Posts

Kelemahan Bukanlah Alasan untuk Tidak Melayani

Oleh Priska Aprilia, Bandung

Beberapa waktu lalu, komunitas menulis yang kuikuti menghubungiku. Mereka hendak melakukan syuting salah satu proyek video di Bandung dan bertanya apakah aku dapat meminjamkan peralatan-peralatan syuting kepada mereka. Karena aku memiliki peralatan yang mereka butuhkan, aku pun menyanggupinya. Proses syuting ini pun kemudian jadi sebuah momen yang mengingatkanku kembali tentang hati yang melayani.

Ketika hari syuting tiba, aku membantu memasang peralatan dan mengikuti prosesnya. Awalnya kupikir ini akan jadi proses syuting yang biasa, tapi dugaanku salah. Meski tampaknya biasa saja ternyata orang-orang yang disyuting memiliki disabilitas. Mereka adalah rekan-rekan dari komunitas tunarungu di kota Bandung yang akan menampilkan nyanyian dalam bahasa isyarat.

Proses syuting berjalan lancar, meski sedikit alot karena ada beberapa kesalahan dan perbedaan cara komunikasi. Kesabaran, rasa respect dan rendah hati amat diperlukan selama proses syuting ini. Aku berusaha menangkap perkataan mereka meskipun lafalnya tidak terdengar jelas. Sedikit-sedikit, aku juga belajar bahasa isyarat sederhana. Ketika jeda berlangsung, komunitas tunarungu ini saling mengingatkan menggunakan bahasa isyarat, berulang-ulang sampai mereka bisa melakukan gerakan bahasa isyarat yang benar. Puji Tuhan, tiga minggu kemudian, proyek video ini pun ditayangkan di YouTube dan menuai hasil yang positif.

Cerita kedua yang ingin kubagikan adalah baru-baru ini komunitas pemuda di gerejaku melakukan ibadah bersama rekan-rekan dari pondok belajar yang beranggotakan anak-anak jalanan. Pendiri pondok belajar tersebut terpanggil untuk melayani anak-anak yang kurang mampu agar bisa mendapatkan akses pendidikan yang baik. Pelayanan ini tidaklah mudah. Seringkali dia bergumul karena dana operasional yang kurang. Tetapi, dia dan rekan-rekan pengurus tidak menyerah dan Tuhan pun selalu menolong mereka.

Dari dua pengalaman yang kutulis di atas, menurutmu apakah persamaannya?

Jawabanku adalah: kelemahan.

Rekan-rekan tunarungu memiliki kelemahan fisik. Sedangkan rekan-rekan dari pondok belajar mengalami kesulitan finansial. Tetapi, kendala-kendala tersebut tidak menjadikan mereka berhenti melayani.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia memiliki kelemahan yang bisa jadi disebabkan karena kondisi fisik ataupun keadaan yang dialami. 2 Korintus 12:7 berkata, “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri.” Perkataan Paulus tersebut menyiratkan bahwa meskipun ada kelemahan dan kendala yang harus dia alami dalam pelayanannya, itu menolong Paulus untuk lebih bergantung pada kasih karunia ilahi. Ini pun berlaku bagi kita, kelemahan diizinkan Tuhan terjadi supaya kita bersandar kepada-Nya.

Mungkin kita pernah berpikir bahwa untuk melayani haruslah sempurna dan tidak pernah gagal. Padahal, Tuhan seringkali memakai orang-orang yang memiliki kelemahan sebagai alat-Nya. Kita dapat datang pada Tuhan dan mengakui kelemahan-kelemahan yang kita miliki. Bahkan, Kristus dalam pelayanan-Nya di dunia juga sempat mengakui kelemahan-Nya ketika Dia meminta murid-murid untuk tinggal dan berjaga-jaga dengan-Nya seraya Dia berdoa. Kenalilah Kristus yang kita layani, juga diri kita sendiri, lalu dengan jujur terimalah apa yang jadi kelemahan kita. Izinkanlah Tuhan berkarya di dalam kelemahan kita.

Tuhan memberikan Roh Kudus sebagai penghibur dan penolong bagi kita. Roh Kuduslah yang memampukan kita untuk melayani Tuhan di dalam kelemahan yang kita miliki.

Yuk mulai sekarang janganlah ragu, merasa tertuduh, atau terintimidasi atas kelemahan yang kita miliki.

Baca Juga:

Bertobat dari Kemalasan

Sejak lulus kuliah aku hidup bermalas-malasan tanpa ada niatan untuk memperbaiki diri. Hingga suatu ketika, Tuhan menegurku dengan keras.

Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Oleh Chelsea*, Jakarta

Aku punya seorang teman yang tunarungu sepertiku. Aku mengenalnya sejak kami berada di sekolah khusus tunarungu beberapa tahun yang lalu. Kami juga berteman di salah satu media sosial. Pernah beberapa kali aku melihat curahan perasaan dan pengalamannya yang dia tuliskan di beberapa postingan.

Suatu ketika, dia disakiti oleh kedua temannya yang bukan tunarungu. Kedua temannya itu melontarkan kata-kata yang kasar kepadanya hingga membuat dia menangis dan sakit hati. Kemudian, temanku itu mengungkapkan kekesalannya dengan menuliskannya di status-status dalam media sosialnya bersamaan dengan hasil screenshot foto yang berisikan percakapan konflik antara dia dan kedua temannya hingga membuahkan beberapa komentar dari teman- temannya.

Membaca status yang ditulis oleh temanku itu membuatku turut merasa sedih. Aku mengerti bagaimana pedihnya diperlakukan secara kasar oleh orang lain. Oleh karena itu, walaupun aku tidak terlalu sering bertemu dengannya, aku jadi tergerak untuk menolongnya. Aku mengiriminya pesan dan bertanya tentang keadaannya beberapa kali, tapi dia kadang menanggapi kadang juga tidak. Dia masih terus saja mengungkapkan kemarahannya melalui status-status di media sosialnya.

Sampai suatu ketika, dia akhirnya membalas pesan itu. Melalui aplikasi chatting dia memberanikan diri untuk bercerita kepadaku. Katanya, dia sempat merasa iri hati kepada temannya yang bisa memiliki pasangan hidup yang tidak memiliki kekurangan fisik. Lalu, singkatnya karena perasaan itulah mereka jadi terlibat konflik di mana kedua temannya itu semakin membuatnya merasa sakit hati. Mendengar penuturan itu, aku pun memberinya sedikit saran supaya dia bisa melupakan kejadian ini dan menjadikannya sebagai pelajaran agar kelak tidak terulang lagi. Lalu, aku mendoakannya, juga mendoakan kedua orang yang telah menyakitinya meski aku tidak terlalu mengenal mereka.

Akan tetapi, setelah pembicaraan kami usai, temanku itu masih belum berubah. Dia terus saja menuangkan emosinya melalui media sosial.

Kembali, aku menegurnya dengan lembut dan mendorongnya untuk bisa berdamai dengan dirinya sendiri dan juga memaafkan kedua orang yang telah menyakitinya itu. Dan, puji Tuhan karena pada akhirnya dia bisa pulih dari rasa sakit hatinya dan tidak lagi merasa sedih.

Pengalaman yang dialami oleh temanku itu juga mengingatkanku akan pengalaman serupa yang pernah aku alami. Dulu, aku pernah dibuat sakit hati oleh mantan pacarku karena tutur kata dan perbuatannya. Lalu, aku juga pernah merasa sakit hati karena merasa kehidupan ini tidak adil. Sulit rasanya menemukan pekerjaan untuk orang-orang penyandang disabilitas sepertiku. Jangankan untuk bekerja, untuk pelayanan di gereja pun terkadang sulit. Berat rasanya jika aku mengingat kembali momen-momen yang tidak menyenangkan itu. Seringkali aku pun menangis sendirian baik itu di gereja ataupun di rumah tanpa sepengetahuan oranglain, aku menangis sembari memendam rasa kekesalanku. Aku bertanya kepada Tuhan: “Mengapa harus begini? Aku tidak mengerti mengapa mereka bisa berbuat begitu kepadaku.”

Tapi, alih-alih membiarkan diriku kecewa berlarut-larut dan menjadi terpuruk, aku percaya bahwa segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karena itu, aku memilih untuk berdoa. Aku belajar untuk mendoakan mantan pacarku itu, juga berdoa supaya melalui proses pencarian kerja yang sulit itu Tuhan boleh menyatakan kehendak-Nya kepadaku. Dan aku juga berdoa untuk bisa mendapat pasangan hidup yang mau mengisi menerima kekurangan fisikku sehingga tidak membuat aku menjadi kesepian.

Ketika ada orang yang menyakitiku, sebenarnya secara naluri aku sangat ingin membalas perbuatan mereka. Tapi, sebagai anak Tuhan aku tahu bahwa aku tidak boleh membalas perbuatan mereka sebab firman Tuhan berkata:

“Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Matus 7:1).

Sekalipun aku tahu bahwa mereka salah, tapi aku pun tidak layak untuk menghakimi orang lain karena sama seperti mereka, aku pun sama-sama orang berdosa.

Ketika aku disakiti, kedua ayat di atas selalu meneguhkanku untuk tidak membiarkan diriku dikuasai oleh rasa dendam dan pembalasan. Aku tahu bahwa untuk mempraktikkan kedua ayat tersebut tidaklah mudah. Butuh kebesaran hati untuk menyerahkan segala rasa pedih dan dendam ke dalam tangan Tuhan. Bagianku adalah tetap berbuat baik dan mengasihi mereka yang telah menyakitiku. Hal paling sederhana yang bisa kulakukan adalah dengan mendoakan mereka supaya Tuhan memberkati mereka dan mereka pun boleh disadarkan akan kesalahannya dan tidak menyakiti orang lain lagi.

Iman Kristen adalah iman yang menuntut kita untuk hidup seturut dengan firman Tuhan. Maka, ketika Tuhan Yesus berkata: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu, itu bukan sekadar ucapan, melainkan sebuah perintah yang harus kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Mendoakan dan mengampuni orang yang telah menyakiti hati kita adalah langkah pertama menuju kesembuhan rohani. Biarlah Tuhan sendiri yang membalut, mengobati, dan menyembuhkan luka-luka di hati kita. Hanya Tuhan sajalah yang berhak menghakimi dan melakukan pembalasan atas apa yang telah orang lain perbuat atas kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengizinkan Dia membalut hati kita yang terluka.

Terakhir, untuk menutup tulisan ini, ada satu lagu berjudul “Mengampuni” yang liriknya begitu menyentuhku. Lirik lagu yang sederhana ini senantiasa mengajarku untuk tetap mengasihi orang lain, terlepas dari apapun keadaanya.

Ketika hatiku telah disakiti
Ajarku memberi hati mengampuni
Ketika hidupku telah dihakimi
Ajarku memberi hati mengasihi

Ampuni bila kami tak mampu mengampuni
Yang bersalah kepada kami
Seperti hati Bapa mengampuni
Mengasihi tiada pamrih.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Aku berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian.