Mengasihi Seseorang yang Sedang Menjalani Masa Transisi
Oleh Vika Vernanda, Bekasi
Menjalani relasi dengan sesama tentunya tidak selalu diisi dengan ketawa-ketiwi. Baik itu relasi dengan sahabat, orang tua, pasangan, semuanya pasti akan mengalami perubahan. Salah satu perubahan itu bisa disebabkan oleh masa transisi, ketika seseorang mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Misalnya: pindah kerja, sakit kronis, meninggalnya seseorang yang dicintai, bangkrut, dan berbagai hal lainnya.
Di bulan Juli tahun lalu, adikku yang kukasihi meninggal dunia, setelah sebelumnya aku kehilangan pekerjaan yang kusukai. Dalam masa-masa kedukaan setelah kejadian itu, banyak sahabat yang hadir untuk sekedar menemani. Untuk sekadar meminum kopi di sore hari, bahkan ketika aku sedang tak bisa berkata-kata. Untuk sekadar berada di ruangan yang sama, menyatakan bahwa aku tidak menjalani ini semua sendiri. Dua kali kehilangan membuat hidupku terasa berbeda. Ada masa transisi yang harus kulewati untuk tiba ke masa-masa normal seperti sedia kala.
Dalam kisah Perjanjian Lama, masa transisi juga dialami oleh Ayub. Dalam sekejap mata, Ayub kehilangan semua hal yang dicintainya. Keturunan, harta, hingga kesehatannya semua terhempas begitu saja. Perubahan drastis dalam hidup Ayub ini pastilah memunculkan ketidaknyamanan. Dalam kesusahannya ini, istri Ayub malah menyuruhnya untuk mengutuki Allah, tapi Ayub menolak permintaan ini.
Berbeda dari istrinya yang memberi saran negatif, sahabat-sahabat Ayub memberikan dorongan positif yang menguatkan Ayub dalam masa-masa beratnya.
Berkaca dari sekelumit kisah Ayub dan pengalamanku ketika mengalami masa transisi, ada dua hal yang bisa kita lakukan untuk mengasihi mereka yang baru saja mengalami perubahan besar dalam hidupnya
1. Memberi diri kita untuk ikut hadir dalam pergumulan seseorang
Pada Ayub 2:11 tertulis bahwa sahabat-sahabat Ayub datang dari tempatnya masing-masing. Untuk apa? Untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia.
Kita tidak tahu detail penghiburan seperti apa yang diberikan para sahabat kepada Ayub, tetapi yang pasti adalah para sahabatnya datang dan hadir secara fisik bersama Ayub. Dalam masa-masa pergumulan berat, kehadiran seseorang meskipun tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi menjadi penghiburan dan kekuatan karena seseorang merasa tidak sedang berjuang sendirian.
Memberi diri untuk hadir juga ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ketika Dia diminta untuk datang menyembuhkan Lazarus. Namun, saat ketibaan-Nya, Lazarus telah meninggal. Para saudara Lazarus pun berdukacita. Pada Yohanes 11:35, tertulis dengan singkat tetapi jelas bahwa Yesus menangis. Yesus ikut merasakan pedihnya kehilangan yang dirasakan oleh Maria dan Marta tanpa mengucapkan banyak kata-kata ataupun nasihat. Yang Yesus lakukan adalah hadir, ikut berduka, dan kemudian menunjukkan kuasa Ilahi-Nya.
Meneladani Tuhan Yesus, memberi diri bagi orang yang kita kasihi di masa transisi merupakan salah satu bentuk kasih yang tidak ternilai.
2. Berikan waktu untuk seseorang menjalani prosesnya
Pada kisah Ayub, Alkitab mencatat bahwa setelah para sahabat datang, mereka duduk bersama-sama dengan Ayub selama tujuh hari tujuh malam. Seorangpun tidak mengucapkan sepatah kata, karena melihat sangat berat penderitaannya (2:13).
Alkitab tidak memberi detail bagaimana respons Ayub saat ditemani oleh para sahabatnya. Namun, jika kita menerka-nerka, mungkin dengan penderitaan amat berat itu Ayub menangis dan berteriak sedih. Mungkin juga dia bertanya-tanya dan berkeluh kesah. Penderitaan ini membuat hidup Ayub berubah total.
Hal itu pula yang aku alami ketika dalam masa kehilangan. Aku yang biasanya ceria dan suka bertemu banyak orang, menjadi sering murung dan membatasi diri bertemu orang. Aku yang biasanya selalu tahu apa yang akan kukerjakan dalam satu hari, menjadi aku yang tidak tahu harus berbuat apa.
Tetapi bersyukurnya, di tengah masa-masa itu, orang-orang yang mengasihiku memberiku waktu.
Mereka tidak menyuruhku untuk cepat-cepat bangkit. Mereka tidak menyuruhku untuk tidak menangis lagi. Mereka tidak menyuruhku untuk semangat menjalani hari.
Mereka memberiku waktu untuk aku tidak menjadi aku yang ‘biasanya’.
—
Mengasihi orang dalam masa transisi bukanlah hal yang mudah untuk dijalani. Namun dengan kekuatan dan kasih Allah, semua itu layak untuk tetap diperjuangkan.
Seperti Allah yang juga terus memberi kita waktu untuk meratap, dan memberi diri hadir bersama kita dalam berbagai liku perjalanan kehidupan, mari terus belajar mengasihi, meski dalam masa transisi.
Kasih bukanlah kata kerja yang bersifat egois, kasih harus selalu dibagikan kepada orang lain. Mereka yang dalam masa transisi perlu terus dikasihi dan diyakinkan bahwa mereka tidak menjalaninya seorang diri.
Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu