Posts

Bagaimana Menikmati Harta Benda

Kamis, 28 November 2013

Bagaimana Menikmati Harta Benda

Baca: Pengkhotbah 5:12-19

Setiap orang . . . menerima bahagiannya, dan untuk bersukacita dalam jerih payahnya—juga itupun karunia Allah. —Pengkhotbah 5:18

Dalam bukunya Daring To Draw Near (Berani Mendekat), Dr. John White menulis bahwa beberapa tahun sebelumnya Allah telah memberinya kesanggupan untuk memiliki sebuah rumah indah dengan banyak harta benda yang mewah. Ia mengaku bahwa memiliki rumah tersebut membuat perasaannya naik-turun secara drastis.

Ketika ia mengingatkan dirinya bahwa semua itu merupakan pemberian dari tangan Allah yang penuh kasih, ia merasa sangat bersukacita dan penuh syukur. Namun ketika ia mulai membandingkan rumahnya dengan milik teman-temannya, ia berbangga diri karena memiliki rumah seindah itu dan sukacitanya pun lenyap. Akhirnya rumah itu dirasakannya sebagai beban. Yang dapat dilihatnya hanyalah banyaknya pagar tanaman dan pepohonan yang harus dirawat dan berbagai perawatan rumah yang tiada habisnya. White berkata, “Sementara kesombongan mengaburkan pandanganku dan membebani hatiku, rasa syukur mencerahkan penglihatanku dan meringankan bebanku.”

Penulis kitab Pengkhotbah melihat kehadiran Allah dalam setiap kenikmatan yang diperolehnya dari harta benda. Kekuatan untuk menikmati hasil jerih payah kita, bahkan kekuatan untuk menerima dan bersukacita di dalamnya, berasal dari Allah (5:17-18).

Seluruh hidup kita, dari lahir hingga ajal, adalah anugerah Allah yang tiada hentinya diberikan kepada kita. Kita tidak layak menerima apa pun. Dia tak berutang apa pun kepada kita, namun Dia memberikan segalanya untuk kita. Jika kita mengingat ini, kita tidak perlu merasa telah bersikap egois atau merasa bersalah. Berkat harta benda apa pun yang kita miliki adalah karunia Allah kita yang Maha Pemurah. —DJD

Untuk puluhan ribu karunia indah
Kunaikkan syukur setiap harinya;
Hati yang gembira pun tak ketinggalan,
Bersukacita menikmati karunia itu. —Addison

Allah yang telah memberi kita begitu banyak juga mengaruniai kita hati yang penuh syukur. —Herbert

Terlalu Diberkati

Rabu, 24 Juli 2013

Terlalu Diberkati

Baca: Mazmur 107:1-8

Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia. —Mazmur 107:8

Saat berkendara setiap harinya dari rumah ke kantor dan sebaliknya, saya punya banyak waktu untuk membaca—membaca stiker mobil maksudnya. Ada stiker yang isinya tidak sopan, sementara yang lainnya kedengaran cerdas, dan masih banyak lainnya yang pesannya tidak enak untuk dibaca. Meski demikian, salah satu stiker yang saya lihat baru-baru ini ternyata menantang saya secara halus untuk memikirkan cara saya memandang hidup ini. Stiker itu bertuliskan, “Terlalu diberkati untuk mengeluh.”

Harus saya akui bahwa saya merasa tertegur sembari merenungkan kata-kata itu. Saya begitu sering meratapi momen-momen di dalam hidup yang tidak terjadi sesuai dengan kehendak saya, daripada memusatkan perhatian saya pada berkat-berkat luar biasa yang telah diberikan Bapa surgawi kepada saya. Setelah membaca pesan singkat di stiker itu, saya memperbarui tekad saya untuk lebih aktif dan bersungguh-sungguh bersyukur karena Allah telah begitu baik kepada saya lebih dari yang bisa saya perhitungkan.

Mazmur 107 adalah sebuah nyanyian yang berupaya mengoreksi pemikiran orang yang enggan bersyukur. Sang pemazmur (banyak yang menganggapnya sebagai Raja Daud) sampai empat kali menegur hati orang-orang yang telah dingin dan enggan berterima kasih, “Biarlah mereka bersyukur kepada TUHAN karena kasih setia-Nya, karena perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib terhadap anak-anak manusia” (ay.8,15,21,31). Bahkan dalam masa-masa tersulit sekalipun, kita punya banyak alasan untuk bersyukur. Kiranya kita belajar bersyukur kepada Allah atas kebaikan-Nya bagi kita! —WEC

Berkat Tuhan, mari hitunglah,
Kau ‘kan kagum oleh kasih-Nya.
Berkat Tuhan, mari hitunglah,
Kau niscaya kagum oleh kasih-Nya. —Oatman
(Kidung Jemaat, No. 439)

Kita tidak perlu menerima lebih banyak supaya bisa bersyukur. Kita hanya perlu lebih banyak bersyukur.

Jangan Lupa

Jumat, 19 Juli 2013

Jangan Lupa

Baca: Ulangan 8:7-18

Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu. —Ulangan 8:11

Saya tidak setuju dengan mereka yang mencemooh harta benda dan mengatakan bahwa memiliki harta benda itu pada hakekatnya jahat. Saya pun harus mengakui bahwa saya adalah seorang konsumen—artinya saya sering tergoda untuk menambah tumpukan harta saya dengan benda-benda yang saya pikir saya perlukan.

Namun saya juga menyadari bahwa salah satu bahaya memiliki banyak harta adalah hal itu bisa menyeret seseorang pada kesesatan rohani. Dengan semakin banyaknya harta yang kita miliki dan semakin kuatnya perasaan seolah-olah kita telah memiliki segala yang kita perlukan, kita akan semakin terdorong untuk melupakan kebutuhan akan Allah dan bahkan kerinduan kita akan diri-Nya. Namun ironisnya, segala sesuatu yang kita miliki itu sepenuhnya datang dari Allah, yang “memberikan kepada kita segala sesuatu untuk dinikmati” (1Tim. 6:17).

Sayangnya, kesenangan kita dalam menikmati pemeliharaan Allah bisa membuat kita akhirnya lebih mencintai pemberian-Nya dan melupakan Sang Pemberi. Inilah alasan mengapa ketika Allah bersiap-siap memberi umat-Nya hidup yang berkelimpahan di Tanah Perjanjian yang baik dan subur itu, Dia pun memberikan peringatan, “Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu” (Ul. 8:11).

Jika Allah memperkenankan Anda menikmati kelimpahan berupa harta kekayaan, ingatlah dari mana itu berasal. Sebenarnya kita semua, yang berlimpah harta ataupun tidak, memiliki banyak alasan untuk bersyukur. Baiklah kita memperhatikan peringatan untuk tak melupakan Tuhan dan memuji Dia atas kebaikan-Nya yang berlimpah. —JMS

‘Ku memilih Yesus, bukan harta,
Dan Dia milikku melebihi semua;
‘Ku memilih Yesus, bukan ladang,
Biar tangan-Nya yang menuntunku. —Miller
(Buku Lagu Perkantas, No. 196)

Kasihilah Sang Pemberi lebih daripada pemberian-Nya!

Bersyukur Dalam SegaLa Hal

Senin, 11 Maret 2013

Bersyukur Dalam SegaLa Hal

Baca: 1 Tesalonika 5:12-22

Mengucap syukurlah dalam segala hal. —1 Tesalonika 5:18

Putri saya alergi terhadap kacang. Tingkat sensitivitasnya sedemikian akut sehingga memakan secuil biji kacang saja dapat mengancam keselamatan nyawanya. Oleh karena itu, kami memeriksa setiap label kotak makanan dengan teliti. Kami membawa alat suntik yang sudah terisi obat (untuk mengobati reaksi alergi) ke mana pun kami pergi. Dan pada saat makan di luar, biasanya kami menelepon dahulu dan bertanya kepada pelayan yang bertugas tentang kandungan menu makanan restoran tersebut.

Meski sudah melakukan segala pencegahan ini, saya masih merasa khawatir—untuk keselamatannya baik sekarang maupun untuk masa mendatang. Dalam situasi seperti ini saya merasa tidak mudah untuk mengucap syukur. Namun firman Tuhan menantang saya untuk: “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1Tes. 5:18). Tak ada pilihan lain. Allah menghendaki kita untuk berdoa dengan ucapan syukur ketika menghadapi masa depan yang tak pasti, ketika sedang patah hati, dan ketika masa kekurangan menimpa.

Ketika kita berada dalam kesusahan, memang sulit rasanya untuk mengucap syukur, tetapi itu tidaklah mustahil. Daniel “berdoa dan memuji Allahnya” (Dan. 6:10) ketika tahu bahwa hidupnya ada dalam bahaya. Yunus berseru “dengan ucapan syukur” (Yun. 2:9) ketika berada di perut seekor ikan besar! Teladan-teladan ini, ditambah dengan janji Allah bahwa Dia turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi kita dan untuk kemuliaan-Nya (Rm. 8:28), dapat mengilhami kita untuk bersyukur dalam segala hal. —JBS

Syukur atas bunga mawar, harum, indah tak terperi,
Syukur atas awan hitam dan mentari berseri.
Syukur atas suka-duka yang Kau beri tiap saat;
Dan firman-Mulah pelita agar kami tak sesat. —Hultman
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 133)

Dalam segala situasi, kita bisa bersyukur bahwa Allah tak pernah meninggalkan kita sendiri.

Pemberian Yang Luar Biasa

Minggu, 10 Maret 2013

Pemberian Yang Luar Biasa

Baca: Lukas 21:1-4

Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya. —Lukas 21:4

Dahulu ketika saya menggembalakan sebuah gereja kecil, kami pernah menghadapi krisis yang sangat besar. Jika tidak dapat menyelesaikan renovasi besar atas gedung gereja demi mencapai standar keamanan yang berlaku, kami akan kehilangan tempat ibadah kami. Karena terdesak oleh batas waktu untuk melunasi renovasi ini, kami pun mengadakan penggalangan dana. Namun dari seluruh persembahan yang dikumpulkan, ada satu pemberian yang menarik perhatian kami sebagai pemimpin gereja.

Seorang jemaat wanita berusia lanjut mempersembahkan beberapa ratus dolar untuk proyek ini—uang yang kami tahu sangat dibutuhkan olehnya. Kami berterima kasih untuk pemberiannya itu. Namun kami berniat untuk mengembalikannya karena merasa bahwa ia jauh lebih membutuhkan uang itu. Akan tetapi, ia menolak untuk menerima uang itu kembali. Ia telah menabung selama bertahun-tahun untuk membeli sebuah kompor gas dan sementara ini ia memasak dengan menggunakan panci pemanas. Meski demikian, ia bersikeras mengatakan bahwa ia lebih membutuhkan tempat untuk beribadah bersama jemaat yang lain daripada sebuah kompor. Kami begitu kagum dengan pemberiannya yang luar biasa.

Ketika Tuhan kita memperhatikan seorang janda yang memasukkan dua peser (nilai koin yang paling kecil) ke dalam peti persembahan, Dia memuji janda tersebut atas pemberiannya yang luar biasa (Luk. 21:3-4). Mengapa? Bukan karena jumlah yang ia berikan, tetapi karena ia memberikan semua yang dimilikinya. Ini adalah pemberian yang tidak saja menghormati Allah kita, tetapi juga mengingatkan kita akan pemberian-Nya yang paling luar biasa bagi kita, yaitu Kristus. —WEC

Apa yang dapat kuberi kepada-Nya, aku yang papa?
Jika aku gembala, akan kuberi seekor domba;
Jika aku bijaksana, aku hendak berbuat sesuatu;
Tetapi yang terutama adalah kuberikan hatiku. —Rossetti

Hati yang bersyukur sering terpancar melalui sikap yang murah hati.

Mengucap Syukur

Selasa, 26 Februari 2013

Mengucap Syukur

Baca: Yohanes 11:32-44

Yesus menengadah ke atas dan berkata: “Bapa, Aku mengucap syukur kepada-Mu, karena Engkau telah mendengarkan Aku.” —Yohanes 11:41

Suatu tragedi di tengah keluarga dapat meninggalkan kehampaan yang tak dapat diisi kembali oleh apa pun. Seorang bocah mengejar seekor kucing ke jalan raya lalu ditabrak sebuah truk. Ketika orangtuanya memeluk tubuh mungil yang sudah tidak bernyawa itu, sang kakak perempuan yang berusia 4 tahun hanya dapat menyaksikan dengan terpaku karena terguncang. Selama bertahun-tahun, kehampaan yang dialami karena peristiwa itu membuat keluarga itu terus bersedih. Ada perasaan yang membeku. Mati rasa menjadi sumber penghiburan. Rasanya tak mungkin dapat pulih kembali.

Penulis Ann Voskamp adalah si kakak yang berusia 4 tahun itu, dan duka yang timbul dari kematian adiknya telah membentuk pandangannya terhadap kehidupan dan Allah. Dunia tempat ia bertumbuh tidak mengenal konsep anugerah. Sukacita dianggap sebagai suatu pemikiran yang tidak realistis.

Sebagai seorang ibu muda, Voskamp bertekad untuk meraih sukacita dalam Alkitab yang terasa sulit untuk dialaminya. Kata sukacita dan anugerah berasal dari bahasa Yunani chairo, dan ia mendapatinya sebagai inti dari kata Yunani untuk ucapan syukur. Apakah memang sesederhana itu? pikirnya. Untuk menguji penemuannya, Voskamp memutuskan untuk mengucap syukur atas 1.000 anugerah yang telah dimilikinya. Ia memulai dengan perlahan, tetapi kemudian ucapan syukur pun mengalir dari hatinya dengan lancar.

Seperti halnya Yesus mengucap syukur sebelum, dan bukan sesudah, membangkitkan Lazarus (Yoh. 11:41), Voskamp mendapati bahwa ucapan syukur membangkitkan sukacita yang semula telah musnah bersama dengan kematian adiknya. Sukacita datang dari ucapan syukur. —JAL

Tuhan, aku berterima kasih atas kuasa-Mu yang sanggup
membangkitkan orang mati. Kiranya perasaan sukacita
yang timbul dari ucapan syukur kami menjadi
benih-benih anugerah bagi mereka yang telah merasa putus asa.

Sukacita hidup datang dari hati yang mengucap syukur.

Sukacita Dari Allah Yang Murah Hati

Kamis, 22 November 2012

Sukacita Dari Allah Yang Murah Hati

Baca: Mazmur 36:6-13

Mereka mengenyangkan dirinya dengan lemak di rumah-Mu; Engkau memberi mereka minum dari sungai kesenangan-Mu. —Mazmur 36:9

Baru-baru ini saya memasuki suatu lobi hotel yang memajang karangan bunga hidup terbesar yang pernah saya lihat. Karangan bunga hidup tersebut kaya dengan warna, tertata sempurna, dan wanginya pun menakjubkan. Saya tertegun sejenak dan mengambil beberapa waktu lamanya untuk mengagumi keindahannya. Hal itu membuat saya berpikir betapa kelimpahan begitu memikat hati kita. Coba bayangkan betapa indah dan menggiurkannya suatu keranjang yang dipenuhi beragam buah berwarna-warni, atau suatu meja saji yang dipenuhi tiga sampai empat kue besar yang siap untuk dinikmati sebagai santapan penutup dari suatu jamuan makan.

Sukacita atas kelimpahan itu mengingatkan saya akan kemurahan hati Allah. Dia yang membuat piala kita penuh melimpah (Mzm. 23:5); Dia “yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan” (Ef. 3:20); kasih karunia-Nya yang cukup bagi setiap kesulitan yang kita alami dalam hidup (2 Kor. 12:9); dan Dialah yang menyembelih anak lembu tambun dan menyuruh membawakan jubah terbaik bagi sang anak terhilang yang telah kembali (lih. Luk. 15:20-24).

Tidaklah mengherankan ketika sang pemazmur bersukacita: “Betapa berharganya kasih setia-Mu, ya Allah! Anak-anak manusia berlindung dalam naungan sayap-Mu. Mereka mengenyangkan dirinya dengan lemak di rumah-Mu; Engkau memberi mereka minum dari sungai kesenangan-Mu” (Mzm. 36:8-9). Betapa berlimpahnya kebaikan Allah kita. Biarlah hati kita juga meluap dengan pujian untuk segala berkat-Nya yang melimpah. —JMS

Tuhan, terima kasih telah mengingatkan kami bahwa Engkau
bukanlah Allah yang kikir, melainkan Allah yang memberkati kami
dengan segala kebaikan yang melimpah. Terima kasih untuk
kehadiran-Mu dan penghiburan melalui janji-janji dalam firman-Mu.

Teruslah memuji Allah sumber segala berkat.

Mengucap Syukur

Senin, 22 Oktober 2012

Mengucap Syukur

Baca: 1 Tesalonika 5:16-19

Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. —1 Tesalonika 5:18

Selama musim dingin di Lansing, Michigan, kami tidak mendapat banyak hari yang cerah. Namun tahun lalu, Allah telah memberkati kami dengan sejumlah hari yang cerah. Tampaknya hampir setiap orang bersyukur kepada Allah, kecuali saya sendiri. Ketika saya meninggalkan kantor, seorang pria berkata, “Alangkah indahnya hari ini. Ini adalah berkat dari Allah!” Segera saya membalasnya, “Ya, tetapi salju akan kembali datang akhir minggu ini.” Betapa saya tidak mengucap syukur sama sekali!

Dalam surat-suratnya, Rasul Paulus menolong para pembacanya untuk membangun pemahaman yang alkitabiah tentang sikap mengucap syukur. Ia lebih banyak menulis tentang hal mengucap syukur daripada para penulis Perjanjian Baru lainnya. Dari 36 kali Paulus menggunakan kata tersebut, kita dapat belajar beberapa hal tentang mengucap syukur.

Mengucap syukur selalu ditujukan kepada Allah dan tidak pernah kepada manusia. Sesama kita merupakan berkat dari Allah, dan Paulus bersyukur kepada Allah atas pertumbuhan, kasih, dan iman mereka (1 Kor. 1:4; 1 Tes. 1:2).

Mengucap syukur disampaikan melalui Yesus untuk segala sesuatu (Kol. 3:15,17). Paulus yakin bahwa para pengikut Yesus dapat mengucap syukur untuk segala sesuatu karena Allah berdaulat, dan Dia bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang percaya (1 Tes. 5:18).

Kiranya kita sepenuhnya menyadari berkat-berkat Allah di sekitar kita, dan menanggapinya dengan ucapan syukur. Sebagai tanggapan atas berkat Allah, wajarlah kita berkata, “Terima kasih, Tuhan.” —MLW

Tuhan, untuk hari-hari yang cerah dan kelabu kami hanya ingin
mengucapkan, terima kasih! Dan untuk berkat tiap hari yang
Engkau berikan kepada kami, melalui Putra-Mu, kiranya kami
senantiasa mengucap terima kasih! Engkau begitu baik kepada kami.

Ucapan syukur adalah tanggapan wajar atas berkat Allah.