Posts

Ketika Kutemukan Bagian yang Hilang dari Kesuksesan

Oleh Michele Ong
Artikel ini dalam bahasa Inggris: When I Found The Missing Piece To Success

Beberapa waktu lalu, aku mulai merenungkan apa artinya sukses.

Semua dimulai ketika ayahku berkomentar betapa suksesnya salah satu sepupu jauhku yang berprofesi sebagai ahli bedah. Aku ingat, aku pernah memberi tahu ayahku—dengan agak kesal—bahwa lulusan seni bisa sama suksesnya seperti rekan-rekan mereka yang belajar kedokteran. Maksudku, lihatlah sutradara film dari Selandia Baru, Taika Waititi. Dia sukses! Aktor Inggris, Tom Hiddleston begitu memuji Waititi dan mengaguminya karena kecakapannya. Tom juga menyukai film Waititi, Hunt For The Wilderpeople.

Namun, komentar itu tetap membuatku berpikir tentang definisi sukses.

Apakah dengan memiliki jumlah saldo rekening yang besar, pakaian, sepatu mahal, dan tinggal di apartemen mewah? Apakah dengan melepaskan pekerjaan yang nyaman dan penghasilan tetap untuk menjadi sukarelawan di negara dunia ketiga? Atau apakah dengan memiliki keluarga, menetap di rumah yang bagus, dan menikmati kehidupan sosial yang baik bersama keluarga dan teman?

Aku mencari di Google, “Apa itu sukses?”, dan mendapatkan 1,040,000 hasil pencarian. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah playlist pembicaraan yang menampilkan orang-orang terkemuka yang berbagi ide dan definisi tentang kesuksesan mereka. Dua dari mereka menonjol secara khusus.

Yang pertama adalah penulis Amerika, Elizabeth Gilbert, yang menulis memoar populer pada tahun 2006, yaitu Eat Pray Love. Baginya, kesuksesan berarti gigih dalam menghadapi rintangan. Gilbert menerima banyak surat penolakan selama enam tahun sebelum dia menerbitkan buku pertamanya. Namun, sama seperti penolakan-penolakan yang menghancurkannya itu, dia tidak pernah melihat berhenti sebagai pilihan.

Yang kedua adalah pemain dan pelatih bola basket Amerika, John Wooden, yang mendefinisikan kesuksesan sebagai “ketenangan pikiran yang dicapai hanya melalui kepuasan diri dengan mengetahui bahwa kamu melakukan yang terbaik untuk menjadi yang terbaik yang kamu mampu”.

Setelah mendengar kedua pembicaraan tersebut, aku merasa memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang membuat hidup menjadi sukses. Rumus sukses banyak bicara tentang mengatasi kesulitan dan menjadi yang terbaik semampu kita. Dan prinsip-prinsip ini selaras dengan apa yang diajarkan Alkitab. Alkitab memperingatkan tentang kemalasan (Amsal 6:10-11; Amsal 10:4) dan mendorong kita untuk memberikan yang terbaik dalam segala hal yang kita lakukan, memahami bahwa kita bekerja untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23-24).

Tapi, tetap saja aku merasa ada yang kurang dalam “rumus sukses” ini.

Jadi, aku melihat buku favoritku sepanjang waktu, The Purpose Driven Life, ditulis oleh pendeta Amerika, Rick Warren. Dia menulis bahwa manusia tidak diciptakan hanya untuk mengonsumsi sumber daya atau untuk “mendapatkan” hasil maksimal dari kehidupan, namun Tuhan telah menciptakan kita untuk membuat perbedaan dalam hidup dengan memberi dan melayani. Bunda Teresa, contohnya. Dia tidak memiliki rumah besar, tapi karya-karyanya telah mempengaruhi jutaan orang di sekitarnya.

Dan tentu saja, ada Yesus sendiri. Ia dilahirkan dalam kehidupan yang sederhana, tanpa kemegahan atau kemewahan. Dia mengabdikan hidup-Nya untuk membantu dan melayani orang lain, melakukan banyak mukjizat di antara mereka untuk menunjukkan kuasa dan kasih Bapa-Nya. Kemudian, Yesus menunjukkan tindakan pelayanan dan pengorbanan terbesar, yaitu menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Sampai hari ini, nama-Nya dikenang dan satu tindakan tanpa pamrih-Nya terus mengubah kehidupan di seluruh dunia. Apakah itu kehidupan yang sukses?

Jadi, jika kehidupan Yesus adalah lambang kesuksesan, kita dapat yakin bahwa Tuhan tidak mengukur kesuksesan kita dengan kekayaan materi kita. Dia juga tidak mengukur kesuksesan kita dengan perbuatan baik yang kita lakukan atau pencapaian yang kita miliki.

Meski begitu, tidak salah jika kita diberkati dengan penghasilan yang lumayan, prestasi yang membanggakan, atau jika kita ingin menjadi relawan di masyarakat. Aku mengenal beberapa pengusaha dan wiraswasta yang mendapatkan gaji besar dan menyumbang sebagian dari pendapatan mereka ke gereja sebagai sarana pelayanan mereka. Ada juga orang yang terpanggil untuk menjadi misionaris dan meninggalkan kenyamanan rumah mereka untuk melayani di lingkungan yang asing. Di mata Tuhan, kedua kelompok itu sama berharga dan suksesnya karena motivasi mereka sama—melayani dan memberi kepada Tuhan.

Aku tahu, kesuksesan dapat dengan mudah didefinisikan berdasarkan gaji, jabatan, dan pencapaian dalam hidup kita. Aku pun jatuh ke dalam perangkap ini sesekali, dan membandingkan pekerjaanku dengan pekerjaan teman-temanku yang memiliki jam terbang tinggi. Terkadang aku bahkan merasa malu karena tidak mengambil bagian dalam tiap misi besar di hidupku, dan merasa seperti aku telah gagal mencapai “kesuksesan”.

Tetapi aku harus terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa Tuhan tidak peduli dengan hal-hal tersebut. Akan ada hari ketika kita harus berdiri di hadapan Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban tentang bagaimana kita hidup. Akankah kita dapat berdiri dengan percaya diri di hadapan-Nya karena mengetahui bahwa kita telah melayani-Nya dengan sepenuh hati dan memberikan yang terbaik kepada-Nya? Jika demikian, aku benar-benar percaya bahwa itulah tanda kehidupan yang sukses!

Cari Cuan “Yes”, Langgar Kehendak Tuhan “No”

Oleh Stanlee Wijaya, Palembang

Sebagai seorang keturunan Tionghoa, aku sangat dekat dengan kata dan konsep “cuan” yang berarti “untung”. Kata ini sering kali kudengar di perbincangan keluarga, khususnya ketika sudah membahas hal-hal yang berkaitan dengan perkara jual beli.

Aku pun diajarkan untuk mempertimbangkan cuan dalam segala keputusan yang kuambil. Contohnya, ketika aku berbelanja kebutuhan pribadi, aku diajarkan untuk semaksimal mungkin mencari barang-barang yang sedang diskon. Dengan demikian, pengeluaranku jadi lebih kecil dan barang-barang yang kudapat pun jadi lebih banyak. Ketika berhasil melakukannya, tentu aku dengan bangga merasa diri telah bijaksana dalam membelanjakan uang dan telah mendapatkan cuan.

Masa kini, kata dan konsep cuan mendapatkan perhatian yang cukup besar, bahkan menjadi populer dalam perbincangan kita anak-anak muda. Kuakui bahwa aku bangga karena sebagai keturunan Tionghoa, kata dan konsep ini jadi sesuatu yang populer di lingkunganku juga menyebar ke masyarakat luas. Kita sering kali menggunakan kata cuan baik dalam bercanda maupun obrolan tentang bisnis dan perencanaan usaha kita, dan tak jarang pula ada orang-orang yang mendedikasikan hidupnya hanya untuk mengejar cuan. Ada yang jadi workaholic, materialistis, bahkan ada yang sampai tega menipu demi mendapat cuan yang lebih banyak lagi.

Konsep hidup yang berfokus hanya mencari cuan, cuan, dan cuan saja ini turut membuatku takut kalau-kalau kita menerapkannya juga dalam kehidupan spiritualitas kita, khususnya ketika kita melakukan firman Tuhan. Kita bisa jadi orang yang tawar-menawar dengan Tuhan. Apabila melakukan firman Tuhan membuatku dijauhi, maka ketaatanku pada-Nya kita anggap tidak mendatangkan cuan bagiku. Apabila karena melakukan firman Tuhan aku tidak bisa menjadi pejabat negara, maka maaf Tuhan, Engkau tahu aku membutuhkan posisi ini untuk kehidupanku. Apabila melakukan firman Tuhan membuatku menjadi orang yang tidak bisa menikmati masa muda yang penuh kebebasan, maaf nampaknya aku tidak akan melakukan firman-Mu. Tuhan tahu kok, masa muda hanya sekali dan Dia pasti bisa mengerti.

Coba selidiki hati kita. Apakah pikiran-pikiran seperti itu lahir di benak kita? Apakah kita akan mengelak jika ditantang untuk melakukan firman Tuhan yang dalam beberapa hal tidak akan mendatangkan cuan bagi kita? Apakah boleh demikian?

Hari ini, aku mengajakmu untuk mendengar apa yang Tuhan sampaikan bagi kita melalui 1 Samuel 26. Pasal tersebut mengisahkan tentang Daud yang lagi-lagi membiarkan Saul hidup, padahal Daud bisa saja membunuhnya. Jika ditimbang-timbang dengan pola pikir yang mengutamakan cuan, Daud sebenarnya dapat mengakhiri masa-masa buronnya jika ia membunuh Saul saat itu. Dengan begitu, Daud tidak perlu hidup dalam ketakutan karena dikejar-kejar oleh sang Raja Israel untuk dibunuh. Kalau Daud membunuh Saul, maka musuh Daud seharusnya berkurang. Lagipula, Daud sudah diurapi sebagai raja. Apabila Saul mati, maka Daud dapat menggantikan Saul sebagai raja. Sebilah tombak sebenarnya dapat mengakhiri masa sulit Daud sebagai buronan nomaden dan membuatnya segera menjadi seorang raja.

Akan tetapi, bagi Daud, justru membunuh Saul sebenarnya tidak mendatangkan cuan sama sekali. Bagi Daud, membunuh sang raja yang mengincarnya tidak akan membuat hidupnya aman dan tentram. Justru sebaliknya, keputusan membiarkan Saul tetap hidup  adalah keputusan yang lebih bijak bagi Daud, sebab Daud tahu bahwa membunuh adalah pelanggaran terhadap Tuhan, sang Pemberi hidup (Keluaran 20:13; Ulangan 5:17; 27:24). Daud masih menghormati Saul sebagai orang yang diurapi Tuhan, meskipun Saul berulang kali berusaha membunuhnya (1 Samuel 24:7, 12, 18; 26:9). Bagi Daud, hanya Allah yang berhak membalas apa yang Saul lakukan, sekeji apa pun itu (1 Samuel 26:9-10). Dengan melakukan kehendak Tuhan, Daud justru memperoleh cuan paling besar, yaitu perkenanan Allah, karena dia melakukan apa yang Tuhan kehendaki.

Dalam hidup sebagai orang percaya, melakukan kehendak Tuhan adalah hal yang tidak boleh dikompromi. Melakukan kehendak Tuhan tidak dapat diukur dengan untung dan rugi dari perspektif manusiawi. Mungkin kita akan dikucilkan. Namun, kemuliaan yang akan datang lebih besar daripada penderitaan yang dialami saat ini. Perkenanan Tuhan adalah cuan paling berharga. Untuk apa mempunyai segala cuan di hidup ini kalau Tuhan tidak berkenan dengan hidup kita? Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal. Yesus sendiri mengatakan “… kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya.” (Matius 6:19)

“Lah terus gimana dong, kan kita hidup juga butuh cuan?” Betul. Tapi sebagai orang percaya, perspektif kita harus beda dengan orang tidak kenal Tuhan. Yesus sendiri menegaskan untuk mencari kerajaan Allah dan kebenarannya lebih dahulu (Matius 6:33). Kemudian, segala cuan yang kita butuhkan akan Tuhan tambahkan pada kita, sebab Tuhan tahu bahwa kita memerlukan itu (Matius 6:32-33). Paulus sendiri menganggap segala cuan dalam hidupnya dulu menjadi tidak berharga jika dibanding dengan Yesus Kristus (Filipi 3:8-10). Kita tetap membutuhkan cuan dalam hidup ini, tetapi jangan sampai cuan itu menggeser supremasi Kristus dalam hidup kita.

Kita tetap membutuhkan cuan dalam hidup ini, tapi Tuhan, kehendak-Nya, dan perkenanan-Nya harus menjadi yang terutama bagi hidup kita.

Cukup Tak Selalu Bicara Soal Angka

Oleh Raganata Bramantyo

Lulus kuliah, bekerja di perusahaan keren, mendapat penghasilan besar, dan hidup berbahagia. Itu rumus hidup yang kupegang saat studiku tinggal menanti sidang skripsi. Tetapi, realitasnya tidak begitu. Pekerjaan yang kutekuni sempat membuatku tidak puas, hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengambil langkah besar.

Kepada atasanku, aku bilang begini, “Saya sudah memutuskan dengan matang bahwa di bulan Mei nanti saya ingin keluar dari pekerjaan ini.” Sudah enam tahun aku bekerja di satu instansi yang jadi pekerjaan pertamaku sejak lulus kuliah. Durasi kerja yang tidak sebentar itu sebenarnya menjadikanku lebih profesional daripada awal masuk dulu. Namun, kekhawatiranku akan kebutuhan-kebutuhanku di masa depan serta iri melihat teman-temanku sudah berproses lebih jauh dalam hal income membuatku merasa harus segera keluar dan mencari ladang baru yang lebih menjanjikan.

“Apa alasannya? Kenapa mau keluar?” atasanku balik bertanya.

“Saya rasa pendapatan saya di sini kurang. Saya udah 6 tahun kerja, Pak. Berharap bisa dapetin penghasilan yang lebih banyak.”

Atasan hingga direktur di tempat kerjaku menyetujui permohonanku, tetapi mereka memberiku nasihat bahwa value suatu pekerjaan tidak selalu diukur berdasarkan materi. Jika aku berubah pikiran, kantorku tetap dengan senang hati menyambutku kembali.

Kejadian yang menjungkirbalikkan pandanganku

Beberapa hari setelah obrolan tentang resign, aku mendapat kabar buruk. Papaku mengalami kecelakaan dan dirawat di rumah sakit. Bonggol sendi antara paha dan pinggangnya patah, dan muncul juga penyakit lainnya seperti pneumonia dan yang paling parah adalah autoimun pada bagian usus besarnya. Hanya aku yang punya waktu dan dapat merawat papaku, mengingat papaku telah menikah lagi dan dari keluarga besarku pada mulanya enggan untuk menolongnya.

Saat itu memang biaya pengobatan ditopang oleh BPJS, tetapi tidak semua biaya bisa di-cover. Di sinilah mukjizat terjadi. Dengan tabunganku yang sedikit, rupanya Tuhan mencukupkan dengan berbagai cara. Lebih dari 70 temanku serta beberapa kerabat bahu membahu mengumpulkan uang hingga seratusan juta sehingga semua biaya pengobatan tercukupi. Meskipun pada akhirnya papaku meninggal dunia, tetapi semua biaya pengobatan hingga pemakaman tercukupi tanpa kekurangan sedikit pun. Di samping itu, kantor yang semula ingin kutinggalkan berbaik hati mengizinkanku untuk bekerja dari rumah sakit selama satu bulan tanpa memangkas gaji bulananku.

Momen-momen itu menegurku dengan keras. Aku merasa Tuhan seolah berbicara, “Kamu khawatir sama gajimu yang kecil? Semua kebutuhanmu pasti Aku cukupkan. Biaya rumah sakit papamu pun cukup. Apa yang kamu khawatirkan lagi?”

Aku termenung. Uang yang kudapatkan sebenarnya cukup bagiku, tetapi karena rasa iri aku pun menutup pandanganku akan hal-hal baik yang selama ini aku dapatkan. Mungkin, jika aku berkarier di tempat lain dengan penghasilan yang lebih besar, tentulah ada tuntutan yang lebih besar pula yang mungkin membuatku tidak bisa hadir merawat papaku sampai ujung napasnya. Momen satu bulan kebersamaan itu dipakai Tuhan dengan luar biasa. Aku dan papaku saling memaafkan, dan aku bisa bercerita tentang Tuhan Yesus dan membimbingnya untuk menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya.

Cukup tak selalu bicara soal angka

Pengalamanku di atas mengingatkanku akan kisah tentang seorang kaya raya yang hidupnya tak pernah cukup. Orang kaya itu bernama Rajat Gupta. Dia lahir di Kolkata, India dan menjadi anak yatim pada usia belasan tahun. Tetapi, ketika usianya menginjak pertengahan 40-an tahun, dia menjadi salah satu pebisnis paling sukses. Harta kekayaannya mencapai $100 juta, tetapi dia merasa itu kurang. Ia ingin miliaran dolar. Keinginan inilah yang akhirnya membawanya ke jeruji besi karena dia kedapatan melakukan tindakan curang.

Aku membatin, mengapa Gupta yang telah memiliki uang dengan jumlah amat besar masih saja merasa tidak cukup dan malah ingin terus meraih lebih? Gupta merasa seratusan juta dolar itu kurang. Dia sangat ingin meraih miliaran dolar.

Di sinilah aku mulai belajar merenungkan matematikanya Tuhan. Kita sebagai manusia seringkali berpikir bahwa lebih banyak itu pasti lebih cukup, tetapi natur keberdosaan kita menjadikan kita sulit mendefinisikan pada titik mana kita harus merasa “cukup.” Terhadap keinginan tanpa batas inilah Yesus menegaskan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu” (Lukas 12:15).

Senada dengan sabda Yesus, Morgan Housel, penulis dari buku The Psychology of Money juga menekankan hal yang sama mengapa banyak orang menjadi tamak, “Karena mereka tak tahu kapan harus berkata cukup.”

Morgan juga menuliskan bahwa hanya sedikit di antara kita yang akan atau pernah punya harta miliaran, tetapi setiap kita pada suatu saat dalam hidupnya pasti akan mendapat gaji atau punya sejumlah uang yang cukup untuk mendapatkan kebutuhan dan keinginan kita. Dengan apa yang ada pada kita saat ini, inilah 4 hal yang bisa kita lakukan untuk merasa cukup:

1. Keahlian keuangan tersulit adalah menjaga tiang gawang agar berhenti bergerak

Ketika awal-awal aku merantau ke Jakarta, seorang kakak kelasku mengatakan begini di sesi pertemuan kami, “Temen-temen, kita dulu waktu kuliah bisa kok hidup dengan uang yang seadanya. Sekarang, saat kita udah punya penghasilan yang lebih tetap dan besar, yuk kita coba pertahankan gaya hidup kita. Jangan gaya hidup yang naik, tapi kita belajar memberi lebih.”

Kami pun belajar menekan pengeluaran untuk hal-hal yang kurang penting dan bersifat gengsi semata. Hasil dari hidup berhemat itu kemudian kami kumpulkan untuk membiayai kuliah seorang teman yang kesulitan keuangan.

Menjaga standar pengeluaran memang tidaklah mudah. Ketika penghasilan kita bertambah, tanpa kita sadari ada kebutuhan yang bertambah. Semisal, dulu ketika diberi uang jajan orang tua 1 juta satu bulan kita pergi ke mana-mana naik sepeda. Sekarang, setelah kerja dan punya gaji 5 juta, kita perlu motor untuk menunjang mobilitas karena naik sepeda dirasa terlalu melelahkan. Jika memang kebutuhan yang bertambah itu adalah hal pokok, tentu tidaklah masalah untuk dipenuhi. Toh itu akan menunjang produktivitas atau meningkatkan makna hidup kita.

Tetapi, jika itu hanya sebatas urusan gengsi, di sinilah letak masalahnya. Jika dahulu kita bisa enjoy dengan minum kopi yang kita seduh sendiri, maka sekarang harusnya tak perlu memaksa diri untuk ngopi di kafe-kafe kekinian yang cukup mahal.

2. Berhenti membanding-bandingkan pencapaian finansial

Morgan Housel mengatakan perbandingan sosial adalah pertandingan yang tak akan pernah ada pemenangnya. Semua orang dalam natur keberdosaannya selalu merasa ada yang kurang dengan dirinya.

Kita mungkin hanya melihat hasil dari pencapaian orang lain tanpa tahu seperti apa prosesnya. Menetapkan patokan “sukses” kita pada standar orang lain akan jadi perjalanan yang melelahkan. Alangkah lebih baik jika kita memetakan sendiri apa yang hendak kita capai dan menyerahkannya pada Allah, sebab Dialah yang memelihara dan mencukupkan kita.

3. Cukup adalah cukup

Cukup adalah ketika kita menyadari bahwa menginginkan yang lebih akan mendorong kita pada titik penyesalan. Analogi ini dapat diilustrasikan begini. Satu-satunya cara mengetahui seberapa banyak makanan yang bisa kita makan adalah dengan makan terus sampai muntah. Hanya sedikit yang mencobanya karena tahu kalau muntah itu lebih sakit daripada kenikmatan makan (Housel, 2020:36)

Dengan pertolongan Roh Kudus, kita dapat meminta hikmat untuk mengetahui kapan kita harus berhenti dan berpuas diri dengan pencapaian finansial kita.

4. Uang bisa membeli segalanya, tetapi tidak segalanya bisa dinilai dengan uang

Memiliki keluarga yang menyayangi, teman-teman yang saling mendukung, dan tubuh yang sehat adalah sekelumit dari hal-hal kecil yang membentuk kebahagiaan kita.

Melalui pengalamanku merawat papaku yang menghabiskan uang ratusan juta, aku belajar bahwa ada prestasi terbesarku yang Tuhan karuniakan, yang tak mampu dinilai dengan uang sejumlah apa pun, yakni kebersamaan antara ayah dan anak yang begitu hangat. Dengan uang yang terbatas, Tuhan izinkan aku melihat mukjizat dan pemeliharaan-Nya bahwa Bapa di surga memelihara setiap anak-anak-Nya (Matius 6:26).

Podcast KaMu Episode 9: Raih Cuan dan Jadilah Kaya—Bagaimana Iman Kristen Mengajari Manajemen Keuangan?

Uang itu perkara penting, makanya meraih dan mengelolanya gak boleh asal-asalan. Tapi, di tengah gempuran informasi dan tuntutan hidup yang makin rumit, kita pun kesulitan dalam mengelolanya. Kalau dulu rumus keuangan yang baik adalah hemat pangkal kaya, sekarang kita tak cuma butuh berhemat, tapi butuh melek literasi keuangan.

Ayo simak Podcast KaMu Episode 9 yang menghadirkan Christian Fredy Naa (seorang pengajar dan praktisi) dan dipandu oleh Enrico Jonathan. Di podcast ini kita akan kupas tuntas soal uang—tentang investasi dan produk-produknya, prinsip menabung dan persembahan, juga bagaimana mengelola keinginan dan pemasukan.

Part 1:

Part 2:

Belajar Mempercayai Tuhan Lebih Daripada Aku Mempercayai Nilai Tabunganku

Oleh Mikaila Bisson
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Trust God with Your Finance

Sepanjang hidupku, aku sudah dilatih untuk mengelola uang dengan baik. Saat sekolah, orang tuaku memulainya dengan membuatkanku rekening bank, dan setiap uang yang kuperoleh dari pekerjaan sambilan akan langsung masuk ke sana.

“Kamu menabung untuk keadaan darurat,” kata mereka—yang tentu saja tidak masuk akal bagiku saat itu. Namun, sekarang ceritanya telah berbeda.

Beberapa bulan lalu, pergelangan kakiku patah saat bermain outdoor game bersama teman-temanku. Akibatnya, aku harus dioperasi dan proses pemulihan yang cukup panjang harus kujalani. Kecelakaan itu tidak pernah kurencanakan, tapi ketika itu terjadi aku harus mengeluarkan uang yang jumlahnya tidak sedikit. Barulah sekarang aku paham mengapa menabung untuk dana darurat itu penting. Ketika aku belajar mempercayakan keuanganku kepada Tuhan, rasanya cara pandangku tentang keuangan berubah menjadi lebih baik karena aku melihatnya dari tempat yang tepat.

Dalam Amsal 3:5, kita diperintahkan untuk, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.”

Mempercayai itu sulit, terutama untuk sesuatu yang begitu nyata dan penting seperti uang. Bagaimana kita bisa mempercayakan cicilan rumah, mobil, dan kesehatan kita kepada seseorang yang tidak dapat kita lihat? Bagaimana bisa, jika kita seorang Kristen, mempercayakan keuangan kita pada Tuhan, tapi tetap menabung dan menyiapkan uang untuk hal-hal tak terduga?

Ketika aku harus membayar biaya pengobatan dari kecelakaan yang tak kurencanakan, aku takut dan sedih. Namun, barulah ketika aku pelan-pelan mencerna semua perasaan itu, aku jadi lebih memahami apa artinya mempercayakan keuanganku kepada Tuhan.

Meskipun Alkitab tidak memberikan pedoman khusus tentang bagaimana menyusun anggaran bulanan atau portofolio keuangan kita, Alkitab memberikan bimbingan pada bagaimana kita harus bersikap terhadap uang, terkhusus pada perasaan takut akan kehilangannya.

Mempercayai Tuhan dengan keuangan kita seperti… percaya Dia menyediakan untuk kita–tak melulu uang.

Reaksi pertamaku ketika melihat tagihan tak terduga adalah takut. Lupakan fakta bahwa aku baru sembuh dari patah tulang, aku menangis karena tagihannya mahal. Asuransiku tidak sepenuhnya meng-cover tagihan, dan aku khawatir aku tidak akan pernah mendapatkan kembali tabungan yang telah kukumpulkan dengan susah payah.

Namun, Yesus berkata dalam Matius 6:25-26,

“… Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.”

Burung-burung pun Tuhan pelihara, tentulah Dia juga memelihara kita.

Tuhanlah yang memampukanku mengumpulkan tabungan untuk kecelakaan ini—bahkan ketika aku kesulitan meraihnya di masa itu. Tuhan juga merawatku dengan cara lain. Dia membantuku menemukan konselor di kotaku yang baru beberapa minggu sebelum aku putus dengan pacarku, memberiku para sahabat yang menolongku melewati masa-masa sulit, dan segala sesuatu lainnya.

Saat aku belajar mengenal karakter-Nya, Tuhan juga menunjukkanku cara pemeliharaan-Nya. Semua ini menunjukkanku bahwa Tuhan menginginkan yang terbaik bagiku dan rencana-Nya lebih besar daripada yang kutahu. Tuhan menunjukkan kesetiaan-Nya terus-menerus. Ketika iman percayaku memudar pada masa-masa tertentu, mengingat bagaimana Dia memeliharaku menolongku untuk tetap kuat. Dia memegang kendali dan selalu layak dipercaya.

Mempercayakan keuangan kita kepada Tuhan ibarat… menemukan sukacita di tengah kekhawatiran

Namun sesungguhnya, aku masih khawatir meskipun aku tahu Tuhan telah menjanjikan bahwa Dia pasti memelihara. Aku tetaplah manusia. Ketakutanku terkadang begitu melemahkan, sehingga aku harus mencari pertolongan pada konselorku, teman yang kupercaya, atau orang tuaku. Sementara itu, berkali-kali aku menangis karena takut akan masa depan, aku juga menangis meratap.

Aku selalu diberitahu bahwa tidak apa-apa berduka atas kehilangan, dan bagiku, kehilangan tabungan adalah kerugian yang sangat besar. Tapi Yesus berkata dalam Mazmur 34:18, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”

Sementara aku berduka karena kehilangan tabunganku, Tuhan dekat denganku.

Dia bekerja untuk menunjukkanku seluruh hal-hal berbeda yang dapat membawa sukacita padaku: keluarga yang akan merawatku saat aku membutuhkan mereka, seorang dokter yang membuat jadwal operasiku lebih cepat dari yang diharapkan, dan tubuh sehat yang memungkinkanku pulih dengan cepat.

Tabunganku memang penting bagiku, tapi yang lebih penting adalah cara Tuhan yang sederhana namun sangat penting bekerja untuk kebaikanku—dan membantuku menemukan sukacita!—tepat di depan mataku.

Seiring aku terus berupaya memperbaiki kondisi keuanganku, mempercayai Tuhan masihla menjadi hal yang sulit. Tetapi, ketika aku memahami dan mengenali sumber perasaan takutku dan bagaimana Alkitab menolongku memprosesnya, kekhawatiranku akan kehilangan uang pun memudar.

Ketika dulu aku mengandalkan diriku sendiri supaya hidup berkecukupan, sekarang aku telah meraih pandangan baru yang memampukanku untuk lebih mempercayai pemeliharaan Tuhan buatku, meskipun cara-Nya tidak selalu seperti yang kuharapkan.

5 Tips Mengelola Uang di Masa-masa Sulit

Uang kuliah naik, tapi uang jajan tetep
Dulu beli bensin 10 ribu udah full tank, sekarang tydack~

Inflasi tidak terhindarkan. Semua bertambah mahal. Tapi, di sinilah kita ditantang untuk hidup bijaksana. Mengelola uang dengan cermat sembari percaya teguh akan pemeliharaan Tuhan.

Yuk simak 5 tips dalam artspace ini.


Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Dear Temanku, Mohon Maaf Aku Gak Bisa Meminjamkanmu Uang

Oleh Agustinus Ryanto

“Orang yang ngutang sama yang diutangin mah galakan yang ngutang.”

Aku tertawa membaca meme tersebut yang dimuat di Twitter meskipun aku sendiri jarang mengalaminya. Hingga suatu hari, datanglah seorang temanku. Dia curhat dan meminta pendapat. Katanya, ada teman kantornya meminjam uang. Sekali dua kali dia meminjamkan karena alasannya adalah untuk berobat. Tapi, bulan-bulan kemudian, temannya ini jadi sering meminjam uang dengan alasan yang tak bisa dia jelaskan dengan spesifik.

Di permintaannya yang ke sekian, temanku menolak meminjamkan. Namun, respons yang didapatnya adalah, “Kok kamu gitu sih? Kamu kan kebutuhannya sedikit, belum married. Masa segitu aja gak ada?”

Temanku kaget dengan respons itu. Dia tidak mau meminjamkan karena memang bulan itu uangnya pas-pasan. Dengan sopan dia menolak permintaan itu sekaligus menagih utang-utangnya terdahulu, tapi jawaban yang didapatnya semakin ketus dan temannya itu pun tak mau lagi menjawab chat di WA.

Belajar dari kisah temanku, kurasa ada banyak di antara kita yang—demi menjaga hubungan baik—susah menolak permohonan meminjam uang. Meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan sejatinya adalah tindakan yang baik, yang dapat menolong seseorang. Lagipula, bukankah Alkitab mengatakan agar kita menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan kita sendiri? (Filipi 2:4). Tetapi, hendaknya kita tidak salah mengartikan nats tersebut. Menolong orang lain bukan berarti mengabaikan aspek batasan diri dan disiplin.

Jika kamu termasuk orang yang susah menolak ketika dipinjami uang, inilah beberapa hal yang baik untuk kita renungkan bersama:

1. Ingatlah bahwa uang adalah perkara sensitif

“Hiroshima hancur karena bom atom. Warung hancur karena kasbon.”

Pernah melihat teks di atas? Teks itu dimuat dalam sebuah meme yang menggambarkan seorang pemilik warung yang menolak orang berbelanja dengan cara berutang. Meminjamkan uang kepada teman berpotensi merusak relasi yang telah dibangun dengan baik. Potensi rusak itu muncul ketika terjadi kesalahpahaman, komunikasi yang buruk, atau ketika kesepakatan bersama dilanggar.

Besarnya potensi konflik yang diakibatkan utang-piutang juga turut dibahas dalam Alkitab. Perjanjian Lama, dalam Ulangan 24 dan keluaran 22 menunjukkan bahwa masyarakat Israel Kuno juga melakukan praktik pinjam-meminjam uang dan Allah menetapkan hukum-hukum agar utang tersebut tidak menjadi alat penindasan bagi si pemberi atau solusi instan bagi si peminjam. Tetapi, meskipun praktik ini diperbolehkan, Alkitab juga mengajarkan agar sebisa mungkin seseorang tidak berutang. Amsal 22:7 berkata, “Orang kaya menguasai orang miskin, yang berutang menjadi budak dari yang mengutangi.”

Secara tidak langsung, ketika seseorang berutang, dia memberi dirinya berada di bawah kuasa orang tersebut yang diatur dalam kesepakatan bersama. Utang adalah kewajiban yang harus dibayar kembali, jika seseorang malah melarikan diri, maka dia telah melakukan cara orang fasik seperti tertulis, “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi orang benar adalah pengasih dan pemurah” (Mazmur 37:21). Namun, jika kita memang telah memberikan pinjaman, hendaknya kita tidak menjadikan utang tersebut sebagai cara untuk menekan orang kecil dan lemah dan memerasnya (Keluaran 22:25).

2. Kenali batasan dirimu supaya kamu berani berkata tidak

Salah satu alasan yang paling sering kita kemukakan ketika tidak berani menolak adalah kita merasa gak enakan. Orang itu kan sudah baik sama kita, jadi masa kita gak tolong dia?

Meminjamkan uang diperlukan pertimbangan yang matang. Di satu sisi kita memang dipanggil untuk memerhatikan kepentingan orang lain (Filipi 2:4), tetapi di sisi lain kita juga diajak untuk memberi dengan murah hati, bukan karena paksaan (2 Korintus 9:7-8). Ketika kita diminta untuk meminjamkan, yang perlu kita selidiki adalah kemampuan kita sendiri lebih dulu. Jangan sampai demi meminjamkan seseorang sejumlah uang kita merasa dipaksa, yang berakibat kita jadi kekurangan dan malah mencari pinjaman dari orang lain demi memenuhi kebutuhan kita yang krusial.

Jika sumber daya yang kita miliki tidak mencukupi, kita dapat dengan sopan menolak permohonan tersebut. Ingatlah bahwa yang kita tolak adalah permintaannya, bukan orangnya. Kita tetap dapat mengasihi orang yang hendak meminjam tersebut dan mencari cara-cara lain untuk menolongnya.

3. Pertolongan tersedia dalam berbagai bentuk, tak melulu uang

Di zaman modern ketika segala sesuatunya membutuhkan uang, dan uang terkesan menjadi solusi pamungkas atas semua masalah. Tetapi, Tuhan dapat menolong kita lewat berbagai cara, tak melulu melalui berkat jasmani berupa uang.

Ketika seseorang hendak meminjam uang, tetapi kita sendiri tidak dapat memenuhi permintaannya, kita dapat dengan sopan menolak sembari menawarkan diri mengenai alternatif bantuan apa yang dapat kita berikan. Semisal, ketika seorang teman kuliah membutuhkan sejumlah uang untuk membayar tunggakan semesterannya, kita bisa mendampinginya untuk belajar lebih keras sembari mencari-cari beasiswa. Cara ini memang tidak praktis dan butuh waktu lama untuk melihat hasilnya. Tetapi, jika kita bersedia melakukan ini dengan setia (dan orang tersebut bersedia ditolong), kita sedang menolong orang tersebut untuk berdaya dan survive tak hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depannya.

4. Selalu mengiyakan tidak menjadikan seseorang bertumbuh

Memberi pada dasarnya adalah hal yang baik, tetapi jika kita tidak bijaksana, hal ini dapat menjadi celah yang dimanfaatkan seseorang untuk tidak berusaha lebih. Seperti disebutkan dalam poin pertama, meskipun Alkitab tidak melarang praktik berutang, tetapi Alkitab menganjurkan agar kita tidak berutang. Utang bukanlah solusi pertama dari setiap permasalahan finansial seseorang.

2 Tesalonika 3:10 berkata, “…jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan.” Ayat ini ditulis Paulus memang bukan dalam konteks spesifik tentang utang-piutang, tetapi sebagai penekanan bahwa kemalasan bukanlah sifat yang berkenan bagi Tuhan. Ketika seseorang menjadikan utang sebagai langkah pertama, bisa jadi dia sedang terjebak dalam kemalasan yang dia sendiri tidak sadari. Penolakan yang kita berikan kepada orang-orang seperti ini bukan berarti kita pelit atau tidak peduli, tetapi sebagai langkah sederhana kita menunjukkan disiplin kepadanya.

5. Doakan dan tetaplah bersikap murah hati

Tidak dapat memenuhi permintaan tolong dari seseorang bukan berarti kita tidak memerhatikannya. Doakanlah dia beserta pergumulan yang tengah dihadapinya. Mendoakan seseorang berarti kita peduli dan memohonkan agar kuasa Tuhan dinyatakan dalam hidupnya.

Kita juga dapat berdoa agar Tuhan selalu mengaruniakan kita kemurahan hati. Meskipun pada kali ini kita tidak dapat menolong orang lain sesuai permohonannya, tetapi sikap murah hati memampukan kita untuk tetap peduli dengannya. Kepedulian kita kepada sesama bukanlah tindakan untuk menyenangkan hati orang lain atau sebagai ajang memamerkan kebaikan diri, tetapi bentuk kasih kita kepada Allah yang memerintahkan kita untuk saling mengasihi (Filipi 2:3-4).

Jika kamu sedang berada di posisi kesulitan keuangan sehingga hendak meminjam uang, atau jika kamu sedang menghadapi seseorang yang hendak meminjam kepadamu, kiranya damai sejahtera dan hikmat surgawi memampukanmu untuk bertindak dengan bijaksana.

Aku Ditipu dan Kehilangan Uang, Tapi Tuhan Pelihara

Oleh Sheena
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Lost A Huge Sum Of Money, But God Looked After Me

Di awal 2021, aku harus keluar kerja di tengah pandemi karena papaku memintaku pulang untuk menolongnya mengurus masalah keluarga. Padahal saat itu aku sudah bekerja selama lima tahun dan baru saja naik jabatan dan mendapat kenaikan gaji.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa mendapatkan pekerjaan baru dan kapan bisa kembali ke kota perantauanku, belum lagi ditambah bagaimana aku harus membayar semua tagihan. Namun, di titik itu aku harus memilih antara karier atau papaku. Meskipun berat, aku memutuskan untuk menaati papaku dan pulang ke kampung halaman.

Bulan-bulan setelahnya, masalah keluarga mulai terurai dan aku punya waktu untukku sendiri. Barulah aku mulai mencari-cari kerja secara online. Aku ingin pekerjaan yang menjanjikan dari segi gaji, tapi juga bisa dilakukan dari rumah supaya aku bisa menemani papaku. Jadi, ketika ada satu lowongan yang tugasnya adalah meningkatkan penjualan untuk sebuah lapak digital, aku pun berniat melamar ke situ. Tapi, sebelum mengirim semua berkasku, aku mencari tahu dulu tentang perusahaan ini. Semuanya tampak meyakinkan.

Namun… rupanya itu perusahaan bodong yang tujuan utamanya adalah menipu. Bukannya mendapat kerja, aku malah kehilangan uang dalam jumlah besar yang akhirnya membuatku berutang kepada teman-teman dekatku. Aku pun perlu menjelaskan kondisiku ini kepada mereka satu per satu.

Kesialan ini turut mengguncang relasiku dengan pacarku. Dialah yang pertama kali menolongku meminjamkan uang. Dia percaya aku bisa meraih kembali uangku yang hilang. Kami memang berusaha apa yang kami bisa–melapor ke polisi dan menceritakan semua detail kejadiannya. Bersyukurnya, meskipun aku merasa bersalah pada pacarku, kami mampu mendiskusikannya dengan kepala dingin dan menyerahkan prosesnya kepada Tuhan karena segala yang kami bisa telah kami lakukan.

Sembari proses penyelidikan berjalan, aku terjebak dalam depresi. Aku rasa aku bisa mengampuni semua orang yang terlibat dalam kejadian penipuan ini—para penipu, teman-teman yang menghilang saat aku susah, pembimbing rohaniku yang lebih peduli akan pacarku—tapi aku tak bisa mengampuni diriku sendiri.

Pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi otakku—”Gak bakal ada orang yang mengasihiku lagi”; “Aku lebih baik mati bunuh diri supaya orang-orang di sekitarku bahagia”; “Aku gak berharga”. Aku tahu semua pikiran negatif ini tidak menolong, tapi aku tak tahu bagaimana menyingkirkannya.

Beberapa minggu sebelum retret gereja, aku meminta bantuan kepada gerejaku untuk menolongku mengatasi rasa depresiku. Sepuluh tahun lalu aku pernah mengikuti konseling untuk masalah lain, dan sekarang pun kutahu aku tak bisa menuntaskan masalahku sendirian. Semua kejadian getir ini mempengaruhi tak cuma diriku sendiri, tapi juga relasiku dan juga kinerjaku sebagai panitia dalam acara retret.

Dengan pertolongan konselor, aku mengenali pikiran-pikiran negatif ini datangnya dari Iblis, bapa segala dusta (Yohanes 8:44). Semua pikiran negatif membentuk “benteng” dalam pikiranku yang menghalangiku dari meraih pengampunan Allah. Aku harus merobohkan benteng itu dengan “menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5). Artinya, aku belajar untuk menjadikan firman dan janji-Nya untuk melawan semua pikiran negatif. Ketika aku merasa khawatir atau tidak layak, Dia mengingatkanku bahwa Dia memegang tanganku, serta menolongku (Yesaya 41:13). Allah mengasihiku dan dengan setia berada di dekatku (Mazmur 117:2). Dia melihat pergumulanku, merasakannya, dan tetap menopangku (Mazmur 55:22).

Di akhir sesi konseling, aku mengikuti doa yang diucapkan konselorku untuk mengampuni diriku sendiri.

Perjalanan pemulihan ini berlanjut. Di sesi retret, aku diingatkan lagi bahwa aku tak dilupakan dan Allah besertaku apa pun situasiku. Saat aku membuka telingaku untuk mendengar-Nya, Dia membuka tangannya untuk memelukku kembali.

Suatu ketika, aku melewati toko bunga dan dalam pikiranku muncul gambar akan sebuah bunga yang ditutupi oleh semacam kubah. Gambaran itu mengingatkanku akan bagaimana Tuhan melindungiku melalui kasus penipuan ini. Tuhan mengirim teman-temanku untuk mengingatkanku, dan ketika yang terburuk terjadi, Dia memastikan aku tetap bisa keluar dari jeratan dosa itu.

Tuhan mengizinkanku untuk melihat bahwa uang bukanlah segalanya, bahkan ketika Dia menyediakanku uang yang cukup untuk membayar semua utangku dalam dua tahun.

Tuhan memberiku pemahaman baru akan ayat yang sudah sering kita baca, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yeremia 29:11).

Dulu aku berpikir bahwa rencana yang Tuhan sudah siapkan buatku itu pasti termasuk karier dan arahan hidup, tapi sekarang Tuhan menunjukkanku bahwa “rancangan damai sejahtera” tidak berarti hidup berkelebihan dalam uang, tapi Dia akan memenuhi kita secara rohani dengan menarik kita mendekat pada-Nya supaya kita dapat sepenuhnya bergantung pada-Nya.

Meskipun aku berada dalam terowongan gelap, Dia ada di sana. Dia menggunakan momen-momen kegelapan untuk menenangkan dan menunjukkanku akan kesetiaan-Nya setiap waktu, meskipun hidupku terasa sangat kacau.

Hari ini aku dapat bersaksi akan kebaikan dan kasih-Nya buatku. Dia telah membuka pintu untukku kembali pada kota perantauanku dan memberiku pekerjaan yang memberiku lebih daripada apa yang kubutuhkan. Sekarang aku bisa menabung uang yang cukup supaya aku bisa melunasi semua utangku dalam dua tahun ke depan.

Kasih dan rezeki dari Tuhan datang padaku dalam berbagai cara:

  • Seorang temanku menolongku dari waktu ke waktu dengan memberiku pinjaman. Aku dapat melunasinya dalam lima tahun. Teman yang lain membelikanku makanan dan memberiku barang-barang yang menolongku untuk melewati masa-masa sulit.
  • Orang tuaku ikut menolong dengan cara-cara sederhana. Mereka memberiku hal-hal kecil meskipun aku tidak memintanya.
  • Pacarku tetap bersamaku meskipun kesalahan besar telah kubuat. Dia telah melamarku dan kami sedang mempersiapkan pernikahan kami.

Seiring aku menjumpai Tuhan dan meluangkan waktuku bersama-Nya, mengizinkan Dia untuk menunjukkan kebenaran kasih dan anugerah-Nya, aku telah belajar untuk lebih mendengar suara-Nya daripada suaraku sendiri atau bahkan suara Iblis.

Jika kamu saat ini sedang berada di dalam lembah kekelaman dan merasa tak ada seorang pun di sisimu, ketahuilah kamu tidak sendirian. Tuhan ada bersamamu, memedulikanmu. Kamu mungkin merasa tak berharga, tapi Dia mengatakan kamu berharga. Kamu merasa tak seorang pun mengertimu, tapi Dia mengerti.

Tuhan selalu menantimu untuk kembali pada-Nya tak peduli seberapa jauh kamu berlari. Raihlah kelegaan sejati dengan kembali berpaling pada-Nya.

Cerpen: Aku (Bukan) Si Pelit

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Bukan rahasia lagi kalau aku dikenal konservatif dalam berbagai hal terlebih untuk urusan berbagi sampai-sampai temanku sering menyebutku “Anggi si pelit”. Gelar baru itu kudapat sehubungan dengan kebiasaanku yang sangat berhati-hati dalam memberikan sesuatu baik barang atau jasa.

Semasa kecil, aku akan sangat mudah mengatakan “tidak” untuk teman-teman yang meminjam pulpen atau mainanku. “Nanti mamaku marah,” “Aku masih memakainya,” atau lebih ekstrem sampai berbohong, “Aku hanya punya satu.” Aku selalu mencari alasan agar apa yang ada padaku tidak dipakai atau diminta orang lain.

Beranjak remaja dan kuliah, berbagai kecenderungan egoisku semakin kentara. Aku terkesan tidak mau sharing apa yang sudah kuketahui, tapi sebaliknya aku akan sedikit memaksa teman-temanku menjelaskan hal-hal yang tidak kumengerti. Dalam hal keuangan, aku juga begitu. Saat ada kegiatan di luar kampus, aku kadang memilih menumpang pada teman jadi uang bensinnya tidak kutanggung sendiri. Aku juga sering keberatan saat kami harus mengumpulkan uang untuk merayakan ulang tahun dosen atau teman sekelas. Dulu aku mencoba berdalih kalau semua itu kulakukan hanya untuk menghemat dan bersikap bijaksana dengan uang atau barang-barang yang kumiliki. Belakangan, sepertinya teman-temanku tidak lagi mengenal karakterku yang lain, mereka hanya mengingatku sebagai pribadi yang susah berbagi.

Aku mengakui dalam beberapa sisi hidupku, julukan ini ada benarnya, namun aku tidak nyaman kalau pada akhirnya keseluruhan hidupku disimpulkan dengan satu label negatif tersebut. Teman-temanku seharusnya bisa melihat bagaimana aku selalu berusaha menepati hal-hal yang kujanjikan, aku juga bisa mengerjakan bagianku dengan bertanggung jawab. Untuk urusan keuangan, menurutku aku bisa mengendalikan diri untuk membedakan kebutuhan dan keinginan. Dalam hal berbagi, aku pun sudah mulai belajar. Di masa pandemi lalu beberapa kali aku mengirimkan sesuatu untuk teman dan saudara yang sedang melakukan isoman. Akhir-akhir ini aku bahkan memilih mengontrak bersama teman-teman kerjaku agar bisa berbagi pakai barang dengan mereka. Aku minta maaf jika ini terkesan sesumbar, tapi aku juga ingin mereka menyadari ada sisi baik dari diriku.

Aku yakin kalau aku bukan satu-satunya orang yang merasa terganggu dengan muatan identitas baik berupa label negatif atau positif. Tidak hanya dari orang lain, kita sendiri pun terkadang mau memberikan label tertentu pada diri kita. Mungkin kita adalah “Si A Ekstrovert”, selalu ceria dan dianggap aneh jika terlihat murung. Boleh jadi juga kita menamai diri sebagai “Si B Introvert” yang bisa menjaga rahasia, jadi teman-teman sering curhat padahal kita sedang tidak siap mendengar. Barangkali kita lebih mirip dengan julukan “Si C yang menyenangkan”, enggan menolak karena khawatir melukai perasaan orang lain. Atau justru kita “Si D” yang cenderung mengatakan pikiran kita terlebih saat tidak setuju
atau tidak suka dengan sesuatu sehingga dijuluki si pemarah dan sulit diajak kompromi.

Tidak hanya berisi kesan negatif, label yang melekat pada seseorang juga ternyata ada yang berdampak baik. Contohnya dalam penelitian “The Saints and the Roughnecks” yang dilakukan sosiolog J. Chambliss. Penelitian ini mengamati dua kelompok remaja, yang sering melakukan kenakalan seperti bolos sekolah, mengkonsumsi alkohol di sekolah, melakukan vandalisme dan mencuri. Meski sama-sama nakal, masyarakat sekitar mencoba memberikan label yang berbeda bagi keduanya, yang satu sebagai “The Saints” (Orang Baik) dan yang lain dengan julukan “The Roughnecks” (orang Kasar). Dari hasil observasinya selama dua tahun, ia menemukan bahwa 7 dari 8 remaja kelompok The Saints bisa berubah. Sebaliknya, anak-anak yang berada dalam kelompok The Roughnecks tetap hidup dengan kenakalan mereka. Hasil ini tampak sejalan dengan teori pelabelan di mana dikatakan pada dasarnya jika seseorang berulang kali diberitahu/dicap dengan “sesuatu yang negatif atau sesuatu yang positif,” maka pada akhirnya dia akan cenderung memenuhi label tersebut.

Dari Alkitab kita juga bisa belajar bahwa baik penyebutannya bernilai baik atau buruk, label apapun yang melekat pada diri seseorang tidak bisa dipakai untuk menggambarkan keseluruhan hidup seseorang. Akhir kisah Thomas pasti jauh berbeda seandainya Tuhan Yesus hanya memandangnya sebagai “Si tukang ragu-ragu” atau “Pribadi yang sulit percaya.” Sebaliknya, Ia memberi kesempatan pada Thomas untuk mengulurkan dan mencucukkan jarinya ke lambung-Nya (Yohanes 20:24-29). Atau seperti cerita Simon yang bertemu dengan Yesus dan dinamai Kefas yang artinya Petrus (Yohanes 1:40-42). Kefas adalah nama dalam Bahasa Aram untuk Yunani Petrus yang secara harfiah artinya “Batu” atau “Batu Karang”.

Kita pasti setuju sebutan “Batu Karang” menggambarkan stabilitas atau keteguhan. Namun, tampaknya penyebutan ini bertentangan tidak saja dengan kepribadiannya, tetapi juga dengan sejumlah peristiwa dalam kehidupan Petrus di hari-hari selanjutnya ia bersama Yesus. Dalam Lukas 5 kita bisa membaca bagaimana ia akhirnya menuruti perintah Yesus untuk kembali menyebarkan jala meskipun sempat mempertanyakannya. Di lain hari, dengan kuasa-Nya Petrus berhasil berjalan di atas air hingga keraguannya membuat ia mulai tenggelam. (Matius 14:22-33) Kita juga tidak asing dengan kisah sebelum ayam berkokok. Petrus, “Si Batu Karang yang Teguh” menyangkal bahwa dia mengenal Yesus (Lukas 22:54-62).

Tidak hanya berlaku bagi Simon dan Petrus. Entah diberikan atau kita sendiri yang menyematkannya, julukan tidak selalu mewakili keseluruhan hidup kita. Perjalanan, pengalaman membawa kita mengalami pasang surut, termasuk dalam kepribadian dan karakter. Lebih dari itu kita juga harus mengetahui—terlepas dari apa yang telah atau belum kita lakukan—kuasa Allah cukup besar untuk membantu kita berubah. Tidak ada kesalahan atau dosa yang terlalu fatal untuk diampuni oleh anugerah-Nya. Tak satupun kebiasaan yang terlalu melekat untuk diubahkan oleh kasih-Nya. Ia sanggup membantu kita menghancurkan label yang menyandera kehidupan kita selama ini. Identitas kita tidak ditentukan oleh label atau pengakuan lain sejenisnya.

Kendati aku juga masih berjuang untuk tidak terpengaruh dengan label dan julukan diriku, aku berdoa semoga kamu juga merasakan kasih karunia Allah untuk menyingkirkan apapun label kejam yang membebanimu. Entah kamu seorang yang dikenal sebagai pecandu dan bergumul menyingkirkan hal-hal yang mengikatmu. Kamu yang sedang belajar untuk makan dengan benar dan olahraga teratur karena terganggu dengan mereka yang memanggilmu “Si Gemuk.” Kamu yang terus berusaha menikmati pekerjaanmu kendati sebagian keluarga menganggap pilihan kariermu kurang pas. Bahkan kamu yang selalu memperjuangkan hal-hal yang dampaknya mungkin tak kasat mata atau tidak berwujud.

Semoga Allah senantiasa menolong kamu dan aku untuk semakin menemukan kemerdekaan dalam kasih-Nya dan berjalan mendekati visi-Nya bagi kita masing-masing (Yeremia 29:11).

Soli Deo Gloria