Posts

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Ditulis oleh Janice, Singapura
Foto oleh Andrew Hui
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Andrew Hui: I’m 32 And I’m Dying

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup.

Pengobatan dengan cara radiasi telah dihentikan sebulan yang lalu setelah dianggap tak lagi efektif untuk mengendalikan penyebaran sel kanker dalam tubuhnya. Sejak saat itu, sel-sel kanker berkembang cepat dan menyerang ke hampir semua organ tubuh yang penting, juga menekan pembuluh darahnya.

Meskipun ia hanya punya waktu satu bulan atau lebih untuk tetap tersadar dan berpikir jernih, Andrew dengan antusias meluangkan waktunya untuk wawancara. Setelahnya, ia akan dipulangkan ke rumah agar merasa lebih nyaman sebelum kematiannya yang mendekat.

“Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” katanya.

Penemuan yang Mengejutkan

Andrew tidak selalu melihat keadaannya dengan cara yang positif. Butuh perjuangan berbulan-bulan sampai akhirnya ia tiba di tahap ini: merasa damai dan menerima keadaan dirinya. Ini terjadi di bulan Juni lalu.

Para dokter menemukan kanker dalam tubuhnya ketika Andrew dilarikan ke UGD di suatu malam karena demam tinggi. Hasil rontgen menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan tumor di bagian atas dadanya. Tes biopsi setelahnya menunjukkan tumor itu sebagai tumor getah bening stadium-1.

Para dokter yakin bahwa ini bukanlah penyakit yang sulit disembuhkan, bahkan mengatakan kalau 90 persen orang-orang yang mengalami tumor pada tahap ini berhasil sembuh.

Jadi Andrew pun meletakkan harapannya pada perkataan dokter tersebut dan ilmu pengetahuan medis, menganggap bahwa perawatan-perawatan yang nanti dilakukannya akan seperti “liburan” beberapa bulan, lalu setelahnya pulih kembali.

Tapi, Andrew bukanlah termasuk 90 persen orang itu. Ia ada di 10 persennya.

Terapi R-EPOCH, sejenis kemoterapi yang dijalaninya ternyata tidak menolong.

Dokter lalu menggunakan jenis kemoterapi lain yang lebih kuat (RICE Therapy namanya). Kali ini, mereka mengatakan, ada kemungkinan 70-80 persen sembuh.

Andrew pun menjalani terapi ini sebanyak empat kali, tapi, lagi-lagi dia tidak termasuk dalam presentase orang yang berhasil sembuh.

Andrew harus menjalani terapi lain, immunotherapy, yang katanya cocok untuk 99 persen pasien.

Tapi, lagi-lagi Andrew tak termasuk dalam 99 persen itu. Tubuhnya tidak cocok menerima terapi ini karena efek samping yang muncul kemudian.

“Ini adalah pesan sederhana yang bisa kamu dapatkan dari Tuhan, tidakkah kamu berpikir begitu?” kata Andrew tanpa basa-basi, dengan diwarnai tawa.

“Aku telah meletakkan imanku pada ilmu pengetahuan medis dan ketika itu gagal, Tuhan menunjukkanku bahwa aku perlu mengubah cara pandangku dan berbalik kepada-Nya seutuhnya,” tambahnya.

Waktu-waktu penuh pertanyaan

Meskipun telah menjadi orang percaya sejak muda dan aktif melayani di gereja sebagai pemusik dan ketua, Andrew bergumul dengan Tuhan karena penyakitnya.

Kenapa aku?

Andrew bukanlah orang yang tidak menjaga gaya hidupnya.

Sebagai seorang bankir muda, dia tidak mabuk ataupun merokok. Malah, dia lebih memilih makan salad untuk makan siang lima hari dalam seminggu dan rutin berolahraga di gym sepulang kerja.

Kenapa sekarang?

Pertanyaan-pertanyaannya kepada Tuhan menumpuk dengan tebal dan cepat. “Aku baru memenuhi 10 persen saja dari mimpi-mimpiku, dan kupikir Tuhan akan memakaiku untuk tujuan yang lebih besar. Aku telah melayani di gereja selama 20 tahun, dan inikah caraku pergi meninggalkan dunia? Beginikah cara Tuhan memberi tahu pada dunia bahwa Ia peduli pada hamba-Nya?”

Dalam amarah dan kekecewaannya pada Tuhan, Andrew juga mengecam orang-orang Kristen lainnya.

“Mereka berkata dan mendeklarasikan kesembuhan atasku. Mereka percaya bahwa oleh bilur-bilur-Nya, Tuhan telah menanggung segala sakit kita (Yesaya 53:5). Tapi, aku tidak bisa menerima fakta bahwa kenyataannya aku tidak disembuhkan, tapi malah semakin parah. Rasanya mereka memberiku harapan palsu. Jadi aku memarahi dan mengusir mereka,” kata Andrew.

“Caraku melihat diriku, jika Tuhan memilih untuk menyembuhkanku, maka tugas-tugasku di dunia belum selesai dan aku akan melanjutkannya. Jika aku tidak sembuh, maka inilah waktuku untuk pulang. Jadi, sembuh atau tidak, kupikir itu solusi yang sama-sama menang.”

Pergumulan berat lain yang harus Andrew hadapi adalah kesakitan fisik yang luar biasa.

Andrew harus berjuang menghadapi mual, lesu, rambut rontok, dan seringkali dia muntah sampai semua isi perutnya mengotori dinding.

Batuk kronis juga membuatnya tidur meringkuk seperti bola di atas kasurnya. Ia merasa hatinya hancur setiap kali ibunya menangis di samping tempat tidurnya.


Liburan terakhir Andrew bersama Ibunya pada Desember 2018


Andrew dan keluarganya di bulan April 2019

Sebuah titik balik

Namun, perasaan damai yang mendalam dan kepasrahan diri menghadapi kematian datang ketika pandangan Andrew tentang Tuhan berubah.

“Aku selalu melihat kedaulatan Allah atas hidupku sebagai sesuatu yang tak bisa dipertanyakan. Tuhan bisa melakukan apapun seturut yang Ia mau dan suka, dan kita tidak punya hak untuk bertanya untuk apa, meminta sesuatu, kecuali Tuhan memberinya. Aku melihat kedaulatan-Nya sebagai kebijaksanaan yang amat tinggi dan luar biasa,” kata Andrew.

“Tapi kemudian aku sadar bahwa cara Tuhan menunjukkan kedaulatan-Nya adalah melalui kasih. Apa yang terjadi padaku mungkin tidaklah baik, tetapi Tuhan itu baik dan kedaulatan-Nya terlihat dari bagaimana Ia menggendongku melewati badai kehidupan ini.”

Salah satu ayat yang menolong Andrew tiba pada pemahaman ini adalah Efesus 3:17-18 yang berkata, “Sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih. Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus.”

Kepercayaan Andrew pada kasih Tuhan dan kedaulatan-Nya telah menyingkirkan segala takut yang dulu ia hadapi ketika harus menghadapi ajalnya.

“Aku tidak takut mati sekarang. Ketika aku menutup mataku untuk terakhir kalinya, aku yakin aku pergi dan berada bersama-Nya, lebih yakin daripada aku biasanya naik pesawat meskipun aku tahu ke mana tujuan pesawat itu.”

“Inilah keyakinan yang kepada-Nya aku bersandar. Tanpa itu, jika Allah ataupun Yesus tidak ada, aku akan memilih bunuh diri karena segala harapanku hilang dan hidupku tidak ada maknanya.”

Andrew juga amat bersyukur memiliki keluarga jemaat yang berpuasa, berdoa, dan menangis bersamanya selama masa-masa sakitnya. Banyak relawan membelikan makanan atau mengantarkannya dari rumah sakit ke rumah dan sebaliknya.

Sebuah momen yang menyentuh

Meskipun Andrew dilahirkan di keluarga Kristen dan tumbuh besar di gereja, dia baru benar-benar “datang kepada iman” atau memahami betul imannya pada usia 16 tahun.

Dia ikut kelompok paduan suara lelaki di gereja dan lagu berjudul “So You Would Come” menyentuh hatinya:

Nothing you can do
Could make Him love you more
And nothing that you’ve done
Could make Him close the door

Tiada yang bisa kamu lakukan
Yang bisa membuat-Nya lebih mengasihimu
Dan tiada hal yang telah kamu lakukan
Yang bisa membuat-Nya menutup pintu untukmu

Kata-kata itu merobek hati Andrew seiring ia selalu berusaha melakukan hal-hal baik atau melayani di gereja untuk memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya.

Lirik lagu itu memberikan Andrew kebebasan. Andrew sadar bahwa Tuhan mengasihi-Nya dan tidak ada yang perlu ia lakukan untuk mendapatkan itu. Hanya oleh anugerah saja ia diselamatkan, bukan karena hasil usahanya. Kebenaran ini memberikan Andrew harapan, meskipun banyak dosa-dosanya, Tuhan tidak pernah berhenti mengasihinya.

Tetapi, perjalanan hidup setelahnya tidak selalu berjalan mulus.

Meskipun ia kuliah di jurusan Komunikasi dan Media Massa, ia bekerja di sektor perbankan setelah lulus karena bidang ini lebih menjanjikan secara finansial.

Angka-angka tidak membuatnya bergairah, tapi ia menggunakan uangnya untuk memenuhi dirinya dengan pengalaman. Andrew suka traveling untuk mengalami budaya ataupun makanan yang baru. Ia pun mendukung gereja dengan mendanai program misi.

Andrew bekerja berjam-jam untuk meraih karier di perusahannya. Kerja selama 12 jam menjadi normal. Jabatan terakhirnya adalah sebagai seorang manajer di perusahaan perbankan.

Tetapi, apa yang dipelajarinya pada usia 16 tahun tidak pernah luput dari hidupnya. Kedamaian yang datang dari keyakinan akan penerimaan penuh dari Tuhan dan kasih-Nya untuk dirinya, adalah kasih yang sama yang menjagai hatinya sekarang ketika Andrew harus bertarung melawan pertempuran yang lebih besar menghadapi kematiannya.


Andrew dan teman-temannya menolong pembangunan panti asuhan di Thailand

Berkat melalui iman

Di samping memiliki jaminan akan kedamaian dan kepastian bertemu Yesus di surga kelak, Andrew berkata bahwa imannya memberikan cara yang berbeda untuk mengatasi sakitnya.

“Ketika aku berseru pada Tuhan memohon pertolongan-Nya di malam hari karena sakitku, aku mendapati sakit itu berkurang ketika aku berfokus kepada-Nya dan aku pun tertidur nyenyak setelahnya,” kata Andrew.

Iman Andrew juga memampukannya melihat berkat yang timbul dari sakitnya, seperti mengetahui kapan ia akan meninggal, dan juga untuk pergi meninggalkan dunia ini dan melepaskan segala penyakit yang besertanya.

“Karena ini, aku bisa mempersiapkan kematianku, mengatakan apa yang perlu kukatakan dan melakukan apa yang perlu kulakukan.

Obat-obatan dan terapi juga menolongku untuk meninggalkan dunia dengan lebih nyaman dan tentunya dengan senyuman di wajahku.”

Belakangan ini, ia mulai mampu mengobrol dengan orang tuanya tentang apa yang akan mereka lakukan ketika ia telah pergi dan akan dijadikan apa nanti kamarnya.

“Adalah sebuah berkat untuk bisa berdiskusi tentang hal itu, karena mereka bisa bertindak dengan lebih jelas setelahnya,” kata Andrew yang sedang menyiapkan “kotak ajal” yang isinya adalah pesan selamat tinggal untuk orang-orang yang dikasihinya.

“Aku tidak percaya pemakaman yang menyedihkan. Aku mau pemakamanku nanti dipenuhi sukacita dan sekarang aku mau bertemu dengan orang-orang selagi aku bisa, untuk mengucap syukur dan menguatkan mereka yang penting buatku, juga menikmati makan bersama-sama,” ucapnya. Adrew suka memasak dan sering menggunakan hobinya ini untuk kegiatan penggalangan dana di gerejanya.

Hari-hari ini, ia mendapati dirinya tidak banyak berpikir tentang kematian, tetapi tentang hal-hal “jangka pendek” seperti kerinduannya makan sup iga.

Satu impian yang belum terlaksana bersama kedua teman dekatnya adalah membuat warung makan yang menyediakan sup untuk para pekerja migran atau orang-orang yang kekurangan.

“Jika aku diizinkan untuk menghidupi hidupku lagi, aku pikir bagian yang ingin aku ubah adalah aku ingin lebih terlibat di pelayanan sosial karena itu akan memberi dampak banyak pada kehidupan orang lain. Tapi, sekali lagi, aku tidak tahu. Aku adalah aku hari ini karena segala pengalaman di masa lalu yang telah membentukku.”

Permintaan terakhir

Keinginan terbesarnya adalah untuk terhubung kembali dengan orang-orang yang pernah mewarnai hidupnya, teman-teman sekolahnya yang sudah lama hilang kontak.

Ketika ditanya mengapa ia mau memprioritaskan waktunya untuk orang-orang yang tidak dekat dengannya, Andre berkata hatinya ada buat mereka. Andrew ingin mereka tahu tentang kedamaian yang hanya bisa didapat dalam Kristus.

“Entah mereka sibuk bekerja atau bergumul dalam masalah masing-masing, aku mau membagikan bahwa kedamaian inilah yang aku miliki bersama mereka. Jadi, ketika tiba saatnya kehidupan mereka berakhir, yang tentunya bisa terjadi kapan saja, mereka mengenal sebuah kedamaian yang tidak bisa diberikan oleh uang, relasi, ataupun kekayaan.”

“Aku mau mereka mendengarku bukan sebagai seseorang yang meninggal, tetapi sebagai seseorang yang menanti mereka di surga dan rindu bertemu mereka kembali di surga kelak.”


Tangkapan layar dari status Facebook Andrew pada 16 Agustus 2019

Catatan:
Andrew telah meninggal dunia dengan tenang pada pukul 23:25 di tanggal 31 Agustus 2019.

Baca Juga:

Mengasihi Tuhan dengan Melakukan yang Terbaik dalam Pekerjaanku

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang berdampak bagi banyak orang. Tapi, pertanyaan yang muncul di benakku adalah: “apakah yang aku kerjakan sudah memberi dampak ya?”

Divonis Tumor Payudara, Pertolongan Tuhan Nyata Bagiku

Oleh Lidia, Jakarta

Pernahkah kamu menerima berita yang begitu mengejutkan dan itu sontak membuatmu sedih dan terpukul? Mungkin itu bisa berupa berita kehilangan orang yang kamu sayangi secara tiba-tiba, atau ketika kamu divonis memiliki penyakit yang tidak kamu sadari hingga kamu harus dioperasi.

Juli 2010, usiaku saat itu 20 tahun dan aku layaknya mahasiswa pada umumnya: pergi ke kampus, belajar, ujian, jalan-jalan dengan teman, juga mengerjakan skripsi. Hingga suatu hari, saat aku mandi, aku menyadari ada benjolan di dalam payudaraku. Benjolannya agak keras, tapi ukurannya kecil. Aku memberanikan diri menceritakan ini ke mamaku dan kakak perempuanku. Mamaku segera menyarankanku untuk cek ke dokter. Dalam hatiku, aku bingung dan sedih, mengapa aku harus mengalami ini? Pola hidupku cukup sehat, hampir tiap hari aku selalu makan makanan yang dimasak mamaku. Pun aku tidak pernah melakukan hal-hal yang mengancam kesehatanku. Air mataku menetes saat aku mendoakan hal ini pada Tuhan.

Kucoba mencari di Google, dokter tumor mana yang terkenal. Tapi kemudian aku mendapat rekomendasi seorang dokter rekan papaku. Dokter ini menyarankanku untuk dioperasi. Aku coba cari pendapat dokter lain dan sarannya tetap sama. Mamaku lalu mencari-cari informasi pengobatan lainnya. Ada satu rumah sakit di Tiongkok yang menggabungkan metode pengobatan ala Timur dan Barat. Rumah sakit ini punya kantor perwakilan di Jakarta dan kami pun mendatanginya. Dokter di sana lalu memegang benjolanku dan mengatakan hal yang sama: harus dioperasi. Sudah tiga dokter menyatakan operasi. Sejujurnya aku sangat takut karena aku belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya.

Aku pernah mendengar rumor kurang baik tentang operasi di Indonesia. Orang yang memiliki rezeki lebih mungkin akan memilih ke luar negeri. Mamaku ingin membawaku ke Tiongkok, tapi dana kami terbatas. Belum lagi saat itu aku masih kuliah, pergi berobat ke luar negeri hanya akan menyusahkan papa mamaku.

Aku pun kalut dan sedih. Aku berdoa, belajar percaya dan memohon hikmat bahwa di mana pun aku harus menjalani operasi, tangan Tuhanlah yang menjadi hal utama dan tangan dokter adalah yang kedua. Aku memutuskan untuk dioperasi di Jakarta dan mencari-cari rumah sakit di mana aku bisa menggunakan fasilitas asuransi.

Puji Tuhan, operasi berjalan lancar dan hasilnya adalah jinak. Meski jumlahnya ada sekitar 5 tumor dan di hari kedua pasca operasi aku masih mengalami pendarahan, Tuhan menolongku melewatinya. Saat ini aku masih hidup untuk terus belajar menyelami kebaikan Tuhan dalam hidupku.

Mungkin ada teman-teman yang membaca kesaksian ini dan mengalami pergumulan yang sama, atau sedang bergumul dengan penyakit lain. Belajarlah untuk percaya dan lebih mengandalkan Tuhan dalam hal apapun, termasuk menghadapi operasi. Di mana pun kita menjalani operasi, baik di dalam atau luar negeri, aku percaya keputusan akhir tetap ada dalam tangan Tuhan. Doa dan kekuatan dari Tuhan jauh lebih menguatkan daripada mengandalkan dokter manusia yang paling hebat dan terkenal sekalipun. Jika kamu adalah seorang wanita, aku mendorongmu untuk menerapkan pola hidup sehat dan berinisiatiflah untuk melakukan pengecekan terhadap organ-organ vital tubuhmu. Mendeteksi penyakit sejak dini jauh lebih baik daripada mendapatinya sudah terlanjur akut.

Dan, dari pengalaman ini, aku belajar kalau hidup manusia sejatinya adalah sementara. “Sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap” (Yakobus 4:14).

Dalam susah ataupun senang, sehat ataupun sakit, aku harus terus mengandalkan Tuhan dan dalam perkenanan-Nya, aku ingin terus dipakai untuk memuliakan nama-Nya.

Baca Juga:

Belajar dari Perbedaan Suku: Kasih Mengalahkan Prasangka

Aku pernah menghindar dan beranggapan buruk terhadap suku tertentu. Hingga suatu ketika, Tuhan mempertemukanku dengan seorang teman dari suku tersebut, yang darinya aku belajar tentang menjadi Indonesia sesungguhnya.