Posts

5 Tips Mengelola Uang di Masa-masa Sulit

Uang kuliah naik, tapi uang jajan tetep
Dulu beli bensin 10 ribu udah full tank, sekarang tydack~

Inflasi tidak terhindarkan. Semua bertambah mahal. Tapi, di sinilah kita ditantang untuk hidup bijaksana. Mengelola uang dengan cermat sembari percaya teguh akan pemeliharaan Tuhan.

Yuk simak 5 tips dalam artspace ini.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Dear Temanku, Mohon Maaf Aku Gak Bisa Meminjamkanmu Uang

Oleh Agustinus Ryanto

“Orang yang ngutang sama yang diutangin mah galakan yang ngutang.”

Aku tertawa membaca meme tersebut yang dimuat di Twitter meskipun aku sendiri jarang mengalaminya. Hingga suatu hari, datanglah seorang temanku. Dia curhat dan meminta pendapat. Katanya, ada teman kantornya meminjam uang. Sekali dua kali dia meminjamkan karena alasannya adalah untuk berobat. Tapi, bulan-bulan kemudian, temannya ini jadi sering meminjam uang dengan alasan yang tak bisa dia jelaskan dengan spesifik.

Di permintaannya yang ke sekian, temanku menolak meminjamkan. Namun, respons yang didapatnya adalah, “Kok kamu gitu sih? Kamu kan kebutuhannya sedikit, belum married. Masa segitu aja gak ada?”

Temanku kaget dengan respons itu. Dia tidak mau meminjamkan karena memang bulan itu uangnya pas-pasan. Dengan sopan dia menolak permintaan itu sekaligus menagih utang-utangnya terdahulu, tapi jawaban yang didapatnya semakin ketus dan temannya itu pun tak mau lagi menjawab chat di WA.

Belajar dari kisah temanku, kurasa ada banyak di antara kita yang—demi menjaga hubungan baik—susah menolak permohonan meminjam uang. Meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan sejatinya adalah tindakan yang baik, yang dapat menolong seseorang. Lagipula, bukankah Alkitab mengatakan agar kita menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita sendiri? (Filipi 2:4). Tetapi, hendaknya kita tidak salah mengartikan nats tersebut. Menolong orang lain bukan berarti mengabaikan aspek batasan diri dan disiplin.

Jika kamu termasuk orang yang susah menolak ketika dipinjami uang, inilah beberapa hal yang baik untuk kita renungkan bersama:

1. Ingatlah bahwa uang adalah perkara sensitif

“Hiroshima hancur karena bom atom. Warung hancur karena kasbon.”

Pernah melihat teks di atas? Teks itu dimuat dalam sebuah meme yang menggambarkan seorang pemilik warung yang menolak orang berbelanja dengan cara berutang. Meminjamkan uang kepada teman berpotensi merusak relasi yang telah dibangun dengan baik. Potensi rusak itu muncul ketika terjadi kesalahpahaman, komunikasi yang buruk, atau ketika kesepakatan bersama dilanggar.

Besarnya potensi konflik yang diakibatkan utang-piutang juga turut dibahas dalam Alkitab. Perjanjian Lama, dalam Ulangan 24 dan keluaran 22 menunjukkan bahwa masyarakat Israel Kuno juga melakukan praktik pinjam-meminjam uang dan Allah menetapkan hukum-hukum agar utang tersebut tidak menjadi alat penindasan bagi si pemberi atau solusi instan bagi si peminjam. Tetapi, meskipun praktik ini diperbolehkan, Alkitab juga mengajarkan agar sebisa mungkin seseorang tidak berutang. Amsal 22:7 berkata, “Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi.”

Secara tidak langsung, ketika seseorang berutang, dia memberi dirinya berada di bawah kuasa orang tersebut yang diatur dalam kesepakatan bersama. Utang adalah kewajiban yang harus dibayar kembali, jika seseorang malah melarikan diri, maka dia telah melakukan cara orang fasik seperti tertulis, “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar adalah pengasih dan pemurah” (Mazmur 37:21). Namun, jika kita memang telah memberikan pinjaman, hendaknya kita tidak menjadikan utang tersebut sebagai cara untuk menekan orang kecil dan lemah dan memerasnya (Keluaran 22:25).

2. Kenali batasan dirimu supaya kamu berani berkata tidak

Salah satu alasan yang paling sering kita kemukakan ketika tidak berani menolak adalah kita merasa gak enakan. Orang itu kan sudah baik sama kita, jadi masa kita gak tolong dia?

Meminjamkan uang diperlukan pertimbangan yang matang. Di satu sisi kita memang dipanggil untuk memerhatikan kepentingan orang lain (Filipi 2:4), tetapi di sisi lain kita juga diajak untuk memberi dengan murah hati, bukan karena paksaan (2 Korintus 9:7-8). Ketika kita diminta untuk meminjamkan, yang perlu kita selidiki adalah kemampuan kita sendiri lebih dulu. Jangan sampai demi meminjamkan seseorang sejumlah uang kita merasa dipaksa, yang berakibat kita jadi kekurangan dan malah mencari pinjaman dari orang lain demi memenuhi kebutuhan kita yang krusial.

Jika sumber daya yang kita miliki tidak mencukupi, kita dapat dengan sopan menolak permohonan tersebut. Ingatlah bahwa yang kita tolak adalah permintaannya, bukan orangnya. Kita tetap dapat mengasihi orang yang hendak meminjam tersebut dan mencari cara-cara lain untuk menolongnya.

3. Pertolongan tersedia dalam berbagai bentuk, tak melulu uang

Di zaman modern ketika segala sesuatunya membutuhkan uang, dan uang terkesan menjadi solusi pamungkas atas semua masalah. Tetapi, Tuhan dapat menolong kita lewat berbagai cara, tak melulu melalui berkat jasmani berupa uang.

Ketika seseorang hendak meminjam uang, tetapi kita sendiri tidak dapat memenuhi permintaannya, kita dapat dengan sopan menolak sembari menawarkan diri mengenai alternatif bantuan apa yang dapat kita berikan. Semisal, ketika seorang teman kuliah membutuhkan sejumlah uang untuk membayar tunggakan semesterannya, kita bisa mendampinginya untuk belajar lebih keras sembari mencari-cari beasiswa. Cara ini memang tidak praktis dan butuh waktu lama untuk melihat hasilnya. Tetapi, jika kita bersedia melakukan ini dengan setia (dan orang tersebut bersedia ditolong), kita sedang menolong orang tersebut untuk berdaya dan survive tak hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depannya.

4. Selalu mengiyakan tidak menjadikan seseorang bertumbuh

Memberi pada dasarnya adalah hal yang baik, tetapi jika kita tidak bijaksana, hal ini dapat menjadi celah yang dimanfaatkan seseorang untuk tidak berusaha lebih. Seperti disebutkan dalam poin pertama, meskipun Alkitab tidak melarang praktik berutang, tetapi Alkitab menganjurkan agar kita tidak berutang. Utang bukanlah solusi pertama dari setiap permasalahan finansial seseorang.

2 Tesalonika 3:10 berkata, “…jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Ayat ini ditulis Paulus memang bukan dalam konteks spesifik tentang utang-piutang, tetapi sebagai penekanan bahwa kemalasan bukanlah sifat yang berkenan bagi Tuhan. Ketika seseorang menjadikan utang sebagai langkah pertama, bisa jadi dia sedang terjebak dalam kemalasan yang dia sendiri tidak sadari. Penolakan yang kita berikan kepada orang-orang seperti ini bukan berarti kita pelit atau tidak peduli, tetapi sebagai langkah sederhana kita menunjukkan disiplin kepadanya.

5. Doakan dan tetaplah bersikap murah hati

Tidak dapat memenuhi permintaan tolong dari seseorang bukan berarti kita tidak memerhatikannya. Doakanlah dia beserta pergumulan yang tengah dihadapinya. Mendoakan seseorang berarti kita peduli dan memohonkan agar kuasa Tuhan dinyatakan dalam hidupnya.

Kita juga dapat berdoa agar Tuhan selalu mengaruniakan kita kemurahan hati. Meskipun pada kali ini kita tidak dapat menolong orang lain sesuai permohonannya, tetapi sikap murah hati memampukan kita untuk tetap peduli dengannya. Kepedulian kita kepada sesama bukanlah tindakan untuk menyenangkan hati orang lain atau sebagai ajang memamerkan kebaikan diri, tetapi bentuk kasih kita kepada Allah yang memerintahkan kita untuk saling mengasihi (Filipi 2:3-4).

Jika kamu sedang berada di posisi kesulitan keuangan sehingga hendak meminjam uang, atau jika kamu sedang menghadapi seseorang yang hendak meminjam kepadamu, kiranya damai sejahtera dan hikmat surgawi memampukanmu untuk bertindak dengan bijaksana.

Mengapa Kita Begitu Menggandrungi Serial Squid Game

Oleh Rebecca Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We’re Hooked up on Squid Game

Bayangkanlah begini: setelah bertahun-tahun berjuang, kamu malah jatuh ke dasar jurang. Ketika keadaan tak lagi menyuguhkanmu jalan keluar, tiba-tiba ada orang asing yang menawarimu kesempatan sekali seumur hidup untuk memenangkan satu truk yang isinya penuh uang 

Yang perlu kamu lakukan cuma satu: ikut serta di serial permainan. 

Kira-kira apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu memilih untuk hidup dalam rasa malu dan derita karena dijerat utang, melarikan diri dari satu tempat ke tempat lain, atau ambil kesempatan itu supaya bisa merdeka dari krisis finansial, sekalipun risikonya besar sekali? 

Itulah pertanyaan yang menjadi dasar di balik Squid Game, serial drama Korea di Netflix, yang seketika menjadi booming di lebih dari 90 negara pasca dirilis dua minggu lalu. Sekarang serial ini sedang otw untuk jadi tayangan Netflix yang paling banyak ditonton. 

Seperti 45,6 juta orang penontonnya, aku pun tak tahan untuk tidak menonton. Drama yang mengisahkan petualangan bertahan hidup, seperti The Hunger Games, dan lain-lain sebenarnya bukanlah genre film yang kusukai. 

Tapi, setelah melihat banyak meme beredar di medsos, aku jadi penasaran dan menonton film ini meskipun teman-temanku memperingati kalau di dalamnya akan ada banyak adegan berdarah-darah, kejam, dan bisa saja membuatku mimpi buruk. 

Apa itu Squid Game 

Squid Game berangkat dari gagasan sederhana: 456 orang yang telah putus asa diundang untuk ikut serta dalam pertandingan yang diselenggarakan di pulau terpencil. Mereka akan mendapat kesempatan untuk memenangkan hadiah utama senilai 45,6 milyar Won. 

Selama turnamen berlangsung, mereka harus berpartisipasi di enam permainan yang terinspirasi dari permainan tradisional anak-anak Korea dalam berbagai format: ada yang mainnya sendiri-sendiri, berpasangan, atau berkelompok. Sekali mereka memilih ikut serta, mereka harus berpartisipasi di setiap permainan dan hanya boleh keluar kalau mayoritas memilih untuk menghentikan pertandingan. 

Tapi, di situlah gagasan sederhana itu berakhir. Setiap peserta tidak tahu permainan seperti apa yang akan mereka mainkan, bagaimana memainkannya, dan yang paling penting, mereka tak tahu kalau mereka sungguhan akan dieliminasi (contoh: ditembak mati) kalau mereka gagal di setiap ronde. Ditambah lagi ada tekanan berupa batasan waktu dan permainan psikologis. Mereka harus bekerja sama, atau saling beradu dengan orang yang paling mereka percaya. Dari adegan-adegan ini kita melihat perwujudan terbaik dan terburuk dari kemanusiaan ketika masing-masing pemain berlomba untuk saling mengecoh demi bertahan dalam kompetisi dan memenangkan hadiah utama. 

Cukuplah untuk mengatakan kalau pertandingan ini brutal, menakutkan, dan mengerikan.

Dalam 9 episodenya, kita melihat gambaran yang suram tapi sangat realistis tentang seperti apakah dunia saat kita sendiri yang menjalaninya dan setiap orang melakukan apa yang benar menurut mata mereka sendiri. Kita melihat yang kaya mengeksploitasi yang miskin karena bosan, teman mengkhianati teman, dan orang-orang yang putus asa melakukan pembunuhan demi mempertahankan diri. 

Tapi, di saat yang sama, pertandingan ini tak cuma tentang pembantaian dan korupsi. Di antara adegan-adegan mengerikan ini, ada momen-momen yang menggugah pikiran, cerita yang indah, serta muncul penggambaran akan kebaikan dan kerapuhan di antara para karakternya. Inilah faktor yang menegaskan kenapa Squid Game berhasil membuat kita menggandrunginya.

via GIPHY

Squid game menunjukkan kita tak jauh berbeda dengan para pemain

Melihat para pemain ini saling memperlakukan, menilai situasi, dan menyusun strategi, kusadari kalau seandainya aku terjebak dalam situasi yang sama, aku dan orang-orang di sekitarku mungkin akan melakukan cara yang sama: Apakah orang ini akan membantuku atau menjatuhkanku? Siapa orang terkuat yang bisa kudekati? Hal terlemah apa yang harus kuhindari?

Sebagian besar ketegangan di drama ini datang dari pertarungan mental yang terus-menerus untuk mencari tahu dengan siapa kamu harus percaya dan membentuk tim—dan tidak tahu bagaimana sistem permainan itu akan membuat mereka malah melawanmu. Dan, saat hadiah uang bertambah setiap kali satu pemain tereliminasi, tidaklah sulit untuk melihat mengapa tiap pemain akhirnya melakukan hal-hal yang tak masuk akal demi bertahan hidup. 

Kulihat cerminan diriku dalam berbagai karakter pemain itu. “Apakah aku juga bersalah karena menilai orang lain berdasarkan standarku sendiri tentang apa yang baik? Bagaimana aku memperlakukan orang lain yang kuanggap ‘lebih lemah’ dariku?

Squid game menunjukkan hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan

Seperti kenyataan hidup bahwa tak selalu yang terkuat atau yang terpintar yang akan jadi terdepan, Squid Game menyuguhkan pada kita tentang apa yang sebenarnya paling penting dalam permainan ini. Biasanya kartu truf tidak dimenangkan oleh orang yang punya pengalaman masa lalu, punya kemampuan untuk menghitung kemungkinan menang, atau pengetahuan mereka, tapi dari kekuatan yang tersembunyi dari mereka yang sering diabaikan, disingkirkan, atau dihina. 

Squid Game membawa kita bertemu muka dengan muda dengan batasan dari pengetahuan kita, membuktikan bahwa tak peduli seberapa baik strategi kita, seberapa cemerlang ide kita, atau seberapa kuat tim kita, selalu ada elemen ketidakpastian yang kita sendiri tak tahu. 

Kudapati diriku bertanya-tanya, apakah aku selama ini mengandalkan diriku sendiri? Seberapa sering kupikir aku sendiri mampu menyelesaikan segalanya?

Squid game menunjukkan betapa mudahnya kita tergoda dosa 

Mungkin salah satu alasan kenapa Squid Game digandrungi seisi dunia adalah karena film ini mengisi kekosongan, rasa gelisah yang kita semua rasakan karena pademi yang membuat kita bosan. Sebaliknya, Squid game menarik kita ke dunia fantasi di mana kita dijanjikan oleh pesta visual yang ceria, aksi tanpa henti, dan sensasi yang membuat jantung berdebar. 

Bagiku, garis antara fantasi dan realita masih terlihat jelas sampai di episode ketika para VIP (atau mungkin sponsor) di balik permainan ini ditampilkan. Momen ketika kamera menyorot mereka menonton permainan dimainkan, membuatku sadar sebagai penonton kalau aku juga berperan di posisi yang sama seperti VIP. 

Meskipun awalnya aku enggan menonton drama yang berdarah-darah, tapi rasanya aku tak bisa menghentikan tiap episodenya. Film ini tidak membuatku ketagihan ataupun menghibur karena melihat orang lain menderita, dan sejujurnya tidak sulit untuk menebak siapa yang akan jadi pemenang terakhirnya. Tapi, yang membuatku tetap duduk di depan layar menonton ini adalah aku ingin mencari tahu bagaimana setiap pemain mengalahkan rintangan dan sampai di titik akhir. 

Ketika para pemain melihat satu per satu rekannya mati dan berhenti saling menjaga demi bertahan hidup, aku melihat perubahan yang sama dalam sikapku menonton: ketika awal-awal kudengar senjata diledakkan, aku menutup mataku, tak mampu melihat adegan darah dan kekerasan itu. Namun, begitu faktor kejutan itu hilang, aku jadi tak takut lagi dengan kematian dan darah yang menggumpal di tanah. Kengerian itu tak lagi mempengaruhiku, aku hanya ingin tahu jawaban dari pertanyaanku: siapa dalang dari balik semua ini? Apakah benar pemenang akan dapat uang? Siapa orang di balik topeng yang menembaki orang-orang itu?

Aku bertanya-tanya: mengapa menonton adegan jahat itu membuatku ketagihan, terutama ketika disorot dari sudut pandang yang menarik, atau dihiasi dengan estetika yang memanjakan mata? Apakah kita sedang mengembangkan suatu kultur yang menormalkan praktik kekerasan?

Itu semua membuka mataku, betapa mudahnya kita orang-orang Kristen tergoda. Faktanya, ketika aku mengevaluasi kenapa akhirnya aku menonton drama ini, aku sadar kalau aku mengizinkan cara pikirku dibentuk oleh dunia di sekitarku alih-alih oleh apa yang Alkitab katakan sebagai hal yang benar, adil, murni (Filipi 4:8). 

Dan dari situlah aku mulai mengerti makna dari peringatan Paulus kepada kita untuk “tidak menjadi sama dengan dunia ini, tetapi berubah oleh pembaharuan budi” (Roma 12:2a). 

Mengerikan rasanya melihat betapa mudahnya garis antara apa yang baik dan layak menjadi samar ketika kita membenamkan diri kita pada pandangan dunia. 

via GIPHY

Jadi, haruskah kita menonton Squid Game?

Kalau kamu belum menonton serial ini sama sekali, mungkin kamu bertanya-tanya, “Haruskah aku nonton?” Atau mungkin, kamu itu sepertiku, ikut-ikutan nonton lalu merasakan konflik batin atau malah merasa ‘kosong’ pada akhirnya.

Mungkin pertanyaan intinya bukanlah tentang apakah boleh atau tidak kita menonton tayangan yang penuh kekerasan, tapi saat kita menonton tayangan seperti Squid Game, kita perlu menanyakan pada diri kita sendiri bagaimanakah film yang kita tonton akan mempengaruhi jiwa kita dan cara pandang kita melampaui apa yang disajikan di layar. Bagaimana kita dapat melihat kesakitan yang tersembunyi yang sejatinya ada di sekitar kita? 

Apakah kita, seperti para pemain di Squid Game, terperangkap di siklus tak berujung untuk mengejar egoisme dan tujuan yang tak berarti? Apakah kita peka terhadap pergumulan dari orang lain yang seringkali tersamarkan di balik senyuman tipis atau pakaian bagus? Atau, apakah kita sendiri bergumul dengan dosa rahasia dan kebencian yang berkecamuk dalam pikiran? 

Kebenarannya adalah kita semua tidak membutuhkan drama Korea seperti Squid Game untuk menunjukkan pada kita betapa keras dan susahnya hidup serta bobroknya hati manusia. Kita tak butuh melihat kebrutalan itu disajikan di layar untuk mengetahui kalau kita sedang hidup di dunia yang dipenuhi kejahatan, ketamakan, dan pengkhianatan—dan betapa kita membutuhkan penebusan dan penyelamatan. 

Di dalam dunia di mana kita bersaing satu sama lain dan mengukur nilai diri kita berdasarkan seberapa banyak yang mampu kita raih, siapa yang kita kenal, berapa banyak yang kita miliki, bukankah suatu keindahan untuk mengetahui bahwa kasih karunia Tuhan kita tidak bergantung pada diri kita sendiri? Ini bukanlah pilihan antara dua situasi yang mustahil. Kita tidak harus melompati jembatan kaca, atau memenangkan kompetisi mahasulit untuk meraih kasih dan penebusan itu. 

Itulah hadiah terbesar yang memberikan pada kita harapan dan kebebasan yang sejati, dan setiap orang dapat menerimanya tak peduli apa pun kesalahannya di masa lalu. 

 

*Tangkapan layar diambil dari: Netflix.