Posts

Hidup Lebih dari Sekadar Angka dan Kata

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Sebagai seorang hamba Tuhan yang melayani jemaat, tidak jarang aku mendengar beberapa cerita dari mereka yang saat ini bisa bertahan di tengah resesi ekonomi global seperti ini: “Kalau aku hitung-hitung pemasukanku dan pengeluaranku, itu sebetulnya minus. Tapi aneh, kok aku masih bisa bertahan, ya?” Ada lagi yang pernah berkata, “Kata orang kalau baru jadi agen properti 6 bulan awal belum tentu bisa closing. Bahkan kalau pun ada setidaknya cuma 1. Tapi, kok aku sudah lebih dari dua, ya?”

Sayangnya, tak jarang pula aku mendengar kisah-kisah yang sebaliknya. Ada yang menurut perhitungan akan menguntungkan, tapi realitanya berkata lain. Justru yang ada hanyalah kerugian. Ada juga yang menurut kata orang, atau prediksi para ahli di bidangnya bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja, tapi ternyata ujungnya tidak demikian. Beberapa waktu lalu aku juga baru saja kehilangan seorang kerabat yang menurut kata banyak orang dia sebetulnya akan baik-baik saja. Cukup dirawat, diobati, dan melakukan transfusi darah di rumah sakit, maka akan sembuh pada waktunya, demikian yang kudengar. Namun, setelah dua hari dirawat di rumah sakit, aku justru mendengar kabar yang sebaliknya. Tuhan ternyata punya rencana lain untuknya. Ia pun kini telah pergi ke pangkuan Bapa.

Kisah-kisah ini menuntunku pada satu pemikiran penting yang harus kita sadari bersama sebagai anak-anak Tuhan, bahwa hidup itu lebih dari sekadar angka dan kata. Lebih dari sekadar angka bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk dihitung, dikalkulasi, dan diprediksikan. Sekalipun ada lagu gereja yang berjudul “Hitung Berkatmu,” tapi percayalah ada terlalu banyak berkat Tuhan yang sebetulnya luput dari perhitungan kita. Kita juga terbatas untuk bisa mengira-ngira segala sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Berkat Tuhan pun jauh lebih banyak daripada yang dapat kita hitung. Bayangkan, pernahkah kamu menghitung berapa banyak saturasi oksigen yang kamu hirup setiap hari? Pernahkah kamu menghitung keteraturan alam semesta, seperti gaya gravitasi yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi ini sebagai berkat Tuhan? Atau, kita sudah terlalu lama hanya menikmatinya saja, tanpa pernah menghitungnya sebagai berkat Tuhan bagi kita? Tapi, sekali lagi, kalau pun kita menghitungnya, satu hal yang perlu kita sadari adalah Tuhan bekerja melampaui apa yang bisa kita hitung. Begitu juga dengan pergumulan dosa kita. Sudah berapa kali kita jatuh dan bangun di dalam dosa yang sama? Tapi anugerah Allah yang sama di dalam Kristus itu juga masih menopang kita untuk dapat bangkit lagi dan lagi melawan dosa.

Tidak hanya lebih angka, hidup juga lebih dari kata. Ketika hidup lebih dari sekadar kata, maka ini bicara soal kehidupan kita yang sulit untuk diatur dan diperkirakan. Ada berapa banyak orang yang hari ini punya berbagai teori, “kalau kamu lakukan X, maka kamu akan dapatkan Y.” Misalnya, aku pernah mendengar seorang yang berkata, “kalau kamu mau istrimu punya anak laki-laki, maka dia harus makan lebih banyak daging, daripada sayuran.” Pertanyaannya, apa jaminannya? Siapa kamu yang berteori seperti itu? Apakah teorimu cocok dengan kehendak Tuhan? Belum tentu, ‘kan?

Tuhan Yesus pun pernah dicobai oleh Iblis dengan teori “jika-maka” di padang gurun. Di antara ketiga teori sekaligus pencobaan itu, dalam Matius 4:9, misalnya, si Iblis berteori bahwa “semua itu (semua kerajaan dunia dengan kemegahannya) akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.” Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan, apa jaminannya si Iblis akan memberikan semua itu pada Tuhan Yesus? Siapa dia untuk berteori begitu?

Pada kenyataannya, Tuhan Yesus tidak tunduk dan berusaha menyenangkan hati si Iblis dengan mengaplikasikan teori-teorinya. Kita semua tahu betul bahwa kisah pencobaan di padang gurun itu (Mat. 4:1-11 dan Luk. 4:1-13) justru menunjukkan bahwa bukan kata-kata Iblislah yang berkuasa, tapi kata-kata Tuhan. Setiap kali Tuhan Yesus menjawab Iblis, Ia selalu mengutip firman Tuhan (Mat. 4:4, 7, 10). Apa artinya? Kehidupan yang kita jalani memang betul lebih dari kata, tapi kata yang dimaksud ialah kata-kata manusia, termasuk kata-kata si jahat. Tidak ada satu pun kata-kata di dunia ini yang lebih berkuasa daripada kata-kata Tuhan. Karena itu, sangat aneh apabila selama hidup kita terus menuruti kata-kata orang, daripada kata-kata Tuhan.

Ketika kehidupan kita tunduk pada dua fakta, yaitu lebih dari angka dan lebih dari kata, maka itu artinya kita perlu menjalani hidup ini dengan penuh kerendahan hati. Jangan pernah berpikir kita bisa mengetahui semua yang akan terjadi di masa depan dengan pikiran kita sendiri. Bukankah sudah ada cukup banyak bukti yang acapkali bicara di luar perhitungan dan perkataan kita maupun orang lain?

Mari kita lebih andalkanlah Tuhan dan firman-Nya di dalam hidup ini. Aku berharap ketika kamu menemui jalan buntu dan seolah-olah tidak ada jalan keluar di dalam hidupmu, maka itu adalah ajakan untukmu untuk lebih percaya pada hati Tuhan dan hadirat-Nya. Sebab, sesungguhnya Tuhan sendiri pun bekerja melampaui angka dan kata, lebih dari yang dapat kita pikirkan dan perkatakan. Ia sudah pernah membuktikan itu ketika Ia merespons masalah dosa manusia, bukan hanya lewat kata-kata, tapi lewat aksi nyata di atas kayu salib. Kiranya Injil Kristus ini menolong kita untuk menjalani kehidupan kita yang serba tidak pasti seperti hari ini. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika Si Dia Kujadikan Berhala

Apa pun yang ada dalam hidup ini dapat menjadi berhala. Berhala bukan hanya patung atau gambar sesembahan, berhala juga bukan sekedar hal-hal buruk yang menjadi candu dalam kehidupan kita, namun berhala juga dapat berasal dari hal-hal baik dalam hidup ini yang lebih kita ingini daripada Allah.

Pasangan hidup juga dapat menjadi berhala, yaitu ketika gairah cinta dan semangat kita pada Tuhan mulai tergeser, beralih kepada orang yang kita cintai.

Hendaknya kita mengimani dan melakukan dengan sungguh, firman Tuhan Yesus untuk mencari, “dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua itu akan ditambahkan kepadamu.”

Karena ketika yang terutama dalam hati kita adalah Yesus dan Kerajaan-Nya, kita akan memahami bagaimana cara mencari dan mencintai pasangan kita dengan pantas.

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata @ptrx.renata dan merupakan project kolaborasi antara WarungSaTeKaMu dan Grace Alone Ministries @gracealoneministry

Seandainya Tuhan Yesus Gak Pernah Dilahirkan…

Kisah Natal sering jadi kisah yang terasa biasa saja, atau bahkan bagi sebagian orang terasa tidak masuk akal. Tetapi, inilah peristiwa yang amat penting, yang menjadikan iman Kristen berbeda dari lainnya.

Allah yang telah menciptakan kita, tidak meninggalkan kita di dalam keputusasaan kita. Dia mengasihi kita dan Dia datang untuk memberikan kita pengharapan. Alkitab berkata bahwa “Firman itu telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). Yohanes menggunakan sebutan “Firman” untuk bayi kecil yang menjadi pengharapan bagi seisi dunia, dan sebutan itu adalah sebutan yang sarat makna!

Artspace ini didesain oleh Patricia Renata (@ptrx.renata)

Tersesat di Antara Dua Dunia

Jika percaya Yesus tidak membuat hidupmu lebih baik sesuai dengan harapanmu… apakah itu artinya kamu tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang sedang kamu berusaha raih?

Allah menantimu untuk menerima-Nya, kerajaan-Nya. Namun, jika kamu hanya mencari apa keinginan hatimu, sulitlah bagimu untuk melihat berkat mulia yang menantimu.

Kerajaan Allah tidak sebanding dengan apa yang dunia tawarkan—sesuatu yang jauh lebih baik daripada apa yang ada pada kita sekarang. Kebebasan dan kepunyaan kita di dunia adalah sementara dan tidak sempurna.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Oleh Aisha*, Jakarta

Aku bukanlah orang Kristen sejak lahir. Orang tua dan keluarga besarku pun tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Keluargaku melarangku berteman dengan orang yang tidak seiman dengan kami. Sampai aku duduk di kelas 2 SMP, aku tidak pernah tahu Yesus itu siapa. Hingga akhirnya aku pun pindah sekolah ke Jakarta dan di sekolah itu aku memiliki teman-teman yang beraneka ragam.

Suatu ketika, aku berdiskusi dengan temanku yang Kristen. Dia bercerita kepadaku tentang Tuhan, dan itu membuatku sangat penasaran. Katanya, Tuhannya itu bernama Yesus yang sangat penuh kasih. Yesus rela mati di kayu salib demi menebus dosa manusia. Tapi, aku merasa apa yang disampaikan temanku itu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu dan aku malah ngotot bahwa apa yang temanku percayai itu salah. Namun, aku merasa ada sebuah pertanyaan besar mengganjal di hatiku, “Siapakah Yesus sebenarnya?”

Diselamatkan melalui tragedi

Saat itu aku adalah orang yang suka tidak bersyukur dan hidup tanpa hikmat. Ayah dan ibuku telah bercerai sejak aku masih bayi dan aku pun dirawat oleh nenekku. Latar belakangku dari keluarga broken-home membuatku sering berpikir pendek atas masalah-masalah yang kuhadapi. Aku sering merasa lelah dengan hidupku dan sempat beberapa kali mencoba bunuh diri.

Hingga suatu ketika, saat aku berusia 14 tahun, suatu hal yang tidak kuinginkan terjadi kepadaku. Aku divonis menderita sakit kanker darah stadium dua. Untuk mengobati penyakit itu seharusnya aku menjalani operasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Tapi, karena tidak mendapat pendonor sumsum tulang belakang yang cocok, akhirnya aku hanya menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi selama beberapa kali.

Penyakit ini membuatku merasa menjadi beban buat keluargaku. Nenekku tidak dapat membiayai pengobatanku, jadi ibukulah yang bertanggung jawab untuk masalah keuanganku. Tapi, saat itu ternyata ibuku sedang kesulitan ekonomi. Kalau sebelumnya aku pernah ingin bunuh diri, saat itu aku ingin bertahan hidup. Aku ingin sembuh supaya bisa membalas budi perjuangan ibuku. Tapi, melihat keadaan yang sepertinya tidak baik itu, aku jadi sangat sedih dan aku pun pasrah atas hidupku, mungkin sudah waktunya aku pulang ke pangkuan Tuhan.

Hari-hariku kemudian terasa berat. Rasa sakit yang timbul dari sakit kanker itu luar biasa. Hingga suatu ketika, saat aku sedang kesakitan di rumah sakit, tanpa sadar aku teringat akan Tuhan Yesus, nama yang dahulu pernah temanku ceritakan kepadaku.

“Aku sakit, aku sesak, tolong aku! Tolong aku, Yesus! Jikalau memang Engkau adalah Tuhan, aku mohon pulihkan aku!” kataku pada Tuhan.

Air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku, tapi saat itu aku merasakan ada kedamaian yang tak biasa. Aku merasa seperti ada harapan dan kekuatan untuk berjuang melawan penyakit kankerku.

Singkat cerita, aku pun terus melanjutkan proses pengobatan radioterapiku. Hingga suatu ketika, saat dokter melakukan pemeriksaan kembali, hasilnya mengejutkanku. Dokter melihat bahwa sel-sel kankerku hilang, dan aku dapat dinyatakan sembuh. Dokter dan orang tuaku yakin bahwa kesembuhan ini terjadi sebagai buah dari pengobatan rutin yang kulakukan. Tapi, buatku pribadi, aku merasa yakin bahwa kesembuhan ini adalah anugerah dari Tuhan Yesus yang telah mendengarkan seruan minta tolongku.

Menjalani hidup yang baru bersama Tuhan Yesus

Saat itu usiaku 14 tahun, tapi aku begitu yakin untuk memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Lewat bantuan beberapa temanku yang percaya pada Yesus, aku pun bertemu dengan seorang hamba Tuhan dan mengucapkan pengakuan iman percayaku dengan lidahku sendiri. Aku melakukan semuanya itu secara sembunyi-sembunyi, sebab aku tidak ingin menimbulkan kegaduhan dalam keluargaku.

Sekarang, sudah tiga tahun berlalu sejak Yesus masuk ke dalam hidupku. Selama waktu inilah aku mendapati bahwa mengikut Kristus bukanlah hal yang mudah. Berbagai masalah tetap ada dalam hidupku. Namun, di balik semua masalah itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Di malam sebelum Paskah, aku teringat akan betapa beratnya proses yang Tuhan Yesus lakukan sampai Dia disalib di Golgota. Aku pun merasa tertegur. Tuhan Yesus sudah begitu baik buatku. Dia tidak hanya menyembuhkanku dari sakit fisik di dunia, melainkan juga menyelamatanku dari kesakitan kekal akibat dosa. Aku pun menangis, bukan karena sedih, tapi tangis bahagia karena aku punya Tuhan yang sangat mengasihiku yang hina ini.

Melalui ujian-ujian dalam hidupku, imanku semakin kuat dan semakin besar juga keinginanku untuk lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan. Aku mengenal Tuhan Yesus sebagai Pribadi yang penuh kasih. Dia adalah Tuhan yang ingin agar kita, ciptaan-Nya kelak tinggal bersama-sama dengan Dia di surga. Dan, untuk itulah Dia rela disiksa dan disalib. Aku bersyukur kepada Tuhan atas iman yang Dia berikan padaku. Sekarang hidupku sudah terjamin, karena aku tahu ke mana tujuanku kelak setelah kehidupan ini berakhir.

“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9).

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

49 hari terkatung-katung di laut, Aldi putus asa dan hampir saja mengakhiri hidupnya. Namun, ada satu yang membuatnya kembali menemukan harapan: firman Tuhan.

Kisahku sebagai Putri Seorang Penarik Becak yang Belajar Mengampuni

Oleh Yezia Sutrisni, Tangerang

Aku adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibuku menderita penyakit kanker payudara dan akhirnya meninggal saat aku duduk di kelas 2 SD. Selama hampir satu tahun ibuku terbaring lemah di tempat tidur melawan sakit kankernya.

Setelah ibuku meninggal, aku tinggal bersama ayah dan dua orang kakakku. Hari demi hari kami lewati tanpa kasih sayang seorang ibu. Sehari-harinya ayah bekerja sebagai penarik becak di kota Yogyakarta, sedangkan kami tinggal di kabupaten Klaten. Ayah hanya pulang menemui kami beberapa kali dalam satu bulan.

Ketika aku berusia 9 tahun, ayahku juga jatuh sakit sehingga tidak bisa bekerja maksimal. Penyakit darah tinggi akut yang diderita ayah membuatnya tidak bisa menarik becak setiap hari dan aku pun harus merawatnya. Di usiaku yang masih kecil itu aku harus menggantikan peran ibu.

Setiap pagi sebelum berangkat sekolah aku harus bangun jam 5 pagi dan memasak untuk seluruh isi rumah. Sebelum berangkat ke sekolah aku harus memastikan makanan untuk ayah sudah tersedia sehingga dia tidak harus berdiri untuk mengambil makan. Penyakit darah tinggi ayah membuatnya sulit berdiri, mungkin juga dia akan jatuh. Mau tidak mau aku harus membantunya makan, mandi, dan melakukan aktivitas lain.

Ketika tetangga-tetangga melihat keadaan kami waktu itu, mereka selalu bertanya, “Di mana saudara-saudaramu yang lain?” Usiaku dengan kakak-kakakku terpaut cukup jauh. Dengan kakak pertamaku saja kami berbeda hampir 20 tahun. Empat kakak-kakakku waktu itu telah sibuk sendiri. Ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau jauh. Mereka seolah tidak peduli dengan keadaan ayah saat itu.

Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan keberadaan kakak-kakakku. Entah karena aku terlalu polos atau hanya menerima segalanya dengan ikhlas, aku lupa persisnya perasaanku seperti apa. Yang aku tahu adalah kakak-kakakku mungkin pernah mengalami kepahitan. Ayah memang orang yang keras, dia sering memukul dan melontarkan kata-kata kasar kepada anak-anaknya.

Ketika aku ditelantarkan oleh kakak-kakakku

Setelah sekitar tiga tahun hidup dalam keadaan sakit, ayahku dipanggil pulang oleh Tuhan. Kehidupan keluargaku semakin sulit dan aku pun tinggal berdua bersama kakakku yang kelima. Kakak-kakakku yang lain ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang merantau.
Kami berdua menjalani hidup tanpa orangtua. Kadang kami hanya makan menggunakan nasi putih dan sambal saja. Kadang kami pun menjual pohon bambu yang kami tanam di depan rumah untuk bisa membeli makanan. Beras pun kami dapat dari jatah beras miskin pemerintah. Kadang juga tetangga kami yang merasa iba memberi kami makanannya.

Aku sempat berpikir kalau kami ini enam bersaudara, maka seharusnya aku tidak sampai harus hidup seperti ini. Aku merasa ditinggalkan dan tidak memiliki siapapun dan bertanya-tanya mengapa kakak-kakakku yang lain itu tidak mau peduli dengan kedua adiknya? Sejujurnya kami punya alasan untuk menyimpan luka dan membenci mereka.

Ketika aku mengenal Yesus

Dulu aku bukanlah orang Kristen, demikian juga dengan kedua orangtuaku. Saat aku mulai duduk di bangku sekolah dasar, salah seorang kakakku yang telah menjadi Kristen terlebih dulu sempat membawaku untuk ikut ke sekolah minggu. Setelah itu aku menjadi lebih sering datang ke gereja walau tidak selalu hadir setiap minggunya. Sekalipun orangtuaku bukan Kristen, tapi mereka tidak melarangku untuk pergi ke gereja.

Setelah kedua orangtuaku dipanggil Tuhan, aku sendiri bingung akan masa depanku. Hingga pendeta di gerejaku mempertemukanku dengan seorang bapak dari Kalimantan. Akhirnya bapak ini secara tidak langsung “mengadopsiku” dengan membiayai seluruh kebutuhanku. Saat aku masuk SMA, aku pun pindah dari Klaten ke kota Yogyakarta untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

Aku memang tidak tinggal satu rumah dengan ayah angkatku itu, tapi beliau sering menyempatkan dirinya mengunjungiku di Yogyakarta dan memastikan kebutuhanku terpenuhi. Ketika liburan tiba, aku pun diajaknya ke Kalimantan dan tinggal bersama keluarga angkatku. Mereka begitu mengasihiku dan menganggapku sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.

Kebaikan mereka itulah yang akhirnya semakin memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Mereka mendukungku selayaknya aku adalah anak kandung mereka sendiri. Ketika aku sudah lulus dari SMA, mereka mendukung penuh studiku di perguruan tinggi hingga akhirnya aku bisa lulus menjadi seorang sarjana.

Sekalipun sejak kecil aku datang ke gereja, tapi aku merasa hidupku datar. Aku membaca firman Tuhan, tapi tidak mengerti apa yang dimaksud. Barulah ketika aku mulai duduk di bangku kuliah, lambat laun aku mulai mengerti betapa baiknya Tuhan Yesus kepadaku. Lewat kasih sayang tulus yang diberikan oleh ayah angkatku, aku dapat merasakan kasih Tuhan bahwa Dia tidak pernah meninggalkanku seorang diri.

Saat ini aku telah menyelesaikan studiku dan bekerja di sebuah lembaga pelayanan di Tangerang. Sesekali ketika aku merenung, aku bisa saja berpikir untuk membenci saudara-saudaraku atas perbuatan mereka saat aku menderita susah dulu. Tapi, setiap kali bersaat teduh aku selalu ingat ayat di mana Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengampuni, bahkan lebih dari sekadar mengampuni, Tuhan meminta kita untuk mengasihi. “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagai Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu” (Efesus 4:32).

Aku manusia berdosa dan Tuhan sudah mengampuni dosaku. Ketika aku mulai berpikir untuk membenci kakak-kakakku, aku selalu melihat kembali kepada diriku sendiri yang penuh dosa dan Tuhan sudi mengampuniku. Betapa egoisnya aku ketika Tuhan sudah mengampuniku tetapi aku tidak mau mengampuni saudara-saudaraku.

Secara manusia memang berat untuk mengampuni orang yang telah menyakitiku, tapi aku selalu memohon agar Tuhan memampukanku. Setiap hari aku berdoa untuk semua kakak-kakakku, memohon agar mereka yang belum mengenal Tuhan dapat menjadi percaya. Aku belajar untuk sesekali menyapa mereka lewat telepon. Saat ini aku sudah mengampuni mereka dan mengasihi mereka.

Aku belajar dari kisah Yusuf yang tetap tekun dan berpengharapan sekalipun dia harus dibuang oleh kakak-kakakknya. Aku percaya bahwa kisah masa laluku yang kelam merupakan alat yang dipakai Tuhan untuk menyiapkan masa depanku. Tanpa masa lalu yang keras mungkin aku takkan menjadi seorang yang tegar.

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar,” (Kejadian 50:20). Seperti kisah Yusuf, mungkin ada rancangan-rancangan jahat yang dilakukan oleh manusia terhadap kita, tapi aku percaya bahwa Tuhan sanggup mengubah itu menjadi kebaikan untuk kita.

Tuhan telah menunjukkan kebaikan-Nya kepada kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita yang seharusnya dihukum karena dosa-dosa kita, tapi karena kematian-Nya kita beroleh keselamatan. Dari pengalaman hidupku, aku dapat memaknai Paskah sebagai momen ketika Tuhan mengampuni dosaku maka aku pun harus mengampuni orang lain yang bersalah kepadaku, bahkan mengasihi mereka sama seperti Tuhan mengasihiku.

Kita tidak akan pernah bisa mengampuni bahkan mengasihi orang yang sudah menyakiti kita dengan kekuatan sendiri. Kita membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan saja yang memampukan kita untuk mau mengampuni dan melembutkan hati mereka. Datanglah kepada Tuhan dan minta supaya Dia memampukan kita.

Baca Juga:

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Katie adalah seorang perempuan kecil yang harus melakukan transfusi darah karena penyakit langka yang dideritanya sejak lahir. Namun, kelak ia dapat disembuhkan ketika ada ada orang lain yang mau menjadi donor baginya. Kisah tentang Katie ini mengingatkanku kembali tentang anugerah keselamatan yang Tuhan Yesus berikan.

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Anugerah Keselamatan yang Kau Berikan

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Anugerah-Keselamatan-yang-Kau-Berikan

Oleh Suparlan Lingga, Amerika Serikat

“Selamat ya Pak, putri Anda sudah lahir dengan selamat,” ucap sang perawat kepada Steve atas kelahiran anak keduanya. Wajah Steve langsung berseri-seri, dia pun masuk ke ruang bersalin lalu memeluk dan mencium istrinya, Stacy. Hari itu, tanggal 12 Desember 2002, adalah hari yang penuh sukacita karena mereka menyambut kelahiran buah hati yang mereka namai “Katie”.

Semua kelihatan berjalan baik dan normal, namun beberapa jam kemudian tiba-tiba Katie mengalami sesak nafas dan lemas. Katie langsung dilarikan ke unit perawatan khusus bayi (NICU). Setelah diperiksa, ternyata kadar sel darah merahnya sangat rendah. Dokter pun langsung memberitahu orangtuanya bahwa Katie membutuhkan transfusi darah untuk menyelamatkan hidupnya.

Dua bulan kemudian, Katie kembali didiagnosa menderita Diamond-Blackfan Anemia (DBA), sebuah penyakit langka di mana tulang sumsum tidak bisa memproduksi cukup sel darah merah (sel darah merah berfungsi membawa oksigen ke jaringan tubuh). Jadi untuk bertahan hidup, Katie harus selalu mendapat transfusi darah rutin setiap bulan.

Perawatan inipun hanya bersifat sementara karena transfusi darah yang dilakukan secara rutin dapat membuat tubuh Katie menerima zat besi berlebih sehingga akan merusak organ-organ tubuh Katie yang lain. Apabila organ-organ tubuh vital mengalami kerusakan, penderita penyakit ini kemungkinan hanya bisa hidup mencapai usia 30 atau 40 tahunan.

Keluarga Katie sangat terpukul mendengar hasil diagnosa ini. Mereka berusaha keras mencari pengobatan alternatif untuk menyelamatkan Katie. Sambil menjalankan transfusi darah bulanan, mereka berusaha mencari informasi dari berbagai dokter dan pakar kesehatan.

Kemudian ada secercah harapan untuk menolong Katie, yaitu dengan melakukan transplantasi tulang sumsum. Syaratnya, itu harus dilakukan sebelum Katie berumur lima tahun. Transplantasi ini harus diambil dari saudara yang secara genetik memiliki Human Leucocyte Antigen (HLA) persis sama dengan Katie. Setelah diperiksa, ternyata tidak satupun saudara Katie yang memiliki genetik persis sama. Keluarga Katie kembali sedih dan putus harapan.

HLA merupakan suatu protein yang berfungsi mengatur sistem imun tubuh dan biasanya digunakan untuk proses pencocokkan antara donor dan resipien. Sebagian HLA ini diturunkan dari ayah, dan sebagian lagi dari ibu. Jadi, sekalipun saudara kandung, peluang kecocokan HLA ini hanya 25% saja.

Beberapa waktu kemudian, seorang dokter mengatakan bahwa Katie bisa diselamatkan apabila Katie memiliki adik yang genetiknya persis sama. Ini bisa dilakukan dengan metode In Vitro Fertilization (IVF) dan Pre-implantation Diagnosis (PGD). Dengan metode IVF (sering disebut bayi tabung), beberapa embrio akan dibuat dalam laboratorium khusus. Lalu sel embrio ini akan di-screening melalui PGD untuk melihat mana yang memiliki gen sama dengan Katie dan paling sehat.

Embrio terbaik akan dimasukkan ke rahim ibunya. Lalu lahirlah seorang bayi yang disebut ‘savior siblings’; seorang anak yang akan menyelamatkan saudaranya yang sakit dengan berperan sebagai donor hidup.

Meskipun diwarnai pro-kontra, keluarga Katie akhirnya menerima pilihan ini. Bulan Mei 2005, lahirlah seorang bayi laki-laki yang diberi nama Christopher. Setelah Christopher berumur setahun, dilakukan transplantasi tulang sumsum dan Katie pun sembuh.

* * *

Kisah Katie merupakan sebuah kisah nyata dari keluarga Steve dan Stacy Trebing yang ditulis lengkap oleh seorang jurnalis bernama Beth Whitehouse. Kisah itu kini dapat ditemukan dalam buku yang berjudul “The Match, Savior Siblings and One Family’s Battle to Heal Their Daughter.”

Sebagai seorang mahasiswa jurusan Health Care Management, kisah Katie ini menjadi bagian dari bahan presentasiku tentang ‘savior siblings’ atau ‘saudara penyelamat’ di kelas Etika dan Hukum Kesehatan, Universitas Massachusetts Lowell, Amerika Serikat. Terlepas dari pro-kontranya, konsep ‘savior siblings’ ini terbukti efektif menyelamatkan anak yang menderita penyakit langka.

Ketika mempersiapkan bahan presentasi, aku merasa diingatkan kembali tentang bagaimana Yesus menyelamatkan manusia. Kalau ‘savior siblings’ berarti harus memiliki genetik yang sama untuk menyelamatkan saudaranya, maka Yesus turun ke dunia dan menjadi sama seperti manusia untuk menyelamatkan kita yang berdosa. Hanya dengan cara seperti itulah, kita bisa diselamatkan dari maut.

Dengan kelahiran Yesus ke dunia, kita bisa melihat Allah dalam rupa manusia. Dengan penderitaan dan kematian-Nya di kayu salib, dosa kita ditebus sehingga kita tidak binasa. Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kita. Tidak ada jalan atau cara lain. Ini semua karena Allah sungguh mengasihi kita. Seperti tertulis dalam Yohanes 3:16, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Hanya dengan pengorbanan Yesuslah, kita bisa diselamatkan. Dialah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak ada satu makhlukpun atau agama apapun yang bisa menjamin keselamatan selain Yesus. Dialah Tuhan dan Juruselamat kita. Seperti kata Yesus, ”Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).

Jadi kita memang harus bersyukur dan bersukacita dengan anugerah keselamatan yang diberikan Allah melalui kelahiran Yesus ke dunia. Jangan pernah ragu dengan keselamatan yang dijamin Yesus. Mari kita hidupi anugerah keselamatan ini dengan pertobatan sejati dan menjalankan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

Ketika Aku Berjuang untuk Jujur Meski Harus Kehilangan Impianku

Kehidupan perkuliahanku berjalan dengan lancar. Aku berhasil mendapatkan IPK di atas 3.50 dan tidak pernah mengulang mata kuliah. Tapi semua berubah ketika aku harus menyusun tugas akhir. Ada banyak masalah yang terjadi dan menghambatku untuk lulus tepat waktu. Dan inilah pengalamanku yang ingin kubagikan kepadamu.