Posts

‘Kesombongan’ Terselubung di Balik Bersyukur

Oleh Paramytha Magdalena

Suatu ketika aku mendengar seseorang berkata, “Aku bersyukur karena keadaanku tidak seperti si A atau si B. Aku bersyukur masih diberikan kesehatan, setidaknya nggak pernah mengalami sakit yang separah itu.”

Di media sosial pun serupa. Di postingan yang bernada penderitaan dan pilu, beberapa warganet mengetikkan, “Ya ampun, lihat postingan ini membuatku jadi lebih banyak bersyukur karena aku masih berkecukupan dan tidak kekurangan.”

Kupikir cuma orang lain saja yang bersyukur dengan cara tersebut, sampai suatu ketika aku dan suamiku sedang berkendara di atas sepeda motor. Di sudut jalan, tampak seorang ibu dan anak yang sedang berjalan kaki sambil meminta-minta di tengah cuaca yang panas. Tanpa sadar, aku berkata, “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kecukupan sampai sekarang.” Ucapan syukur sejenis ini pun rupanya terucap lagi ketika aku melihat salah satu anggota dari keluarga besarku mengalami kekacauan rumah tangga yang mengakibatkan anak mereka terlantar secara finansial. “Puji Tuhan ya, kita masih diberi kerukunan.”

Setelah reflek ucapan itu keluar dari mulutku, aku terdiam sejenak. Aku merasa ada yang salah di balik ungkapan syukur itu.

Secara sekilas, mungkin perkara ucapan syukur ini bukan menjadi masalah yang berarti. Bukankah sudah sewajarnya orang bersyukur atau berterima kasih pada Tuhan? Dan bukankah pula bersyukur itu hal yang baik dan positif untuk dilakukan?

Namun, tujuan yang baik bila dilakukan dengan cara yang salah bisa saja hasilnya pun jadi melenceng. Merenungkan pertanyaan itu, aku mendapat teguran keras dari firman Tuhan. Ada banyak nats yang mengatakan tentang ucapan syukur. Salah satunya dari 1 Tesalonika 5:18 yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kita tidak diminta mengucap syukur karena suatu hal, semisal karena kita melihat orang lain lebih kurang beruntung daripada kita. Kita diminta mengucap syukur dalam segala hal. Artinya, kita mengucap syukur secara otentik, suatu ucapan syukur yang seharusnya datang dari hati atas setiap berkat, sekecil apa pun itu yang diberikan Tuhan bagi kita.

Terkadang kita tak mampu menyelami misteri kasih Ilahi. Allah, dalam hikmat dan kebijaksanaan-Nya pastilah memberikan berkat dan mengizinkan tantangan yang sesuai dengan kemampuan anak-anak-Nya. Adalah hal yang ganjil apabila kita menjadikan penderitaan orang lain sebagai alasan kita bersyukur, sebab itu justru malah melahirkan kontradiksi: di satu sisi kita seolah ‘mendekat’ pada Tuhan, tapi di sisi yang lain itu menjauhkan kita dari sesama.

Kuakui bahwa motivasiku ketika mengucap syukur tidaklah tepat, dan syukur kepada Allah atas teguran yang Dia berikan bagiku. Kekurangan orang lain tidak seharusnya kita jadikan bahan perbandingan, tetapi dengan mengikuti teladan Kristus, kita bisa menyelidiki bagian apakah yang bisa kita lakukan untuk menolong mereka?

Kita mengucap syukur bukan karena hidup kita lebih baik daripada orang lain.

Kita mengucap syukur karena Allah itu baik. Pribadi-Nya selalu hadir dan ada bagi kita.

Kita mengucap syukur karena kita ada oleh perkenanan-Nya.

Mengucap syukur yang berpusat pada Allah, itulah yang dikehendaki-Nya.

Aku pun mulai belajar bersyukur dengan cara yang tepat, meskipun masih jatuh dan bangun.

Baca Juga:

Bukan dengan Amarah, Ini Seharusnya Cara Kita Menghadapi Komentar Jahat di Media Sosial

Komentar-komentar jahat yang dilontarkan di medsos seringkali membuat kita tergoda ingin membalas atau mengumpat. Namun, itu bukanlah cara yang paling tepat untuk menanggapinya.

Apa Pun Ucapan Syukur yang Bisa Kita Ucapkan, Ucapkanlah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Satu bulan yang lalu, saat aku benar-benar berada pada titik jenuh akibat script software pekerjaanku yang selalu menunjukkan kegagalan, aku mendapatkan pesan dari grup WhatsApp yang menginfokan bahwa bapak dari salah satu kakak seniorku dipanggil Tuhan. Rasa dukaku dengan sekejap mengalihkan rasa jenuhku. Aku mengalami pengalihan rasa ini, karena beberapa bulan terakhir, aku selalu melihat unggahan Instagram story beliau yang menampilkan betapa beliau mengasihi bapaknya. Mungkin beberapa orang menganggap perasaanku ini berlebihan, namun aku yakin bagi kamu yang sangat merasakan kasih dari sosok bapak, pasti kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan.

Kakak seniorku ini sangatlah lemah lembut dan juga baik hati, bahkan kepadaku yang hanya sebatas juniornya. Pernah suatu ketika, Instagram story-nya menunjukkan betapa beliau merindukan kakak kandungnya yang telah dipanggil Tuhan tepat di hari ulang tahunnya yang lalu, 25 Juni 2019, dan saat ini 26 Mei 2020 Tuhan memanggil pula bapak yang dikasihinya.

Minggu-minggu sebelum kepergian bapaknya, beliau mengabadikan video saat beliau ke supermarket bersama almarhum. Hati ini pilu, bukan hanya karena melihat kedekatan kakak ini dengan almarhum, namun juga karena almarhum yang sangat romantis kepada beliau. Keromantisannya ini diwujudkan dalam bentuk kehadiran. Hal yang sepenglihatanku sangat jarang, ketika seorang bapak mau menemani anak perempuannya ke supermarket.

Selain itu, bentuk keromantisan almarhum lainnya yaitu ketika almarhum membantu kakak ini memasak dan juga menemani beliau kerja dari rumah alias work from home. Padahal, pada saat itu kondisi almarhum sudah dalam keadaan sakit, namun itu tidak mengurangi kasih sayang almarhum kepada putrinya.

Instagram story nan indah berubah menjadi story yang menyayat hati. Tepatnya 2 minggu lalu, story beliau menampilkan ruang ICU dengan tulisan “Cepat sembuh ya Pah”. Ruang ICU dan kata-kata cepat sembuh adalah hal yang sensitif untuk kulihat dan kudengar. Aku punya trauma tersendiri dengan dua hal ini. Dua tahun yang lalu, bapakku sakit berhari-hari karena salah satu telapak tangannya bengkak dan bernanah. Mama dan kakakku sudah mengantarkannya ke salah satu rumah sakit dan dokter berkata “tidak apa-apa, tidak ada penyakit yang berat”.

Namun, embusan kabar baik tersebut tidak sesuai dengan realita, bukannya semakin membaik, kondisi bapakku malah semakin memburuk. Sampai pada suatu hari, beliau yang adalah pria teraktif yang kukenal, berubah menjadi seseorang yang hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tak tega melihatnya, akhirnya kakak dan mamaku bergegas kembali periksa ke rumah sakit lain dan dokter rumah sakit tersebut berkata bahwa bapakku mengidap penyakit gula dan harus segera dioperasi.

Melihatnya masuk ke ruang operasi hanya melalui sebuah layar gawai, studi yang berat untuk aku tinggalkan, dan jarak yang sulit untuk aku gapai adalah momen yang sangat menyayat hati. Namun pada akhirnya, aku sangat bersyukur kalau Tuhan masih memberi bapakku kesembuhan.

Alih-alih stres karena kejenuhanku mengedit script yang selalu gagal, aku mencoba mengucap syukur dari sisi yang lain, yaitu mengucap syukur ketika Tuhan masih mengizinkan bapakku untuk kembali sehat. Tidak sampai di situ, aku juga sangat bersyukur, keesokan harinya ketika hari masih begitu dini, ketika mungkin di saat para pelayat telah tiada, kakak seniorku masih sempat-sempatnya membagikan firman melalui Instagram story-nya dengan cara menangkap layar renungan harian yang beliau nikmati, walau memang judulnya tetap memilukan, “Mengapa aku? mengapa Tuhan memilihku?”

Ketika aku membaca judul ini, aku pun refleks bertanya kepada Tuhan “Iya ya Tuhan, mengapa beliau yang harus melalui ini? Mengapa harus orang baik yang merasakan penderitaan seberat ini? Adiknya yang memiliki penyakit jiwa, kakaknya yang belum 1 tahun tutup usia, dan sekarang bapaknya lagi yang Engkau panggil”.

Sambil bertanya-tanya, aku tetap mencoba membaca tangkapan layar renungan harian tersebut. Ternyata, Tuhan menguatkan beliau dari kisah Ayub. Ayub yang adalah hamba Allah yang setia dan sangat baik (Ayub 1:8), tetapi yang hidupnya juga amat sangat menderita. Kisah Ayub mengajarkan kalau hidup tidak selalu berdasarkan perumpamaan tabur tuai, menabur baik akan menuai baik, dan sebaliknya. Namun, Ayub mengajari kita bahwa “Iman itu jangan hanya dilihat dari yang terlihat, bukan juga dengan perasaan. Namun, iman adalah meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada segala sesuatu pun di luar kendali-Nya, walau kadang tampak tidak adil sekalipun.” Membaca ini aku langsung membatalkan pertanyaanku kepada Tuhan dan mengimani kembali iman yang dimiliki Ayub dari kisah hidupnya.

Aku bersyukur tulisan ini diizinkan kakak seniorku untuk aku bagikan. Beliau sangat senang jikalau dukanya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Apalagi, jika kita semua mau menguatkan beliau dalam doa. Walau memang mungkin kisah hidup kita belum ada apa-apanya dibanding kisah Ayub dan kisah beliau, tetapi aku yakin setiap dari kita pasti pernah berada di posisi bertanya-tanya seperti itu, “Mengapa harus aku?”, baik itu di saat sedih atau di saat jenuh. Namun, lewat kisah Ayub dan juga kisah kakak seniorku, aku berharap ini bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk sama-sama berjuang keluar dari rasa kesedihan atau kejenuhan, dengan cara terus beriman bahwa segala sesuatu tidak ada di luar kendali-Nya dan juga mengucap syukur dengan keberadaan orang-orang yang kita kasihi.

Apa pun ucapan syukur yang bisa kita ucapkan, ucapkanlah.

Baca Juga:

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Aku dan temanku mengalami salah paham. Akibatnya, relasi kami sempat mendingin. Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja, tapi Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois.

Sudahkah Kamu Merasa Cukup?

Hari ke-26 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:10-12

4:10 Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu.

4:11 Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.

4:12 Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan.

Ketika anakku mulai belajar berkomunikasi, aku mengajarinya bahasa isyarat untuk menolongnya menyampaikan kebutuhannya. Ada satu isyarat yang berarti “minta lagi”. Kalau ia menggunakan isyarat ini, artinya ia mau makan lebih banyak, dan aku pun memberinya.

Suatu ketika, ia tidak mendapatkan apa yang ia mau. Jika makanannya telah habis, aku akan membalasnya dengan isyarat, “tidak ada.” Awalnya, ia tidak mengerti mengapa aku melakukan hal itu. Ia menangis dan minta, “Lagi! Lagi! Lagi!” Dan aku harus menunjukkan piring kosong sebagai buktinya.

Sebagai orang dewasa, kita suka berpikir kalau kita adalah orang yang rasional. Tapi, seringkali kita cenderung menyikapi masalah kehidupan seperti apa yang anakku lakukan. Kita merasa kurang secara finansial, atau merasa tak sanggup menghadapi tantangan seperti kehilangan pekerjaan, atau sulit mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok kita. Atau, bahkan ketika segalanya baik: kita punya pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman, mobil bagus, tabungan yang memadai, kita masih saja merasa itu semua tidak cukup. Kita berpikir semua akan baik-baik saja ketika kita bisa memiliki lebih, lebih, dan lebih lagi.

Ketika Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat Filipi, ia sedang berada dalam penjara. Orang-orang Filipi terus mendukung dan peduli pada Paulus, dan ia bersyukur atas bantuan mereka. Namun, Paulus juga mengatakan bahwa entah bantuan tersebut datang atau tidak, ia telah belajar untuk berpuas diri, apapun kondisinya (ayat 11).

Paulus dapat mengatakan hal ini dengan yakin karena apa yang telah ia alami. Ia ditangkap, dipenjara, disiksa, terombang-ambing dan diadili. Tetapi ada juga saat-saat di mana ia lebih tenteram—aman, terpelihara, dan dikelilingi oleh orang-orang percaya. Mengalami hal-hal baik dan buruk, Paulus belajar bahwa ia dapat berpuas diri bagaimanapun kondisinya.

Apa rahasianya?

Akhir-akhir ini, anakku mengerti dan menerima ‘penolakan’ dariku. Ia menerimanya karena ia mengenal dan memercayaiku. Ia tahu bahwa sebagai ibunya, aku mengutamakan kebaikannya dan tidak akan menjauhkannya dari apa yang benar-benar ia butuhkan.

Begitupun dengan Paulus, Ia mengenal Allah dan percaya Allah memiliki rencana yang dahsyat untuknya. Ia tahu, apapun yang ia miliki, banyak atau sedikit, merupakan pemberian Allah—bahkan bantuan dari orang-orang Filipi sekalipun. Jadi, meskipun keadaan sekitarnya mungkin terlihat sebaliknya, Paulus tahu bahwa Allah Bapa memeliharanya, dan ia akan berkecukupan.

Yesus sendiri menunjukkan pada kita kebaikan Allah Bapa dalam Matius 7:11, “Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan yang baik kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Melalui Alkitab, kita dapat melihat para penulis menegaskan kepercayaan mereka dalam pemeliharaan Allah. Ayat favoritku adalah: “Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran” (Yakobus 1:17).

Sesungguhnya, rahasia Paulus tertulis dalam Filipi 4:13, “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan padaku.” Hidup Paulus yang berkecukupan bukan berdasarkan keadaan materinya—melainkan daripada hubungannya dengan Allah, Allah yang “tidak berubah seperti bayangan”, namun yang kebaikannya terhadap anak-Nya dapat selalu dipercaya dan dipegang teguh.

Betapa besar iman yang dimiliki Paulus! Marilah kita menjalankan hubungan dengan Allah seperti yang Paulus lakukan, percaya kepada karakter-Nya dan kebaikan-Nya. Marilah kita berpuas diri, mengakui bahwa Allah akan menyediakan semua keperluan kita, bahkan jika apa yang Ia sediakan mungkin terlihat kecil di mata kita.

Karena sebenarnya Allah telah memberikan diri-Nya. Dan itu sudah lebih dari cukup.—Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Naomi Prajogo Djuanda

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Adakah suatu hal dalam hidupmu yang kamu rasa kurang memuaskan? Bagaimana renungan hari ini menberanikanmu untuk melihatnya dengan kacamata yang berbeda?

2. Bagaimana orang lain menunjukkan kepeduliannya padamu pada saat kamu membutuhkannya?

3. Apakah ada orang yang membutuhkan yang dapat kamu pedulikan saat ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain menyukai coklat, kue-kue, dan cerita-cerita luar biasa dari orang biasa. Charmain juga menyukai kejutan-kejutan kecil namun berarti yang Tuhan berikan untuknya setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Berkat Pinjaman

Senin, 1 April 2019

Berkat Pinjaman

Baca: 1 Tawarikh 29:6-16

29:6 Lalu para kepala puak dan para kepala suku Israel dan para kepala pasukan seribu dan pasukan seratus dan para pemimpin pekerjaan untuk raja menyatakan kerelaannya.

29:7 Mereka menyerahkan untuk ibadah di rumah Allah lima ribu talenta emas dan sepuluh ribu dirham, sepuluh ribu talenta perak dan delapan belas ribu talenta tembaga serta seratus ribu talenta besi.

29:8 Siapa yang mempunyai batu permata menyerahkannya kepada Yehiel, orang Gerson itu, untuk perbendaharaan rumah TUHAN.

29:9 Bangsa itu bersukacita karena kerelaan mereka masing-masing, sebab dengan tulus hati mereka memberikan persembahan sukarela kepada TUHAN; juga raja Daud sangat bersukacita.

29:10 Lalu Daud memuji TUHAN di depan mata segenap jemaah itu. Berkatalah Daud: “Terpujilah Engkau, ya TUHAN, Allahnya bapa kami Israel, dari selama-lamanya sampai selama-lamanya.

29:11 Ya TUHAN, punya-Mulah kebesaran dan kejayaan, kehormatan, kemasyhuran dan keagungan, ya, segala-galanya yang ada di langit dan di bumi! Ya TUHAN, punya-Mulah kerajaan dan Engkau yang tertinggi itu melebihi segala-galanya sebagai kepala.

29:12 Sebab kekayaan dan kemuliaan berasal dari pada-Mu dan Engkaulah yang berkuasa atas segala-galanya; dalam tangan-Mulah kekuatan dan kejayaan; dalam tangan-Mulah kuasa membesarkan dan mengokohkan segala-galanya.

29:13 Sekarang, ya Allah kami, kami bersyukur kepada-Mu dan memuji nama-Mu yang agung itu.

29:14 Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu.

29:15 Sebab kami adalah orang asing di hadapan-Mu dan orang pendatang sama seperti semua nenek moyang kami; sebagai bayang-bayang hari-hari kami di atas bumi dan tidak ada harapan.

29:16 Ya TUHAN, Allah kami, segala kelimpahan bahan-bahan yang kami sediakan ini untuk mendirikan bagi-Mu rumah bagi nama-Mu yang kudus adalah dari tangan-Mu sendiri dan punya-Mulah segala-galanya.

Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya. —Mazmur 24:1

Berkat Pinjaman

Saat kami menundukkan kepala untuk berdoa sebelum menikmati makan siang, teman saya Jeff berdoa: ”Bapa, terima kasih telah memberi kami kesempatan untuk menghirup udara-Mu dan menyantap makanan-Mu.” Saat itu Jeff baru saja mengalami masa-masa sulit karena kehilangan pekerjaan, sehingga saya sangat tersentuh oleh kepercayaannya yang penuh kepada Allah dan kesadaran bahwa semua hal adalah milik-Nya. Saya pun berpikir: Apakah saya sejujurnya mengerti bahwa hal-hal yang paling mendasar sekalipun, yang setiap hari hadir dalam hidup saya, sesungguhnya adalah milik Allah, dan Dia sekadar mengizinkan saya menggunakan semua itu?

Ketika Raja Daud menerima persembahan dari bangsa Israel untuk membangun Bait Suci di Yerusalem, ia berdoa, “Sebab siapakah aku ini dan siapakah bangsaku, sehingga kami mampu memberikan persembahan sukarela seperti ini? Sebab dari pada-Mulah segala-galanya dan dari tangan-Mu sendirilah persembahan yang kami berikan kepada-Mu.” Lalu ia menambahkan: “Punya-Mulah segala-galanya” (1Taw. 29:14,16).

Kitab Suci mengatakan bahwa “kekuatan untuk memperoleh kekayaan” dan mencari nafkah pun datangnya dari Dia (Ul. 8:18). Ketika memahami bahwa semua yang kita miliki hanyalah pinjaman, kita akan tergerak untuk mengendurkan pegangan kita terhadap harta dunia ini dan hidup dengan hati serta tangan terbuka—leluasa berbagi dengan sesama karena sangat bersyukur atas kebaikan yang diterima setiap hari.

Allah sangat bermurah hati—begitu besar kasih-Nya kepada kita sehingga Dia memberikan Anak-Nya sendiri “bagi kita semua” (RM. 8:32). Karena sudah menerima begitu banyak, kita patut mengucap syukur kepada-Nya untuk segala berkat, kecil maupun besar. —James Banks

WAWASAN

Doa Daud yang tercatat dalam 1 Tawarikh 29 menyatakan beberapa hal penting tentang Allah yang benar dan hidup. Daud memuji Allah karena kekekalan-Nya (ay.10), kemasyhuran dan keagungan-Nya (ay.11), kebijakan kerajaan-Nya (ay.12), juga karena Dia adalah sumber segala pemeliharaan (ay.14). Inilah hakikat Allah yang Daud puja serta yang menggerakkannya untuk mempersiapkan pembangunan bait Allah (pasal 28-29). —Bill Crowder

Berkat apa yang Tuhan pinjamkan hari ini yang dapat Anda syukuri kepada-Nya? Bagaimana Anda semakin terdorong untuk bersyukur kepada Allah saat menyadari bahwa semua pemberian yang baik berasal dari-Nya?

Apa pun yang kita miliki sesungguhnya adalah milik Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-hakim 13–15; Lukas 6:27-49

Handlettering oleh Claudia Rachel

Tidak Terbandingkan

Jumat, 1 Maret 2019

Tidak Terbandingkan

Baca: Yohanes 21:17-25

21:17 Kata Yesus kepadanya untuk ketiga kalinya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?” Maka sedih hati Petrus karena Yesus berkata untuk ketiga kalinya: /”Apakah engkau mengasihi Aku?” Dan ia berkata kepada-Nya: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: /”Gembalakanlah domba-domba-Ku.

21:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.”

21:19 Dan hal ini dikatakan-Nya untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.”

21:20 Ketika Petrus berpaling, ia melihat bahwa murid yang dikasihi Yesus sedang mengikuti mereka, yaitu murid yang pada waktu mereka sedang makan bersama duduk dekat Yesus dan yang berkata: “Tuhan, siapakah dia yang akan menyerahkan Engkau?”

21:21 Ketika Petrus melihat murid itu, ia berkata kepada Yesus: “Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?”

21:22 Jawab Yesus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.”

21:23 Maka tersebarlah kabar di antara saudara-saudara itu, bahwa murid itu tidak akan mati. Tetapi Yesus tidak mengatakan kepada Petrus, bahwa murid itu tidak akan mati, melainkan: “Jikalau Aku menghendaki supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.”

21:24 Dialah murid, yang memberi kesaksian tentang semuanya ini dan yang telah menuliskannya dan kita tahu, bahwa kesaksiannya itu benar.

21:25 Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus ditulis itu.

Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang. —Amsal 14:30

Daily Quotes ODB

“Kapan-kapan, akan kutaruh semuanya di Facebook”“dan bukan cuma yang baik-baik saja, lho!”

Itu komentar teman saya, Sue-saat makan siang bersama suaminya-yang membuat saya tertawa terbahak-bahak sekaligus berpikir. Media sosial bisa bermanfaat-kita dapat menjalin hubungan dengan teman-teman yang tinggal jauh dan sudah lama tidak berjumpa, serta berdoa untuk mereka. Namun, jika tidak hati-hati, media sosial bisa membuat kita terjebak dalam pandangan hidup yang tidak realistis. Ketika sebagian besar dari apa yang kita lihat di media sosial adalah “hal-hal baik” yang ditampilkan orang, kita bisa tertipu dan mengira hidup orang lain bebas dari masalah, sambil merasa ada yang tidak beres dengan hidup kita sendiri.

Membanding-bandingkan diri dengan orang lain akan membuat kita tidak bahagia. Ketika para murid saling membandingkan diri (lihat Luk. 9:46; 22:24), Yesus segera menengahi mereka. Tak lama setelah kebangkitan-Nya, Yesus memberi tahu Petrus bahwa ia akan menderita karena imannya. Lalu Petrus melihat Yohanes dan bertanya kepada Tuhan, “Apakah yang akan terjadi dengan dia ini?” Jawab Yesus, “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu. Tetapi engkau: ikutlah Aku.” (Yoh. 21:21-22).

Yesus menunjukkan kepada Petrus cara terbaik untuk berhenti membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Saat pikiran kita terfokus kepada Allah dan semua yang telah diperbuat-Nya untuk kita, kita akan mulai berhenti memikirkan diri sendiri dan rindu untuk mengikuti-Nya. Di dunia yang penuh persaingan dan tekanan ini, Dia hadir memberikan kita kasih dan damai sejahtera-Nya. Tiada yang sebanding dengan-Nya. —James Banks

Bagaimana kamu bisa menggunakan media sosial dengan cara-cara yang menghormati Allah? Bagaimana hubungan yang erat dengan Allah dapat menjagamu dari sikap membanding-bandingkan diri dengan orang lain?

Membanding-bandingkan akan merenggut sukacita. —Theodore Roosevelt

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 23-25; Markus 7:14-37

Berusaha Mengesankan

Rabu, 23 Januari 2019

Berusaha Mengesankan

Baca: Matius 15:1-11,16-20

15:1 Kemudian datanglah beberapa orang Farisi dan ahli Taurat dari Yerusalem kepada Yesus dan berkata:

15:2 “Mengapa murid-murid-Mu melanggar adat istiadat nenek moyang kita? Mereka tidak membasuh tangan sebelum makan.”

15:3 Tetapi jawab Yesus kepada mereka: “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?

15:4 Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.

15:5 Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah,

15:6 orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.

15:7 Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu:

15:8 Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.

15:9 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

15:10 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan berkata kepada mereka:

15:11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.”

15:16 Jawab Yesus: “Kamupun masih belum dapat memahaminya?

15:17 Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban?

15:18 Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.

15:19 Karena dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat.

15:20 Itulah yang menajiskan orang. Tetapi makan dengan tangan yang tidak dibasuh tidak menajiskan orang.”

Karena dari hati timbul segala pikiran jahat . . . . Itulah yang menajiskan orang. —Matius 15:19-20

Berusaha Mengesankan

Dalam perjalanan karyawisata yang dilakukan oleh suatu kelas perguruan tinggi, seorang dosen sangat pangling melihat salah satu mahasiswi unggulannya. Di kelas, ia biasa memakai sepatu setinggi 15 cm. Namun, saat berjalan dengan sepatu santai, tingginya tak lebih dari 153 cm. “Sepatu bertumit itu adalah tinggi badan impianku,” katanya sambil tertawa. “Tetapi sepatu bot ini adalah diriku apa adanya.”

Tampilan fisik tidak menentukan jati diri kita, karena yang terutama adalah hati. Yesus menegur keras orang Farisi dan ahli Taurat yang sangat mengedepankan aspek lahiriah. Mereka bertanya kepada Yesus mengapa para murid tidak mencuci tangan sebelum makan seperti adat istiadat Yahudi (Mat. 15:1-2). Yesus balik bertanya, “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu?” (ay.3). Lalu Dia menunjukkan bagaimana mereka berusaha mencari-cari celah hukum untuk mempertahankan harta agar tidak perlu merawat orangtua (ay.4-6), sehingga mereka sesungguhnya tidak menghormati orangtua dan melanggar hukum kelima (Kel. 20:12).

Jika kita mengutamakan tampilan luar dan mencari-cari celah dalam perintah Allah yang sudah jelas, kita sedang melanggar maksud dari hukum yang diberikan-Nya. Yesus berkata, “Dari hati timbul segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan,” dan hal-hal buruk lainnya (Mat. 15:19). Hanya Allah yang dapat memberi kita hati yang bersih oleh kebenaran Anak-Nya, Yesus Kristus. —Tim Gustafson

Tuhan, kami cenderung mengandalkan usaha sendiri untuk membuat Engkau dan orang lain terkesan. Tolong kami bersikap tulus dalam semua hubungan kami dan memiliki hati yang dipulihkan lewat pengampunan-Mu.

Allah tidak akan terkesan ketika motivasi kita adalah untuk mengesankan orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 7-8; Matius 15:1-20

Lagu di Malam Hari

Selasa, 15 Januari 2019

Lagu di Malam Hari

Baca: Mazmur 42:1-12

42:1 Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah.42:2 Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.

42:3 Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup. Bilakah aku boleh datang melihat Allah?

42:4 Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?”

42:5 Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah-gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan.

42:6 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!

42:7 Jiwaku tertekan dalam diriku, sebab itu aku teringat kepada-Mu dari tanah sungai Yordan dan pegunungan Hermon, dari gunung Mizar.

42:8 Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu; segala gelora dan gelombang-Mu bergulung melingkupi aku.

42:9 TUHAN memerintahkan kasih setia-Nya pada siang hari, dan pada malam hari aku menyanyikan nyanyian, suatu doa kepada Allah kehidupanku.

42:10 Aku berkata kepada Allah, gunung batuku: “Mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh?”

42:11 Seperti tikaman maut ke dalam tulangku lawanku mencela aku, sambil berkata kepadaku sepanjang hari: “Di mana Allahmu?”

42:12 Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!

Jika kita mengharapkan apa yang tidak kita lihat, kita menantikannya dengan tekun. —Roma 8:25

Lagu di Malam Hari

Sepanjang hidupnya, ayah saya merasakan kekosongan. Ia mendambakan kesehatan, tetapi penyakit Parkinson secara perlahan melumpuhkan pikiran dan tubuhnya. Ia mendambakan kedamaian, tetapi tersiksa oleh depresi yang sangat menekan. Ia rindu dikasihi dan dihibur, tetapi sering merasa sendirian.

Namun, ketika membaca Mazmur 42 yang sangat disukainya, ia merasa tidak terlalu kesepian. Seperti ayah, pemazmur sangat memahami rasa rindu yang amat mendalam, suatu kehausan yang tak terpuaskan akan pemulihan (ay.1-3). Pemazmur juga pernah mengalami kesedihan yang sepertinya takkan sirna (ay.4), dan itu membuat masa-masa sukacita hanya tinggal kenangan (ay.7). Seperti ayah saya, ketika gelombang kepanikan dan kesakitan menerjang (ay.8), pemazmur merasa ditinggalkan Allah dan bertanya, “Mengapa?” (ay.10).

Saat perkataan Mazmur 42 menyentuh hati ayah saya dan meyakinkannya bahwa ia tidak sendirian, ia mulai merasakan teduhnya kedamaian di tengah rasa sakitnya. Ia mendengar suara lembut melingkupinya, suara yang meyakinkannya bahwa meskipun ia tidak tahu apa jawabannya, dan meskipun gelombang penderitaan masih menerjang, ia tetap dikasihi (ay.9).

Mendengar mazmur kasih yang menenangkan di malam hari itu sudah cukup bagi ayah. Cukup baginya untuk mengandalkan sekilas pengharapan, kasih, dan sukacita yang diterimanya. Dengan sabar, ia dapat menantikan hari agung itu ketika semua kerinduannya akan dipenuhi seluruhnya (ay.6,12). —Monica Brands

Tuhan, kami tahu Engkau telah menanggung semua penderitaan kami dan kelak akan mengubahnya dalam kebangkitan. Namun, kami masih menantikan pemulihan total. Saat menunggu tibanya hari itu, tolong kami untuk mengandalkan mazmur kasih-Mu.

Dalam menantikan pemulihan total, tetaplah bersandar pada kasih Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 36-38; Matius 10:21-42

Mata yang Terpejam Rapat

Kamis, 3 Januari 2019

Mata yang Terpejam Rapat

Baca: Kejadian 3:1-10

3:1 Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”

3:2 Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan,

3:3 tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.”

3:4 Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati,

3:5 tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”

3:6 Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.

3:7 Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.

3:8 Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman.

3:9 Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: “Di manakah engkau?”

3:10 Ia menjawab: “Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.”

Bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap Tuhan Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. —Kejadian 3:8

Mata yang Terpejam Rapat

Ia sadar ia tidak sepatutnya melakukan perbuatan itu. Raut wajahnya jelas menunjukkan rasa bersalah! Saat saya hendak membicarakan kesalahannya, keponakan saya itu memejamkan matanya rapat-rapat. Ia duduk di depan saya, sambil berpikir—dengan logika anak berumur tiga tahun—bahwa jika ia tidak bisa melihat saya, pasti saya juga tidak dapat melihatnya. Dalam pikirannya, jika ia tidak terlihat, ia bisa kabur dari pembicaraan (dan hukuman) yang ditakutinya.

Saya senang bisa melihatnya saat itu. Meskipun tidak membenarkan kenakalannya dan perlu menegurnya, saya tidak mau keakraban kami terganggu. Saya ingin ia menatap wajah saya dan melihat betapa saya sangat mengasihinya serta ingin memaafkannya! Saat itulah terlintas dalam pikiran saya tentang apa yang mungkin Allah rasakan ketika Adam dan Hawa melanggar kepercayaan yang diberikan-Nya kepada mereka di taman Eden. Setelah sadar berbuat salah, mereka mencoba bersembunyi dari Allah (Kej. 3:10) yang dapat “melihat” mereka sejelas saya melihat keponakan saya.

Ketika sadar sudah berbuat salah, sering kali kita ingin menghindari konsekuensinya. Kita lari dari masalah, berusaha menyembunyikan kesalahan, atau menutup mata terhadap kebenaran. Meskipun Allah akan meminta pertanggungjawaban kita sesuai dengan standar keadilan-Nya, Dia memandang (dan mencari) kita karena Dia mengasihi kita dan menawarkan pengampunan melalui Yesus Kristus. —Kirsten Holmberg

Bapa, terima kasih karena Engkau tetap mencari dan mengasihiku, bahkan ketika aku telah berbuat salah.

Allah memandang kita dengan kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 7-9; Matius 3

Dalam Kelimpahan atau Kesesakan

Minggu, 23 Desember 2018

Dalam Kelimpahan atau Kesesakan

Baca: Ayub 1:13-22

1:13 Pada suatu hari, ketika anak-anaknya yang lelaki dan yang perempuan makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung,

1:14 datanglah seorang pesuruh kepada Ayub dan berkata: “Sedang lembu sapi membajak dan keledai-keledai betina makan rumput di sebelahnya,

1:15 datanglah orang-orang Syeba menyerang dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”

1:16 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Api telah menyambar dari langit dan membakar serta memakan habis kambing domba dan penjaga-penjaga. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”

1:17 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Orang-orang Kasdim membentuk tiga pasukan, lalu menyerbu unta-unta dan merampasnya serta memukul penjaganya dengan mata pedang. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”

1:18 Sementara orang itu berbicara, datanglah orang lain dan berkata: “Anak-anak tuan yang lelaki dan yang perempuan sedang makan-makan dan minum anggur di rumah saudara mereka yang sulung,

1:19 maka tiba-tiba angin ribut bertiup dari seberang padang gurun; rumah itu dilandanya pada empat penjurunya dan roboh menimpa orang-orang muda itu, sehingga mereka mati. Hanya aku sendiri yang luput, sehingga dapat memberitahukan hal itu kepada tuan.”

1:20 Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah,

1:21 katanya: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

1:22 Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.

 

Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan! —Ayub 1:21

Dalam Kelimpahan atau Kesesakan

Buku Ann Voskamp berjudul One Thousand Gifts (Seribu Anugerah) mendorong para pembaca untuk memikirkan apa yang sudah Tuhan lakukan bagi hidup mereka hari demi hari. Dalam buku itu, ia menulis catatan harian yang berisi limpahnya kemurahan Allah kepadanya dalam anugerah besar maupun kecil, dari yang sederhana seperti keindahan warna-warni busa sabun di tempat cuci piring hingga yang tak terukur seperti keselamatan orang berdosa seperti dirinya (dan kita semua!). Ann menegaskan bahwa bersyukur merupakan kunci untuk melihat Allah di tengah kesengsaraan yang berat sekalipun.

Tokoh Ayub terkenal dengan kisah “sengsaranya”. Kehilangan yang dihadapinya memang pahit dan besar. Sekejap setelah kehilangan seluruh ternaknya, Ayub mendapat kabar kematian sepuluh anaknya sekaligus. Reaksi Ayub mengungkapkan dukacitanya yang mendalam: ia “mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya” (ayb. 1:20). Perkataannya di tengah kesengsaraan menunjukkan bahwa Ayub tahu arti bersyukur, karena ia mengakui semua miliknya berasal dari Allah (ay.21). Kalau tidak, mana mungkin ia bisa menyembah di tengah kesedihan yang begitu melumpuhkannya?

Kebiasaan mengucap syukur setiap hari memang tak dapat menghapus pedihnya penderitaan yang kita rasakan karena kehilangan. Di sepanjang kitab, kita melihat Ayub masih bertanya-tanya dan bergumul untuk mengatasi kepedihannya. Namun, mengenali kebaikan Allah kepada kita—bahkan dalam hal terkecil sekalipun—akan memampukan kita untuk berlutut menyembah Allah yang mahakuasa di tengah kekelaman yang kita jalani di dunia ini. —Kirsten Holmberg

Ya Allah, Engkaulah Pemberi segala yang baik. Tolong aku untuk mengenali kemurahan-Mu dalam hal terkecil sekalipun dan percaya kepada-Mu di tengah kehilangan dan kesukaran yang kualami.

Cobalah menulis daftar ucapan syukur. Perhatikan bagaimana kebiasaan bersyukur yang dilakukan terus-menerus itu akan mengubah hidupmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Nahum 1-3; Wahyu 14