Posts

Pikiran Jelek yang Menghakimi Dirimu Sendiri Bukanlah Suara Tuhan!

Oleh Jess McDonald Ragg
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When You Think It’s God Speaking, But It’s Actually Your Inner Critic

Beberapa tahun belakangan aku memandang Tuhan seperti aku memandang Simon Cowell, seorang juri yang biasanya mengomentari para kontestan di ajang pencarian bakat.

Caraku memandang Tuhan seperti itu kusadari ketika aku ikut kelas tentang formasi spiritual. Dosenku memberi tahu bahwa selama kelas itu kami akan menjelajahi dan mencari tahu seberapa jauh dan seperti apa pemahaman kami terhadap karakter Allah.

Dalam kasusku, aku menggambarkan Allah seperti seseorang yang duduk di kursi hitam berlapis kulit, menatapku dengan sinis, sementara aku sendiri berdiri dengan cemas di atas panggung setelah menyanyikan sebuah lagu. Aku hanya berdiri, was-was, dan menunggu kata-kata pedas-Nya.

Aku memandang Allah seperti juri di acara X-Factor yang menanti untuk mengkritik bahwa segala upaya yang kupikir mati-matian ternyata cuma “biasa-biasa” saja. Aku tidak sedang bicara soal dosa; aku bicara tentang keseharianku, seperti:

  • Kesuksesanku selama di kampus, caraku mengerjakan tugas, menjawab pertanyaan dosen;
  • Relasiku, apa pun “topeng” yang sedang kupakai, entah sebagai anak, teman, atau saudara;
  • Pekerjaanku dan segala kesalahan yang kuperbuat;
  • Pelayananku di tim musik, seberapa efektif performaku berdasarkan reaksi dari orang-orang.

Kurasa seringkali aku menetapkan ekspektasi tinggi atas diriku sendiri, dan aku pun merasa bersalah karena sering mengatakan hal-hal negatif buat diriku sendiri. Meskipun aku punya ayah yang selalu mendukungku, aku tidak ingat kalau ada guru sekolah Minggu yang memberitahuku bahwa Tuhan punya tongkat besar yang siap memukulku jika aku berpikir jelek dan mengatakan hal-hal buruk buat diriku sendiri. Kata-kata, ekspektasi, dan kekecewaan yang bergulir di benakku bukanlah suara Tuhan. Yang perlu kulakukan hanyalah mengarahkan semua itu pada-Nya.

Dalam bukunya yang berjudul Knowledge of the Holy, A.W Tozer berkata, “Ada semacam natur tersembunyi dalam jiwa kita yang membuat kita cenderung menciptakan sendiri definisi tentang Allah.”

Yang penulis maksudkan adalah kita membangun kehidupan kita berdasarkan siapa orang-orang yang menurut kita memiliki karakter seperti Tuhan—entah sebagai Bapa yang penuh kasih dan perhatian saat kita melakukan aktivitas sehari-hari, atau Yesus yang kelihatan gaul, pejuang keadilan sosial, atau kita melihat Roh Kudus sebagai sosok yang karakternya tak terduga yang harus dibujuk dahulu agar bertindak.

Bukankah Tuhan adalah hakim?

Jangan salah sangka, Tuhan adalah hakim agung seperti yang ayat-ayat ini tunjukkan:

“Sebab, TUHANlah Hakim kita, TUHANlah panglima kita; TUHANlah Raja kita, Dia akan menyelamatkan kita” (Yesaya 33:22).

“Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang mampu menyelamatkan dan membinasakan. Namun, siapakah engkau, sehingga engkau menghakimi sesamamu?” (Yakobus 4:12).

Namun, penghakiman Allah telah ditimpakan kepada Kristus dua ribu tahun silam, ketika Dia terpaku di kayu salib. Penghakiman berupa murka itu tidak lagi ditimpakan pada kita ketika kita memiliki Kristus dan menjadikan Dia Tuhan dan Juruselamat.

Salah satu cara paling cerdas yang musuh kita lihat untuk mengikis hubungan ktia dengan Allah adalah dengan membuat kita mempertanyakan identitas dan integritas firman-Nya. Aku ingat di Kejadian 3, ketika ular menggoda Hawa, “Memang sungguhan Tuhan bilang begitu?”, menggoda Hawa untuk meragukan natur dan maksud Allah.

Dalam kasusku, aku menghidupi gambaran Allah sebagai juri X-Factor sesederhana karena aku tidak selaras dengan firman-Nya yang berkata:

“TUHAN itu pengasih dan adil, Allah kita penyayang” (Mazmur 116:5).

“Dari jauh TUHAN menampkkan diri kepadanya: Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yeremia 31:3).

“Namun, Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita dalam hal ini: Ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Roma 5:8).

Di sini aku mau membagikan dua petunjuk sederhana untuk membantumu menghadapi persoalan yang sama sepertiku. Yang pertama adalah bagaimana kita dapat memahami sifat sejati Allah, dan yang kedua adalah bagimana kita bisa menangani kegagalan dengan lebih baik.

1. Memahami natur sejati Allah

Cara paling efektif untuk menyelaraskan kembali pemahaman kita tentang natur Allah adalah dengan secara reguler mengenal firman-Nya dan peka terhadap karakter-karakter-Nya yang ditunjukkan dalam Alkitab. Buatku pribadi, titik berangkat yang indah adalah Injil yang menolong kita melihat sosok Yesus secara dekat.

Kutemukan ayat dari Matius 9:36, “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak mempunyai gembala.”

Ayat itu membuatku kagum. Kurasakan perhatian dan kasih yang kuat dari pernyataan itu. Yesus memandang orang-orang yang berputus asa dengan berbelas kasihan. Buat orang sepertiku, yang berjuang untuk berbelas kasih buat diriku sendiri, fakta bahwa Tuhan berbelas kasihan terhadapku sungguh mengejutkan.

Aku tidak berkata bahwa aku telah tiba pada pemahaman sepenuhnya akan natur Allah, tapi aku tertantang untuk terus memurnikan pengetahuanku tentang-Nya. Aku dikuatkan juga lewat serial TV yang berjudul The Chosen yang menggambarkan hidup dan pelayanan Yesus selama di dunia.

Melihat kembali kisah-kisah Yesus yang sudah familiar diceritakan dengan cara baru menolongku memiliki pemahaman yang lebih baik tentang natur Allah terhadap kemanusiaan. Cara pandang ini juga mendorongku membaca ulang kisah-kisah Alkitab, memberiku pandangan baru tentang Yesus, terkhusus bagaimana Dia membangun relasi dengan para murid, juga ketika Dia menunjukkan belas kasihan terkhusus bagi mereka yang tersisih dan terlupakan.

Aku mendorongmu untuk pelan-pelan membaca Alkitabmu dan mencatat pernyataan-pernyataan ketika Allah menyingkapkan karakter-Nya, terkhusus dalam Perjanjian Lama–bukan karena Allah berbeda di Perjanjian Lama, tapi karena Perjanjian Baru adalah penggenapan dalam Kristus Yesus. Karena kita pun berada di dalam Yesus, Allah memandang kita lewat karya-Nya di kayu salib.

Meskipun Tuhan adalah Hakim, Dia juga adalah Bapa (Matius 6:9), Pencipta (Kolose 1:16), Juruselamat (Yesaya 12:2), Pembela (Mazmur 5:11), dan Kawan (Yohanes 15:15). Faktanya, Roma 2:4 berkata bahwa kebaikan-Nyalah yang membawa kita kepada pertobatan.

2. Mengatasi gagal dengan lebih baik

Gagal, hancur,dan kacau kadang tidak terhindarkan. Kita pernah mengalami hari-hari ketika kesulitan melanda dan kita bertanya-tanya bagaimana harus memprosesnya, bagaimana supaya kita tidak mengumpat dan menghujat kepada Tuhan yang baik.

Beberapa tahun yang lalu, aku membuat kesalahan dalam pekerjaanku yang membuatku membayar konsekuensi yang mahal. Aku pun merasa bodoh dan bersalah. Tapi, ayahku menguatkanku untuk selalu ingat bahwa Tuhan itu Mahakuasa dan selalu memegang kendali, sehingga aku tidak perlu stres terlalu berat.

Seiring waktu aku melihat bahwa kesalahanku itu menunjukkan ada proses yang seharusnya aku lakukan supaya aku bisa menjalankan tugasku lebih baik. Kita mungkin akan mendapat pelajaran berharga setelah proses berat itu, dan aku merasa tenang ketika tahu bahwa Tuhan selalu memegang kendali.

2 Korintus 12:9 selalu jadi pengingat yang baik bahwa anugerah Allah selalu cukup. Rasul Paulus mengingatkan kita bahwa kuasa Allah paling maksimal diwujudkan dalam kelemahan kita. Kita menjadi lebih terbiasa dengan kelemahan kita karena kita percaya bahwa Tuhan selalu hadir di segala musim.

Jadi, bagaimana kita mengatasi kegagalan dengan lebih baik? Kita menyerahkannya pada Allah, sembari tetap bergerak melakukan yang terbaik dengan apa yang kita punya, percaya bahwa Dia memegang kendali atas segala sesuatu.

Aku pribadi mengalami bahwa terkadang ada kegagalan yang harus kuterima begitu saja. Artinya, aku memilih untuk berkata buat diriku sendiri, “Aku harap itu nggak terjadi, dan mungkin aku bisa lebih baik kalau….. Tapi sekarang aku mau serahkan semua ke Tuhan” alih-alih merenungkan apa saja yang sudah, bisa, dan akan kulakukan, lalu menyalahkan diri sendiri, meratapi kesalahan dan berandai-andai semuanya tidak terjadi.

Aku mau bersikap jujur atas situasi yang kuhadapi dan memahami apa tindakanku yang membuatku tiba di sini, tapi aku juga mau memberi pengertian buat diriku sendiri sebagaimana Tuhan menunjukkanku kasih karunia dan sekali lagi, meyakinkan diriku bahwa Dia mengendalikan segala sesuatu.

Aku masih berjuang memiliki pemahaman tentang Allah yang tak sebatas seperti juri X-Factor, aku terus menutrisi pikiranku dengan firman-Nya supaya apa yang jadi gambaran yang salah tentang Allah dapat tergantikan oleh apa yang benar. Mengenal-Nya adalah sebuah perjalanan, dan pelan-pelan kita akan melihat, mengalami sendiri suara-Nya, kelembutan-Nya.

Mengetahui bahwa Tuhan melihatku, mengenalku dan bersukacita atasku, aku pun dimampukan untuk bersikap baik terhadap diriku sendiri dan bertumbuh dalam pemahamanku akan Bapa yang penuh kasih.

Kutipan Alkitab di artikel ini diambil dari Alkitab Terjemahan Baru Edisi 2 (TB2)

Demi Cinta, Aku Akhirnya Berserah, Menyerah, dan Terserah

Oleh Edwin Petrus, Medan

“Sudah, kamu berserah sama Tuhan saja, ikut saja apa maunya Tuhan!” Itulah yang selalu aku dengar dari pacarku setiap kali aku menceritakan pergumulan berat yang sedang aku hadapi. Dan tiap kali juga, aku merespons pacarku dengan pernyataan: “Aku tahu kok, dan aku sudah berserah. Ya sudah, aku ikut saja dengan yang Tuhan mau.”

Aku mencoba untuk berdamai dengan kondisi yang ada. Aku memaksakan diri untuk mengerjakan “apa yang Tuhan mau.” Namun, aku sendiri tidak menikmati hari-hariku. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menceritakan lagi segala keluh kesahku, dan pacarku kembali mengulangi kata-kata yang sama. Aku pun membalasnya lagi dengan jawaban yang sama. Selama lebih kurang enam bulan, pergumulan ini sering mewarnai pembicaraan kami. Gara-gara isu ini, perbincangan kami memanas dan memicu pertengkaran.

Sampai suatu kali, di sebuah acara makan malam pernikahan, aku bertemu dan duduk semeja dengan seorang saudara di gereja. Di sela-sela percakapan, dia bertanya: “Bro, kamu tahu gak apa yang membuat aku akhirnya bisa keluar dari masalah-masalah hidupku selama ini?” Aku tersentak dengan pertanyaan itu. Tatapan mataku langsung terfokus kepadanya. Aku sangat menantikan sebuah jawaban yang tidak biasa. Aku berharap bisa segera keluar dari rentetan panjang problema hidupku yang sudah membuat aku lelah.

“Berserah sama Tuhan saja. Aku rasanya plong dan lega banget ketika aku berserah sama Tuhan. Terserah Tuhan mau ngapain!” Sambil tersenyum, saudara itu berkata-kata dengan santai. Kemudian, dia pun melanjutkan kisah hidupnya tentang bagaimana Tuhan memampukan dia untuk mengatasi perkara-perkara yang sulit ketika dia menyerah dan membiarkan Tuhan yang mengerjakan apa yang dipandang baik oleh-Nya.

Kawan, aku percaya kalau kamu ada di posisiku saat itu, kamu juga pasti akan kesal dengan jawaban yang itu-itu lagi. Awalnya aku juga tidak puas hati, sampai suatu hal membuka hati dan pikiranku.

Singkat cerita, seperti biasa, aku dan pacarku pasti selalu mengobrol sembari menanti jam tidur. Aku kembali mengangkat isu tentang masalahku yang belum selesai. Pacarku tampaknya sudah kehabisan akal untuk menasihatiku. Dia terdiam sejenak. Aku pun terdiam karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.

Dalam keheningan itu, ada satu kata yang terlintas dalam pikirkanku: pride (kesombongan). Sel-sel di otakku memberikan respons yang cepat terhadap kata itu. Tidak lama kemudian, aku melanjutkan obrolan dengan pacarku: “Jangan-jangan, selama ini aku sombong dengan kemampuan diriku. Aku bilang aku cinta Tuhan. Aku mau mengasihi Tuhan. Aku bilang berserah sama Tuhan. Tapi, aku tidak mau menyerah pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Aku justru mau bangun pride dalam diriku, bukan mau terserah sama maunya Tuhan.”

Kawan, malam itu aku disadarkan oleh Tuhan, kalau selama ini cintaku kepada Tuhan masih lemah dan rapuh. Dengan gampangnya, aku sanggup menghafalkan hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” (Matius 22:37). Namun, ketika Tuhan memintaku untuk mempercayakan seluruh hidupku kepada rencana baik-Nya, aku masih enggan.

Aku teringat dengan kisah seorang murid Yesus, Simon Petrus, yang dicatat di Injil Yohanes pasal 21. Pengalaman iman dari Petrus ini terjadi pasca kebangkitan Yesus. Pada saat itu, Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya untuk di pantai danau Tiberias. Dari kisah ini, aku merefleksikan tiga hal:

1. Berserah kepada Sang Cinta

Petrus dan beberapa murid Yesus yang lain pergi ke tengah danau untuk menangkap ikan. Sudah semalaman mereka menjala, tetapi pulang dengan tangan kosong. Yesus datang dan meminta mereka untuk menebarkan jala di sebelah kanan. Ketika Petrus menyadari bahwa Pribadi yang menyapa mereka adalah Yesus yang dikasihinya, dia dan teman-temannya kembali ke danau untuk sekali lagi menebarkan jala. Mirip dengan peristiwa yang terjadi kira-kira tiga tahun silam, ketika Petrus dan teman-temannya dipanggil untuk mengikuti Yesus, mereka mendarat dengan sejumlah banyak ikan.

Petrus juga pernah “ngotot” pada Yesus saat mereka makan malam bersama sebelum Yesus disalibkan. Yesus mengingatkannya untuk waspada karena iman mereka akan digoyahkan pada malam itu. Dengan lantang dan sombong, Petrus menjamin bahwa kasihnya kepada Sang Cinta, Yesus, tidak mungkin tergantikan. Namun, nyatanya itu hanya sekadar ucapan. Demi menjaga keselamatan dirinya, Petrus menyangkal Yesus sebanyak tiga kali dengan berkata bahwa ia tidak mengenal Yesus.

Petrus amat kecewa dengan dirinya yang gagal menyatakan kasih kepada Sang Cinta. Karena itu, Petrus memastikan dirinya untuk tidak lagi mengecewakan Yesus. Petrus berserah pada apa yang diminta oleh Sang Guru yang dicintainya. Dia mengikuti arahan Yesus untuk menebarkan jala di sebelah kanan, dan dia berhasil menangkap 153 ekor ikan yang besar. Jala yang dipakainya pun tidak koyak sama sekali (Yohanes 21: 11). Ketika Petrus berserah dan mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Cinta, dia menemukan bahwa kehendak Sang Cinta adalah yang terbaik bagi dirinya.

2. Menyerah demi Sang Cinta

Tiga tahun yang lalu, Petrus diminta Yesus untuk meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia. Karena itu, Petrus tidak lagi berurusan dengan bidang perikanan. Yesus memanggil Petrus untuk mengemban tugas yang lebih besar: tidak lagi menjala ikan, tapi menjala manusia bagi kerajaan Allah.

Namun, bingung dan sedih dirasakan Petrus dan rekan-rekannya karena kematian Yesus di kayu salib. Mereka tidak mengerti bahwa memang inilah rancangan Allah sejak semula untuk memberikan anugerah keselamatan kepada manusia berdosa. Yesus telah menang terhadap kuasa dosa dan bangkit dari kematian. Walaupun Yesus sudah bangkit dan pernah menampakkan diri kepada para murid-Nya, Petrus masih ragu. Dalam pikiran Petrus, terbesit ide untuk kembali menaiki kapal dan pergi menangkap ikan (Yohanes 21:1-3).

Yesus menghampiri Petrus untuk mengonfirmasi seberapa serius Petrus mengasihi-Nya. Tiga kali berturut-turut, Yesus bertanya: “Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi aku?” Petrus memberikan respons yang sama: “Aku mengasihi Engkau.” Jikalau demikian, Petrus perlu menyerah pada dirinya demi Sang Cinta. Petrus bukan hanya berserah untuk siap mengerjakan perintah Sang Cinta, tetapi menyerahkan seluruh hidupnya dengan penuh komitmen demi Sang Cinta. Sang Cinta memintanya untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

3. Terserah kepada Sang Cinta

Di akhir percakapan dengan Petrus, Yesus menunjukkan kepadanya sebuah konsekuensi dari berserah demi cinta dan menyerah kepada cinta. Yesus memberikan sebuah penggambaran yang mengenaskan tentang akhir hidup Petrus. Ketika Petrus sudah menjadi tua, dia akan diikat dan dibawa ke tempat yang tidak dikehendaki olehnya (Yohanes 21:18-19). Para penafsir Alkitab meyakini bahwa ilustrasi ini berkaitan dengan kematian Petrus yang juga dalam kondisi tersalib. Bahkan, Petrus sendiri merasa ia tidak layak tersalib sebagaimana Yesus tersalib, sehingga ia meminta untuk disalib secara terbalik.

Setelah itu, Petrus melihat seorang murid yang dikasihi oleh Yesus. Orang tersebut adalah Yohanes, sang penulis Injil. Petrus mempertanyakan akhir hidup dari saudaranya ini kepada Yesus. Yesus menjawab Petrus: “Jikalau Aku menghendaki, supaya ia tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu….” (Yohanes 21:22). Tampaknya, nasib Yohanes ini jauh lebih baik dari Petrus. Para pakar sejarah Alkitab mencatat bahwa Yohanes adalah murid Yesus yang usia hidupnya paling panjang.

Di tahap akhir ini, ketika Petrus sudah bisa berserah kepada Sang Cinta dan menyerah demi Sang Cinta, dia sudah tidak lagi mempermasalahkan bagaimana Sang Cinta merancang hidupnya. Petrus sudah belajar untuk berkata, “Terserah pada Sang Cinta saja!” Sebab, dia meyakini bahwa Sang Cinta memiliki rencana yang mendatangkan kebaikan bagi semua orang yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Kitab Kisah Para Rasul menarasikan antusiasme dan kegigihan dari Petrus yang dipenuhi oleh kasih dari Sang Cinta untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Petrus tidak pantang menyerah untuk mewartakan nama Yesus walaupun dia diperhadapkan dengan tantangan dan masalah yang datang silih berganti. Sampai pada akhirnya, oleh karena Sang Cinta, dia harus mengorbankan nyawanya.

***

Dari kisah Simon Petrus di Yohanes 21, aku menyadari bahwa ketidakmampuanku untuk menemukan solusi dan jalan keluar yang permanen terhadap masalah hidupku dikarenakan ketidakmauanku untuk melepaskan diriku dan menuruti kehendak-Nya. Aku mempertahankan ego dan kesombonganku untuk menyelesaikan masalahku. Selama ini, aku hanya mengaku di bibir saja kalau aku mau mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi; tetapi pada praktiknya, aku justru mau Tuhan yang mengikuti pikiran dan rancanganku sebagai pilihan yang terbaik. Padahal, Yesus sendiri menawarkan: “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28).

Kawan, aku telah menemukan jawaban yang telah kucari-cari selama ini.
Ternyata, hal yang membuatku berat dalam menjalani pergumulanku adalah egoku sendiri. Aku mengerti kalau untuk berserah kepada Sang Cinta, menyerah demi Sang Cinta, dan terserah kepada Sang Cinta memang tidak mudah. Namun, aku sadar, justru Sang Cinta itu sendirilah yang menarikku untuk bisa mengalami cinta-Nya ketika aku bersedia menyerahkan keegoisan dan kesombonganku.

Lagipula, aku percaya jikalau Tuhan mengizinkan masalah dan pergumulan terjadi dalam hidup kita, Tuhan tidak pernah tinggal diam karena Dia sendiri yang berjanji: “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13).

5 Tips Makin Intim Bersahabat dengan Tuhan

Oleh YMI

Kita tidak asing dengan konsep menjadikan Tuhan Yesus sebagai tempat bercerita tentang apa pun. Tapi, seberapa sering kita berpikir bagaimana kita bisa berteman dengan-Nya? Alih-alih menjalin relasi yang cuma satu arah, bagaimana caranya membangun relasi yang intim dengan Tuhan Yesus?

Semua hubungan membutuhkan kerjasama dua pihak, layaknya dibutuhkan dua tangan agar dapat bertepuk tangan. Ada beberapa tips yang dapat menolong kita belajar untuk semakin bertumbuh dan bersukacita di dalam-Nya

1. Undang Tuhan masuk dalam setiap aspek hidup kita

Yohanes 15:15 mengatakan bahwa sebagai pengikut Yesus, kita tidak lagi disebut-Nya hamba, tetapi sahabat, yang bersama kita, Dia berbagi segala sesuatu yang telah Dia “pelajari dari Bapa”. Inilah keakraban yang Yesus rindukan. Dia ingin kita masuk dalam “inner-circle”-Nya. Betapa indahnya menjadi sahabat Kristus dan melibatkan Dia dalam setiap proses pembuatan keputusan dan rencana kita.

Memandang Tuhan sebagai sahabat tidak berarti hanya datang kepada-Nya ketika kita dalam masalah atau ketika kita sedang menjalankan rencana kita (dan meminta-Nya memberkati kita). Mintalah nasihat-Nya, libatkan Dia dalam tiap aspek hidup kita, dan serahkan pada-Nya “seluruh jalan kita”. (Amsal 3:5-6), dengan begitu kita akan berjalan semakin dekat dengan-Nya melalui tiap musim kehidupan dan tetap berada di jalan kebenaran.

2. Ambil waktu untuk mengikuti dan mengenal-Nya

Seperti kita yang senang berbagi cerita tentang keseharian kita pada seorang teman, kita juga bisa melakukan hal yang sama dengan Tuhan. Kapan pun kita bersukacita sepanjang hari, melihat karya tangan-Nya dalam ciptaan atau dalam ayat Alkitab yang kita renungkan, atau menyaksikan rencana yang Dia rajut datang terwujud, bagikanlah momen-momen tersebut dengan Tuhan. Melakukan semua ini akan memperdalam sukacita kita, seiring kita juga melihat berkat-berkat yang Dia sediakan bagi kita.

Namun, selain menikmati pemberian baik yang Dia berikan kepada kita, mari kita juga berikan waktu dan upaya untuk sungguh-sungguh mengenal Sang Pemberi, dengan menggemakan keinginan yang sama yang diungkapkan Musa dalam Keluaran 33:13 : “Maka sekarang, jika aku kiranya mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau, supaya aku tetap mendapat kasih karunia di hadapan-Mu…”

Mari minta Tuhan memberi tahu kita jalan-Nya agar kita dapat mengenal-Nya dan terus mendapatkan kasih karunia-Nya. Dan saat Dia melakukannya, mari kita simpan Firman-Nya dalam hati kita, dan biarkan firman-Nya mengarahkan jalan dan tindakan kita. Semakin banyak kita menghabiskan waktu bersama-Nya, semakin persahabatan dengan-Nya menggembirakan hati kita (Mazmur 37:4).

3. Ingatlah betapa Dia berbelas kasih kepada kita

Apa yang kamu lakukan ketika seorang teman baik mengecewakanmu atau membuat keputusan yang tidak kamu mengerti sama sekali?

Ada momen ketika kita kecewa pada Tuhan, ketika kita bimbang dan kita rasa Dia hanya diam saja. Atau, ketika kita bingung akan alasan mengapa Tuhan melakukan semua ini. Apakah kita memilih untuk meninggalkan-Nya atau memilih untuk tetap percaya?

Di masa-masa sulit, penting untuk mengingat dengan siapa kita membangun relasi sejak awal. Yesus adalah imam besar kita yang dicobai dalam segala hal sama seperti kita, dan Dia mampu berbelas kasih pada kelemahan kita, serta menunjukkan kepada kita jalan yang lebih baik ke depannya (Ibrani 4:15).

Saat kita berjalan bersama-Nya melalui pencobaan, penderitaan, dan rintangan dalam hidup ini, kita belajar bahwa hanya Dia satu-satu-Nya pribadi yang dapat kita percaya.

4. Terimalah rencana-Nya dengan rela dan terbuka

Pernahkah kamu cuma membaca chat dari temanmu karena menurutmu kata-katanya membuat perasaanmu hancur dan terluka? Kata-kata itu jadi begitu perih ketika kamu sedang mengalami ketidakadilan dan bergumul dengan masalah-masalahmu. Kadang, tanpa kita sadari kita pun suka ‘mengabaikan’ Tuhan seperti kita mengabaikan chat teman kita. Kita menganggap sabda-Nya itu terlalu keras dan kita lantas menyembunyikan luka dan dosa kita dari-Nya.

Teman sejati tetap bersama, bahkan saat kita sendiri merasa tidak layak dikasihi. Teman sejati ingin agar kita mampu melepaskan diri dari hal-hal yang membebani kita dan kita dapat berjalan dalam kebebasan (Ibrani 12:1).

Janganlah mengeraskan hati kita terhadap suara-Nya (Ibrani 3:12-14) atau mengabaikan Dia ketika kita merasa bahwa apa yang Dia minta dari kita terlalu sulit. Memahami isi hati Allah bagi kita—bahwa Dia ingin menyelamatkan kita dari cara-cara kita yang merusak diri sendiri—menolong kita melihat kebaikan yang menuntun pada pertobatan (Roma 2:4).

5. Bergabung dalam misi-Nya

Banyak dari kita yang berjuang menghidupi kata-kata Yesus dari Yohanes 15:14, “Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu”, karena kita tahu Dia memanggil kita untuk ketaatan yang tidak terikat pada kenyamanan atau kesenangan, tetapi untuk relasi yang terikat perjanjian dengan-Nya (Mazmur 25:14).

Tetapi, bagaimana jika kita melihat ketaatan dan persahabatan ini sebagai hak istimewa—jalan bagi kita untuk memahami hati dan rencana Allah bagi kita (Yohanes 15:15)? Sama seperti menghabiskan waktu bersama seorang teman dengan melakukan kegiatan yang kamu sukai yang membawa sukacita dalam persahabatan, tidak ada cara yang lebih baik untuk menumbuhkan sukacita yang lebih dalam dari persahabatan kita dengan Tuhan selain berjalan bersama-Nya, bermitra dengan-Nya, dan menjalankan misi bersama-Nya.

Misi Yesus jelas: untuk menarik semua orang kepada terang Allah yang luar biasa dan mendamaikan kita dengan Bapa (2 Korintus 5:18-20). Menjadi bagian dari misi-Nya (Matius 25:40) bisa berarti melakukan hal-hal yang membuat kita tidak nyaman: seperti berteman dengan orang-orang yang paling dekat di hat Tuhan—yang patah hati (Mazmur 38:14), berbagi apa yang kita miliki dengan orang lemah (Amsal 19:17), atau membela mereka yang tertindas (Amsal 31:8-9).

Melakukan semua hal di atas membuat kita paham besarnya kasih karunia-Nya terhadap kita, juga mengingatkan kita betapa kudusnya Dia, betapa berdosa dan tak berdayanya kita, dan betapa hebatnya Raja segala raja yang mengulurkan kasih dan persahabatan-Nya kepada kitia. Dan saat kita membawa harapan Tuhan ke dalam hati orang-orang yang putus asa, harapan itu dapat menyalakan hati yang bersyukur atas kasih dan kemurahan-Nya.

Ketika kita melihat kasih Tuhan untuk kita di Alkitab dan melihat Dia sebagai sahabat, cara kita berhubungan dengan-Nya akan berubah—Dia akan menjadi seseorang yang kita kasihi, dan pribadi yang kita inginkan untuk berbagi berbagai pikiran dan rencana kita.

Doa: Sebuah Usaha Bergantung Pada Kebaikan Hati Bapa

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Aku setuju dengan apa yang dikatakan Martyn Lloyd-Jones tentang doa. Hamba Tuhan tersebut mengatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan Kristen jauh lebih mudah dikerjakan daripada berdoa. Aku pun mengalaminya karena aku punya ribuan alasan untuk tidak berdoa.

Sebenarnya bercerita tentang doa bagiku sama seperti membuka sebuah aib, sebab aku adalah seorang pelayan Tuhan yang tidak gemar berdoa. Aku selalu merasa kesulitan untuk memulai dan bertahan dalam doa. Aku pun mulai merasa seperti orang munafik, mengajak orang lain untuk berdoa padahal aku sendiri kesulitan dalam berdoa. Sekalinya aku berdoa, isinya hanyalah permohonan dan itupun kulakukan saat situasi tidak dapat lagi kutangani.

Perasaan kurang rohani

Kesulitanku dalam berdoa membuatku merasa kurang rohani. Aku suka menepis perasaan ini dengan mengatakan bahwa aku adalah anak Tuhan. Aku dikasihi bukan karena seberapa rajinnya aku berdoa, melainkan karena pekerjaan Yesus di atas kayu salib. Memang hal itu benar adanya, tapi aku malah menjadikan itu sebagai sebuah pembenaran untuk lalai berdoa.

Hatiku juga semakin ciut jika melihat kehidupan doa teman-teman sepelayananku yang begitu hidup. Semakin sering aku melihat teman-temanku berdoa, maka semakin sering aku merasa ada yang salah dengan relasiku dengan Tuhan, khususnya dalam hal berdoa.

Aku pun mulai terdorong untuk mengubah kehidupan doaku. Aku mulai mencari tahu apa yang kurang dari kehidupan doaku. Selama ini aku mengira bahwa aku kurang jam doa dan disiplin. Walaupun itu mungkin benar, tapi ternyata aku kekurangan hal yang jauh lebih serius dari dua hal tersebut. Selama ini aku kurang mau bergantung pada Tuhan karena aku telah salah memahami Tuhan. Maka tak heran jika kehidupan doaku berjalan di tempat.

Sikap ini semakin berkembang ketika dulu doaku tidak dikabulkan Tuhan. Saat itu aku berdoa agar dapat diterima di salah satu SMA yang kuinginkan, tapi Tuhan tidak mengabulkannya. Kejadian tersebut terulang ketika aku ujian masuk perguruan tinggi negeri. Kembali Tuhan tidak mengabulkan doa sesuai dengan kehendakku. Di saat itu aku mengerti bahwa doa bukanlah sebuah tombol darurat pengontrol situasi.

Namun, kendati aku tahu doa bukanlah tombol darurat, aku malah menjadi ragu untuk berdoa. Aku takut mengalami kekecewaan kembali jika doaku tidak dikabulkan lagi. Aku lebih memilih bergantung pada diri sendiri dan menerima apapun situasi yang akan aku hadapi.

Salah paham tentang Tuhan

“Toh, Tuhan Mahatahu. Kalau Dia mau tolong pasti akan menolong. Kenapa harus serius berdoa? Semakin serius, malah semakin kecewa kalau tidak dikabulkan.”

Di sinilah letak kesalahpahamanku tentang Tuhan. Aku menilai kemurahan hati Tuhan hanya dari jawaban doa yang Dia berikan padaku. Jika Dia mengabulkan doaku maka Dia murah hati dan patut dipercaya, jika tidak dikabulkan maka lebih baik aku mempercayai diri sendiri saja.

Pandangan ini tidaklah tepat dan aku perlu mengubahnya sesuai dengan apa yang Alkitab katakan. Aku teringat akan sebuah bagian firman Tuhan dari Lukas 11:9-13 yang menolongku untuk mengenal Tuhan lebih baik lagi.

“Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.”

Ada banyak alasan kita berdoa. Kita bisa berdoa karena digerakkan oleh perasaan bersalah, atau karena kewajiban semata. Bisa juga kita berdoa karena tidak lagi menemukan solusi lain untuk masalah kita. Namun, dari bagian ini aku belajar bahwa landasan kita berdoa adalah karena kemurahan hati dari Bapa di sorga.

Dia berjanji setiap doa akan didengarkan (Mazmur 116:1-2). Dia berjanji setiap yang meminta tidak akan pulang dengan tangan kosong. Dia tidak pernah menahan-nahan berkat-Nya jika itu memang yang terbaik untuk kita. Dia mau agar kita bergantung penuh dan percaya akan pemeliharaan-Nya.

“Aku mengasihi Tuhan, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohohanku. Sebab Ia menyendengkan telinga-Nya kepadaku, maka seumur hidupku aku akan berseru kepada-Nya” (Mazmur 116:1-2).

Terkadang kita sendiri pun tidak tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita berdoa meminta sesuatu pada Tuhan tapi, kita tidak benar-benar tahu apakah hal itu baik untuk kita. Namun, Bapa yang di sorga tahu apa yang terbaik bagi kita. Kita tidak perlu memaksakan kehendak doa kita sebab Bapa sudah memilah doa mana yang baik dan yang tidak baik untuk dikabulkan.

Jujur, mengetahui hal ini memotivasiku untuk berani berdoa. Sebab jika sekalipun aku salah berdoa, Bapa tidak akan mengabulkannya. Bahkan Dia akan mengajariku berdoa lewat Roh Kudus yang berdiam dalam hatiku .

“Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa; tetapi Roh sendiri berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan” (Roma 8:26).

Namun, doa bukanlah selalu tentang apakah keinginan kita terkabul atau tidak. Doa bukanlah sekadar cara untuk memperoleh sesuatu dari Tuhan, melainkan cara untuk memperoleh Tuhan sendiri. Doa adalah kerja keras bergantung kepada Tuhan sehingga kita dapat semakin mengenal dan menikmati pribadi-Nya.

Thomas Manton mengatakan bahwa doa adalah sebuah percakapan jiwa yang mengasihi Tuhan. Tindakan persahabatan dan persekutuan seharusnya dilakukan secara konstan dan sering. Jika kita mengasihi Tuhan, kita tidak bisa lama-lama jauh dari Tuhan, tetapi akan terus rindu bersama-Nya dan mencurahkan isi hati kita.

Saat merenungkan semua kebenaran di atas aku semakin sadar bahwa doa perlu kedisiplinan dan cinta kepada Tuhan. Ketika aku merasa baik-baik saja tanpa berdoa, sebenarnya solusinya bukan hanya sekedar menambah jadwal berdoa atau membulatkan tekad untuk rajin berdoa. Melainkan perlu kembali mengorientasikan ulang hati dan pikiranku menuju Tuhan. Jangan-jangan kasihku pada Tuhan saat itu sedang kritis.

Namun, aku juga setuju kita perlu disiplin dalam berdoa. Sehingga kita tidak perlu menunggu-nunggu hati kita untuk kembali berapi-api kepada Tuhan untuk memulai berdoa. Sebab terkadang ketika kita berdoa, Tuhan bisa memakai saat itu untuk mengobarkan kembali cinta kita pada-Nya. Jadi keduanya memang diperlukan baik disiplin ataupun cinta.

Pada akhirnya doa merupakan sebuah kerja keras. Mungkin justru karena itulah, lewat janji-Nya, Tuhan telah menyediakan upah melimpah bagi mereka yang mencari dan bergantung pada-Nya.

Baca Juga:

Dengan Berhenti, Maka Kamu Bisa Berjalan

Ketika relasi yang kami bangun akhirnya kandas, aku pun bertanya: mengapa Tuhan menghentikan langkahku?

Tuhan, Alasanku Bersukacita di Dalam Penderitaan

Oleh Blessdy Clementine, Jakarta

Sudah lebih dari tiga minggu, tagar #DiRumahAja memenuhi hampir semua unggahan yang melintas di media sosialku. Sudah lebih dari tiga minggu pula aku menjalani perkuliahan secara online. Keadaan yang memaksaku untuk beradaptasi secara tiba-tiba ini—ditambah lagi dengan ketidakpastian akan kapan semua ini akan berakhir—membuatku merenung. Ketika tempat kita berpijak mulai goyah dan membuat kita tidak seimbang, sudah pasti gerakan refleks kita adalah mencari pegangan, bukan? Aku menghela nafas dan segera meraih Alkitabku.

Karena tidak tahu bagian mana yang harus kubuka dalam Alkitab, aku berdoa kepada Tuhan agar Roh Kudus mengarahkanku pada perenungan yang dapat memberiku kekuatan yang kubutuhkan tengah-tengah situasi ini. Aku membuka aplikasi Alkitab favoritku dan mulai menelusuri berbagai pilihan topik renungan yang terpampang.

Mataku tertuju pada topik Hope, harapan. Aku menemukan renungan yang ditulis oleh Craig Groeschel, seorang pendeta senior asal Amerika, yang berjudul Hope In The Dark, harapan di tengah kegelapan. Tanpa berpikir dua kali, aku memilihnya untuk menjadi renunganku untuk beberapa hari ke depan.

Tuhan, di manakah Engkau?

Kurasa, di tengah keadaan yang memukul seluruh dunia seperti saat ini, banyak orang yang mempertanyakan keberadaan Tuhan. Dalam imajinasiku, jika Tuhan bekerja di sebuah ruangan kantor, saat ini Tuhan sedang menutup tirai jendela dan mengunci pintu, lalu memasang tulisan “sedang pergi.” Tidak tahu ke mana dan kapan kembali.

Cepat-cepat kukibaskan ilustrasi aneh itu. Sebab pada kenyataanya, Tuhan berjanji Dia akan selalu beserta dengan kita. Lalu, mengapa Dia seakan-akan tidak melihat semua yang terjadi? Mengapa Dia seolah diam saja?

Lebih dari 2,600 tahun yang lalu, Habakuk mempertanyakan hal yang sama. Dia bertanya-tanya mengapa Allah seakan-akan diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menghadapi kejahatan dan penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda. Dia mengutarakan keluhannya kepada Tuhan, “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?” (Habakuk 1:2).

Menelusuri kitab Habakuk pasal 1:1-4, kita dapat melihat Habakuk dengan jujur dan berani bertanya kepada Tuhan mengapa ada jurang yang begitu lebar antara apa yang dia percayai dengan situasi yang ada di sekelilingnya. Habakuk sangat mengasihi Tuhan, tetapi justru karena kasihnya yang besar inilah dia dengan penuh hormat melontarkan pertanyaan-pertanyaannya tersebut.

Dalam perikop selanjutnya, Tuhan mengatakan bahwa Dia yang telah membangkitkan orang Kasdim tetapi Dia juga akan menghukum orang Kasdim atas kesalahannya. Jawaban Tuhan membuat Habakuk kembali bergumul: mengapa Allah memakai orang Kasdim (bangsa Babel) yang jauh lebih jahat dari bangsa Yehuda untuk menghukum Yehuda?

Di sisi lain dari keraguannya, Habakuk justru bertumbuh menjadi sosok yang lebih kuat dalam iman. Mungkin, imannya tidak bisa bertumbuh semantap itu apabila dia tidak merasakan semua keraguan itu.

Jika kita memahami segala hal secara penuh dan sempurna, bukankah kita tak lagi membutuhkan iman? Aku sangat menyukai Ibrani 11:1, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Jika kita belum melihat apa-apa, dengan kacamata iman kita dapat dengan yakin menyatakan bahwa sesuatu yang besar akan terjadi karena kita mengenal siapa Tuhan kita. Karena kita tahu karakter-Nya dan kebesaran-Nya, kita dapat percaya bahwa Dia selalu memegang kendali atas segala sesuatu yang ada di dunia ini.

Dengarkan dan nantikan

Habakuk tidak mencurahkan isi hatinya lalu memalingkan wajahnya dari Tuhan, seperti orang yang sedang ngambek. Justru, usai menanyakan segalanya, Habakuk memposisikan dirinya untuk mendengarkan suara Tuhan. Dia berkata, “Aku mau berdiri di tempat pengintaianku dan berdiri tegak di menara, aku mau meninjau dan menantikan apa yang difirmankan-Nya kepadaku, dan apa yang akan dijawab-Nya atas pengaduanku.” (Habakuk 2:1).

Craig Groeschel menuliskan bahwa terkadang, alasan mengapa kita tak kunjung memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita adalah karena kita kurang bersedia untuk berhenti sejenak dan sabar menunggu sampai Tuhan menyatakan diri-Nya.

Ketika masih duduk di sekolah minggu, kita sering menyanyikan lagu “Baca kitab suci, doa tiap hari, kalau mau tumbuh”. Aku mulai menyadari bahwa untuk mengenal Yesus dua hal wajib yang harus berjalan beriringan dan membutuhkan ketekunan adalah berdoa dan membaca firman-Nya.

Setelah berbicara dan mengungkapkan isi hati dan memanjatkan permohonan syukur kita pada Tuhan, ketika membaca firman kita mendengarkan arahan-Nya. Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku” (Yohanes 10:27). Apabila membaca firman hanya menjadi sebuah rutinitas belaka sehingga kita tidak benar-benar menyediakan waktu dan ruang bagi Tuhan untuk memberikan pewahyuan tertentu kepada kita, bisa-bisa kita melewatkan banyak hal yang luar biasa!

Jika kita bersedia meluangkan—bukan hanya menyisakan—waktu untuk mengenal Tuhan dan mendengar suara-Nya, Tuhan pasti akan menghargai usaha kita mencari wajah-Nya. Menunggu memang tidak selalu menyenangkan, tetapi Tuhan berjanji memberikan kekuatan baru bagi kita yang menanti-nantikan Dia (Yesaya 40:31).

“Tetapi Tuhan…”

Ketika kita sudah berdoa berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tetapi keadaan yang kita doakan tampaknya tidak menampilkan perubahan yang kita harapkan… “apakah kita masih bisa percaya bahwa Tuhan takkan mengingkari janji-Nya? Mungkinkah, ketekunan kita justru membuat kita menjadi sangat dekat dengan Tuhan sehingga kita dapat tetap mengasihi dan melayani-Nya meskipun ada kekecewaan di hati kita?

Pertanyaan-pertanyaan dalam renungan itu cukup membuatku tertohok. Tetapi, menurutku respons Habakuk amatlah menarik. Dua kata pertama yang diucapkan Habakuk dapat menjadi pengingat kita dalam perjalanan iman kita menuju kepercayaan penuh akan kasih dan kuasa-Nya: “Tetapi Tuhan ada di dalam bait-Nya yang kudus. Berdiam dirilah di hadapan-Nya, ya segenap bumi!” (Habakuk 2:20).

Keadaan di sekitar kita mungkin terlihat mencekam dan mengerikan, tetapi Tuhan memegang kendali penuh. Kita mungkin merasa sudah melakukan segalanya yang kita bisa untuk masuk ke universitas yang kita impikan dan tak kunjung berhasil, tetapi Tuhan tetap punya rencana yang terbaik. Lutut kita mungkin terasa sakit karena kita terus berdoa tapi seolah tak mendapat jawaban, tetapi Tuhan tetap mendengarkan dan bekerja untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28). Biarlah keteguhan hati kita akan karakter Tuhan memberi kita penghiburan dan kekuatan untuk melewati setiap badai hidup kita.

Bersukacita karena Tuhan

Aku benar-benar terinspirasi oleh respons nabi Habakuk. Pengalaman bersama Tuhan membuat dia bisa melihat keadaannya dari perspektif Tuhan, dengan penuh iman dan penyerahan penuh pada kehendak Tuhan. Dalam pasal 3, kita dapat melihat Habakuk memuji dan memuliakan Tuhan ketika dia menanti-nantikan Tuhan untuk menggenapi janji-Nya.

“Tuhan, telah kudengar kabar tentang Engkau, dan pekerjaan-Mu, ya Tuhan, kutakuti! Hidupkanlah itu dalam lintasan tahun, nyatakanlah itu dalam lintasan tahun; dalam murka ingatlah akan kasih sayang!” (Habakuk 3:2)

Dari Habakuk aku belajar, untuk tidak bersungut-sungut dalam penantian kita. Sebaliknya, kita dapat mengingat perbuatan dan pekerjaan Tuhan dalam hidup kita dengan penuh sukacita. Kita dapat mengucap syukur akan kebaikan-Nya yang tak berkesudahan, bukan hanya yang sudah-sudah, melainkan juga untuk yang akan datang.

Aku juga melihat bagaimana iman Habakuk tidak tergoyahkan oleh situasi yang ada di sekelilingnya.

“Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku” (Habakuk 3:17-18).

Luar biasa, sukacita Habakuk karena Tuhan lebih daripada sukacita Habakuk akan berkat dari Tuhan. Aku tersadar, selain karena kebaikan Tuhan yang sudah kita alami sebelumnya, kita dapat bersukacita karena janji Tuhan yang pasti akan Dia penuhi bagi kita. Namun, meskipun keinginan kita tidak diwujudkan sekalipun, bersyukurlah karena kehendak-Nya bagi kita selalu mendatangkan masa depan yang penuh harapan (Yeremia 29:11).

Alkitab berisi banyak sekali panggilan untuk Tuhan: kota benteng, gunung batu, batu karang, menara yang kuat, dan lain sebagainya. Namun, yang kutahu pasti adalah semua itu menunjukkan betapa kuat dan kokohnya Tuhan kita. Di tengah goncangan yang kita alami, kita tahu pada siapa kita dapat berlindung dan apa yang harus menjadi pedoman kita. Tak lain tak bukan, hanya Yesus dan firman-Nya, yang tak akan pernah tergoncangkan. Tuhan memberkati kita semua.

“ALLAH Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku. (Untuk pemimpin biduan. Dengan permainan kecapi)” (Habakuk 3:19).

Baca Juga:

4 Cara untuk Menentramkan Hati Sahabat dalam Masa Sulitnya

Menjadi seorang kawan di kala susah bukanlah hal yang mudah. Kadang kita malah jadi menggurui, meskipun maksudnya baik.

Alkitab, melalui kisah para sahabat Ayub punya pesan yang baik buat kita. Yuk baca artikel ini.

4 Tanda Bahwa Tuhan Bukanlah Fokus Pertamamu

Oleh Joanna Hor, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Signs That God Isn’t Your First Love

Aku sudah lama menjadi orang Kristen, namun itu tidak membuat hidupku jadi lebih mudah. Dan, kuakui kalau aku masih jadi orang yang egois dan sombong. Kadang, sifat burukku itu membuatku merasa bersalah. Tapi, aku seringkali mengabaikannya dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku tidaklah seburuk apa yang kupikirkan.

Setiap hari aku bergumul untuk menempatkan Tuhan di posisi pertama di hidupku meskipun aku sudah tahu bahwa Dia mengasihiku (Roma 8:31-39), Dia setia kepadaku sekalipun aku berdosa (Hosea 2:14-15), dan Dia pun menjadikanku sebagai anak-Nya (Yohanes 1:12-13).

Meski begitu, tentu ada beberapa momen dalam hidupku ketika aku mencoba menjadikan hidupku “lebih berfokus kepada Tuhan daripada diriku sendiri”. Biasanya itu terjadi setelah aku merasa ditegur saat mempelajari Alkitab. Namun, momen-momen itu tidak bertahan lama; aku kembali mengendalikan diriku sendiri dan menempatkan Tuhan di belakang.

Dari pengalaman yang tidak aku banggakan ini, aku ingin membagikan kepadamu empat tanda apabila kita tidak menempatkan Tuhan pada posisi yang seharusnya. Dan aku juga mengundangmu untuk mengevaluasi diri apakah kamu secara sadar atau tidak telah melakukan hal yang sama.

1. Kamu mengikuti apa kata Alkitab… tapi kamu lebih taat pada kata dunia

Setiap hari kita dihadapkan dengan banyak keputusan—dari yang sederhana seperti baju apa yang akan kita pakai kerja, sampai kepada yang mengubah hidup seperti dengan siapa kita akan menikah. Meskipun kita tahu bahwa kita perlu melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan (1 Korintus 10:31), kita mengizinkan hidup kita diatur oleh pertimbangan-pertimbangan yang dunia berikan: apakah jurusan ini nantinya bisa memberiku pekerjaan yang baik? Akankah menikahi orang ini menjamin kehidupan finansialku? Apakah bersama orang ini bisa membuat karierku menanjak? Karena pertanyaan-pertanyaan itu, kita pada akhirnya memilih keputusan yang cenderung berpusat pada diri kita sendiri, sesuatu yang lumrah dilakukan dalam nilai-nilai dunia.

Namun, apabila kita sungguh mengerti Injil, kita melihat gambaran yang sangat berbeda tentang apa dan siapa yang dianggap penting oleh Tuhan. Dunia menyanjung mereka yang kaya, terkenal, berkuasa, dan mereka yang selalu bisa meraih posisi pertama. Namun, Tuhan memberkati orang yang miskin, orang yang terbuang. Tuhan peduli pada yang lemah, meninggikan yang rendah hati, dan menghargai mereka yang terbelakang. Injil memutarbalikkan segala yang kita ketahui.

Jika kita sungguh percaya kepada Yesus yang nilai-nilai-Nya berbanding terbalik dengan nilai-nilai dunia, cara hidup kita tentu berbeda dari cara yang dunia ajarkan. Maukah kita membuat keputusan berdasarkan nilai-nilai yang Tuhan ajarkan? Maukah kita memberi dengan murah hati kepada yang miskin, menjangkau yang terpinggirkan, menolong yang sakit dan berkekurangan, dan menghargai mereka yang terbelakang—bahkan jika itu merugikan kita secara finansial, emosional, dan fisik?

2. Kamu peduli dengan apa yang dipikiran Tuhan… tapi tidak sebanyak apa yang dipikirkan orang lain

Beberapa tahun pertama di pekerjaanku, aku bekerja keras, dan aku merasa senang ketika pekerjaanku diapresiasi oleh bosku atau rekan sekerjaku. Aku tidak peduli jam kerja yang panjang, tapi aku sangat terganggu jika pekerjaanku tidak diapresiasi atau bosku merasa tidak senang kepadaku. Rasa frustrasi dan meragukan diri sendiri menghantuiku, bahkan setelah jam kerja berakhir dan aku tidak dapat memikirkan hal lainnya.

Meskipun aku tahu kalau aku seharusnya aku bekerja untuk Tuhan (Kolose 3:22-25), hatiku jauh lebih peduli untuk mendapatkan pengakuan dari tuanku di dunia. Bagi beberapa dari kita, mungkin itu bukanlah bos di tempat kerja yang berusaha kita senangkan, tuan duniawi kita bisa jadi pasangan kita, pacar kita, atau bahkan teman kita. Siapapun “tuan duniawi” kita, marilah kita mengingat dengan jelas bahwa yang terpenting adalah apa yang Tuhan pikirkan. Bagaimanapun, Tuhanlah pemilik hidup kita; Dia menciptakan kita, mengasihi kita, menyelamatkan kita, dan pada akhirnya nanti, juga menghakimi kita.

Baru-baru ini aku membaca sebuah buku berjudul “Not Yet Married” yang ditulis oleh Marshall Segal, penulis dan editor di DesiringGod.org. Dia menantangku untuk membingkai ulang perspektifku tentang pekerjaan. Dari delapan saran yang dia berikan, poin pertamanya adalah kita harus “bertujuan untuk menunjukkan kemuliaan Tuhan”. Alih-alih mencari pengakuan dan penerimaan dari tuan duniawi kita, kita harus lebih berfokus kepada apa yang membuat Tuhan semakin dimuliakan (1 Korintus 10:31, Matius 5:16).

Dan, itu semua berarti kita perlu memikirkan kembali apa artinya bekerja (atau kehidupan yang kita jalani) dan kesuksesan. Lalu, bagaimana jika kita tidak mendapatkan pengakuan atau apresiasi yang kita harapkan dari kerja keras kita? Jika kita mendapatkan kesempatan untuk menolong orang lain datang kepada Kristus di dalam aktivitas harian yang kita lakukan, kita telah mencapai prestasi yang jauh lebih bernilai.

3. Kamu peduli dengan sesamamu… tapi lebih mementingkan dirimu sendiri

Setelah hari kerja yang panjang, kita mungkin punya kecenderungan untuk melakukan “me-time”. Karena aku sudah bekerja sangat keras hari ini, aku ingin memanjakan diriku. Bagi beberapa dari kita, me time bisa berupa menonton film terbaru, pergi ke gym untuk berolahraga, atau sekadar duduk di bangku sambil menjelajah media sosial kita.

Kita tahu bahwa membaca Alkitab adalah kunci yang menolong kita mengenal Tuhan lebih dekat dan kita dipanggil untuk melayani gereja dan mengasihi mereka yang membutuhkan (Matius 25:31-40). Tapi, kita memberitahu diri kita bahwa semua hal itu baru bisa dilakukan setelah kita memenuhi semua kebutuhan diri kita dahulu. Hati kita sedih bukan karena ketidakadilan yang terjadi di dunia ini, tetapi karena seseorang yang telah mengganggu ruang pribadi kita dan membuat kita merasa tidak nyaman.

Aku merasa bersalah karena aku membatalkan janji pertemuan dengan teman-temanku yang sedang mengalami masa sulit karena aku tahu kalau itu akan memakan waktuku dan menguras emosiku. Aku tidak ingin menolong mereka pada saat itu.

Namun, Tuhan Yesus melalui perkataan dan perbuatan-Nya dengan jelas menunjukkan bahwa hidup kita bukanlah tentang diri kita sendiri. Salah satu bukti bahwa kita adalah pengikut Kristus yaitu kita bersedia untuk menyangkal diri, memikul salib, dan mengikuti-Nya (Matius 16:24-26). Kita dipanggil untuk berkorban, menghargai orang lain di atas diri kita sendiri, tidak mencari kepentingan diri sendiri, tetapi juga kepentingan orang lain (Filipi 2:1-4). Lagipula, kasih Tuhan memampukan kita untuk mengasihi orang lain (1 Yohanes 4:7). Dan jika kita hidup dalam kebenaran, aku berani mengatakan bahwa kita tidak perlu lagi khawatir akan kebutuhan kita sendiri.

4. Kamu peduli akan dosa-dosa… tapi bukan dosamu sendiri

Sejak awal tahun ini, kelompok studi Alkitabku sedang mempelajari Kitab Hosea dan kami mendapati bahwa ketidaktaatan kepada Tuhan itu nilainya setara dengan perzinahan. Tapi, sejujurnya, kita biasanya tidak berpikir seperti itu. Maksudku, bagaimana mungkin sifat serakah sama nilainya dengan perselingkuhan? Apa kaitannya jika dibandingkan dengan tidur dengan pasangan orang lain? Namun, salah satu bahaya yang kita hadapi sebagai orang Kristen adalah kita berpikir bahwa diri kita lebih benar, atau kita berpikir bahwa kita lebih layak diselamatkan daripada teman-teman kita yang bukan Kristen.

Aku pernah beberapa kali tidak menyukai tindakan seseorang, atau kaget dan marah karena berita kejahatan yang kubaca di koran, atau bahkan aku pernah menyebut orang lain sebagai orang yang tidak punya harapan. Saat itu, aku menghakimi orang lain berdasarkan standarku sendiri. Aku lupa kalau aku pun orang berdosa yang sama-sama membutuhkan anugerah dan belas kasihan. Aku lupa bahwa Tuhanlah hakim yang utama dan setiap kita bertanggung jawab atas hidup kita sendiri di hadapan-Nya.

Oleh karena itu, aku bersyukur ketika ada keluarga atau temanku yang punya maksud baik, yang mau meluangkan waktunya untuk menunjukkan ketidakkonsistenan serta dosa-dosa dalam hidupku. Meski tidak menyenangkan, mereka meningatkanku bahwa aku membutuhkan Juruselamat, dan betapa baiknya tuhan yang telah memberikan anak-Nya untuk orang sepertiku.

Menuliskan keempat poin di atas telah menolongku menyadari bahwa solusi untuk masalahku adalah bukan dengan menyelesaikannya dengan kekuatanku sendiri. Aku butuh berdoa dan meminta Tuhan untuk menolongku bertumbuh dalam memahami keindahan, rahmat, dan kebenaran-Nya. Tuhanlah yang telah membuatku melihat (Yohanes 6:65) dan hanya ketika aku melihat betapa mulianya Tuhan, segala sesuatu di sekitarku akan tampak pudar. Aku pun berdoa hal yang sama untukmu.

Baca Juga:

Langkah-langkah Memulai Masa Pacaran

Setelah mendengar banyak cerita “gosip-seputar-pdkt-dan-pacaran”, aku merasa ada yang kurang pas. Maka, kuharap tulisan pendek yang kubagikan ini dapat menolong mereka yang sedang bergumul untuk bergumul dengan benar.

Ketika Jumat Agung Menjadi Hari yang Menyedihkan Hatiku

Ketika-Jumat-Agung-Menjadi-Hari-yang-Menyedihkan-Hatiku

Oleh Laura M., Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good Friday Doesn’t Seem So Good

Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengalami sebuah peristiwa yang menyedihkan di hari Jumat Agung. Salah seorang teman terdekatku sejak di bangku sekolah dulu, Erica, meninggal dunia secara tiba-tiba karena kecelakaan mobil. Sejak duduk di bangku SD hingga SMA kami sering berada dalam satu grup. Kami mengikuti retret musim panas bersama-sama, kami ada dalam satu kelompok dalam pelajaran IPA, bahkan kami juga mengikuti perlombaan lompat tali yang diselenggarakan di wilayah kami.

Setelah lulus sekolah dan melanjutkan ke perguruan tinggi, kami tidak lagi berkomunikasi sesering dulu, tetapi kami masih terus menjaga hubungan baik. Rencananya, setelah liburan Paskah berakhir, aku akan menghubungi Erica sebelum dia berangkat ke luar negeri untuk pekerjaan misi.

Tapi, di malam hari Jumat Agung, aku mendapat kabar bahwa Erica telah meninggal dalam kecelakaan mobil saat ia berkendara pulang menuju rumahnya. Tidak pernah terbayang olehku Erica mengalami peristiwa itu. Aku pun menyadari parahnya pengaruh yang dibawa oleh sebuah peristiwa kematian.

Ya, kematian itu seharusnya tidak ada. Sejatinya, kita tidak diciptakan untuk mengalami kematian. Tapi, karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, kematian itu adalah upah dari dosa dan menjadi bagian dari hidup kita. Tiba-tiba, aku dapat membayangkan sedikit dari perasaan bingung, marah, dan sedih yang dialami oleh murid-murid Yesus ketika mengetahui bahwa Dia telah mati.

Tapi kemudian, aku melihat ada harapan. Hari Jumat Agung yang sebelumnya kuabaikan itu mengingatkanku akan dua hal. Pertama, penderitaan dan pembunuhan yang kejam kepada Seseorang yang mengakui diri-Nya sebagai Juruselamat dunia; kedua, hal “baik” yang dihasilkan dari kematian-Nya: memberi kita jalan keluar untuk bebas dari kematian! Kebangkitan Yesus di hari ketiga yang kita peringati sebagai Minggu Paskah memberi kita pengharapan kekal dan solusi dari kematian.

Puji syukur atas apa yang telah terjadi di Paskah yang pertama, aku dapat menerima kenyataan bahwa Erica tentu saat ini sedang berbahagia di surga, sekalipun terkadang aku masih merasa sedih karena kematiannya.

Perkataan Yesus dalam Yohanes 16:33 selama ini telah menjadi penghiburan yang sangat besar buatku. “Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.” Perkataan yang Yesus katakan sebelum Dia disalibkan itu memberi kita sebuah makna sejati dari Jumat Agung dan Minggu Paskah.

Hari ini, memang kita masih mengalami dampak dari dosa-dosa itu. Kepedihan yang dirasakan oleh murid-murid Yesus itu masih ada dalam kehidupan ini. Tapi, tatkala kita merasa hidup kita sedang berada di titik nadir, hari Paskah memberi kita sebuah kebenaran yang bisa kita pegang. Yesus telah mengalahkan kematian dengan cara memberi diri-Nya di kayu salib sebagai ganti kita, dan Dia juga menyatakan kebenaran-Nya pada kita dengan berkata, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30). Ya, segala dosa kita telah lunas ditebus-Nya.

Ketika aku mengetahui bahwa Erica telah sepenuhnya menerima Yesus sebagai Juruselamatnya, aku percaya akan bertemu kembali dengannya di surga kelak. Ya, mungkin nanti kami akan berjalan-jalan bersama, atau juga mengikuti lomba lompat tali hingga kami mendapatkan piagam.

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Mendengar Injil Kembali

Apakah Injil hanya untuk orang-orang yang belum Kristen? Jawaban sederhanaku adalah: Tidak. Jika kita sebagai orang Kristen berpikir kalau kita baik-baik saja, itu berarti kita semakin butuh untuk mendengar Injil. Inilah tiga alasannya.

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Tragedi Ini

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Tragedi-Ini

Oleh Novi, Surabaya

Mungkin kisah hidupku tidak seindah cerita tentang Cinderella yang menemukan pangeran tampannya, atau tidak juga seromantis kisah Romeo dan Juliet yang rela berkorban demi pasangannya. Namun, ketika aku menyerahkan hidupku ke dalam tangan Tuhan, Dia membuat perjalanan hidupku indah pada waktunya. Inilah sepenggal kisah perjalanan hidupku yang ingin kubagikan kepadamu.

Dilahirkan di keluarga Kristen bukan berarti aku menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. Sekalipun pada waktu SMP aku memutuskan untuk memberi diri dibaptis, aku belum sepenuhnya menghidupi iman percayaku. Aku baru mengalami lahir baru seutuhnya saat aku duduk di bangku kuliah dan belajar untuk aktif melayani Tuhan.

Ketika Tuhan mengizinkan tragedi terjadi di hidupku

Aku pikir setelah aku menerima Tuhan Yesus seutuhnya maka kehidupanku akan bertambah baik, tetapi kenyataan berkata lain. Aku harus kehilangan ayah yang dipanggil kembali kepada Tuhan di surga. Kehilangan sosok ayah membuat ekonomi keluarga kami terguncang sehingga ibu memutuskan untuk bekerja merantau ke luar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, adikku pun terjerat dalam narkoba hingga harus mendekam di penjara.

Saat itu aku sedang menempuh kuliah dan merasa begitu tertekan. Aku tidak tega melihat keadaan keluargaku yang seperti ini dan aku pun bertanya pada Tuhan, “Kenapa semua ini terjadi saat aku sudah menyerahkan hidupku untuk-Mu, Tuhan?” Tapi aku bersyukur karena ibuku tetap tegar. Dia bekerja sekuat tenaga di luar negeri untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarga kami.

Setelah lulus kuliah aku pun bekerja untuk membantu ibu mencukupi kebutuhan keluarga. Aku begitu bersemangat untuk bekerja hingga tidak menyadari kalau usiaku ternyata telah menginjak angka 30 tahun dan aku belum pernah sekalipun berpacaran! Lama-lama aku merasa stres karena banyak anggota keluarga yang selalu bertanya kepadaku, “Kapan kamu menikah?”

Saat aku mulai mencoba membuka diri untuk siap menjalin relasi, ada seorang temanku yang mengenalkanku dengan seorang pria. Singkat cerita kami saling berkenalan dan berteman. Tapi aku sendiri tidak yakin kalau dia adalah orang yang tepat buatku sekalipun kami sama-sama orang Kristen.

Suatu ketika dia bertanya kepadaku, “Apakah kamu lebih memilih apa kata Tuhan atau kata hatimu?” Aku pun menjawabnya kalau aku tentu lebih memilih apa kata Tuhan. Aku sendiri pun tidak tahu apa alasan dia bertanya seperti itu kepadaku. Semenjak saat itu perlahan dia mulai menghilang dariku dan terakhir kali kulihat dia telah bersama perempuan lain.

Sejujurnya walau saat itu kami masih hanya berstatus teman, tetapi aku merasa sakit hati karena dia meninggalkanku begitu saja. Ketika aku berdoa dan menangis kepada Tuhan, Roh Kudus mengingatkanku untuk taat dan berserah.

Sebuah pertemuan tidak terduga

Lambat laun aku mampu menjalani kehidupanku seperti biasa dan tidak terlalu berfokus memikirkan tentang pasangan hidup. Hingga aku tiba pada suatu kesempatan yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

Suatu ketika di awal bulan Maret 2015 aku sedang berbelanja di sebuah supermarket dan bertemu dengan seorang teman SMA yang sudah 12 tahun tidak bertemu. Dulu kami tidak saling mengenal dan yang aku tahu kalau temanku itu adalah anak yang populer di sekolah karena dia adalah ketua OSIS dan setahuku dia juga disukai banyak teman-teman perempuan.

Aku pikir pertemuan itu hanya sebatas pertemuan biasa, tetapi di bulan Juli 2015 kami mulai lebih sering mengobrol. Kami berusaha saling mengenal satu sama lain hingga aku pun mengetahui kalau temanku itu sudah menjadi orang Kristen yang lahir baru. Saat kami sudah menjadi teman akrab, di bulan Oktober 2015 kami memutuskan untuk berpacaran. Kami pun meminta bimbingan dari kakak rohani di gereja untuk membimbing hubungan ini.

Kami berkomitmen untuk menjunjung tinggi kekudusan dalam hubungan kami. Kami hanya berpegangan tangan kalau diperlukan. Kami juga saling menguatkan, saling mengisi, saling menegur kalau kami salah. Bagiku kekudusan itu sangat penting. Aku memiliki komitmen kalau ciuman pertamaku nanti adalah ketika kami berada di altar gereja dalam pemberkatan pernikahan kami.

Saat ini kami berdua melayani kaum muda di gereja kami berjemaat. Kami mengajarkan adik-adik kami untuk menjaga kekudusan dan menggunakan masa muda mereka untuk melayani Tuhan yang adalah Raja segala raja. Di samping bekerja dan melayani, saat ini kami juga sedang mempersiapkan untuk memasuki perjalanan baru dalam hidup kami berdua. Ya, kami akan menikah di bulan Oktober 2017 nanti. Kami percaya Tuhan yang mempertemukan kami berdua, Dia juga yang akan menyiapkan semuanya.

Rancangan Tuhan adalah yang terbaik

Setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupku, entah itu baik ataupun buruk semuanya ditenun oleh Tuhan menjadi sesuatu yang indah. Tragedi yang terjadi di masa awal aku mengikut Tuhan itu membawaku pada suatu dilema, apakah aku mau tetap berserah kepada Tuhan dan menata hidupku atau menyesali keadaan dan mencari pelarian lain.

Lambat laun Tuhan mulai memulihkan keluargaku. Secara ekonomi perlahan kami bisa lepas dari jerat hutang dan adikku yang dulu pernah terlibat narkoba pun kita sudah terbebas dari segala jenis kecanduan. Aku telah merasakan pengalaman kalau pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat dan aku tidak pernah menyesal karena menyerahkan hidupku kepada-Nya.

Pengalaman hidup yang telah kualami itu mengingatkanku bahwa setiap kita dilahirkan di dunia ini untuk memenuhi tujuan Tuhan. Tapi, seringkali kita menjauh dari tujuan itu karena kita “bingung” dengan urusan sendiri. Kita khawatir dengan banyak hal. Makan apa hari ini? Kerja di mana nanti? Kapankah pasangan hidup itu ditemukan? Dan banyak kekhawatiran lain.

Lewat kesaksian ini aku ingin mendorong teman-teman agar tidak pernah ragu memberikan masa muda kita kepada Tuhan. Kita tidak perlu khawatir tentang siapa yang menjadi pasangan hidup kita ataupun bagaimana masa depan kita kelak. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan menjamin hidup kita. Apapun yang kita letakkan di bawah kaki-Nya tidak pernah sia-sia.

“Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.” (2 Timotius 2:4)

Baca Juga:

Ketika Aku Tidak Sependapat dengan Alkitab

Pernahkah kamu merasa tidak sependapat dengan apa yang Alkitab katakan? Aku pun pernah mengalaminya dan inilah yang kulakukan ketika aku tidak sependapat dengan Alkitab.

SinemaKaMu: Pelajaran dari Para Minion

Oleh: Cindy Hendrietta, Indonesia
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What I’ve Learned from Minions

pelajaran-dari-para-minion

Beberapa waktu lalu, aku pergi ke bioskop dengan teman-temanku untuk menonton aksi nyentrik sekelompok makhluk lucu yang badannya berbentuk seperti kapsul, kecil, kuning, dan selalu memakai baju kodok (jumpsuit) berwarna biru. Yep, kami menonton Minions, sebuah film yang mengisahkan bagaimana makhluk-makhluk yang tidak terampil apa-apa tetapi sangat menggemaskan ini bertemu dan menjadi anak buah Gru, “pahlawan” tak terduga dalam film Despicable Me.

Yang membuatku terkesan adalah keinginan besar para minion untuk menemukan seorang tuan yang dapat mereka layani. Selama ribuan tahun, mereka telah mencari seorang pribadi yang lebih besar dan hebat, kepada siapa mereka dapat memberikan segenap hati dan hidup mereka. Para minion menjalani hari-hari mereka dengan bergembira dan melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, tetapi tanpa seorang tuan, hidup mereka terasa kosong dan tidak bermakna. Upaya mereka untuk menemukan seorang tuan untuk mereka layani menjadi inti cerita dari film ini.

Sembari menontonnya, aku tersadar betapa kita manusia juga punya kesamaan dengan mereka. Kita ingin mendapatkan kesenangan, tujuan, dan keberhasilan dalam hidup. Jiwa kita terus mencari kepuasan, tetapi kerap kita tidak dapat menemukannya. Sebab itu, kita kemudian memandang ke atas dan mencari seseorang atau sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih agung, yang dapat kita hormati.

Aku diingatkan dengan kejadian dua tahun lalu ketika aku sedang duduk di aula gerejaku, bingung tentang masa depanku, tentang bagaimana aku harus menjalani hidupku, dan tentang apa yang sebenarnya kuperjuangkan dalam hidup. Aku mengikuti kebaktian pemuda pada hari itu, dan tema khotbahnya adalah “Minion-nya Tuhan” (minion= pengikut, pelayan rendahan dari seseorang yang berkuasa). Pada saat itu, aku tidak merasa bahwa Tuhan sedang memanggil aku atau menyatakan hadirat-Nya kepadaku.

Peristiwa lain pun melintas di pikiranku. Dua minggu lalu, seorang temanku memutuskan untuk mempersembahkan sisa hidupnya untuk melayani Tuhan penuh waktu. Aku tidak terlalu mengenalnya. Aku hanya pernah mendengar sekilas bahwa ia ingin menjadi pelayan Tuhan penuh waktu dan akan belajar di sekolah Alkitab. Entah kenapa, aku tidak bisa melupakan teman itu serta komitmennya kepada Tuhan. Sepertinya Tuhan memakai ingatan akan peristiwa tersebut untuk mengajar aku agar secara serius memikirkan komitmenku kepada Tuhan, sama seperti temanku.

Beberapa hari setelah menonton film Minion, aku menghadiri ibadah perayaan ulang tahun ke-70 dari gerejaku; dan aku tahu itu saatnya aku meresponi panggilan Tuhan. Bersama-sama dengan sekitar 500 pemuda lainnya, aku mendedikasikan hidupku sepenuhnya untuk melayani Tuhan—siap diperlengkapi untuk menjadi para “minion”-nya Tuhan.

Sejak hari itu, Tuhan selalu memotivasiku untuk mencari Dia melalui firman-Nya. Aku didorong oleh berbagai ayat dalam Alkitab untuk senantiasa mengarahkan pandanganku kepada-Nya, peka mendengar panggilan-Nya, dan bertindak seturut dengan kehendak-Nya. Setiap hari aku diingatkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Tuan yang benar, satu-satunya Pribadi yang dapat memberi kita makna dan tujuan dalam hidup ini.

Aku bersyukur bahwa Allah adalah Tuan kita. Dalam Mazmur 46:11, Dia berfirman: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”