakna, aku memintanya tepat ketika aku berulang tahun.

Namun, tahun itu berlalu tanpa ada kejadian yang dapat dijadikan sebagai jawaban atas doaku. Maka aku kembali memanjatkan doa yang sama di ulang tahun berikutnya. Awalnya aku tidak merasa keberatan menunggu. Bukankah Tuhan baru memberi pacar kepada Emily setelah satu tahun berdoa? Begitu pikirku. Mungkin terhadapku, Tuhan akan memberikan sedikit lebih lama. Aku berusaha berpikir optimis.

Setahun berganti menjadi dua dan tidak terasa sudah memasuki lima tahun. Dan doa yang sama itu pun akhirnya menjadi seperti tradisi di hari ulang tahunku.

Aku tersentak dari lamunanku. Tiba-tiba, beberapa notifikasi pesan terdengar dari ponsel yang kuletakkan di tempat tidur. Aku tahu itu pasti berasal dari teman-teman yang mengucapkan selamat ulang tahun. Aku tidak menggubrisnya. Sebaliknya, aku malah memandang cermin di meja riasku, seakan-akan di sana ada tertulis alasan mengapa doaku tidak kunjung dijawab oleh Tuhan.

Wajah di cermin balas menatapku. Bentuk wajah yang oval, alis mata yang cukup tebal, bentuk bibir yang penuh dan merah, aku tahu aku tidak begitu cantik, namun aku cukup manis. Apalagi dengan tinggi badan yang memadai dan porsi tubuh yang cukup ideal, aku dapat dikatakan menarik. Bukannya aku memuji diriku, tapi itulah yang dikatakan beberapa teman dekatku. Tentu itu dapat menjadi alasan aku bisa mendapat pacar, bukan? Aku berkata pada diriku sendiri.

Dengan kepribadianku yang ceria dan mudah bergaul, aku memiliki banyak teman, dan di antaranya ada teman-teman pria yang pernah dekat juga denganku. Beberapa malah sempat kupikir sebagai jawaban atas doaku. Namun ternyata, tidak ada satu pun yang benar-benar dapat disebut sebagai pacar.

Misalnya Bram. Aku kenal dia ketika kami sama-sama melayani di persekutuan kampus. Dia adalah koodinator kelompok kecil dan aku adalah sekretaris. Kerja sama kami dapat dikatakan baik sehingga sepanjang tahun kami melayani, buah pelayanan kami terlihat. Beberapa kelompok kecil terbentuk dan berjalan dengan baik. Kami pun cukup dekat, akan tetapi tidak ada perasaan suka di antara kami. Aku tidak, Bram juga tidak. Ketika Bram kemudian membawa teman wanitanya yang berasal dari kampus lain untuk dikenalkan kepadaku, aku ikut senang untuk dia.

Ada juga Hendri. Pacar Emily yang mengenalkannya kepadaku. Hubunganku dengan Hendri dapat dikatakan sangat dekat. Selain karena dia teman baik dari pacar Emily, kami memiliki banyak kesamaan sehingga tidak pernah habis bahan obrolan. Ada saja yang diobrolkan dan mengasyikkan. Kami pun suka makan, apalagi jika ada kuliner baru yang lagi viral, kami akan langsung ke sana dan mencobanya. Ditambah dengan pergi bersama Emily dan pacarnya, orang lain mungkin melihatnya sebagai kencan ganda. Tetapi aku terpaksa menolaknya, karena dia bukan orang Kristen. Di balik semua kesamaan kami, hanya ada satu yang tidak sama, yaitu iman kami. Maka meski sedih dan berat hati, kami memutuskan hanya menjadi teman.

Lalu ada juga beberapa pria lain yang cukup dekat denganku. Namun ada saja hal-hal yang tidak dapat menjadikan mereka sebagai pacar. Ada yang baru berkenalan selama beberapa bulan, sudah suka menyuruhku melakukan ini dan itu untuk dia. Tentu aku tidak mau punya pacar seperti itu. Ada juga yang sangat suka bicara, dan tidak mau mendengarkan. Meski aku juga suka bicara, tetapi jika dua-duanya bicara, siapa yang akan mendengarkan?

Aku menghela nafas. Kembali berpikir, apa yang salah dengan diriku? Atau lebih tepatnya, apa yang salah dengan keinginanku? Hampir semua teman-temanku punya pacar. Mereka terlihat sangat bahagia dengan hidupnya. Jika mereka bisa dan boleh punya, mengapa aku tidak?

Mataku melirik sebuah buku di atas meja riasku. Buku itu kuberi nama Quote Diary. Beberapa temanku suka menulis buku harian, tetapi aku tidak begitu suka menulis keseharianku. Selain karena hal itu bersifat rahasia, dunia tulis menulis bukan duniaku. Namun aku suka mengumpulkan kutipan-kutipan yang menarik. Ada yang kudapat ketika aku sedang berselancar dalam dunia maya. Aku simpan dan mencetaknya. Ada juga yang mengirimkan dalam obrolan grup lalu aku akan tulis ulang. Aku cukup bangga dengan bukuku karena indah dilihat dan cukup menarik.

Aku membolak-balik buku ini. Tertawa saat membaca beberapa kutipan yang kadang lucu. “Udah bikin kopi tapi tetep ngantuk. Eh, ternyata lupa, belum minum”. Atau coba yang ini: “Manusia itu emang susah nyalahin diri sendiri. Leher pegal dibilang salah bantal.”

Mataku lalu berhenti pada satu kutipan.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Aku baca sekali lagi. Aku melihat tanggal di atas kutipan itu. Tanggal ulang tahunku dua tahun yang lalu. Seorang teman yang sedang kuliah di luar negeri, yang mengirimkannya. Katanya sebagai hadiah ulang tahun.

Aku tidak pernah memikirkan kalimat ini sebelumnya secara serius. Waktu itu hanya sekilas membacanya dan berpikir bagus maka kutuliskan dalam buku.

God doesn’t always give what you want, but He always gives what you need.

Tuhan tidak selalu memberi apa yang kamu inginkan, tetapi selalu memberikan apa yang kamu perlukan. Aku lalu teringat akan doaku. Kalau begitu, keinginan untuk mendapatkan pacar, apakah keinginan atau kebutuhan? Aku meletakkan buku itu lalu duduk di atas tempat tidur.

Pacar itu adalah keinginanmu atau kebutuhanmu? Aku bertanya pada diriku sendiri.

Jangan-jangan selama ini bukannya Tuhan tidak menjawab doaku, hanya akunya yang tidak mau mendengar Dia karena jawaban-Nya adalah tunggu. Tuhan tidak memberikan pacar kepadaku sekarang karena aku belum membutuhkannya. Kalau aku ingat-ingat lagi, ada benarnya juga. Jika dulu semasa sekolah dan kuliah Tuhan memberikan kepadaku pacar, mungkin pendidikanku bisa berantakan. Karena aku orang yang mudah terdistraksi maka mungkin sekali konsentrasi belajarku buyar akibat asyik pacaran. Atau juga karena aku belum bisa bertanggung jawab akan hidupku, maka Tuhan menundanya dulu.

Aku tidak tahu alasan pasti mengapa Tuhan belum memberikannya. Tetapi satu hal yang pasti, hal itu untuk kebaikanku. Aku memejamkan mataku, kembali berdoa.

Tuhan.
Terima kasih untuk jawaban-Mu.
Ampuni aku yang selama ini tidak menyadari jawaban atas doaku.
Tolong aku ya Tuhan.
Aku masih menginginkan seorang pacar, namun biarlah itu terjadi jika Kau mau memberikannya kepadaku. Pada waktu-Mu yang Engkau anggap paling baik.
Berilah kepadaku kesabaran untuk menunggu.
Terima kasih Tuhan.
Amin.

Aku tersenyum setelah membuka mataku. Aku akan menikmati hari-hariku bersama dengan Tuhan, dengan atau tidak punya pacar.

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Aku Suka Kamu, Tapi…

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun

Aini melirik ponselnya untuk kesekian kali. Tidak ada notifikasi. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul 23.12, dan rasa kantuk mulai menyerangnya.

“Ku tunggu sebentar lagi,” ucapnya dalam hati.

Aini mengambil salah satu novel, membolak-baliknya tanpa niat. Sekali lagi melirik ponselnya, memastikan baterainya masih ada.

Tit…tit… Terdengar bunyi notifikasi pesan.

Lagi ngapain?

Aini tersenyum lebar.

Siap-siap mau tidur.
Aku ganggu kamu ya?
Ah…nggak kok. Kamu ngapain aja hari ini?
Biasa. Sibuk kerja. Kamu?
Sibuk kerja juga.
Sudah malam. Kamu tidur dulu deh. Besok kita sambung lagi.
Okay. Sampai besok ya.

Aini meletakkan ponselnya di atas meja. Setelah mengucapkan doa singkat, dia berbaring, memejamkan mata sambil membayangkan sosok yang menghiasi hidupnya belakangan ini.

Beberapa minggu yang lalu…

Aini sedang membaca novel ketika ponselnya berdering. Dia melirik dan merasa heran melihat nama yang tertera di sana. “Tumben, tante Mona menelepon. Tidak biasanya.” Aini mengangkat ponselnya sambil membayangkan wajah kakak kandung papa yang tinggal di Medan itu.

Halo, tante. Apa kabar?
Halo, Aini. Bagaimana kabarmu?
Baik, tante. Tante gimana? Sehat kan ya?
Iya. Sehat. Kamu sendiri gimana? Sibuk kerja ya?
Iya. Lumayan, tante.
Begini…Aini. Tante rencananya mau kenalin kamu dengan seseorang.
Hmm…siapa ya, tante?
Dia itu anak dari sahabat baik tante. Orangnya baik. Jujur dan rajin kayak kamu. Usia kalian juga hampir sama. Kamu sudah hampir 30 tahun kan, ya?
Iya, tante. 29 tahun.
Nah…usia dia 30 tahun. Cocoklah sama kamu. Kamu mau kenalan ama dia?
Yah…untuk teman, boleh, tante.
Iya, kenalan dulu saja. Siapa tahu nanti cocok.
Iya, tante. Dia orang Kristen, bukan?
Bukan sepertinya. Ah…agama nggak pentinglah. Usia yang paling penting. Kamu sudah nggak muda lagi, lho. Jadi tante kasih nomor kamu ke dia ya. Oh ya, nama dia Albert. Nanti tante kirimkan foto dia.
Hm…iya, Ok, tante. Terima kasih banyak.
Semoga kalian cocok ya. Bye…Aini.
Bye…Tante.

Tidak lama kemudian, ada pesan masuk dari Tante Mona disertai foto seseorang.

Aini, ini Albert.

Aini memperhatikan foto itu, sesosok pria ramping, tinggi, sedang tersenyum lebar.

“Kelihatannya dia lebih tinggi dariku,” pikir Aini.

Aini tidak lagi terlalu mengingat pembicaraan itu sampai seminggu kemudian, ada bunyi notifikasi pesan di ponselnya. Aini membaca pesan yang muncul.

Hai, aku Albert. Salam kenal ya. Aku dapat nomor kamu dari tante Mona.

“Oh, iya. Dia yang mau dikenalin tante waktu itu.”

Hai juga. Aku Aini. Salam kenal juga.
Apa aku lagi ganggu kamu?
Oh…nggak kok. Aku lagi santai saja.
Kamu kerja apa?
Aku guru. Ngajar anak-anak TK. Kalau kamu apa?
Aku kerja di IT. Programmer. Kamu senang anak-anak ya? Pasti kamu orangnya sabar deh.
Hahahahaha…nggak juga. Kadang aku bisa marah juga kok.
Sudah lama ya kerja jadi guru?
Iya. Sejak lulus sampai sekarang. Kamu gimana?
Iya. Aku juga, sejak lulus kuliah, sudah kerja di sini. Kita banyak kesamaan ya?
Iya, sepertinya.

Aini tidak menyangka percakapan pertama itu menjadi awal dari percakapan rutin yang mengisi hari-harinya. Albert akan mengirimkan pesan setiap hari kepada Aini. Biasanya menanyakan apa yang Aini lakukan, mengirim foto makanan, atau tempat-tempat yang sedang dikunjunginya. Aini merasa hidupnya menjadi berbeda. Kebosanan akibat pandemi yang membatasi ruang gerak, rutinitas pekerjaan dan kesepian yang kadang dia rasakan, menjadi tidak lagi mengganggunya karena kehadiran Albert. Meski hanya lewat chat, atau kadang video-call, perhatian Albert terasa sangat menyenangkan. Albert menanyakan kabarnya, memintanya menceritakan kegiatannya bersama anak-anak, memberikan semangat bila Aini merasa sedang putus asa, bahkan mengirimkan hadiah ulang tahun.

Memang mereka belum pernah bertemu karena Albert tinggal di Medan sedangkan Aini di Jakarta, dan juga karena larangan bepergian akibat pandemi, namun tiada hari terlewati tanpa obrolan lewat ponsel. Suara Albert yang menentramkan sanggup membuat rasa lelah Aini karena bekerja sepanjang hari, menjadi hilang.

Meski Aini merasa hidupnya sekarang menyenangkan, namun, dia juga merasakan kegelisahan. Beberapa kali ayat Alkitab 2 Korintus 6:14 tergiang di kepalanya. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya…” Aini berusaha menyakinkan dirinya bahwa dia dan Albert hanya berteman saja. Tetapi perasaan suka yang dia rasakan dari hari ke hari semakin kuat. Aini selalu menunggu Albert mengirimkan pesan atau meneleponnya. Pernah Albert tidak memberi kabar sepanjang hari, Aini merasa cemas berpikir hal buruk mungkin sudah terjadi. Ternyata kesibukan kerja membuat Albert tidak bisa memberi kabar. Aini baru merasa lega setelah Albert mengirimkan pesan keesokan harinya.

Aini menyadari perasaan suka yang mengetuk pintu hatinya, namun terselip juga perasaan bersalah karena Albert bukan orang Kristen. Karena itu Aini memutuskan untuk mendoakan Albert agar dapat percaya kepada Tuhan Yesus. Aini menyakinkan dirinya bahwa dia sedang menginjili. Bukankah penginjilan itu perintah Tuhan?

Maka suatu kali Aini menanyakan kepada Albert mengenai Tuhan.

Bert, kamu percaya ada Tuhan?
Iya…aku percaya ada Tuhan. Kalau tidak, bumi tidak mungkin tercipta seperti ini.
Kamu pernah dengar Tuhan Yesus?
Iya, pernah. Aku pernah diajak teman ke gereja beberapa kali.
Menurutmu, gimana?
Yah…menurutku. Setiap orang boleh saja memilih agamanya. Dan semua agama sama kan? Masing-masing mengajarkan yang baik. Mungkin selera saja, masing-masing pilih agamanya.
Tidak sama. Tuhan Yesus berbeda. Dia satu-satunya Juruselamat.
Aini, kita jangan bicarakan ini ya. Aku nggak suka dengar kamu bicara soal Tuhan Yesus. Aku tahu siapa itu Tuhan Yesus. Aku sudah sering dengar tentang Dia. Kita bicarakan yang lain saja deh.

Setiap kali Aini mencoba bercerita mengenai Tuhan Yesus, tanggapan Albert menjadi dingin. Beberapa kali Aini pun sempat mengirim ayat-ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 dengan harapan agar Albert mau membacanya. Tetapi pesan-pesan itu tidak digubris. Akhirnya Aini tidak pernah lagi membicarakan tentang Tuhan Yesus, tetapi dia masih terus mendoakan agar suatu hari nanti Albert dapat menjadi orang percaya.

Suatu kali, tanpa sengaja, Aini menemukan video khotbah dengan judul Putus Atau Terus. Pembicaraan yang berkisar sekitar 30 menit itu membekas di hati Aini. Dia teringat pembicara itu menanyakan “Are you dating the right person?” Sudahkah kamu bertanya kepada Tuhan, apakah dia orang yang cocok untukku? Apakah dia seiman dan sepadan untukku?” Aini memikirkan pertanyaan itu selama berhari-hari. Dia memikirkan relasinya dengan Albert selama ini, percakapan mereka, hal-hal yang disukainya dari diri Albert, termasuk tanggapan Albert jika diajak berdiskusi mengenai iman. Aini bergumul di hadapan Tuhan, sungguhkah dia menginginkan Albert menjadi pasangan hidupnya? Aini kembali teringat akan 2 Korintus 6:14, perintah Tuhan yang dengan jelas melarangnya berpasangan dengan orang yang tidak seiman. Pada akhirnya, Aini pun mengambil keputusan.

Beberapa hari kemudian ponsel Aini berdering ketika dia sedang mengerjakan materi ajar.

Hai.
Hai.
Sedang apa?
Lagi persiapan ngajar untuk minggu depan.
Oh….
Ada apa? Kamu kedengarannya serius sekali.
Gini…Aini. Aku sedang berpikir tentang kita. Sepertinya kita sudah berteman cukup lama ya. Sudah 4 bulan ya kalau ngak salah. Aku ingin kita lebih dari teman. Aku suka kamu, Aini. Dan kita juga cocok. Aku senang ngobrol sama kamu, kita punya banyak kesamaan juga. Gimana menurut kamu?
Aku juga suka berteman denganmu, tetapi….aku nggak bisa lebih dari teman.
Kenapa nggak?
Karena kamu bukan orang Kristen. Aku tidak bisa pacaran dengan orang yang tidak seiman. Itu melanggar perintah Tuhan. Maaf ya, aku nggak bisa.
Yah…aku ngerti sih. Aku tahu juga soal itu. Yah…aku sedih, tetapi aku ngerti alasan itu.
Kita berteman saja ya. Bye..Albert.
Bye…Aini.

Aini meletakkan ponselnya. Dia merasakan matanya basah. Aini tahu mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan orang seperti Albert. Bahwa dia telah melewati kesempatan yang mungkin dia tidak akan pernah dapatkan lagi. Usianya yang hampir menginjak 30 tahun membuat peluang bertemu dengan pria baik seperti Albert semakin kecil. Aini juga berpikir tentang reaksi Tante Mona bila dia tahu keputusan yang telah diambilnya. Mungkin Tante Mona akan menganggapnya bodoh dengan melepaskan Albert. Aini tahu dia perlu menyesuaikan diri lagi dengan kehidupannya tanpa Albert sekarang. Mungkin rasa kesepian akan datang kembali seperti yang dia rasakan dulu sebelum bertemu Albert. Namun, semua itu tidak lagi menjadi penting karena Tuhan sudah menunggunya untuk kembali. Damai sejahtera kembali mengisi hatinya. Bukankah menyenangkan Tuhan adalah hal yang paling penting?

Aini tahu dia sudah membuat keputusan yang benar. “Terima kasih, Tuhan telah menolongku. Maafkan aku yang butuh waktu lama untuk menyadarinya. Tolong aku untuk tidak terlalu bersedih. Tuhan akan sediakan seseorang untukku bila Tuhan ingin aku menikah nanti.”

Bukan Cuma Tentang Romantis, Inilah Sesungguhnya Kasih Itu

Oleh Aldi Darmawan Sie

Hari Valentine atau dikenal sebagai hari kasih sayang, sering kali menjadi momen yang dinanti, khususnya bagi kita para kaum muda. Kepada orang-orang yang kita kasihi, di tanggal 14 Februari kita mengungkapkan perasaan kasih itu, entah dengan sekadar ucapan selamat, atau juga dengan coklat.

Nuansa yang muncul pun identik dengan romantisme dan kemesraan. Di media sosial, orang-orang menyatakan kasih sayangnya dengan mengunggah gambar atau cerita romantis. Secara sederhana, hari Valentine membuat perasaan cinta diidentikkan dengan ungkapan perasaan suka atau sayang kepada seseorang. Bertepatan dengan momen hari kasih sayang inilah aku ingin mengajak kita memikirkan kembali tentang bagaimana Allah menyatakan kasih-Nya kepada kita. Apakah cinta Allah kepada kita hanya sekedar suatu perasaan suka atau sayang?

Di dalam Alkitab, terdapat suatu model relasi yang Allah gunakan sebagai landasan untuk berhubungan dengan umat-Nya. Model relasi itu adalah perjanjian atau kovenan. Model relasi ini sangat kuat mewarnai Alkitab, dimulai dari masa Perjanjian Lama hingga diperbarui di dalam dan melalui Yesus Kristus pada masa Perjanjian Baru. Segala rencana dan karya Allah bagi umat-Nya selalu berdiri di atas dasar kovenan. Perjanjian adalah inisiatif Allah. Tujuannya adalah agar umat Allah dapat menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Salah satu ide yang menggaung kuat dari konsep perjanjian ialah komitmen. Dua pihak yang terikat di dalam sebuah kovenan akan berkomitmen untuk melakukan sesuatu yang telah disepakati di dalam perjanjian tersebut. Sederhananya, kasih Allah di dalam kerangka konsep perjanjian, bukan hanya berbicara mengenai ungkapan perasaan yang muncul dari hati, melainkan terkandung suatu komitmen untuk mengasihi umat-Nya di dalam situasi apapun.

Hal ini secara konsisten Allah tunjukkan kepada bangsa Israel. Meskipun Alkitab secara gamblang mengungkapkan sederet kegagalan bangsa Israel dalam mengasihi Allah dan memelihara perjanjian-Nya, tetapi seruan kasih Allah terus bergema untuk menarik mereka kembali menikmati kasih dan persekutuan dengan-Nya. Seruan kasih Allah tentu saja tidak terlepas dari janji-Nya untuk menjadikan umat Allah sebagai milik kepunyaan-Nya. Salah satu seruan kasih Allah telah disampaikan melalui Nabi Yeremia kepada bangsa Israel, “Dari jauh TUHAN menampakkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yer. 31:3).

Kasih yang kekal. Begitulah kasih Allah kepada umat-Nya. Seruan kasih Allah inilah yang dinyatakan secara sempurna di dalam dan melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Salib menjadi sebuah “pertunjukkan” kasih Allah yang paling agung kepada manusia. Melalui salib, jelas bahwa kasih Allah tidak dapat kita maknai sekadar ungkapan perasaan belaka, tetapi sebagai komitmen nyata untuk mengasihi, bahkan hingga titik darah penghabisan.

Belajar dari Perjanjian Allah

Jika menilik kembali betapa indahnya kasih Allah yang terbingkai di dalam perjanjian-Nya, maka aku seolah ditarik untuk memikirkan kembali tentang apa artinya kasih. Aku merenungkan bagaimana model kasih yang sering kali dipertontonkan, entah itu melalui film, sinetron, atau lagu-lagu. Model kasih itu adalah kasih yang bersyarat. “Kamu cantik, karena itu aku jatuh cinta kepadamu. Kamu pintar, karena itu aku menyukaimu.” Mungkin saja itu membuat orang-orang terobsesi untuk tampil cantik atau tampan, hanya demi supaya dirinya dikasihi. Tentu saja, menjaga diri untuk tetap cantik atau tampan bukanlah suatu hal yang salah di dalam lensa kekristenan. Namun, ketampanan atau kecantikan seseorang seharusnya tidak menjadi dasar kelayakan mutlak agar seseorang dapat dikasihi. Model kasih seperti ini membuat kita perlu memenuhi standar yang menurut dunia sebagai suatu hal yang berharga dan diagung-agungkan, maka baru kemudian kita akan dikasihi. Jikalau model kasih ini yang diambil Allah, maka aku yakin sudah lama Allah tidak lagi mengasihi kita, karena kita jauh di bawah standar kasih Allah.

Lantas, mungkin kita bertanya-tanya, “mungkinkah ada kasih yang tak bersyarat di dunia? Mungkinkah ada kasih yang menerimaku apa adanya?”

Pencarian akan jawaban dari pertanyaan itu membuatku mengingat kembali pertunjukkan kasih Allah yang kekal, yang terekam jelas melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Dari sanalah tampak riil sebuah pernyataan kasih yang tidak didasari dengan apa yang kita miliki, tetapi sebuah pertunjukkan kasih yang tak bersyarat. Meskipun kita sebagai umat-Nya sering kali gagal mengasihi-Nya, tetapi Allah tidak pernah berhenti mengasihi kita. Kasih Allah yang kekal itu, tidak pernah berhenti hanya sebatas ungkapan perasaan kasih sayang yang romantis, tetapi melampaui itu, adalah suatu demonstrasi kasih yang penuh komitmen yang begitu deras membanjiri diri kita melalui perjanjian-Nya.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Secuplik Mitos tentang LDR

Banyak survey bilang bahwa pasangan LDR lebih berisiko mengalami kandasnya hubungan. Tetapi, itu tidak selalu berarti bahwa LDR adalah bentuk relasi yang buruk. Yuk kenali mitos-mitos apa saja yang sering muncul tentang LDR.

Mencari Cinta

Berkolaborasi dengan Moonsub Shin
Musik: www.bensound.com

Teruntuk semua orang yang sedang mencari, ataupun yang telah menemukan cinta, kami harap proyek seni ini dapat memberikanmu kehangatan, penghiburan, dan kedamaian di hari kasih sayang ini.

Wallpaper: Selamat Hari Kasih Sayang

Oleh Bertilia Ellen

Happy Valentine’s Day

Download ukuran: 1024×768 | 1280×800 | 1366×768


Oleh NN

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yohanes 3:16)