Posts

5 Kunci Bikin Resolusi Jadi Terwujud

Oleh Jenni, Bandung

Seperti kebanyakan orang, aku memiliki resolusi dan pengharapan untuk kukejar sepanjang tahun ini. Namun, aku sadar bahwa untuk mencapai sebuah target diperlukan langkah-langkah disertai strategi yang tepat. Setelah berkaca dari pengalamanku sendiri dan upayaku mempelajari firman-Nya, inilah cara-cara yang kudapatkan untuk menetapkan target dan mewujudkannya:

1. Semua dimulai dengan menyiapkan diri terlebih dulu

Pada Lukas 14:28 tertulis, “Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu?” Secara keseluruhan, konteks dari ayat tersebut adalah Yesus mengajar bahwa siapapun yang hendak mengikut dan menjadi murid-Nya harus memutuskan lebih dulu apakah mereka telah siap untuk membayar harga, yakni menyerahkan segala yang kita miliki untuk melayani Kristus.

Ikut Tuhan Yesus tidak main-main dan tidak cuma butuh persiapan, tapi pengorbanan. Dari ayat ini aku belajar bahwa kita perlu menyiapkan waktu khusus untuk memikirkan baik-baik target yang ingin kita capai.

Hal yang sering terlewat olehku adalah menanyakan pada diriku sendiri: ingin menjadi orang seperti apakah aku? Kualitas seperti apa yang ingin aku miliki?

Dua pertanyaan ini akan menuntun kita menetapkan dasar dari usaha-usaha yang akan kita lakukan di langkah berikutnya.

2. Target tidak dibuat setara, tetapi bisa disusun berdasar prioritas

Dalam bekerja, aku belajar bahwa mengetahui mana pekerjaan yang prioritas sangatlah berguna. Saat tahu apa saja kriteria prioritas, aku jadi tahu hal spesifik apa yang perlu dicapai dan dilakukan. Hal ini sangat membantu dalam menentukan tenggat waktu mengerjakan.

Dalam membuat target, mengurutkan prioritas bisa dimulai dengan mengutamakan berdasarkan tanggung jawab dan disusul oleh cita-cita. Mana yang bisa aku lakukan? Inikah yang aku inginkan? Apa langkah pertama yang harus aku fokuskan? Setelah menentukan prioritas, kita bisa fokus untuk mengerahkan tenaga dan waktu yang terbatas.

3. Target perlu dikejar, tapi kita tidak hidup hanya untuk mengejar target

Berkaca pada pengalamanku beberapa tahun silam, ada masanya di mana aku begitu asyik dengan jadwalku yang padat demi mengejar targetku. Aku mengabaikan waktu istirahat dan orang-orang di sekitarku. Seiring waktu, aku sadar bahwa hidupku bukan milikku seorang. Di rumah ada keluarga yang perlu aku kenali lebih dekat, perhatikan, bantu dan dukung. Ada teman yang hubungannya perlu aku rawat dan perhatikan. Ada diri sendiri yang perlu kukenali dan gali lebih dalam.

Aku lupa bahwa hidup bukan hanya sekedar mengejar pencapaian. Istirahat, olahraga, dan bersosialisasi adalah bagian dari kehidupan. Terutama, merawat hubungan dengan Tuhan. Sudahkah aku berusaha mengenal pribadi-Nya? Bisakah aku duduk diam mendengar-Nya? Bagiku mengabaikan Tuhan bagaikan lari ke hutan dan mencari jalan keluar sendiri.

Markus 8:36 berbunyi, “apa gunanya seseorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.” Hidup bukan hanya tentang mengejar, tetapi juga tentang menikmati kebaikan Tuhan dan berbagi dengan menjadi buah untuk sekitar kita.

4. Manajemen diri adalah koentji

Kembali berkaca dari pengalaman bekerja, terkadang ada tugas mendadak yang membutuhkan energi ekstra. Dengan waktu yang sempit dan pekerjaan yang menumpuk, tekanan bekerja menjadi tinggi dan membuatku kewalahan. Hal itu menyadarkanku bahwa aku perlu menyusun strategi agar kejadian serupa tidak terulang.

Jauh-jauh hari, sebelum tugas mendadak itu muncul (yang entah kapan), aku memutuskan untuk mengerjakan tugasnya dengan mencicil secara berkala dengan disiplin. Pekerjaan besar itu kubagi hingga menjadi pekerjaan yang bisa kukerjakan dalam waktu kurang dari sehari. Dengan cara itu pekerjaan yang tadinya berat jadi terasa ringan karena dikerjakan sedikit demi sedikit setiap harinya.

Amsal 30:25 berbunyi, “semut, bangsa yang tidak kuat, tetapi yang menyediakan makanannya di musim panas.” Ayat ini berbicara tentang mempersiapkan diri. Ayat tersebut dan pengalaman mengajarkanku bahwa untuk mencapai sebuah target yang besar kita perlu menyiasatinya dengan langkah kecil setiap harinya. Buatlah satu target tahunan menjadi bulanan. Uraikan hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencapai target tersebut hingga menjadi tugas yang bisa dilakukan dalam hitungan hari. Lalu, tetapkan tenggat waktu untuk menyelesaikan tugas itu. Sedikit demi sedikit menjadi bukit, percayalah pada proses.

5. Last but not least: ikut tuntunan Tuhan, serahkan segala rencana kita pada-Nya

Kedua orang tuaku berpesan untukku agar selalu berdoa sebelum melakukan perjalanan. Alasannya, meskipun aku sering melewati rute yang sama dan menganggap diriku sudah menguasai medan jalannya, tetap saja ada banyak hal yang bisa terjadi di luar kendaliku. Aku tetap tak tahu apa yang akan terjadi.

Seperti halnya membuat resolusi. Kita punya planning yang baik, tetapi kita sendiri punya keterbatasan. Kita tidak bisa melihat masa depan seperti tertulis, “… Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yakobus 4:15). Kendati demikian, kita bisa menyiapkan masa depan kita, namun yang paling penting ialah kita menyertakan Tuhan dalam setiap rencana kita, selalu berusaha, dan bisa bersikap luwes.

Tuhan tahu yang terbaik dari setiap kita, sehingga sudah sepantasnya kita datang membawa rencana kita pada-Nya. Tuhanlah pemilik masa depan yang berdaulat.

Itulah tips sekaligus sharing untuk menentukan dan menyusun strategi meraih target. Semoga bisa membantu teman-teman dalam menyusun targetnya! Mari kita melakukan yang terbaik dan berdoa senantiasa.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Lupakan Resolusi, Tentukan Tujuan Hidupmu!

Setiap tahun baru kita sering membuat resolusi tapi gagal memenuhinya. Kita lantas merasa gagal atau kecewa seiring waktu yang terus berjalan. Tapi… bagaimana jika kita coba lupakan tentang membuat resolusi dan mulai menetapkan tujuan hidup kita supaya kita bisa menghidupi hari-hari secara maksimal?

Jika kamu bingung mau memulai dari mana, Efesus 5:15-21 adalah bacaan yang baik untuk mulai membangun tujuan hidup kita. Perikop itu memberi kita hikmat yang dapat menolong kita untuk memanjat tangga pertumbuhan rohani dan mengidentifikasi bagian-bagian licin manakah yang perlu kita hindari supaya kita bisa mengakhiri perjalanan kita dengan baik.

Artspace ini dibuat oleh YMI Today.

#GaliDasarIman: Apakah Tujuan Hidup Manusia?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

“Apakah Tujuan Hidup Manusia?”

Pertanyaan yang sangat fundamental ini menyangkut aspek filosofis dan praktis. Para filsuf memikirkannya. Orang biasa pun menggumulkannya. Apakah jawabannya? Bagaimana kita dapat mengetahui bahwa hidup memiliki tujuan?

Hal PERTAMA yang perlu dipikirkan adalah kompleksitas dan keteraturan alam semesta maupun tubuh kita. Semua yang rumit dan teratur pasti menyiratkan sebuah tujuan. Kerumitan tanpa keteraturan adalah kekacauan dan hanya bersifat kebetulan. Tumpukan sampah, misalnya, mengandung kompleksitas tetapi tanpa keteraturan. Kita dapat melihat bahwa kerumitan dan keteraturan di alam semesta dan tubuh kita. Semua anggota tata surya bergerak dengan pola yang teratur. Dibutuhkan kesesuaian dengan hukum alam yang begitu kompleks untuk memiliki alam semesta seperti sekarang ini. Begitu pula dengan tubuh kita. Perkembangan ilmu biomolekuler menunjukkan bahwa DNA manusia jauh lebih kompleks daripada yang dipikirkan oleh banyak orang. Bukan hanya ada struktur yang jelas dan rumit, tetapi juga mengandung semacam informasi di dalamnya.

Hal KEDUA yang menyiratkan tujuan hidup adalah pencarian nilai hidup. Semua orang ingin hidupnya bermakna. Makna ini dipengaruhi oleh tujuan yang diyakini oleh orang tersebut. Segala sesuatu yang dianggap tidak selaras atau mendukung pencapaian tujuan tersebut akan dianggap kurang bernilai. Begitu pula dengan sebaliknya. Hal-hal yang berhubungan dengan tujuan itu dipandang bernilai. Tanpa kesadaran tentang tujuan hidup, seseorang akan merasa hidupnya kurang bernilai. Apalah artinya seorang manusia di antara miliaran yang pernah ada di bumi? Apalah artinya seorang manusia di tengah-tengah alam semesta yang sedemikian besar?

Pada akhirnya, kita mengetahui bahwa hidup mempunyai tujuan karena Alkitab mengajarkan demikian. Misalnya, manusia diciptakan untuk memuliakan Allah (Yesaya 43:7). Segala sesuatu adalah dari, oleh, dan untuk Dia (Roma 11:36).

Hampir semua orang memikirkan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Manusia ada untuk menikmati kebahagiaan. Menariknya, Alkitab maupun teologi Kristen yang benar tidak menolak hal ini. Allah menciptakan dunia yang sedemikian baik untuk didiami oleh manusia (Kejadian 1:31). Semua yang baik di dalamnya disediakan untuk dinikmati oleh manusia (1Timotius 4:4). Katekismus Singkat Westminster juga mengajarkan: “Tujuan tertinggi hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya.” Ada kenikmatan yang disinggung di sana. Tujuan hidup memang berkaitan dengan kebahagiaan. Persoalannya, manusia seringkali tidak memahami kebahagiaan yang sejati, pula bagaimana mencari kebahagiaan. Atau, benarkah kebahagiaan perlu dicari? Mungkinkah kebahagiaan merupakan konsekuensi (hasil) dari mencari yang lain?

Realita hidup mengungkapkan bahwa hal-hal yang non-material membawa kepuasan yang lebih daripada hal-hal yang material. Beragam survei menunjukkan bahwa manusia mendapatkan kepuasan yang lebih pada saat mereka membagi apa yang mereka miliki dengan orang lain daripada menggunakannya untuk diri sendiri.

Lalu, banyak orang juga menyetujui bahwa kebahagiaan tidak ditentukan oleh seberapa banyak yang dimiliki oleh seseorang, tetapi seberapa banyak orang itu bisa mengapresiasi apa yang dia miliki. Ada orang kaya yang tidak berbahagia karena selalu merasa kurang. Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana namun bahagia.

Kenyataan juga mengajarkan bahwa orang rela menguras harta mereka demi sesuatu yang non-material. Sebagai contoh, semua orang yang berpikiran jernih pasti akan sependapat bahwa uang pada dirinya sendiri tidak membawa kebahagiaan. Uang hanyalah sarana untuk mendapatkan hal lain yang mampu memberi kebahagiaan. Dengan uang yang melimpah, seseorang bisa membeli barang-barang yang berharga, sehingga dia mendapatkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain. Orang mau kehilangan begitu banyak uang untuk operasi plastik dan perbaikan penampilan, demi mendapatkan pujian dari orang lain.

Lebih jauh, di antara semua hal yang non-material, kita menemukan bahwa hal-hal yang bermoral adalah lebih bernilai daripada yang lain. Kita mengeluarkan uang untuk berlibur dan menikmati keindahan alam. Yang kita peroleh dari aktivitas ini juga non-material, yaitu pengalaman, kenyamanan, dan ketakjuban. Namun, harus diakui, orang lain akan lebih mengapresiasi apabila kita menggunakan uang kita untuk sesuatu yang mengandung bobot moralitas, misalnya proyek misi atau kemanusiaan di pedesaan atau tempat terpencil.

Pengamatan terakhir: Keutamaan hal-hal yang personal juga terlihat pada saat manusia berada di penghujung hidupnya. Orang tidak lagi memusingkan hal-hal yang material. Bahkan pencapaian-pencapaian moral pun seringkali dianggap kurang begitu penting. Yang diutamakan adalah relasi. Keluarga. Orang-orang yang dia kasihi.

Semua penjelasan di atas – keutamaan hal-hal yang non-material, bermoral, dan personal – seyogyanya menuntun kita untuk memahami tujuan hidup yang sesungguhnya. Apa yang sering ditawarkan oleh dunia sebagai tujuan hidup atau kebahagiaan hidup ternyata tidak esensial, apalagi fundamental. Semua hanya di permukaan belaka (superfisial). Tidak heran, semakin besar upaya mereka untuk memperoleh kebahagiaan, semakin besar kekecewaan mereka.

Allah memang menyediakan kebahagiaan bagi manusia. Namun, jalan menuju ke sana sangat berbeda degan yang diberikan oleh dunia. Kebahagiaan bukan motivasi atau destinasi, namun sebuah KONSEKUENSI atau HASIL dari memuliakan Tuhan. Tatkala manusia berhasil mencapai tujuan hidupnya – yaitu memuliakan Penciptanya – manusia akan mendapatkan kenikmatan, sebab ia telah mendapatkan arti, nilai, serta tujuan hidup. Inilah pencapaian yang sesungguhnya. Inilah jalan menuju kebahagiaan versi Alkitab. Maka, jangan menyia-nyiakan hidupmu!

Renungkanlah:

Sudahkah kita menemukan tujuan hidup yang sejati dalam Kristus, serta menghidupinya?

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini disadur dari artikel Yakub Tri Handoko di website Reformed Exodus Community dan telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Selama bulan Juli 2019, setiap hari Selasa, WarungSaTeKaMu akan mempublikasikan seri tulisan tentang Apologetika. ⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Untuk menjawab pertanyaan di ini, ada lima pertanyaan yang dapat kita renungkan.

4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Signs That God Isn’t Your First Love

Aku sudah lama menjadi orang Kristen, namun itu tidak membuat hidupku jadi lebih mudah. Dan, kuakui kalau aku masih jadi orang yang egois dan sombong. Kadang, sifat burukku itu membuatku merasa bersalah. Tapi, aku seringkali mengabaikannya dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidaklah seburuk apa yang kupikirkan.

Setiap hari aku bergumul untuk menempatkan Tuhan di posisi pertama di hidupku meskipun aku sudah tahu bahwa Dia mengasihiku (Roma 8:31-39), Dia setia kepadaku sekalipun aku berdosa (Hosea 2:14-15), dan Dia pun menjadikanku sebagai anak-Nya (Yohanes 1:12-13).

Meski begitu, tentu ada beberapa momen dalam hidupku ketika aku mencoba menjadikan hidupku “lebih berfokus kepada Tuhan daripada diriku sendiri”. Biasanya itu terjadi setelah aku merasa ditegur saat mempelajari Alkitab. Namun, momen-momen itu tidak bertahan lama; aku kembali mengendalikan diriku sendiri dan menempatkan Tuhan di belakang.

Dari pengalaman yang tidak aku banggakan ini, aku ingin membagikan kepadamu empat tanda apabila kita tidak menempatkan Tuhan pada posisi yang seharusnya. Dan aku juga mengundangmu untuk mengevaluasi diri apakah kamu secara sadar atau tidak telah melakukan hal yang sama.

1. Kamu mengikuti apa kata Alkitab… tapi kamu lebih taat pada kata dunia

Setiap hari kita dihadapkan dengan banyak keputusan—dari yang sederhana seperti baju apa yang akan kita pakai kerja, sampai kepada yang mengubah hidup seperti dengan siapa kita akan menikah. Meskipun kita tahu bahwa kita perlu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10:31), kita mengizinkan hidup kita diatur oleh pertimbangan-pertimbangan yang dunia berikan: apakah jurusan ini nantinya bisa memberiku pekerjaan yang baik? Akankah menikahi orang ini menjamin kehidupan finansialku? Apakah bersama orang ini bisa membuat karierku menanjak? Karena pertanyaan-pertanyaan itu, kita pada akhirnya memilih keputusan yang cenderung berpusat pada diri kita sendiri, sesuatu yang lumrah dilakukan dalam nilai-nilai dunia.

Namun, apabila kita sungguh mengerti Injil, kita melihat gambaran yang sangat berbeda tentang apa dan siapa yang dianggap penting oleh Tuhan. Dunia menyanjung mereka yang kaya, terkenal, berkuasa, dan mereka yang selalu bisa meraih posisi pertama. Namun, Tuhan memberkati orang yang miskin, orang yang terbuang. Tuhan peduli pada yang lemah, meninggikan yang rendah hati, dan menghargai mereka yang terbelakang. Injil memutarbalikkan segala yang kita ketahui.

Jika kita sungguh percaya kepada Yesus yang nilai-nilai-Nya berbanding terbalik dengan nilai-nilai dunia, cara hidup kita tentu berbeda dari cara yang dunia ajarkan. Maukah kita membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan? Maukah kita memberi dengan murah hati kepada yang miskin, menjangkau yang terpinggirkan, menolong yang sakit dan berkekurangan, dan menghargai mereka yang terbelakang—bahkan jika itu merugikan kita secara finansial, emosional, dan fisik?

2. Kamu peduli dengan apa yang dipikiran Tuhan… tapi tidak sebanyak apa yang dipikirkan orang lain

Beberapa tahun pertama di pekerjaanku, aku bekerja keras, dan aku merasa senang ketika pekerjaanku diapresiasi oleh bosku atau rekan sekerjaku. Aku tidak peduli jam kerja yang panjang, tapi aku sangat terganggu jika pekerjaanku tidak diapresiasi atau bosku merasa tidak senang kepadaku. Rasa frustrasi dan meragukan diri sendiri menghantuiku, bahkan setelah jam kerja berakhir dan aku tidak dapat memikirkan hal lainnya.

Meskipun aku tahu kalau aku seharusnya aku bekerja untuk Tuhan (Kolose 3:22-25), hatiku jauh lebih peduli untuk mendapatkan pengakuan dari tuanku di dunia. Bagi beberapa dari kita, mungkin itu bukanlah bos di tempat kerja yang berusaha kita senangkan, tuan duniawi kita bisa jadi pasangan kita, pacar kita, atau bahkan teman kita. Siapapun “tuan duniawi” kita, marilah kita mengingat dengan jelas bahwa yang terpenting adalah apa yang Tuhan pikirkan. Bagaimanapun, Tuhanlah pemilik hidup kita; Dia menciptakan kita, mengasihi kita, menyelamatkan kita, dan pada akhirnya nanti, juga menghakimi kita.

Baru-baru ini aku membaca sebuah buku berjudul “Not Yet Married” yang ditulis oleh Marshall Segal, penulis dan editor di DesiringGod.org. Dia menantangku untuk membingkai ulang perspektifku tentang pekerjaan. Dari delapan saran yang dia berikan, poin pertamanya adalah kita harus “bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan”. Alih-alih mencari pengakuan dan penerimaan dari tuan duniawi kita, kita harus lebih berfokus kepada apa yang membuat Tuhan semakin dimuliakan (1 Korintus 10:31, Matius 5:16).

Dan, itu semua berarti kita perlu memikirkan kembali apa artinya bekerja (atau kehidupan yang kita jalani) dan kesuksesan. Lalu, bagaimana jika kita tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang kita harapkan dari kerja keras kita? Jika kita mendapatkan kesempatan untuk menolong orang lain datang kepada Kristus di dalam aktivitas harian yang kita lakukan, kita telah mencapai prestasi yang jauh lebih bernilai.

3. Kamu peduli dengan sesamamu… tapi lebih mementingkan dirimu sendiri

Setelah hari kerja yang panjang, kita mungkin punya kecenderungan untuk melakukan “me-time”. Karena aku sudah bekerja sangat keras hari ini, aku ingin memanjakan diriku. Bagi beberapa dari kita, me time bisa berupa menonton film terbaru, pergi ke gym untuk berolahraga, atau sekadar duduk di bangku sambil menjelajah media sosial kita.

Kita tahu bahwa membaca Alkitab adalah kunci yang menolong kita mengenal Tuhan lebih dekat dan kita dipanggil untuk melayani gereja dan mengasihi mereka yang membutuhkan (Matius 25:31-40). Tapi, kita memberitahu diri kita bahwa semua hal itu baru bisa dilakukan setelah kita memenuhi semua kebutuhan diri kita dahulu. Hati kita sedih bukan karena ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, tetapi karena seseorang yang telah mengganggu ruang pribadi kita dan membuat kita merasa tidak nyaman.

Aku merasa bersalah karena aku membatalkan janji pertemuan dengan teman-temanku yang sedang mengalami masa sulit karena aku tahu kalau itu akan memakan waktuku dan menguras emosiku. Aku tidak ingin menolong mereka pada saat itu.

Namun, Tuhan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya dengan jelas menunjukkan bahwa hidup kita bukanlah tentang diri kita sendiri. Salah satu bukti bahwa kita adalah pengikut Kristus yaitu kita bersedia untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya (Matius 16:24-26). Kita dipanggil untuk berkorban, menghargai orang lain di atas diri kita sendiri, tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:1-4). Lagipula, kasih Tuhan memampukan kita untuk mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:7). Dan jika kita hidup dalam kebenaran, aku berani mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi khawatir akan kebutuhan kita sendiri.

4. Kamu peduli akan dosa-dosa… tapi bukan dosamu sendiri

Sejak awal tahun ini, kelompok studi Alkitabku sedang mempelajari Kitab Hosea dan kami mendapati bahwa ketidaktaatan kepada Tuhan itu nilainya setara dengan perzinahan. Tapi, sejujurnya, kita biasanya tidak berpikir seperti itu. Maksudku, bagaimana mungkin sifat serakah sama nilainya dengan perselingkuhan? Apa kaitannya jika dibandingkan dengan tidur dengan pasangan orang lain? Namun, salah satu bahaya yang kita hadapi sebagai orang Kristen adalah kita berpikir bahwa diri kita lebih benar, atau kita berpikir bahwa kita lebih layak diselamatkan daripada teman-teman kita yang bukan Kristen.

Aku pernah beberapa kali tidak menyukai tindakan seseorang, atau kaget dan marah karena berita kejahatan yang kubaca di koran, atau bahkan aku pernah menyebut orang lain sebagai orang yang tidak punya harapan. Saat itu, aku menghakimi orang lain berdasarkan standarku sendiri. Aku lupa kalau aku pun orang berdosa yang sama-sama membutuhkan anugerah dan belas kasihan. Aku lupa bahwa Tuhanlah hakim yang utama dan setiap kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, aku bersyukur ketika ada keluarga atau temanku yang punya maksud baik, yang mau meluangkan waktunya untuk menunjukkan ketidakkonsistenan serta dosa-dosa dalam hidupku. Meski tidak menyenangkan, mereka meningatkanku bahwa aku membutuhkan Juruselamat, dan betapa baiknya tuhan yang telah memberikan anak-Nya untuk orang sepertiku.

Menuliskan keempat poin di atas telah menolongku menyadari bahwa solusi untuk masalahku adalah bukan dengan menyelesaikannya dengan kekuatanku sendiri. Aku butuh berdoa dan meminta Tuhan untuk menolongku bertumbuh dalam memahami keindahan, rahmat, dan kebenaran-Nya. Tuhanlah yang telah membuatku melihat (Yohanes 6:65) dan hanya ketika aku melihat betapa mulianya Tuhan, segala sesuatu di sekitarku akan tampak pudar. Aku pun berdoa hal yang sama untukmu.

Baca Juga:

Langkah-langkah Memulai Masa Pacaran

Setelah mendengar banyak cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, aku merasa ada yang kurang pas. Maka, kuharap tulisan pendek yang kubagikan ini dapat menolong mereka yang sedang bergumul untuk bergumul dengan benar.

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

manakah-yang-lebih-baik-menikah-atau-tetap-single

Oleh Poh Fang Chia, Singapura

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Better To Be Married or To Stay Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Coba kita berpikir realistis sejenak. Kita asumsikan bahwa umumnya hubungan pacaran itu berlangsung selama tiga tahun. Di tengah kehidupan yang sangat sibuk ini, jika sepasang kekasih itu bisa meluangkan waktu bertemu seminggu sekali saja sepertinya sudah bagus. Tapi, jika memang berlaku demikian, berarti dalam tiga tahun pacaran, pasangan itu hanya bertemu tatap muka dan saling mengenal selama 156 hari! Padahal seumur hidupku sendiri, aku telah menjalani 13.870 hari sebagai single.

Selain itu, aku juga memikirkan tentang bagaimana caranya dua orang dengan latar belakang, budaya, dan kehidupan yang berbeda itu menjadi satu. Memikirkan bagaimana caranya berubah dan menyesuaikan diri saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.

Mungkin aku seorang yang ragu terhadap sebuah komitmen. Atau, mungkin juga seperti yang temanku pernah katakan, yaitu aku memang belum menemukan sosok pria yang tepat. Tapi, apapun alasannya, aku tahu bahwa Tuhan akan mengubah diriku apabila menikah memang adalah bagian dari rencana-Nya dalam hidupku. Tapi, semakin aku berpikir, semakin pula aku merasa bahwa pernikahan itu berasal dari surga.

Pendapatku tentang pernikahan

Terkadang, aku merasa bahwa pernikahan malah membuat kita kehilangan lebih banyak daripada apa yang seharusnya kita dapat. Rasa-rasanya pernikahan itu malah membatasi dunia kita.

Hal inilah yang kurasakan ketika ada pria-pria yang menyukaiku. Aku merasa jika aku menjalin hubungan dengan mereka, hidupku yang semula bebas dan penuh banyak kesempatan akan menyempit dan terbatas.

Aku menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi dalam dirinya yang tidak dapat diubah. Ada komitmen pribadi dan visi kehidupan yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup aku perlu berhati-hati. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama pasangan yang tidak dapat menerima bagian dari diriku yang tidak bisa kuubah. Aku juga tidak mau terjebak dalam situasi di mana aku dan pasanganku tinggal bersama, namun hati dan impian kami masih terpisah. Aku tidak ingin kehidupan kami nanti terpisah walaupun sejatinya sudah menikah.

Pemahamanku tentang pernikahan

Namun, aku juga percaya bahwa ada keajaiban dalam sebuah pernikahan, itulah yang disebut sebagai sebuah transformasi atau perubahan.

Dalam pernikahan, dua kehidupan yang berbeda akan membaur bersama. Dua insan dengan latar belakang berbeda akan hidup dan mengarungi masa depan bersama. Mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda, tapi mereka telah menjadi satu. Pernikahan bukan membuat hidup mereka menjadi sempit dan penuh batas, melainkan dari pernikahan lahir sebuah pengertian dan kesadaran untuk saling mengerti satu sama lain.

Hanya dalam sebuah pernikahan, komitmen dua menjadi satu itu akan membawa mereka menyelami kehidupan lebih dalam. Ibarat roti dan ragi, dua kehidupan yang berbeda itu akan menjadi khamir, atau menyatu sempurna. Komitmen dalam pernikahan juga membuat perjalanan hidup seseorang jadi lebih kaya dan bermakna lewat segala kerumitan-kerumitan yang terjadi setiap harinya. Mereka juga belajar untuk tidak menjadi egois. Tidak ada relasi apapun di dunia ini selain pernikahan yang dapat menguji kesetiaan dan kepuasan sejati antar pasangan.

Kadang, pernikahan seolah tampak bukan sesuatu yang logis. Dua pribadi menjadi satu, namun mereka dapat menghasilkan karya yang jauh lebih besar daripada ketika mereka seorang diri.

Karena itu, temanku pun mengucapkan sebuah kalimat:

Pernikahan adalah sebuah keajaiban.
Secara ajaib, dua insan yang adalah laki-laki dan perempuan, berubah dan dikuduskan menjadi satu dalam hubungan suami istri.

Pengertian Alkitab tentang pernikahan

Surat Paulus kepada jemaatnya di Korintus adalah dasar dari pendapatku mengenai pernikahan dan masa single.

Dalam 1 Korintus 7:8-9, Paulus menasihati kita bahwa lebih baik untuk tidak menikah karena kita bisa mempunyai kesempatan lebih untuk melayani Kristus tanpa diliputi banyak kekhawatiran (7:32-35). Tapi, walaupun pernikahan seolah dianggap sulit, memilih untuk menikah dengan tulus jauh lebih baik dibandingkan hidup di dalam hawa nafsu.

Paulus memberikan tiga alasan umum mengapa orang yang belum menikah lebih baik untuk tetap tidak menikah.

Pertama, orang yang tidak menikah memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah (1 Korintus 7:25-28).

Kedua, di akhir zaman ini, orang Kristen tidak boleh membiarkan hidupnya dikuasai oleh pernikahan maupun hal-hal duniawi. Fokus utama orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan (1 Korintus 7:29-31).

Ketiga, pernikahan menghasilkan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Tapi, mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat mengabdikan hidup mereka seutuhnya untuk melayani Kristus (1 Korintus 7:32-35).

Tiga alasan itu membuat aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa Tuhan merancangkan sebuah pernikahan jika memang sudah jelas bahwa pernikahan itu membawa kerugian?

Tapi, aku menyadari bahwa sesungguhnya 1 Korintus 7 sedang membahas mengenai dunia dan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, aku menarik kesimpulan bahhwa pernikahan Kristen adalah pernikahan yang dirancang untuk jadi kesaksian yang kuat tentang Yesus Kristus, sebagai wujud demonstrasi kasih Allah kepada dunia ini.

Pernikahan Kristen yang sejati bukan terjadi secara otomatis karena dua orang Kristen memilih untuk menikah, ataupun karena pernikahan itu diberkati di gereja. Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencari pasangan hidup yang sepadan.

Inilah pemahamanku yang baru tentang apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 7.

Ya, orang yang tidak menikah memang memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menikah. Namun, fakta bahwa berdua lebih baik daripada seorang diri juga benar adanya. Pasangan yang hidup bersama dapat mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih baik.

Ya, kita hidup di akhir zaman, orang Kristen tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi menguasai hidupnya. Prioritas utama sebagai orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan, dan kedua hal ini berlaku baik bagi orang yang menikah ataupun tidak.

Ya, pernikahan akan memberikan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat membaktikan seluruh kehidupannya untuk melayani Kristus. Akan tetapi, adalah sesuatu yang juga benar apabila dua orang yang memutuskan menikah itu menghidupi misi ini bersama-bersama. Tentu hasil yang dihasilkan akan jadi lebih besar. Suami dan istri harus menghidupi hari-hari mereka untuk melayani Kristus. Pemahaman ini membawa kita pada pandangan yang lebih luas tentang ladang pelayanan. Sebagaimana dunia ini adalah ladang pelayanan, demikian juga rumah dan keluarga kita.

Kalimat penutup

Aku masih harus banyak belajar tentang pernikahan, masa single, dan juga tentang hubungan.

Baca Juga:

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja di perusahaan-perusahaan bonafide. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Pekerjaanku-Bukanlah-Passionku-Tap- Inilah-Cara-Tuhan-Membentukku

Oleh Gracea Elyda Safaret Sembiring, Yogyakarta

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja dengan segera di perusahaan-perusahaan bonafide yang aku inginkan. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Setelah melepas status sebagai mahasiswa, dengan segera aku berganti status menjadi seorang jobseeker alias pencari kerja. Perjuanganku untuk mendapatkan pekerjaan kulakukan dengan mendatangi bursa pameran kerja, baik itu di dalam ataupun luar kota. Selain itu, setiap hari aku selalu mencari-cari lowongan kerja di beragam portal karier yang tersedia di internet. Selama enam bulan itu aku berjuang keras mondar-mandir mencari pekerjaan, dan saat memasuki bulan ketujuh akhirnya aku mendapatkan pekerjaan pertamaku.

Sebuah pertentangan idealisme

Tiga bulan pertama menjadi seorang jobseeker, idealismeku masih begitu tinggi. Aku hanya mau melamar kerja di perusahaan-perusahaan yang menurutku bonafide. Dalam sebuah pameran bursa kerja, aku mendaftarkan diriku ke sebuah bank. Namun, aku tidak mengetahui kalau pada hari itu juga langsung diberikan pengumuman untuk maju ke tahap wawancara keesokan harinya.

Di hari kedua pameran bursa kerja, aku tidak sengaja melihat bahwa ada namaku tercantum di papan pengumuman seleksi wawancara. Di sana tertulis bahwa jadwal wawancaraku akan berlangsung kurang dari 15 menit lagi sehingga aku pun segera berlari menuju lokasi wawancara. Tapi, ternyata wawancara sudah selesai. Aku memohon supaya bisa mengikuti seleksi wawancara di tahap selanjutnya, tapi pihak panitia seleksi tidak mengizinkan. Ketika aku keluar ruangan, perasaanku begitu campur aduk hingga aku pun menangis.

Setelah memasuki bulan keempat pencarian kerja, idealismeku yang semula begitu tinggi pun mulai menurun. Aku mulai pasrah, lalu sebagai seorang pencari kerja yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, aku jadi lebih sering khawatir, bingung, dan bosan. Apalagi, orangtuaku juga menuntutku untuk segera bekerja.

Ketika pekerjaan tidak sesuai dengan passionku

Setelah melewati masa penantian selama beberapa bulan, akhirnya aku diterima bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang staf bagian keuangan. Sudah satu tahun aku lewati bekerja di sana, namun hingga kini sejujurnya aku belum merasakan damai sejahtera. Pekerjaan ini membuatku merasa tidak menjadi diri sendiri. Aku merasa bahwa aku tidak bisa mengembangkan talenta yang sudah Tuhan berikan, belum lagi faktor internal perusahaan tempatku bekerja yang membuatku semakin merasa tidak nyaman.

Aku tahu bahwa keputusanku untuk bekerja di tempat ini bukanlah karena pilihan yang kuambil dengan sepenuh hati. Aku sungkan kepada orangtuaku karena aku tidak ingin mereka melihatku menganggur terlalu lama. Belum lagi tekanan-tekanan dari lingkungan sekitar ketika mengetahui kalau aku tak juga kunjung bekerja, lalu aku sendiri pun sudah merasa bosan. Ketika tawaran bekerja di perusahaan ini datang, aku pikir ini adalah langkah yang tepat untukku.

Sesungguhnya, passionku adalah mengajar anak-anak, bukan melakukan pekerjaan yang kulakukan sekarang ini. Untuk menghidupi passion itu, aku sempat mendaftarkan diriku untuk mengikuti program Indonesia Mengajar, namun hanya berhenti sampai di tahap direct assessment. Kegagalan itu membuat perasaanku campur aduk, dan akhirnya aku mengambil keputusan “just do it” saja dan mengambil tawaran kerja di perusahaanku yang sekarang.

Kejutan-kejutan dari Tuhan

Terkadang aku bertanya-tanya kepada Tuhan tentang apa yang sebenarnya Dia ingin aku lakukan untuk-Nya. Sepanjang perjalanan hidupku, aku telah melihat banyak kejutan yang Dia berikan, yang jauh dari dugaanku semula.

Kejutan itu bermula dari akhir masa sekolahku dulu. Ketika lulus SMA, aku ingin mengambil kuliah di Jurusan Komunikasi ataupun Jurnalistik. Namun, setelah mengikuti beberapa kali seleksi, aku gagal. Sebagai anak SMA yang baru lulus, fokusku saat itu adalah harus bisa kuliah di tahun itu juga di perguruan tinggi negeri supaya tidak membebani orang tua. Akhirnya aku pun mengambil Jurusan Diploma Teknik Sipil di Yogyakarta yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Setelah lulus, aku melanjutkan program ekstensi di Surabaya untuk mendapatkan gelar sarjana di jurusan yang sama.

Saat melanjutkan kuliah ekstensi itulah aku bertemu dengan seorang dosen yang kukagumi karena menurutku beliau adalah sosok yang beritegritas. Aku berdoa supaya skripsiku nanti bisa dibimbing olehnya, dan Tuhan mengabulkan doaku. Tapi, teman-temanku mengatakan kalau skripsi yang kukerjakan itu bukan teknik sipil banget karena lebih membahas ke bidang ekonomi teknik. Dan saat ini, sebagai seorang Sarjana Teknik aku malah bekerja sebagai staf bagian keuangan di perusahaan desain interior. Tapi, sebenarnya jika disambung-sambungkan dengan skripsiku, pekerjaan ini masih ada kaitannya dengan bidang studi yang kutempuh, walaupun sedikit.

Keputusanku untuk menikmati pekerjaanku yang sekarang

Jika berbicara tentang passion, aku tahu beban apa yang ada di hatiku. Di tahun pertamaku kuliah, aku menjadi seorang pengajar les gratis yang diselenggarakan oleh persekutuan yang aku ikuti. Pengalaman itu membukakan mataku tentang kondisi anak-anak yang tinggal di daerah perkampungan. Hatiku menjadi luluh setiap kali melihat anak-anak yang terbaikan itu. Hingga hari ini, sekalipun pekerjaan yang kudapat bukanlah di bidang pendidikan, aku masih merasakan perasaan yang sama terhadap anak-anak yang terabaikan itu.

Aku menyadari mungkin untuk saat ini Tuhan memang belum mengizinkanku untuk bekerja sepenuhnya melayani anak-anak terabaikan itu. Untuk menghidupi passionku, di samping pekerjaan utamaku sebagai staf bagian keuangan, aku pun bergabung dengan komunitas Teaching and Traveling 1000 Guru Jogja, lalu mengikuti mission trip yang diselenggarakan oleh persekutuanku, dan juga menjadi panitia di Kelas Inspirasi Yogyakarta.

Kadang, tatkala aku merasa terbeban dengan pekerjaanku, komunitas-komunitas yang aku ikuti inilah yang menguatkanku dan membuatku mampu bertahan di pekerjaanku yang sekarang. Aku bersyukur karena walaupun pekerjaan utamaku bukanlah passionku, tapi aku beroleh kesempatan untuk menyalurkan passionku lewat komunitas-komunitas yang aku ikuti.

Sampai saat ini aku masih bergumul dengan pekerjaanku, tapi aku mau belajar untuk setia, dengar-dengaran dengan suara Tuhan, dan mempercayakan segala sesuatunya kepada Tuhan yang adalah Sang Pencipta. Kadangkala memang rencanaku tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi sebagaimana firman-Nya berkata, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku demikianlah firman Tuhan. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9). Aku mau belajar untuk setia dan taat pada apa yang jadi rancangan-Nya.

Di masa depan nanti aku masih memiliki cita-cita untuk suatu saat bisa bekerja di lembaga-lembaga yang melayani masyarakat terutama anak-anak. Aku ingin membaktikan diriku untuk berkarya secara aktif dan menyentuh masyarakat secara langsung. Namun, sebelum tiba sampai di tahap itu, aku harus setia dan melakukan yang terbaik atas apa yang sudah Tuhan berikan kepadaku saat ini.

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Baca Juga:

Jangan Melompat, Masih Ada Harapan!

Aku baru saja bersiap akan berangkat kerja ketika polisi-polisi datang ke wilayah apartemenku. Seorang wanita tua nekat mengakhiri hidupnya dengan melompat dari lantai 10 di apartemen kediamanku. Aku mungkin tidak tahu apa penyebab dia nekat melakukan bunuh diri, namun seandainya waktu itu aku bisa mencegahnya melompat, aku akan berkata, “Jangan melompat, masih ada harapan!”

Mengapa Tuhan Seolah Menghancurkan Masa Depanku?

mengapa-tuhan-seolah-menghancurkan-masa-depanku

Oleh Samarpal Limbong, Medan

Setiap orang di dunia ini tentu mengharapkan masa depan yang terbaik, begitu juga denganku. Namun, yang terbaik menurut siapa? Pertanyaan itu selalu terngiang-ngiang di benakku ketika hal-hal baik yang kuharapkan tak kunjung datang.

Tidak hanya aku, mungkin orang lain juga pasti sering berpikir, apakah usaha dan doaku kurang? Atau, apakah hidupku kurang kudus sehingga Tuhan tidak berkenan mendengar doaku? Akan tetapi, ketika aku diizinkan melalui banyak hal-hal buruk, aku beroleh kesempatan belajar untuk semakin mengerti alasan mengapa Tuhan mengizinkan itu terjadi.

Sebuah peristiwa yang mengubah hidupku

Hari itu, 31 Oktober 2011, ujian tengah semester sedang dilaksanakan di kampus. Waktu itu aku masih mahasiswa baru di Jurusan Teknik Mesin sehingga aku belum terlalu paham betul dunia perkuliahan yang aku jalani. Aku dan teman-temanku diancam oleh senior kami. Siapa yang tidak mau mengikuti tawuran, maka nilai labnya akan digagalkan. Dengan berat hati akhirnya aku mengikuti kerumuman mahasiswa untuk ikut tawuran.

Dalam tawuran itu, sebuah lemparan batu menghujam tepat di mata sebelah kiriku. Teman-temanku segera melarikanku ke klinik khusus mata terdekat dan segera dilakukan operasi kecil untuk membersihkan mataku dari kotoran dan darah, lalu pelipis dan daerah sekitar mataku yang sobek juga dijahit. Dokter memvonis kalau kecil kemungkinan untuk mata kiriku dapat pulih kembali karena bola mataku pecah akibat lemparan batu itu.

Pada saat itu aku benar-benar terpukul dan bergumul dengan keadaanku. Aku seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Aku terus berpikir, bagaimana dengan masa depanku? Saat itu aku kuliah untuk meraih gelar Sarjana Teknik. Tentu akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan nantinya dengan mata kiriku yang tak lagi berfungsi.

Kekhawatiranku itu ternyata terbukti. Sampai saat ini aku selalu gagal mengikuti tahapan tes kesehatan di perusahaan-perusahaan besar. Padahal dengan mudah aku selalu lolos seleksi psikotest dan tes kemampuan bidang. Kegagalan itu membuatku menyendiri, bahkan hubungan pribadiku dengan Tuhan pun menjadi tidak baik. Sangat sulit bagiku untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima keadaan.

Ketika perban mataku boleh dilepas, Tuhan seolah menegurku melalui sebuah artikel yang kubaca di Internet. Ada kutipan kata-kata yang sampai saat ini masih kuingat jelas, “Tuhan selalu menunggumu untuk menyapa-Nya di pagi hari saat kau terbangun, atau malam hari sebelum kamu tertidur. Sesombong itukah kamu sehingga kamu tidak mau menyapa-Nya?” Dengan hati yang hancur aku berseru kepada Tuhan dan mulai menjalin hubungan pribadi kembali dengan-Nya.

Saat itu pula aku diingatkan kembali dengan kisah Ayub ketika aku sedang membaca Alkitab. Aku diingatkan kembali untuk tetap setia, sama seperti Ayub yang memilih untuk taat walaupun Tuhan izinkan Iblis untuk mencobainya. Aku benar-benar menangis dan malu pada diriku sendiri sebab aku berpikir bahwa pencobaan yang aku alami mungkin belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang Ayub alami. Dari titik itulah aku perlahan bangkit dari kejatuhan.

Pergumulanku untuk belajar percaya sepenuhnya

Sekalipun sulit bagiku untuk menjalani hari-hari, tapi puji syukur karena Tuhan terus menguatkanku hingga saat ini. Enam tahun Tuhan terus menyertai setelah peristiwa nahas itu, sekalipun kini aku mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dan mewujudkan cita-citaku sebagai seorang engineer. Tapi, aku mau tetap percaya bahwa segala sesuatu yang indah telah Tuhan sediakan, tidak hanya di dunia ini saja, tetapi Tuhan juga sudah menyediakan tempat terindah bersama-Nya di kerajaan surga.

Aku percaya karena Tuhan ingin aku menjadi anak-Nya yang mempercayai Dia sepenuhnya, tidak suam-suam kuku. Mempercayai Tuhan dalam keadaan baik itu mudah, namun tetap mempercayai-Nya dalam keadaan buruk dan terhimpit, itulah iman yang Tuhan inginkan.

Begitulah keadaanku saat ini, ada hal-hal yang sepertinya buruk yang harus kulalui, seperti peristiwa enam tahun lalu yang mengakibatkan aku kehilangan mata kiriku. Ini bukanlah hal mudah bagiku, mungkin ada juga orang yang menganggap ini sebagai hal buruk. Tapi, aku percaya bahwa setiap kemungkinan terburuk yang terjadi atas hidupku adalah atas seizin Tuhan. Aku percaya hidup inilah yang harus aku jalani dengan penuh ucapan syukur, seperti Rasul Paulus yang berkata, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Baca Juga:

Mengapa Aku Tetap Optimis Sekalipun Negeriku Dipenuhi Banyak Masalah?

Hari itu jagad dunia maya sedang bergejolak, banyak orang menyuarakan berbagai komentarnya atas masalah-masalah yang tengah terjadi di Indonesia. Ada yang menyesali, mengumpat, pesimis, optimis, bahkan ada pula yang memaki. Kulepaskan ponselku dari genggamanku. Apa yang baru saja kulihat itu membawaku pada perenungan mendalam.

Apa Sesungguhnya Panggilan Allah bagi Hidupku?

apa-sesungguhnya-panggilan-allah-bagi-hidupku

Oleh Daniel Ryan Day, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Is God Calling Me To Do?

Dalam hidupku, seringkali aku tidak tahu apa yang seharusnya aku perbuat. Kadang, ada hal-hal yang sebenarnya tidak perlu terlalu aku khawatirkan, karena kalau pun aku salah memutuskan, akibatnya tidaklah besar. Contohnya adalah saat Natal tahun lalu. Kala itu, aku merasa begitu stres memikirkan hadiah Natal apa yang paling tepat untuk aku berikan kepada orang-orang yang ingin aku berikan hadiah Natal. Tapi setelah aku pikir-pikir lagi, akibat terburuk apa sih yang terjadi kalau pun aku salah pilih hadiah? Ini bukanlah sebuah keputusan yang besar.

Tapi, ada pula saat-saat lain ketika aku merasa keputusan yang kuambil adalah keputusan yang akan mengubah hidupku. Dalam saat-saat itu, kalau aku salah memutuskan, aku bisa jadi melewatkan hal-hal yang seharusnya aku lakukan dalam hidupku.

Aku hidup dalam budaya yang memberikan tekanan kepada orang-orang dewasa muda untuk memutuskan apa yang akan mereka kerjakan di sisa hidup mereka, pada saat mereka berusia 18-24 tahun—terutama dalam hal pilihan karier. Akibatnya, ada banyak anak remaja yang jadi terlalu stres dan orang-orang dewasa muda usia 30-40 tahunan yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka mencari jawaban dari satu pertanyaan ini: Apa yang seharusnya aku lakukan dalam hidupku?

Bagi orang-orang Kristen, ada suatu kerinduan yang lebih mendalam untuk mendapatkan lebih dari sekadar pekerjaan yang bermakna dan memuaskan: kita juga mencari apa yang menjadi kehendak Allah dalam hidup kita, karena kita percaya bahwa Allah punya rencana atas masa depan kita. Kita percaya memilih pekerjaan bukanlah keputusan kita semata.

Tapi, bagaimana jika Allah tidak pernah memberitahu kita apa yang Dia ingin kita lakukan? Lantas, apa yang harus kita lakukan apabila Allah seolah hanya diam saja ketika kita bertanya apa yang menjadi kehendak-Nya atas hidup kita?

Dulu aku pernah meminta Allah memberitahuku apa kehendak-Nya bagi hidupku. Aku rela melakukan apa pun yang Dia ingin aku lakukan. Aku juga rela pergi ke mana pun Dia memintaku untuk pergi. Tapi, ternyata Dia hanya diam saja. Sangat diam.

Inilah Kehendak Allah dalam Hidupmu

Karena aku tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku itu, aku menjadi frustrasi dengan Allah. Pernahkah kamu merasa frustrasi dengan Allah? Aku pernah. Bahkan, saking frustrasinya sampai-sampai aku pernah mengetikkan di Google, “Apa kehendak Allah dalam hidupku?”

Lalu aku masuk ke sebuah halaman web yang berisi daftar ayat-ayat Alkitab. Ketika aku baca ayat pertama dalam daftar itu, ingin rasanya kulempar saja layar komputerku ke luar jendela. Ayat itu adalah Yeremia 29:11, yang berkata bahwa Allah memiliki rencana atas hidupku.

“Aku tahu Allah punya rencana!” Aku berteriak dengan keras. “Tapi, masalahnya adalah Allah tidak mau memberitahukannya kepadaku!”

Kemudian aku membaca ayat selanjutnya, 1 Tesalonika 4:3. “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu.” Aku begitu terkejut. Apa?! Sudah begitu lama aku mencari apa kehendak Allah. Ternyata selama ini semua jawabannya ada di dalam Alkitab! Aku jadi makin penasaran apa lagi yang telah kulewatkan selama ini, dan apakah ada ayat lain tentang hal ini. Aku pun mulai mencari.

Masih di kitab yang sama, 1 Tesalonika 5:16-18, aku menemukan ayat ini: “Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.” Kemudian aku juga menemukan ayat ini di 1 Petrus 2:15: “Sebab inilah kehendak Allah, yaitu supaya dengan berbuat baik kamu membungkamkan kepicikan orang-orang yang bodoh.”

Semakin banyak aku mencari, semakin banyak yang aku temukan, dan segera aku menyadari bahwa kehendak Allah yang tertulis dalam Alkitab itu sangat banyak. Lantas, bagaimana aku dapat mengingat dan melakukan semua yang tertulis itu?

Tapi kemudian Roh Kudus mengingatkanku tentang sebuah janji yang Yesus ucapkan kepada semua orang yang mau mengikut Dia: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” (Matius 11:28-30).

Pada zaman ketika Yesus hidup di bumi, kuk merupakan sebuah kayu lengkung yang dipasangkan pada tengkuk lembu supaya dia bisa menarik beban yang berat. Seringkali dua ekor lembu dipasang satu kuk bersamaan supaya mereka mampu menarik beban yang dua kali lebih berat.

Aku belum pernah melihat secara langsung lembu yang dipasangi kuk, jadi aku lebih suka membayangkan istilah kuk dan lembu dengan sesuatu yang lebih modern, seperti truk penarik bagasi yang sering kulihat di bandara dari dalam jendela pesawat.Biasanya truk itu akan menarik empat atau lima gerbong bagasi yang dipenuhi dengan koper-koper milik penumpang. Anggaplah kuk itu seperti sebuah truk. Beban yang ditariknya sudah tentu berat, bukan?

Ketika aku membaca Alkitab dan mencatat perintah-perintah apa yang tertulis di sana dan apa yang Allah ingin aku lakukan, perintah-perintah itu seolah seperti koper-koper yang harus ada di gerbong bagasi. Ketika aku sudah selesai membaca Alkitab, ternyata koper-koper itu ada begitu banyak, dan semuanya berisikan perintah-perintah yang Allah ingin aku lakukan. Itu semua amatlah berat.

Tapi, Tuhan Yesus berkata bahwa kuk-Nya itu enak dan beban yang Dia berikan itu ringan. Jadi, apabila aku merasa beban yang kupikul itu terlalu berat, maka tentu ada yang salah dengan diriku sendiri.

Dua Panggilan Hidup yang Terutama

Tuhan Yesus sebenarnya telah membuat panggilan hidup kita jadi lebih sederhana. Dia berfirman, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40).

Menurutku, dalam bagian Alkitab itu, Tuhan Yesus bukan hanya sekadar memberi kita hukum yang terutama, tapi juga mengajarkan kita tentang sesuatu yang aku sebut sebagai panggilan yang terutama. Hal yang pertama dan terutama adalah, aku dan kamu dipanggil untuk berjalan dalam sebuah hubungan yang intim dengan-Nya. Kita tidak lagi harus menghafalkan daftar hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan (yang begitu berat seperti gerbong bagasi itu), karena Tuhan Yesus telah mengangkat beban yang berat dari hukum Taurat itu dari bahu kita. Sebagai gantinya, Dia memberikan kita rangkuman sederhana tentang apa yang sesungguhnya menjadi tujuan hidup kita.

Jadi, apakah tujuan hidup itu? Jawaban sederhananya adalah: Mengasihi Allah dan sesama. Itulah panggilan yang terutama. Sekalipun kamu tidak mengingat hal-hal lain, aku berharap kamu mengingat kebenaran ini: Allah telah memanggil kamu—dan itulah kehendak-Nya atas hidupmu—untuk mengasihi Dia dengan segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatanmu, dan untuk mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Baca Juga:

Ketika Keputusan Karierku Berbeda dari Teman-temanku

Tanganku lemas, kakiku mati langkah dan tubuhku mulai bergetar. Aku bertanya dalam hati, “Sebegitu rendahkah aku, seorang sarjana dengan predikat cum laude, hanya mendapat gaji minimum kabupaten Bantul?” Padahal baru saja aku bersukacita ketika tahu bahwa sebelum wisuda aku telah diterima bekerja di sebuah yayasan pendidikan.

Ketika Keputusan Karierku Berbeda dari Teman-temanku

Lulusan-Cum-Laude-tapi-Bergaji-Kecil,-Inilah-Cara-Tuhan-untuk-Membentukku

Oleh Aloysius G. Dinora, Yogyakarta

Tanganku lemas, kakiku mati langkah dan tubuhku mulai bergetar. Aku bertanya dalam hati, “Sebegitu rendahkah aku, seorang sarjana dengan predikat cum laude, mendapat sedikit lebih besar dari gaji minimum kabupaten Bantul?” Padahal baru saja aku bersukacita ketika tahu bahwa sebelum wisuda aku telah diterima bekerja di sebuah yayasan pendidikan.

Semua berubah drastis, aku menjadi begitu dilema karena ternyata pengabdian dan uang tidak bisa berjalan “bergandengan”. Aku merasa bahwa mimpi-mimpiku seolah pupus ketika menerima gaji bulanan yang bahkan lebih kecil daripada kiriman kedua orangtuaku semasa kuliah dulu. Sebenarnya, tidak ada tekanan dari siapapun perihal gaji yang aku terima, termasuk orangtuaku sekalipun. Satu-satunya tekanan itu adalah dari dalam diriku sendiri yang kusebut sebagai gengsi. Pilihan karier yang telah kupilih ini begitu dilematis dan membawa perenungan mendalam.

Mengapa aku memutuskan berkarier di dunia pendidikan

Yayasan tempatku bekerja adalah sebuah yayasan yang bergerak untuk menyalurkan bantuan berupa beasiswa kepada siswa-siswi yang tidak mampu secara ekonomi. Aku bekerja di divisi program pengembangan, sehingga tugasku adalah mengakomodasi kegiatan pengembangan untuk membentuk karakter, potensi, dan kepercayaan diri siswa-siswi dari tingkat SD hingga SMA yang menerima beasiswa.

Keputusanku untuk mengabdi dalam dunia pendidikan bukanlah datang tanpa sebab. Sebenarnya, dulu ketika kuliah, motivasiku adalah aku harus menjadi sarjana supaya nanti bisa hidup mapan, mudah, dan masa depan terjamin. Karena motivasi itu, aku pun menjadi mahasiswa pengejar nilai yang berpikir kalau dengan IPK yang tinggi maka aku akan mudah diterima di perusahaan ternama dan karierku pun akan terjamin.

Aku lahir dan dibesarkan di Buntok, sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah dan ketika aku pindah ke Yogyakarta untuk kuliah, aku melihat ada ketimpangan antara pendidikan di Jawa dan luar Jawa. Tidak banyak anak-anak di daerahku yang mampu bersekolah hingga jenjang perguruan tinggi. Ada banyak faktor yang menghambat mereka, entah itu masalah ekonomi keluarga hingga minimnya fasilitas yang mengharuskan siswa-siswi yang ingin belajar lebih lanjut harus pergi ke kota besar.

Pengalaman itulah yang membentuk diriku untuk bertekad berkontribusi pada dunia pendidikan. Memasuki tahun kedua kuliahku di Yogyakarta, aku mendapatkan kesempatan untuk menjadi relawan di beberapa komunitas pendidikan di Yogyakarta. Aku bergabung sebagai relawan di sebuah yayasan khusus anak-anak jalanan. Tapi, dulu motivasiku menjadi relawan belum begitu tulus, dulu aku berpikir oportunis dan pragmatis, bergabung dengan kegiatan relawan seperti itu kumanfaatkan untuk sekadar menambah riwayat hidupku, atau paling tidak aku bisa pamer kepada teman-temanku di media sosial.

Sebuah kesempatan yang menegurku

Waktu berlalu aku bertemu dengan banyak orang yang peduli dengan dunia pendidikan, kami banyak berdiskusi dan sharing. Mereka bukanlah orang-orang biasa menurutku, mereka adalah lulusan-lulusan luar negeri yang aku pikir seharusnya mereka bisa saja hidup mapan dengan masuk ke perusahaan ternama dan mendapatkan gaji tinggi.

Melihat dedikasi dan keilmuan mereka yang jauh lebih tinggi dariku membuatku merasa malu akan apa yang menjadi motivasiku saat itu, mereka benar-benar memilih untuk mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Sejak saat itulah aku berusaha memurnikan motivasiku. Aku merenung dan bertanya kepada diriku sendiri, apakah minatku untuk berkarier nanti di dunia pendidikan adalah pilihan yang benar-benar aku ingin hidupi setelah kuliah, atau hanya karena aku ikut-ikutan tren anak muda yang aktif di kegiatan sosial.

Jika sebelumnya keterlibatanku dalam kegiatan-kegiatan relawan itu hanya berfokus untuk keuntungan diriku sendiri, aku mulai mengubah pola pikirku menjadi lebih profesional. Di yayasan sosial, saat aku menjadi relawan, kami tidak sekadar mengajar anak-anak, tapi, lewat rumah belajar yang kami dirikan, kami ingin membangun persahabatan juga dengan mereka dan menjadikan pendidikan sebagai sebuah pendekatan.

Di samping keaktifanku bekerja sosial, aku juga berprinsip untuk mengembangkan kemampuan akademisku dalam perkuliahan. Bagaimana caranya aku bisa mendidik orang lain apabila aku sendiri tidak bertanggung jawab atas kuliahku sendiri? Maka untuk menjawab itu, aku pun menjadi seorang asisten dosen yang aku pikir adalah sarana yang tepat untuk mengasah kemampuanku mengajar.

Pekerjaanku adalah ibadahku

Persiapan-persiapan yang kulakukan sejak tahun-tahun terakhir kuliah membuat motivasiku yang semula hidup berkarir di korporasi berubah, tentu bukan masalah ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di perusahaan, karena ini adalah sebuah pilihan. Aku mengambil keputusan yang cukup berbeda dibandingkan teman-teman kuliah, yang berkarir sesuai dengan jurusan saat kuliah. Aku memilih untuk bekerja di sebuah yayasan pendidikan, di kabupaten Bantul.

Harus kuakui, kadang ada orang yang memandang rendah keputusanku ini karena mereka belum mengerti apa yang menjadi idealisme yang aku pegang. Apa yang kujalani saat ini barulah permulaan, aku tidak tahu apa yang kelak akan terjadi, tapi satu hal yang aku percaya adalah pekerjaan ini disiapkan oleh Tuhan untuk menguji diriku, apakah aku sungguh-sungguh mau melayani orang lain atau tidak.

Lewat pekerjaan ini sekarang aku mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang mengasah kepekaan hatiku. Pekerjaanku mengajariku bahwa rezeki berupa uang sudah diatur oleh Tuhan karena Dia senantiasa mencukupi semua yang kubutuhkan. Hal paling penting yang bisa kupetik dari pekerjaanku adalah bagaimana caraku bersyukur. Bagiku, ini adalah cara Tuhan untuk membentukku, Dia memberiku bagian yang terbaik setelah aku melalui banyak kebingungan dan keputusasaan.

Waktu telah berlalu, pekerjaan ini juga telah mengajarku untuk mengentaskan egoisme dalam diriku, juga mengurangi kekhawatiranku terutama dalam hal uang. Setelah bekerja, memang gaji yang yang kudapat tidak besar, namun selalu saja ada berkat yang datang, bukan saja dari orang-orang yang aku tolong, tapi ada pekerjaan-pekerjaan sambilan lain yang ternyata mencukupi kebutuhanku.

Setiap orang pasti memiliki mimpi atau passion-nya masing-masing, namun hanya sedikit yang bisa menghidupinya, dan lebih sedikit lagi yang bisa menjadikan pekerjaannya sebagai ibadah kepada Yesus. Semoga kita senantiasa bisa menghidupi panggilan hidup, baik bekerja maupun sekolah sebagai bentuk syukur kepada Tuhan.

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (Filipi 4:6).

Baca Juga:

Untuk Meresponi Panggilan Tuhan, Aku Melepaskan Karierku Sebagai Seorang Fotografer

“Tuhan apakah Kau sedang bercanda?” Kalimat itulah yang terlintas di pikiranku ketika Tuhan menyatakan apa yang sebenarnya menjadi panggilan hidupku.Sebelumnya,aku bekerja sebagai fotografer dan penyiar radio, namun aku melepas karier itu untuk meresponi suatu panggilan yang Tuhan berikan.