Posts

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Oleh Aryanto Wijaya

Kemarin (14/6), ungkapan bahagia muncul di beberapa Instagram story teman-temanku. Mereka lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Tak ketinggalan, sekolah yang menjadi almamaterku juga membuat postingan yang berisi ucapan selamat atas siswa-siswinya yang berhasil menembus seleksi akbar tersebut.

Tatkala teman-teman yang berhasil menumpahkan haru bahagianya, ada pula teman-teman yang gagal dalam seleksi tersebut. Beberapa sanggup berlapang dada, tapi beberapa lainnya kecewa dan memilih untuk menyembunyikan diri untuk sejenak.

Euforia yang bercampur aduk dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri—was-was, takut, kecewa, senang, atau sedih—juga pernah kualami ketika aku jadi siswa SMA. Aku yang belajar di sekolah swasta pernah punya semangat membara untuk masuk ke perguruan tinggi negeri favorit. Semangat itu mewujud dalam upaya belajar pantang lelah, ikut bimbel yang konon katanya menambah peluang bisa diterima, dan lain-lainnya. Tapi, jalan hidupku pada akhirnya tidak mengantarku studi ke kampus negeri yang kudambakan. Aku kuliah di kampus swasta dan bekerja pula di sektor swasta sampai detik ini.

Namun, hal yang menarik dari impian yang gagal terwujud itu ialah, jalan hidup kita terlalu panjang untuk didefinisikan hanya oleh satu pertandingan. Bayangkanlah kamu diberi Tuhan usia selama 70 tahun. Apakah perjalanan hidup di seluruh usia tersebut suram hanya karena kegagalan di satu babak pada usia 18 tahun? Jika 70 dikurangi 18, maka ada sisa waktu sepanjang 52 tahun, waktu yang panjang untuk kita isi dengan banyak hal yang berarti.

Ada satu kisah menarik dari Alkitab yang pesannya tetap bergema dan relevan bagi kita di masa kini, meskipun memang kisah ini tidak bicara spesifik tentang gagal ujian masuk kuliah karena toh pada zaman Alkitab belum ada institusi perguruan tinggi.

Kita ingat dengan kisah Yusuf yang hidupnya dipenuhi kemalangan karena rasa iri hati saudara-saudaranya. Yusuf dilemparkan ke dalam sumur dan dijual kepada orang Mesir. Seorang anak yang paling disayang oleh ayahnya dipisahkan secara paksa. Jika kita membayangkan ada di posisi Yusuf, sangatlah pedih tentu hati ini. Bertahun-tahun setelah terusir dari keluarganya sendiri, Yusuf bekerja di rumah Potifar lalu dijebloskan ke penjara karena menolak ajakan bersetubuh dari istri sang tuan rumah. Dari kacamata manusia, kita melihat ini sebagai kemalangan yang bertubi-tubi bagi Yusuf.

Namun, ada hal yang menarik yang bisa kita cermati. Kejadian 39:21 menulis demikian:

“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya…”

Kalimat “Tuhan menyertai” ini muncul di tengah kemalangan berat yang Yusuf hadapi. Tak hanya tertulis satu kali, pada ayat-ayat lainnya (Kej 39 ayat 2, 21, 23) juga tertulis demikian.

Hidup di dunia ini menawarkan kejutan demi kejutan, termasuk kegagalan, jadi anggaplah sebagai keindahan hidup yang harus kita nikmati ketika kita menghadapi kegagalan. Dengan begitu hidup menjadi tidak membosankan, kita tidak harus seperti robot yang harus selalu sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Bukankah hanya orang mati yang tidak akan pernah gagal? Karena ia tidak mencoba untuk melakukan apapun dan tidak menjadi apapun. Jadi kalau kita berkeinginan untuk tidak pernah gagal, kita sama saja dengan orang mati. Oleh karena itu, kegagalan yang kita alami hari ini sesederhana menunjukkan bahwa kita sedang berproses dalam hidup.

Ketika kegagalan menghadang, kita mungkin berpikir bahwa itu dihadirkan Allah sebagai hukuman atas perbuatan kita. Tetapi, bukan soal hukuman atau tidak yang seharusnya kita pusingkan, karena kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan segala sesuatu diizinkan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Tidak masalah apabila ada di antara kita yang ingin meluangkan waktu-waktunya sejenak untuk meratap dan kecewa atas kegagalan masuk di perguruan tinggi negeri, tetapi kembalilah tenang dan ingat bahwa dalam gagal atau berhasil, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Gagal dalam masuk perguruan tinggi tidak mutlak karena kita kurang berusaha atau bodoh, karena perguruan tinggi negeri diminati oleh ratusan ribu hingga jutaan siswa, sedangkan kuota yang tersedia tidak sepadan dengan tingginya peminat. Alhasil, tentu ada orang-orang yang harus tersingkir dari kompetisi ini.

Janganlah kiranya kamu berkecil hati dan padam semangatmu. Kegagalan adalah bagian yang tak terelakkan dalam kehidupan. Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk yang lain. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Teruntuk teman-teman yang gagal, damai dan ketenangan dari Tuhan kiranya mendekapmu dengan hangat agar esok kamu bisa bangkit kembali dan menikmati perjalananmu bersama Tuhan, sang penulis hidup.

Baca Juga:

Lebar atau Sempit: Mana yang Kau Pilih?

Jalan lebar dan sempit sering dianalogikan sebagai dua sikap dalam mengikut Yesus. Ketika kita harus memilih salah satu dari dua jalan ini, apa sih yang seharusnya kita ketahui dari keduanya?

Tuhan, Mengapa Engkau Mengirimku Ke Padang Gurun?

Oleh Marcella Leticia Salim, Bekasi

Bekasi, Juli 2015

Pengumuman SBMPTN dan Ujian Mandiri diumumkan. Hampir rata-rata teman-temanku diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang diinginkan. Saat itu hanya aku sendiri yang tidak diterima di PTN. Sangat sedih mengucapkan selamat tinggal kepada impian dan jurusan yang diinginkan saat itu.

Akhirnya dengan berat hati harus melanjutkan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan dengan jurusan yang tidak diinginkan pula. Aku tidak peduli akan kuliah walaupun seharusnya aku bersyukur masih bisa berkuliah.

“Tuhan, kenapa aku harus ke tempat ini?”

Sepertinya Tuhan hanya diam dan tidak mendengar umat-Nya ini. Ia seolah membiarkan apa yang terjadi kepadaku. Aku gagal di beberapa mata kuliah karena tidak bisa menguasainya. Sebagai orang yang memiliki kekurangan di bidang eksak namun “terpaksa” berkuliah di bidang eksak rasanya aku ini seperti “cari mati”. Perkuliahan yang kujalani rasanya seperti perjalanan di padang gurun. Melelahkan.

Keluhan demi keluhan kulontarkan kepada Tuhan. Mulai dari melihat teman yang melakukan kecurangan setiap ujian, teman kuliah yang menjatuhkan bahkan menjerumuskan, gagal di banyak mata kuliah hingga sampai di titik di mana aku ingin berhenti kuliah dan menyerah saja.

Hingga suatu hari, aku mencapai titik terendah selama berkuliah. Tepat saat itu, ada seorang teman mengajak ke acara conference oleh sebuah gereja di dekat kampus. Saat acara conference itu, ada satu ayat yang menyadarkanku bahwa saat kita berada di tempat yang tidak kita inginkan dan kita tidak mampu berbuat apa-apa, hanya Tuhan yang bisa kita andalkan.

Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. – 2 Korintus 12:9

Tuhan bisa saja memberikan jurusan dan perguruan tinggi yang aku inginkan saat itu, namun belum tentu menjamin bahwa apakah aku menjadi orang yang kuat dan lebih dewasa untuk diproses oleh-Nya. Tuhan bisa saja memberikan kemudahan, namun apakah itu menjadi jaminan bahwa aku akan semakin percaya dan mengandalkan Ia di saat susah maupun senang?

Penderitaan dan Proses-Nya

Waktu terus berjalan tanpa memberikan isyarat untuk berhenti. Sama seperti roda yang terus berputar kadang berada di atas dan kadang berada di bawah. Sakit, perih, dan berat. Perasaan itu awalnya sering kurasakan, aku pun menangis. Namun, lama-kelamaan aku menjadi kebal menghadapi apa yang di depan mataku: perkuliahan yang sebenarnya bukanlah dambaanku.

Melalui penderitaan, Tuhan mengujiku agar aku menjadi seorang pribadi yang lebih kuat dan mengandalkan-Nya di segala situasi. Sebagai orang yang cenderung terbiasa menggunakan rasio (logika) daripada perasaan, itu adalah hal yang sulit untuk berpasrah dan untuk percaya saja tanpa alasan. Namun, hal itu membuatku berproses untuk menjadi pribadi yang senantiasa mengandalkan Dia di setiap waktu.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya” (1 Korintus 10:13).

Dalam menjalankan perkuliahanku, aku disadarkan oleh Tuhan bahwa kuliahku sebenarnya bisa aku lalui, walaupun rumit. Namun, aku selalu lupa untuk berpegang teguh dan percaya kepada Tuhan. Aku disadarkan betul bahwa aku selalu mengandalkan kekuatanku sendiri bukan mengandalkan Dia. Melalui ketidakberdayaanku dan di kondisi serba mentok, aku mengubah doaku dari yang awalnya ingin cepat-cepat selesai saja dari perkuliahan menjadi supaya aku dimampukan menjalani setiap situasi selama aku berkuliah. Selain itu, aku belajar untuk memiliki pola pikir bahwa segala sesuatu itu tidak ada yang mustahil selama kita bersama Tuhan dengan cara kita semakin intim dengan Tuhan.

Aku percaya bahwa ketika kita ditempatkan di jurusan yang kita tidak bisa atau tidak suka bukan berarti itu adalah akhir dari hidup kita. Tuhan sudah merencanakan semuanya itu dan kita ditempatkan di sana untuk berkarya dan memuliakan nama-Nya seperti di yang Paulus tuliskan dalam Kolose 3:23, “Pekerjaan apa saja yang diberikan kepadamu, hendaklah kalian mengerjakannya dengan sepenuh hati, seolah-olah Tuhanlah yang kalian layani, dan bukan hanya manusia” (versi BIMK).

Pada akhirnya juga, semua yang kita kerjakan adalah bentuk pelayanan kita di dunia untuk memuliakan nama Tuhan termasuk berkuliah. Memang kuliahnya bukan di jurusan yang kita tidak inginkan dan kita sukai tapi tetap jalankan itu, seperti kata salah seorang teman saya “semua orang berhak memiliki pendidikan yang layak, namun tidak semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan itu”

Pada akhirnya, syukur kuucapkan

Sepanjang masa-masa kuliahku, Tuhan tak hanya menunjukkan kuasa-Nya. Dia juga menunjukkan kesetiaan-Nya bagiku dan tak pernah meninggalkanku. Ketika kita menjadi pengikut Kristus, itu bukan berarti hidup kita akan terbebas dari penderitaan dan pencobaan. Kedua hal itu dapat dipakai Tuhan untuk membentuk kita, seperti seorang penjunan yang membentuk bejana. Tuhan tak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita. Dia tahu sampai mana batas kekuatan kita. Kasih setia-Nyalah yang memampukan kita melewati penderitaan dan membuat kita menjadi seorang yang lebih baik.

Sekarang sudah 5 tahun berlalu, sangat bersyukur kuucapkan kepada Tuhan atas proses yang Dia berikan kepadaku, untuk dilalui saat itu. Mengalami gagal, sedih, penderitaan adalah hal yang wajar sebagai manusia namun Tuhan menjadikan hal itu menjadi sesuatu yang menguatkanku untuk tetap hidup di saat seperti ini. Oleh kegagalan inilah aku belajar untuk menghargai proses dan senantiasa mengandalkan Dia.

Kegagalan bukan berarti hidup kita berakhir di titik itu saja, kita masih hidup sampai saat ini dan kehidupan akan terus berjalan. Menangis, kesal, merasa tidak berdaya adalah reaksi yang wajar bila kita mengalami kegagalan, namun jangan sampai kita terus-terusan dihantui perasaan itu. Percayalah ini semua adalah atas izin Tuhan, kita sebagai ciptaan-Nya tetap percaya saja pada-Nya karena Dialah Sang Sumber Pemelihara Kehidupan dan masa depan sudah disiapkan oleh-Nya.

Baca Juga:

Menang Mengatasi Kesepian

Aku butuh ditolong, tapi aku takut meminta tolong. Aku sangat kesepian, karena merasa orang-orang lain tak mampu mengertiku. Tetapi, kasih karunia Tuhan sungguh berlimpah.

Mematahkan Mitos ‘Dosen Killer’ Ala Mahasiswa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Kami menerima surat penetapan dosen yang menjadi pembimbing skripsi kami di bulan Maret dua tahun lalu. Membaca dua nama yang tertera, semangatku yang telah terkumpul menciut begitu saja. Isu yang beredar dari mahasiswa-mahasiswa lain, dua dosen pembimbing ini sulit ditemui, mereka pun ‘perfeksionis’. Kesulitan-kesulitan itu menjadi momok tersendiri bagiku.

Ketakutanku akan sulitnya bimbingan dengan kedua dosen itu kujadikan alasan untuk menunda pengerjaan skripsiku. Aku berharap keajaiban agar ada pergantian dosen. Padahal, aku tahu kalau penggantian dosen pembimbing hanya bisa terjadi untuk alasan urgen seperti musibah atau kematian. Penggalan firman Tuhan yang kuingat dari Matius 7:7-8 dan 21:22 tentang bagaimana Allah akan memberikan hal-hal yang kuminta membuatku menjadikan doa seperti jurus ‘Sim Salabim’. Tuhan kujadikan layaknya ‘kantong doraemon’ yang harus menyediakan setiap hal yang kumau. Dengan persepsi yang salah, beragam alasan juga kuajukan pada-Nya seolah aku berhak komplain dengan rencana-Nya.

Aku seperti menyerah sebelum berperang. Ketakutan menghadapi dosen pembimbing dengan label ‘killer’ tidak kualami sendiri. Ada teman seangkatan lain yang sampai mengajukan pergantian dosen ke jurusan. Ada pula yang jadi lama wisuda dan stuck di revisi. Meski memang bukan satu-satunya faktor penentu kelulusan, dosen pembimbing skripsi juga berperan dalam proses mengakhiri masa studi mahasiswa. Dosen killer dianggap sulit untuk ditemui bimbingan, penliaiannya berstandar tinggi, dan kritik sana-sini. Maka tak ayal, menghindari dosen tipe ini dianggap pilihan yang tepat.

Sebulan pun berlalu. Dosen pembimbing pertamaku meminta kami menemuinya, itu pun karena ada temanku yang berinisiatif menghubunginya duluan. Walau dengan mental tempe, kuberanikan diri mengajukan garis besar penelitianku di bimbingan pertamaku. Di luar dugaanku, dia memberi banyak masukan agar di dua minggu berikutnya judulku bisa di-acc. Anak bimbingan dosen itu hanya diberi kesempatan revisi sekali dua minggu. Pertimbangannya, dengan durasi 14 hari, perbaikan akan lebih maksimal. Kesempatan bimbingan yang terbatas juga harus dimanfaatkan agar mahasiswa tidak asal-asalan menyerahkan revisi.

Kesan pertamaku malah berbanding terbalik dengan cerita yang kudengar. Asumsi ‘killer’ yang penuh kritik tidak masuk akal ternyata tidak sepenuhnya benar. Seolah menjadi amunisi untuk semangat yang sempat menipis, aku pun menemui dosen pembimbing keduaku. Aku menceritakan ide penelitian yang akan kukerjakan. Walau sedikit berbeda dalam beberapa hal, beliau yang sudah professor sekaligus guru besar itu tidak sepenuhnya keberatan. Dengan berbagai saran perbaikan di beberapa pertemuan, judul yang kuajukan disetujui.

Meski usaha tidak selalu berbuah manis, secara perlahan aku menemukan sudut pandang baru di pengerjaan tugas akhirku. Beragam stigma negatif yang terbangun karena mendengar opini lain terkikis secara perlahan. Selain karena memang tidak ada pilihan lain, sebisa mungkin aku memenuhi corat-coret perbaikan dari keduanya. Prinsipnya, mengabaikan saran perbaikan sama saja memperpanjang masa studiku. Tentu menjadi mahasiswa abadi atau ‘dropout’ karena tugas akhir tidak diinginkan siapa pun. Namun, dengan beberapa kondisi, ada teman-teman yang harus mengalaminya.

Dengan bantuan dari mereka yang kutemui di sepanjang proses, aku belajar bahwa benar Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya (Ibrani 13:5b). Ia memakai siapa saja sesuai kehendak-Nya (Yohanes 15:16) dalam setiap kondisi (Roma 8:28). Meski terkesan sepele, namun aku merasa tertolong dengan adanya adik-adik tingkat maupun petugas kebersihan yang biasanya kutanyai tentang keberadaan dua dosenku di kampus. “Pak, ada lihat bapak ini?”, “Dek, kamu ada kelas sama Prof hari ini?”. Dua pertanyaan pamungkas untuk menjawab ketidakpastian bimbingan. Terkadang dosen itu seperti PHP (Pemberi Harapan Palsu). Meski sudah ada jadwal, janji bimbingan tidak serta-merta berjalan mulus, biasanya terjadi jika ada rapat atau agenda lain yang lebih penting.

Bertemu dengan teman seperjuangan yang seangkatan atau orang baru dengan dosen yang sama juga sangat kusyukuri. Mereka menjadi teman melewati suka-duka perjalanan skripsweet. Sharing saran perbaikan, informasi jurnal, judul buku hingga menjadi momen saling menghibur. Kadang, karena ide sudah mandek atau sembari menunggu, kami sering usil dengan guyonan lama wisuda. Tidak hanya menghibur saat bisa menertawakan kondisi, gurauan atas nama solidaritas itu ternyata bisa jadi pelecut semangat.

Pengerjaan terus berlanjut. Revisi demi revisi kukerjakan seiring dengan semangat yang kadang on dan off tidak menentu. Sepanjang proses, ada saja lega yang bisa disyukuri atau kesal berujung tangis. Hingga dinyatakan lulus memperoleh gelar sarjana, pandangan dosen ‘killer’ untuk kedua dosenku ternyata tidak sepenuhnya benar. Anggapan itu tentu kusimpulkan dari pengalamanku. Kesulitan atau situasi yang dialami teman-teman bisa saja berbeda. Untuk itu, kita perlu berhati-hati merespon stigma yang ada.

Apalagi dengan kemudahan yang diberikan kemajuan teknologi. Dampaknya dalam berbagai sendi kehidupan tidak bisa diingkari. Tidak hanya bersifat membangun, efeknya juga ada yang negatif. Salah satunya mengenai tirani opini mayoritas. Tidak hanya di dunia nyata, kini melalui media sosial pandangan yang disampaikan secara daring pun mempengaruhi keputusan seseorang. Pandangan netizen melalui like, views dan comment seakan menjadi penentu dalam berkarya. Tanpa kita sadari, kita sering bertindak dengan memperhatikan atau bahkan mengikuti pendapat orang lain. Dari urusan menentukan sekolah, jurusan, tempat kuliah, memilih pacar hingga memutuskan jalur berkarir.

Pandangan yang beredar di masyarakat tentu ada yang bersifat positif, bisa dijadikan pedoman sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, kita juga harus menyadari ada stigma yang perlu diperbaiki. Sebagai manusia, tentu kita tidak bisa membatasi opini orang lain. Pendapat mereka tidak ada dalam kendali kita. Alih-alih nekat dengan dalih ingin mematahkan ‘mitos’, kita juga perlu mendengarkan pandangan itu sebagai nasihat agar bijak mengambil keputusan (Amsal 12: 15).

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Kita Tak Bisa Memilih untuk Lahir di Keluarga Mana, Tapi Kita Bisa Memilih Berjalan Bersama-Nya

Tuhan mengirimku untuk lahir di dunia ini, di keluarga yang dirundung konflik. Mungkin sekarang aku belum tahu apa maksud Tuhan dari semua ini, namun sekelumit kesan di hari ulang tahun ini mengingatkanku bahwa dalam perjalanan hidupku, aku disertai-Nya.

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Oleh Vika Vernanda, Depok

Sebuah dokumen berisi kalender akademis baru saja dikirim oleh temanku. Salah satu poinnya menyatakan bahwa batas akhir pengumpulan tugas akhir diundur hingga akhir bulan Juli. Aku mulai menghitung waktu yang kuperlukan untuk menyelesaikan penelitian tugas akhir, hinga kudapatkan kesimpulan bahwa aku harus memulai penelitian lagi di awal bulan Mei.

Pandemi yang menjangkiti dunia dan Indonesia berdampak besar pada semua bidang, salah satunya pendidikan. Semua jenjang pendidikan melakukan sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) sehingga setiap siswa dan mahasiswa bisa tetap mengerjakan bagiannya untuk menuntut ilmu, namun penerapan PJJ menjadi kesulitan tersendiri bagi sebagian mahasiswa tingkat akhir. Mereka yang awalnya bisa melakukan penelitian langsung di laboratorium dan di lapangan, kali ini tidak bisa melakukannya. Akibatnya penulisan tugas akhir dan waktu kelulusan jadi terhambat. Aku adalah salah seorang di antara mereka.

Pengumpulan tugas akhir yang diundur merupakan kabar baik bagi beberapa temanku, namun tidak bagiku. Penelitian untuk tugas akhirku rencananya dilakukan di rumah sakit, tapi saat ini sangat berisiko untuk pergi kesana. Pihak universitas dan rumah sakit juga tidak memberikan izin untuk melakukan penelitian. Rencana penelitianku di awal bulan Mei jadi sangat tidak mungkin kulakukan. Padahal, aku sudah merencanakan dengan rapi studiku supaya aku bisa lulus tepat waktu. Sekarang, semua rencanaku terancam berantakan. Aku sangat khawatir jika aku tidak bisa lulus tepat waktu.

Ketika aku menyampaikan kekhawatiranku pada temanku, aku teringat pada firman yang dibahas dalam kelompok tumbuh bersama yang kuikuti kemarin.

Kami membahas tentang surat Paulus bagi jemaat Filipi yang berisi tentang permintaan agar sehati sepikir dalam Kristus. Pada Filipi 4:6-7 ditulis demikian:

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

David Sanford pada bukunya Journey Through Philippians, menuliskan bahwa berdoa dalam segala sesuatu dengan ucapan syukur memberikan implikasi seperti pada ayat 7, yaitu damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran kita. Damai ini hadir bukan karena kita memiliki kontrol, punya rencana, atau tahu jelas berbagai pilihan yang ada dalam hidup kita. Damai ini juga bukan merupakan sesuatu yang kita pikirkan dan kehendaki. Itu semua adalah kedamaian Allah— kedamaian yang terjadi bukan karena kita mengetahui semua hal dengan pasti sesuai rencana, namun ketika kita mempercayakan setiap hal kepada Allah.

Kalimat itu sangat menegurku. Aku tahu, mungkin sulit bagi kita untuk berpegang pada damai sejahtera Allah di tengah kondisi yang sangat tidak sesuai harapan. Banyak harapan dan rencana yang gagal akibat pandemi yang sedang kita alami bersama. Aku mengalaminya, dan untuk sesaat, itu menjauhkanku dari damai-Nya.

Menikmati firman ini membuatku tenang. Namun terkadang perasaan khawatir itu kembali muncul, dan ketika itu datang aku mencoba mengingat lagi bahwa Allah memegang masa depanku. Bagianku saat ini adalah tetap mengerjakan tugas akhir yang bisa dikerjakan dari rumah, dengan perasaan damai sejahtera karena mengetahui bahwa Allah bekerja. Terkait lulus tepat waktu, saat ini aku sudah lebih tenang jika bukan itu yang Allah mau; tapi aku percaya bahwa aku akan lulus pada waktu-Nya.

Pemahaman akan damai sejahtera Allah yang tidak kita dapatkan karena pengertian kita, mengingatkanku untuk tetap berdoa dan meyerahkan kekhawatiranku kepada-Nya. Maka, mari tetap berpengharapan dan menyandarkan kekuatan kita pada Allah, yang sudah menyiapkan rencana terbaik dalam hidup kita.

Untukmu yang juga sedang harap-harap cemas menanti kebijakan terkait tugas akhir, mari percaya bahwa Allah tetap bekerja. Bahwa di tengah kondisi yang terjadi, Allah tetap menjaga, dan itu membuat kita menikmati kedamaian dari-Nya. Lulus pada waktu-Nya juga adalah hal yang indah bukan?

Baca Juga:

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Mungkin kita pun punya pertanyaan yang sama seperti Habakuk. Apakah jawaban Tuhan terhadapnya?

Yuk baca artikel ini.

Berkat yang Kuterima dari Kegagalanku

Oleh Marion Sitanggang, Jakarta

Sejak SMP aku bercita-cita menjadi seorang Psikolog Anak. Profesi itu adalah dambaan bagiku karena aku bisa menolong para orang tua yang kesulitan menghadapi anak-anak mereka, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan psikis anak-anak yang berpengaruh terhadap masa depan mereka.

Supaya cita-cita ini terwujud, aku belajar sungguh-sungguh. Setelah lulus SMA, aku ikut seleksi di beberapa perguruan tinggi negeri, aku memilih jurusan Psikologi di setiap PTN yang kupilih. Tapi, beberapa kali ujian, semuanya gagal. Aku pun ngambek pada Tuhan. Setiap hari pertanyaan di kepalaku, “Kenapa gagal? Kenapa Tuhan kok gak kasih kesempatan itu? Tuhan kan tahu aku pengen banget, kan Tuhan juga sudah lihat usahaku yang hampir setiap hari lembur belajar? Kenapa?”

Larut dalam kecewa membuatku menyerah pada disiplin rohaniku. Aku berdoa seadanya, kalau ingat saja. Ke gereja kalau tidak sedang malas saja. Di pikiranku saat itu, terserah Tuhan saja, toh aku meminta juga Dia gak kasih.

Meski gagal masuk jurusan Psikologi, aku tetap kuliah tahun itu. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi di bawah Kementrian Perindustrian di jurusan Manajemen Bisnis. Jurusan ini kupilih ngasal saja. Yang penting saat ujian tidak ada materi fisika, jadi tentunya kupikir nanti saat kuliah tidak ada mata kuliah fisika.

Semester pertama aku kuliah tanpa semangat. Aku datang, duduk, diam, lalu pulang. Aku tidak belajar kala ujian, tidak ikut kegiatan. Aku tak peduli kuliahku benar atau tidak. Tapi, setelah ujian akhir semester pertama, IP-ku malah 3,67. Bukannya bersyukur, aku malah bertanya, “Kenapa Tuhan? Di saat aku berontak, Engkau malah memberiku sesuatu yang membuatku merasa bersalah sudah mengutuki keadaan. Tuhan, apa mau-Mu?”

Kebingungan itu mendorongku untuk mencoba berdamai dengan kenyataan. Mungkin aku memang tidak bisa kuliah di jurusan idamanku, tapi mungkin juga Tuhan ingin menunjukkan hal lain yang lebih baik. Saat itu, seniorku di kampus sering mengajakku untuk ikut persekutuan. Seniorku mengajakku bergabung dalam kelompok kecil dan aku bersedia.

Sepanjang masa-masa aku tergabung dalam persekutuan dan melayani di sana, aku tertampar oleh banyak sekali ayat-ayat Alkitab. Salah satunya dari Yesaya 55:8, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” Aku teringat bagaimana pedihnya hatiku ketika berhadapan dengan kegagalan. Di awal-awal kuliah aku masih sering menangis dan berandai jika saja aku kuliah di Psikologi. Apalagi setiap ada pengumuman masuk Perguruan Tinggi Negeri, kegagalan itu masih terbayang dan membuatku bertanya lagi pada Tuhan.

Namun seiring waktu, Tuhan nyatanya malah menyertaiku. Kisah hidupku tidak selesai ketika aku gagal, melainkan Tuhan melanjutkannya dengan penyertaan-Nya yang sempurna. Hari lewat hari aku diajar-Nya untuk berdamai dengan keadaan. Melalui doa, persekutuan, dan ibadah Minggu, pelan-pelan aku mengerti bahwa segala sesuatu pastilah terjadi dengan alasan. Aku membayangkan, jika seandainya aku sungguh mendapatkan apa yang aku mau, besar kemungkinan aku akan jadi orang yang serakah dengan segala keinginan dagingku hingga melupakan-Nya. Aku mungkin akan jadi orang yang sombong karena merasa berhasil dengan upayaku sendiri.

Tuhan sungguh baik, Dia menunjukkanku bahwa yang menjadikan hidupku baik bukanlah karena aku mendapatkan apa yang kuinginkan, melainkan karena Dia menyertaiku senantiasa. Hari-hariku melayani-Nya menjadi saat-saat penyembuhanku. Aku sadar Tuhanlah yang sepenuhnya berkuasa. Aku terlalu rakus mengejar mimpi tanpa peduli akan kehendak-Nya, tanpa melibatkan-Nya. Aku telah sombong, merencanakan segala yang baik tanpa sikap berserah.

Kisah yang awalnya gagal Tuhan rangkai dengan amat baik. Sekarang aku telah lulus dari studiku dan meraih IPK 3,74, lebih daripada yang kuminta. Sungguh Tuhan itu baik, teramat baik!

* * *

Kawanku, ceritaku ini adalah cerita tentang kekecewaanku dan bagaimana Tuhan bekerja seturut kehendak-Nya. Setiap tahun akan ada orang-orang yang gagal masuk PTN sepertiku. Aku tahu betapa sesaknya di hati, sampai kata-kata pun hilang dan hati hanya bisa bertanya, “Kenapa?”

Aku berdoa kiranya kamu yang masih bergumul dengan pedihnya kegagalan dapat bertahan melewati saat-saat tersulit sekalipun. Dan untuk kamu yang tahun ini akan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri, kiranya Tuhan beserta langkahmu.

Siapa pun kamu yang membaca tulisan ini, aku harap kiranya inilah yang jadi pengingat bagi kita semua: bahwa ketika keadaan tidak sesuai dengan rencana dan harapan kita, sekalipun kita sudah berusaha semampu kita atau bahkan lebih, pandanglah pada Yesus. Di tengah perasaan kecewa dan terpuruk, semoga kita bisa melembutkan hati, menerima keadaan, dan mencari Tuhan. Menangislah jika ingin menangis, marahlah jika ingin marah, tetapi jangan sampai menghambat dirimu untuk dituntun Tuhan.

Tuhan tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya jatuh sampai tergeletak. Tangan-Nya selalu menopang. Dia selalu ada menunggu kita untuk datang kepada-Nya.

Tuhan memberkati dan menyertai kita setiap waktu.

Dalam Kegagalanku, Rencana Tuhan Tidak Pernah Gagal

Oleh Dita Eka Octalina Napitupulu, Bekasi

Tahun 2012 merupakan tahun yang berat bagiku ketika aku dinyatakan tidak lulus di universitas negeri yang kuimpikan sejak masa SMA. Aku belum menyerah, kucoba mengikuti seleksi dari jalur lain, tapi hasilnya pun sama: gagal.

“Gagal”, kata ini hinggap di pikiranku hingga aku berpikir untuk tidak usah kuliah saja setelah SMA. Namun, keluarga dan orang-orang terdekatku tidak menyerah menyemangatiku. Aku ingat sahabatku berkata, “ke mana pun kita coba lari dari hadapan-Nya, Dia pasti akan menaruh kita di tempat yang memang sudah Dia pilih.”

Kalimat itu menegurku. Kucoba bangkit kembali dari kegagalan, merenungkan segala kebaikan Tuhan, dan bertekad untuk terus mengandalkan-Nya atas segala pencapaian dan upayaku meraih masa depan.

Ditempa di tempat lain

Singkat cerita, aku melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi swasta. Di luar dugaanku, IPK semester pertamaku hasilnya baik, tapi aku malah jadi angkuh dan berpuas diri. Akibatnya, semester dua sampai semester ke-empat, IPK-ku mengalami penurunan yang signifikan. Aku takut, tapi juga sadar bahwa Tuhan telah memberikanku hikmat, tetapi aku malah menyalahgunakannya. Alih-alih tekun belajar dan bersyukur, aku malah sombong dan tidak mengandalkan Tuhan. Setelah semester empat, aku memperbaiki diriku dengan tekun belajar dan bertekad untuk terus mengandalkan Tuhan.

Di semester lima, aku merasa kemampuan studiku cukup baik. Aku pun mendaftarkan diri untuk menjadi asisten lab. Aku cukup percaya diri bisa diterima, tapi di tahapan wawancara akhir aku malah gagal. Aku tidak mau menyerah. Lowongan asisten lab yang kedua dibuka dan aku pun mendaftar lagi. Aku berdoa, belajar lebih sungguh. Namun, setelah ujian tertulis dan wawancara yang dilakukan dalam satu hari bersamaan, aku harus menerima kenyataan kembali bahwa aku “Tidak Lulus”.

“Oh Tuhan,” sebutku dalam hati. Apalagi ini? Dalam hatiku timbul kekecewaan besar. “Kenapa Tuhan aku harus gagal lagi? Sekarang aku sudah di kampus swasta, lantas kenapa aku harus kecewa lagi?” Kenapa? Kenapa? Kenapa?”

Dalam kekecewaanku, aku merasakan suara dalam hatiku berbisik, “Apa yang sedang kamu cari, Nak? Bukankah Aku sudah cukup bagimu? Hanya tinggal kamu percaya saja dengan-Ku.” Aku terdiam.

Lowongan asisten lab dibuka untuk ketiga kalinya. Di kampusku ada berbagai divisi dan beragam mata kuliah, sehingga ada banyak lowongan asisten lab yang dibuka. Aku tidak berniat untuk mendaftar lagi, tapi orang terdekatku bilang, “Coba saja ikut, sekali lagi saja, biar tiga kali.”

Aku memutuskan untuk ikut seleksi kembali, tapi aku berdoa bukan supaya aku diterima, melainkan supaya kehendak Tuhan saja yang terjadi. Kumantapkan motivasiku, bahwasannya aku mengikuti seleksi ini karena aku ingin Tuhan dimuliakan lewat apa pun yang kukerjakan.

Tahap demi tahap kulakukan, hingga akhirnya aku tiba pada tahapan wawancara akhir. Ketika hasilnya diumumkan, aku lulus menjadi seorang aslab! Puji Tuhan! Air mataku menetes saat itu.

Peristiwa gagal dan diterimanya aku menjadi aslab mungkin hal yang biasa dalam dinamika perkuliahan, tetapi bagiku pengalaman itu menjadi suatu momen yang mempererat relasiku pada Tuhan. Bukan semata-mata karena aku diberi-Nya keberhasilan pada seleksi ketiga, melainkan karena Tuhan senantiasa menyertaiku baik kala aku senang maupun aku susah. Tuhan terus memampukanku menyelesaikan studiku hingga akhirnya aku dapat lulus dengan predikat cum laude pada tahun 2016 dengan tepat waktu. Semuanya terjadi atas perkenanan Tuhan.

Seringkali kita mungkin tidak mengerti akan apa yang Tuhan inginkan atas hidup kita, bagaimana rancangan-Nya, dan kegagalan apa yang kelak akan kita alami. Terlepas dari berbagai kekhawatiran, Tuhanlah yang memampukan kita dan Tuhan jugalah yang menjamin masa depan setiap kita. Kuncinya hanya satu: percaya dan selalu mengandalkan-Nya. Tuhan sanggup bekerja dengan luar biasa dalam hidup kita.

Baca Juga:

Tak Cuma Sungai, Hati Kita Pun Perlu Dinormalisasi

“Kita sering mendengar kata “hati” dalam khotbah-khotbah di mimbar gereja. Kita juga tak asing dengan pernyataan, “Tuhan Yesus ada di hatiku.” Saking seringnya kita mendengar kalimat itu, mungkin kita pun mengira bahwa di Alkitab ada banyak ayat yang berkata, “Tuhan Yesus ada di hatiku.”

Padahal, jika dicermati, hanya ada satu bagian dalam Alkitab yang secara khusus merujuk pada kalimat Yesus hidup dalam hati seseorang.”