Posts

Pertolongan yang Ajaib

Oleh Tamara Sitinjak, Jambi

Di suatu hari Minggu yang biasa, aku dan adikku pergi ke gereja. Ketika ibadah usai dan kami hendak pulang, aku merasa tidak enak hati karena hari itu orang tua kami tidak ikut mengantar kami pulang. Namun, aku tidak terlalu memikirkannya.

Setiap kali pergi ke luar rumah, aku biasanya berdoa singkat, “Tuhan Yesus, berkati perjalanan kami selamat sampai di tujuan.” Mungkin karena rasa malas untuk pulang, hari itu aku lupa berdoa dan segeralah pergi.

Di perjalanan pulang, barulah kuingat kalau aku tadi tidak sempat berdoa. Kuberdoa dalam hati, memohon penyertaan Tuhan. Selang beberapa menit, aku dan adikku melihat ada dua orang yang membuntuti motor kami. Rasa takut menyergap, tapi kami berusaha tenang. Aku tidak meminta adikku untuk menarik gas lebih kencang, berharap bahwa mereka hanyalah pemotor biasa. Semenit, dua menit, sampai kira-kira 30 menit, dua orang itu tetap mengikuti kami dan tiba-tiba mendekati kami.

Dua orang itu berjenis kelamin laki-laki. Aku tidak ingat persis bagaimana penampakan fisik mereka, tetapi laki-laki yang di posisi belakang memegang sebuah pistol.

“Berhenti! Berhenti!” mereka berteriak pada kami sembari menodongkan pistol.

Kami benar-benar ketakutan dan sangat bingung. Apakah harus menuruti kata mereka dan berhenti, atau terus melaju. Karena takut, adikku mencoba untuk berhenti, tapi dari belakang kutarik gas motorku agar tetap melaju.

Jalanan yang kami lalui bukanlah jalanan perkotaan yang ramai. Kami sedang berkendara di jalanan antar desa yang rusak dan dikelilingi hutan. Kepanikan membuat motor yang kami kendarai nyaris celaka dan jatuh ke jurang. Kami tak tahu apa yang akan terjadi. Yang kami tahu hanya terus tancap gas sekencang mungkin, sembari berdoa dan mencari pertolongan.

Hingga akhirnya, kami menjumpai ada orang lain di jalan itu. Buru-buru kami meminta tolong dan mereka bersiap untuk menghadang dua orang yang mengejar kami.

Melihat kami yang telah bertemu dengan warga lain, dua pelaku itu segera tancap gas sehingga mereka pun lolos. Kami tak tahu apa motif dari dua orang yang mengejar kami itu, tapi kami sungguh lega dan bersyukur ketika akhirnya kami selamat meskipun dua pelaku itu berhasil melarikan diri.

Pengalaman hari itu sungguh tidak terlupakan buatku dan mengajariku satu hal tentang pertolongan Tuhan yang ajaib. Aku mungkin lupa berdoa, atau doa yang kuucapkan pun berisikan permohonan yang biasa-biasa saja, tetapi Tuhan selalu mendengar doa sesederhana apa pun dari anak-anak-Nya.

Hari itu aku melihat dan mengalami pertolongan Tuhan, bagaimana Dia meluputkan kami dari tindakan kejahatan yang besar kemungkinan akan mencelakai kami. Tuhan tidak hanya meloloskan kami dari dua penjahat itu, tapi juga mempertemukan kami dengan orang-orang baik yang bersedia menolong kami ketika kami sangat ketakutan.

Aku percaya segala yang terjadi pada kita bukanlah sekadar kebetulan, semua ada dalam kendali-Nya. Aku berkomitmen untuk selalu melibatkan Tuhan dalam segala hal melalui doa-doa yang kunaikkan, dan memohon agar Dia melayakkanku untuk menjadi anak-Nya yang setia.

Teman-teman apakah hari-hari ini kamu sedang berhenti berdoa?

Percayalah bahwa apa pun pergumulanmu Tuhan pasti menolong. Apa pun yang kamu khawatirkan, Tuhan sudah mengatur hidupmu dengan indah dan Dia akan memberikan pertolongan buatmu tepat pada waktu-Nya.

Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Suka, Cinta, dan Penantian

“Kenapa kakak belum pacaran? Kan sudah dewasa, sudah tahu tujuan hidup, dan kayaknya kak juga udah siap. Nunggu apa coba?”

Jika Awalnya Saja Sudah Buruk, Sungguhkah Nanti Lebih Baik?

Oleh Chia Poh Fang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Such A Bad Start To 2020?

“Kuharap tahun barumu dimulai dengan baik.”

Sepenggal kalimat itu mengisi sebuah email yang dikirimkan kepadaku, sebuah ucapan yang tulus.

Namun, serentetan kabar buruk yang kubaca dan tonton di media belakangan ini telah mempengaruhi orang-orang yang kukenal sampai ke tataran kehidupan pribadi mereka.

Di hari pertama 2020, hujan lebat di sekitar Jakarta membuat debit air meninggi dan banjir di mana-mana. Seorang temanku sampai terpisah dari anak-anaknya selama beberapa hari karena mereka harus mengungsi di rumah sang nenek. Temanku yang lain, seharusnya terbang ke Malaysia untuk rapat, tapi dia tidak bisa pulang mengambil barang bawaannya karena banjir. Dia harus membeli baju baru di Malaysia.

Kemudian, kita juga mendengar berita tentang gunung meletus di Filipina. Lima relawan penerjemah dari kantor kami tinggal di dekat lokasi bencana tersebut. Rumah mereka ditutupi abu vulkanik. Tiga dari mereka sesak nafas karena debu yang terlampau tebal, dan mereka hidup tanpa air dan listrik selama tiga hari.

Sementara itu, di Australia, kebakaran hutan merambat dengan masif. Seorang temanku yang sedang dalam penerbangan pulang ke Canberra tak dapat mendarat karena asap yang terlampau pekat. Penerbangannya dialihkan dan membuatnya meratap ingin segera pulang ke rumah.

Kabar buruk masih belum berhenti. Berita terbaru yang kita dengar dan menghiasi media di seluruh dunia adalah kabar tentang penyebaran virus Corona yang telah merenggut lebih dari 427 nyawa sejak penyebarannya yang pertama pada 31 Desember 2019.

Meski secara pribadi aku tidak kenal siapa pun yang tertular virus tersebut, namun aku bisa sedikit merasakan bagaimana pedihnya kehilangan. Dalam 17 hari pertama tahun ini, ada tiga kematian yang terjadi di antara orang-orang dekatku. Ada seorang sepupuku yang meninggalkan istrinya selamanya, seorang pria yang kehilangan teman hidupnya selama 40 tahun lebih, dan seorang ibu yang harus meninggalkan anaknya yang berusia lima tahun.

Mengatakan bahwa tahun ini tidak diawali dengan baik rasanya bukanlah pernyataan yang berlebihan.

Mungkin ada di antara kita yang kehidupannya terdampak oleh salah satu dari sekian banyak kabar buruk di atas, diliputi ketakutan, kekhawatiran, kemarahan, atau kesedihan. Jika ya, bolehkah aku mengatakan hal ini kepadamu?

Tidak apa-apa untuk mengatakan kamu sedang tidak baik-baik saja

Adalah wajar untuk marah karena kematian yang merenggut orang yang kamu kasihi. Kamu mungkin merasa takut atau pun panik akan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kebakaran hutan, atau mungkin pula khawatir karena penyebaran virus Corona.

Aku berduka karena kematian sepupuku, dan bertanya-tanya mengapa kehidupan seseorang yang masih muda direnggut begitu cepat. Aku dan teman-temanku pun berduka atas penderitaan yang harus dihadapi orang-orang yang berjuang pulang karena kebakaran hutan, atau mereka yang harus bekerja ekstra membersihkan rumah mereka pasca banjir dan letusan gunung berapi.

Jika kita membuka Alkitab kita, kita melihat Yesus pun menunjukkan gejolak emosinya saat berada di pemakaman. Ketika dia mendapati Maria yang saudara laki-lakinya, Lazarus, meningal dunia, “hati-Nya sedih, dan Ia tampak terharu sekali” (Yohanes 11:33 BIS)

Mengapa Yesus bersedih? Mungkin, Yesus kecewa dan marah karena dosa dan konsekuensi yang diakibatkannya. Allah tidak menjadikan dunia supaya dipenuhi dengan kesakitan, penderitaan, dan maut, tapi dosa memasuki dunia dan menodai rencana mulia Allah.

Ketika keadaan tidak baik, ketahuilah ini bukanlah akhir

Ada banyak pertanyaan tentang kesakitan dan penderitaan yang belum kutemukan jawabannya yang paling memuaskan. Namun, ketika aku bergumul dengan keraguan, aku ingat bahwa Yesus hadir ke dunia dua ribu tahun silam dan menunjukkan pada kita bagaimana Allah sesungguhnya.

Tangan-Nya menyentuh yang sakit kusta (Markus 1:41); Pandangan-Nya tertuju kepada janda yang sakit di Nain (Lukas 7:11-17). Dia tersakiti ketika kita merasa sakit. Kita memiliki Juruselamat yang peduli dan menderita bersama kita. Namun, lebih daripada itu semua, Yesus mati dan bangkit dari maut. Dialah satu-satunya Pribadi yang mati, bangkit, dan tidak pernah mati kembali! Dia telah mengalahkan maut. Kita punya harapan yang hidup dalam Yesus, sebab Juruselamat kita adalah Tuhan yang hidup.

Dan, Yesus pun berjanji kelak akan tiba waktunya di mana segala kesakitan akan berakhir (Wahyu 21:4). Ketika kita tak dapat menghentikan kesakitan dan dosa menggerogoti tubuh kita yang fana saat ini, sebagai anak-anak-Nya, kita kelak akan menerima tubuh yang baru dan mulia (1 Korintus 15:42-43). Inilah kisah akhir dari sejarah manusia yang teristimewa dapat kita ketahui saat ini.

Apakah hari-harimu di tahun ini juga dimulai dengan kisah getir? Teguhkanlah hatimu sebab ini bukanlah akhir. Allah sedang bekerja untuk memulihkan; Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya (Roma 8:28).

Seiring 2020 terus berlanjut, kita mungkin akan masuk ke dalam situasi yang mengharuskan kita hanya dapat bergantung dan percaya pada-Nya. Bersediakah kamu bersama-sama denganku untuk memusatkan pandanganmu kepada Yesus? Harapan kita hanya di dalam-Nya, dan bersama-Nya segala sesuatu dapat kita lalui.

Baca Juga:

Di Balik Hambatan yang Kita Alami, Tuhan Sedang Merenda Kebaikan

Meski kamu melalui jalan yang berbelok-belok, atau bahkan berbatu-batu, dan meski seringkali kamu menemukan dirimu tidak memahami maksud Tuhan dalam hidupmu, tetaplah percaya kepada-Nya. Bila Tuhan yang menyertaimu, Dia pasti akan memberikan pertolongan dan tuntunan-Nya dalam segala sesuatu yang kamu kerjakan.

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Karuna Sankara, nama yang kupilih untuk bayi perempuanku. Dia lahir di bulan kesepuluh, hari kelima belas, pukul 04:00 pagi di salah satu klinik bidan di Surabaya. Dia anak perempuan yang menggemaskan dengan berat 3,3 kilogram dan panjang 52 cm. Sangat melegakan melihat dia lahir setelah perjuangan istriku melewati proses persalinan yang sungguh luar biasa.

Istriku merasakan kesakitan yang hebat dengan kontraksi-kontraksi yang sering bermunculan di hari Jumat sampai Senin. Selama empat hari itu, dia hampir tidak dapat tidur. Berdasarkan prediksi dokter, seharusnya Karuna lakhir tanggal 7 Oktober 2019, tetapi dia baru lahir di 15 Oktober 2019, pukul 04:00 pagi.

Beberapa jam sebelum Karuna lahir, tepatnya di hari Senin jam tiga sore kami diminta datang ke klinik untuk dilakukan tindakan pacu lewat selang infus. Tindakan ini menimbulkan rasa sakit yang lebih dalam persalinan normal. Tepat jam 12 malam, telah terjadi bukaan sempurna dan harusnya Karuna sudah siap dilahirkan.

Sebelumnya, sudah aku tanyakan berapa lama waktu untuk mengejan agar bayi kami lahir. Jawaban asisten bidan adalah maksimal dua jam, tapi dalam kurun waktu itu pun bayi kami belum lahir. Aku pun mulai panik dan tidak tega melihat istriku yang kesakitan luar biasa dengan merasakan tiap sobekannya.

Aku minta kepada asisten itu ntuk meminta rujukan saja ke rumah sakit tapi aku tidak tahu kenapa kami belum mendapatkan rujukan tersebut dan harus menunggu maksimal jam empat pagi. Aku keluar masuk ruang persalinan karena kasihan melihat istriku yang berjuang menanggung kesakitannya dalam persalinan ini. Lalu, datanglah anaknya bidan yang juga seorang bidan untuk membantu persalinan istriku.

Tepat pukul empat pagi, Karuna lahir dengan tangisannya. Namun, detak jantungnya kelihatannya tidak beres.

Aku izin pulang sebentar karena ada beberapa pekerjaan yang harus dibereskan terlebih dahulu. Agak berat bagiku untuk meninggalkan dua perempuanku sendirian. Di sini aku merasa sedikit bodoh. Meski aku tahu ada bidan yang menjaga, mengapa aku tetap meninggalkan mereka? Fatalnya, sampai di rumah aku pun ketiduran sampai jam 9 pagi. Sesegera mungkin aku kembali ke klinik dan memohon agar Karuna dibawa ke rumah sakit agar bisa ditangani lebih lanjut.

Aku bersama bidan dan asistennya membawa Karuna ke rumah sakit. Aku tahu istriku mencemaskan Karuna, karena seharusnya bayi yang baru lahir itu mendapatkan ASI dari ibunya, namun Karuna harus berjuang dahulu dengan sakitnya.

“Karuna kenapa, Hun?” pertanyaan itu selalu menempel di pikiranku.

Kucoba menenangkan diri tiap kali pertanyaan itu datang. Bidan menjawabku, “Tenang, Pak. Nanti akan baik-baik saja, karena terlalu lama dalam proses persalinannya.”

Perjuangan selama tiga hari

Setelah mendapatkan pertolongan intensif dari rumah sakit, hatiku sedikit lega. Kami menunggu, menangisi, dan menyesal mengapa ini harus terjadi kepada bayi kami. Padahal, kami selalu rutin cek kehamilan tiap bulan, bahkan seminggu sekali menjelang hari kelahiran.

Rekam medis Karuna dalam kandungan pun sangat baik. Tidak ada tanda-tanda buruk terkait kesehatannya. Namun, ketika dia lahir, yang kudapati malah hal lain. Istriku kesakitan dengan jahitan di perutnya yang cukup banyak, tapi seakan tak peduli akan sakitnya demi menemani Karuna.

Hari Jumat, kami merasa sepertinya Karuna tidak kuat bertahan dengan banyak selang di tubuhnya. Malam harinya, tubuhnya sempat drop dan dibutuhkan tindakan. Selang oksigen dipasang lewat mulutnya supaya dia tetap bisa bernafas.

Aku sungguh takut kalau-kalau memang benar Karuna meninggal. Jumat pukul 22:00, aku menulis sebuah tulisan untuknya:

Dear Karuna,

Kamu sedang apa di sana? Kenapa kamu masih suka dengan alat-alat bantu pernafasan itu? Tidakkah kamu ingin lepas itu semua untuk bermain denganku? Iya…bermain dengan bapak. Menunggumu terlahir adalah penantian terbesarku, tapi kenapa saat kamu lahir, kamu malah main sendiri dalam box itu?

Bapak gak bisa ikut main di situ, Karuna. Bapak gak mungkin bisa. Bapak melangkah masuk ruangan terluar saja sudah dilarang. Kenapa? Kenapa? Kau masih asyik di situ… AYOOO Karuna, come!

Bapak pengen pegang tangan mungilmu itu. Tapi, kenapa kamu pegang selang buat mainanmu?
Bapak pengen mencium bibirmu itu. Tapi kenapa kamu tak mau lepaskan selang itu?

Apa boleh bapak jadi selangmu, Karuna? Menggantikan apa yang kamu pegang dan kamu cium itu.

Apa boleh bapak jadi perbanmu, Karuna? Menggantikan apa yang melingkupi tubuhmu itu.

Mungkin bapakmu ini sudah gila, menginginkan dirinya menjadi benda mati hanya untuk menyentuhmu dan melingkupimu.

Mungkin bapakmu ini sudah tak waras, mengharapkan sesuatu yang mustahil dan bodoh.

Tapi, untuk apa ejekan gila dan tak waras itu jika bapakmu ini bisa menemanimu setiap waktu?

Waktu yang akan selalu berharga dan bernilai.
Tapi, ketika banyak orang ngomong, “Berarti anakmu lebih penting dari Tuhanmu ya?”
Pertanyaan itu memang tidak bisa aku jawab, karena secara teoritis pastilah Tuhan itu lebih penting darimu
Tapi hati bapakmu tidak membohongi kalau aku memilihmu.
Fakta ini menunjukkan kesalahan dalam diriku, sebagai manusia dan sebagai Bapak yang mengajarimu untuk takut akan Tuhan.

Bagian terakhir surat ini sangat berat bagiku, karena dari hal ini aku belajar memahami bagaimana perasaan Ayub yang tertulis dalam Alkitab. Benar apa yang Ayub katakan, bahwasannya manusia lahir dengan telanjang dan mati dengan telanjang pula; Allah yang memberi, Allah yang mengambil, terpujilah nama TUHAN (Ayub 1:21). Ayub mengatakan, kita harus menerima apa yang diberikan Allah, entah itu baik atau buruk menurut kita (Ayub 2:10b). Aku yang kehilangan seorang anak saja sakitnya luar biasa, apalagi Ayub yang kehilangan segalanya, sampai-sampai kesehatannya pun buruk. Namun, Ayub masih memandang Allah dengan benar.

Aku tahu aku menangisi anakku dengan keras, namun aku tahu juga Allah memiliki rencana yang baik menurut Dia, bukan menurutku. Aku belajar bersyukur di titik terendahku sekarang. Meski dulu mudah sekali aku mengucapkannya, tapi menerima kenyataan ini memang mengajarkanku banyak hal. Aku dan istriku belajar untuk tidak menyalahkan siapa pun, bahkan diri kami sendiri. Meskipun sering muncul penyesalan dan intimidasi, kami berusaha untuk mengutarakan hati kami sejujur-jujurnya dalam perbincangan kami dan dalam doa-doa kami.

Sebuah anugerah yang luar biasa untuk hadiah setahun pernikahan kami. Karuna meninggal di tanggal 19 Oktober 2019 pukul 00:00. Tangis dan kenangannya selalu kami simpan dan teladannya pun kami jaga.

Apakah Tuhan itu jahat terhadap kami? Nyatanya tidak. Tuhan tetap baik dalam ke-Mahakuasaan-Nya. Aku belajar dari anakku untuk mengampuni, sesuai dengan nama yang kami pilihkan untuknya pada bulan April 2019. Karuna berarti ‘mengampuni dan berbelas kasihan’. Karuna pergi untuk mengajari kami bagaimana untuk mengampuni diri kami, situasi, dan orang-orang yang terlibat dalam proses persalinan kemarin.

Karuna Sankara adalah anugerah indah yang Tuhan berikan kepada kami, meskipun kami mengantarkannya pergi dengan kesedihan dan tangisan.

“Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! TUHAN adalah bagianku, kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya” (Ratapan 3:22-24).

Baca Juga:

Memang Lidah Tak Bertulang, Tapi Firman-Nya Ada di Lidahku

“Kata-kata yang diucapkan sejatinya bukanlah sekadar ucapan, Yakobus berkata kata-kata kita bisa berkuasa memberikan berkat tapi juga bisa merusak (Yakobus 3:9-10).

Lantas, kata-kata seperti apa yang seharusnya keluar dari mulut kita?”

Bersyukur dan Percaya di Tengah Kesulitan, Sanggupkah?

Oleh Cana, Surabaya

Pimpinan di tempat kerjaku memanggilku di bulan Desember lalu dan menyampaikan bahwa kontrak kerjaku tidak akan dilanjutkan lagi.

“Oh Tuhan…kejutan apa lagi yang akan terjadi di tahun ini?” Pertanyaan ini segera muncul di benakku.

Sepanjang tahun 2019 lalu, rasanya mudah sekali menuliskan “kejutan-kejutan” yang tak terduga karena begitu banyak hal yang terjadi di luar perkiraanku dan tak terbayangkan sebelumnya.

Perasaan yang paling sering muncul adalah rasa takut dan khawatirku yang semakin menyesaki pikiran. Tahun 2019, suasana hatiku seperti roller-coaster yang naik turun tak tentu. Dimulai dari bulan Januari, bapakku terserang stroke dan harus dirawat di rumah sakit. Kemudian, disusul ibuku yang terkena tumor di payudara dan harus segera dioperasi. Belum selesai di sini, di pertengahan tahun, suamiku tidak dilanjutkan masa kontrak kerjanya. Beberapa bulan kemudian, adik perempuanku menderita sakit yang cukup aneh di bagian bibir.

Hal yang membuat hatiku hancur adalah ketika aku harus kehilangan anak pertamaku—seorang anak perempuan yang kuharap dapat kugendong dan kuajak beribadah bersama saat Natal dan tahun baru.

Namun, semuanya sirna. Anakku hanya bertahan hidup selama empat hari, kemudian pulang kembali ke pangkuan-Nya. Aku larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam saat kehilangan buah hatiku. Seharusnya Oktober 2019 adalah bulan yang kami nantikan untuk bisa bersama-sama dengannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Aku kira segala kegetiran ini berakhir di sini, ternyata belum. Awal Desember lalu, atasanku di tempat kerja meneleponku. Aku diminta menghadap ke ruangannya. Dia berkata bahwa kontrak kerjaku tidak akan diperpanjang dan masa kerjaku akan berakhir di Januari 2020.

Dari serentetan kejadian demi kejadian, aku mempertanyakan di manakah Dia dan segala penyertaan-Nya? Apakah aku tidak layak menerima segala hal yang baik? Apakah aku masih punya harapan ke depannya? Apakah aku perlu berharap lagi kepada-Nya? Mengapa semuanya terasa seperti sama saja?

Sejujurnya rasa khawatir, takut, sedih, dan kecewa sering datang dan membuatku hampir menyerah atas hidup ini. Namun di sisi lain, banyak orang mungkin bertahan untuk hidup sedangkan aku malah ingin menyerah untuk hidup.

Merenungkan kembali kehidupan

Setelah melahirkan, aku memiliki waktu cuti 3 bulan. Waktu yang cukup panjang untuk merenungkan segalanya, pikirku. Hari-hari aku lewati dengan menangis dan menyesal.

Aku tetap berusaha membaca firman Tuhan, khususnya kitab Ayub dan mendengarkan semangat-semangat yang diberikan oleh keluarga dan suamiku. Namun, semuanya terasa sama dan sepertinya tidak berdampak apa-apa. Aku masih menginginkan segalanya harus sejalan dengan apa yang aku inginkan. Aku ingin kedua orang tuaku tidak sakit. Aku ingin pekerjaan suamiku dilancarkan. Aku ingin anakku hidup dan aku masih bisa bekerja.

Mengapa semuanya terjadi? Apa salahku? Pertanyaan ini kuajukan pada Tuhan.

Tidak ada jawaban yang memuaskan logikaku. Sampai saat ini pun rasanya aku belum menemukan jawaban yang memuaskanku. Rasanya aku hanya diminta percaya saja dan tetap percaya akan apa yang Dia rencanakan…dan aku tidak tahu apa yang Dia rencanakan akan berakhir seperti apa ke depannya. Percaya…yah, cukup percaya tanpa perlu beralasan. Sesuatu yang teramat sulit aku lakukan.

Selama masa cuti melahirkan itu, aku lebih banyak di rumah, mengingat semua hal yang terjadi khususnya selama setahun belakangan. Aku berdoa dan belajar untuk membuka pikiranku satu demi satu hingga pelan-pelan mulai muncul rasa syukur.

Iya, benar kedua orang tuaku sakit. Tapi, bukankah Tuhan juga yang memberikan pemulihan? Sebelumnya, bapakku hanya bisa terbaring di kasur. Kemudian, bapak bisa naik kursi roda, memakai alat bantu jalan dan sekarang sudah bisa jalan sendiri meskipun kadang masih harus digandeng. “Iya, Tuhan menyertai orang tuaku,” kataku dalam hati.

Saat itu, ibuku tahu ada benjolan di bagian payudaranya. Kemudian, ajaibnya, dia bisa mendapatkan rumah sakit dnegan fasilitas yang baik untuk operasi melalui BPJS. Sampai sekarang, tidak ada benjolan yang sakit seperti dulu, meskipun kadang nyerinya masih terasa. Tapi, tidak perlu ada tindakan operasi lagi. “Iya, Tuhan, aku tahu,” kataku lagi dalam hati.

Aku diberitahu oleh ibuku tentang kondisi adik perempuanku yang sedang kuliah di Bandung. Sakitnya tidak segera sembuh, padahal sudah berobat ke sana ke mari. Kemudian, aku inisiatif bertanya ke temanku yang seorang dokter dan disarankan untuk berobat ke rekannya yang sesama dokter di Bandung. Adikku sembuh total! “Iya…iya, Tuhan, aku harusnya berterima kasih kepada-Mu,” pikirku.

Dan, ketika kontrak kerja suamiku dihentikan, tanpa ada jeda menganggur dia dipanggil dan diterima di tempat kerja baru dengan salary yang lebih baik dari sebelumnya. “Ya, aku tahu Engkau memelihara kami berdua,” kataku dalam hati.

“Tapi, untuk yang terakhir ini, saat anakku tidak ada, di manakah penyertaan-Mu Tuhan?” aku lanjut bertanya kepada-Nya.

Anak kami meninggal karena ada masalah pada paru-parunya, sehingga dia sulit bernafas. Ada beberapa teman yang mengatakn bahwa seorang anak dengan kondisi seperti itu kelak akan kesulitan dalam masa pertumbuhannya. Mungkin, inilah jalan terbaik. Sebagai ibu, tentu aku tidak setuju dengan pendapat ini awalnya. Tapi, pada akhirnya, aku pun menerimanya dan berpikir yang sama. “Tuhan, aku sulit menerima hal ini, tapi aku mau tetap percaya ini jalan yang terbaik dari-Mu,” kataku dalam hati.

Dan, untuk pekerjaanku yang akan berhenti di bulan Januari ini, aku masih belum memiliki rencana ingin mendaftar di mana dan belum diterima di tempat mana pun. Namun, aku memberanikan diri untuk mengikuti seleksi CPNS dan baru saja keluar pengumuman kalau aku lolos tahapan administrasi. “Iya, aku tahu, Engkau yang mengizinkanku lolos tahapan ini,” pikirku.

Setelah aku merenungkan satu demi satu peristiwa setahun ke belakang, aku bisa berkata, “Tuhan terima kasih. Ajarku bersyukur dan semakin mantap untuk mempercayai rencana-Mu untukku. Ke depannya, aku tidak tahu kejutan apa lagi yang terjadi, apakah itu baik atau buru. Baik atau buruknya itu menurut otakku manusia, tapi apa pun itu aku akan berusaha memilih untuk selalu percaya dan berharapa kepada-Mu.”

“Karena rancangan-Mu bukanlah rancanganku dan jalan-Mu bukanlah jalaku. Sebab Engkau tahu rancangan terbaik untukku, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadaku hari depan yang penuh harapan” (diadaptasi dari Yesaya 55:8 dan Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Imperfect: Menjadi Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

“Film besutan Ernest Prakasa dan istrinya, Meira Anastasia yang tayang perdana di akhir 2019 lalu mungkin menjadi film yang dinantikan banyak orang. Film ini mengangkat isu yang hangat di masyarakat saat ini: insecurity.

Bagaimana kamu berjuang mengatasi perasaan insecurity?”

Tetap Beriman di Tengah Kecelakaan

Oleh Christina, Yogyakarta

Jumat, 6 April 2018. Hari itu aku berjanji untuk menemui temanku di Surabaya. Dari Yogyakarta, aku berangkat menaiki Kereta Api Sancaka dan duduk di gerbong ekonomi 1 yang posisinya kira-kira empat gerbong di belakang lokomotif. Tepat pukul 16:40 kereta bertolak menuju Surabaya.

Aku sengaja memilih naik kereta api karena kupikir inilah transportasi yang paling aman. Tidak seperti bus yang kadang ugal-ugalan, naik kereta api terasa lebih tenang. Lajunya konstan, tinggal duduk lalu sampai di tujuan.

Sekitar jam setengah enam, kereta sudah melewati daerah kota Solo. Aku tidak tahu posisi kereta tepatnya berada di mana karena aku menghabiskan waktu dengan membaca buku. Hingga tiba-tiba kereta bergetar hebat. “Brakk!” Benturan keras terjadi. Semua penumpang kaget. Kira-kira tiga kali benturan itu terjadi, dan di benturan ketiga seluruh lampu di gerbong mati. Kereta berhenti total. Suasana gelap gulita, para penumpang panik dan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Kereta Sancaka yang aku tumpangi baru saja mengalami kecelakaan. Kereta menghantam sebuah truk pengangkut beton di sebuah perlintasan tanpa palang pintu. Lokomotif terguling dan tiga gerbong di belakangnya anjlok ke luar dari rel. Kurang lebih satu jam kami menanti dalam kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa karena cuaca di luar hujan deras dan kereta berhenti di tengah-tengah proyek pembangunan jalan tol. Tidak ada pemukiman warga sama sekali di dekat rel.

Aku tertunduk di kursiku dan hanya bisa berdoa, “Tuhan, semoga hujan ini segera berhenti.”

Tidak lama kemudian, seorang penumpang mendapatkan kabar bahwa sang masinis kereta gugur dalam kecelakaan ini. Beliau berusaha mengerem laju kereta sebisa mungkin, namun kecelakaan tetap tidak bisa dihindari. Aparat kepolisian mulai berdatangan untuk mengevakuasi kru kereta api dan penumpang yang terluka. Puji Tuhan hujan sudah berhenti.

Seorang polisi memintaku untuk keluar dari gerbong. Tapi, aku takut. Dari pintu kereta hingga menyentuh tanah terpaut jarak yang tinggi. Akhirnya polisi itu memanggil rekannya dan menggendongku supaya aku bisa keluar dari gerbong.

Aku bersama para penumpang lainnya berjalan melewati tanah berlumpur. Pikiranku serasa kosong. Aku masih tidak percaya kalau kereta yang kutumpangi itu mengalami kecelakaan, padahal di awal perjalanan aku yakin bahwa kereta adalah transportasi yang paling aman.

Warga desa menawarkan bantuan kepada para penumpang. Mereka membawa mobil pikap dan mengantarkan penumpang yang terburu-buru ke terminal terdekat supaya bisa segera melanjutkan perjalanan ke Surabaya naik bus. Bersama belasan penumpang lain, aku ikut naik pikap itu dan berharap supaya aku bisa segera tiba di Surabaya.

Hatiku sedikit lega saat tiba di dalam bus. Setidaknya aku aman dan bisa istirahat sebentar, pikirku. Namun, anggapanku salah. Masih syok atas kecelakaan yang baru saja terjadi, supir bus mengemudi dengan ugal-ugalan. Beberapa kali dia mengerem mendadak dan nyaris menabrak kendaraan lain.

Aku kembali tertunduk dan berdoa, sementara para penumpang kereta yang sekarang satu bus denganku berusaha menegur supir supaya lebih berhati-hati mengemudi. Tapi, teguran itu tidak digubris hingga akhirnya sekitar jam 12 malam, bus menabrak bus lain yang berada di depannya. Kepanikan pun melanda, lututku lemas. Penumpang lain ada yang mengamuk kepada sopir dan ada juga yang menangis.

Singkat cerita, semua penumpang kemudian diangkut menggunakan bus lain dari perusahaan bus yang sama. Jam dua dini hari aku tiba di Surabaya. Aku sungguh bersyukur karena Tuhan memberiku kesempatan untuk tiba di tujuan dengan selamat.

Dua kecelakaan yang terjadi dalam kurang dari enam jam bukanlah peristiwa yang aku harapkan. Itu adalah peristiwa yang tidak terduga, tidak terkendali, tidak terbayangkan, dan tidak pernah terjadi sebelumnya kepadaku. Tatkala kecelakaan itu terjadi, aku merasa begitu takut, apalagi aku bepergian seorang diri. Namun, satu yang kulakukan kala itu adalah berdoa. Dengan berdoa, Allah menguatkan imanku, sebagaimana Pemazmur yang mengatakan:

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku, aku tidak akan goyah” (Mazmur 62:2-3).

Ya, kecelakaan atau musibah apapun bisa terjadi kapan saja dalam kehidupan ini. Tidak ada jaminan bahwa hidup kita akan selalu mulus dan selalu terluput dari marabahaya. Namun, alih-alih membiarkan rasa takut akan musibah itu menguasai kita, kita bisa bersandar penuh kepada Allah yang di dalam Kristus telah memberikan janji penyertaan-Nya setiap waktu.

“Semuanya itu kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Baca Juga:

Ini Caraku Memberitakan Injil

Aku tidak setuju dengan cara penginjilan yang diharapkan oleh pendetaku. Kupikir cara itu bukanlah satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh orang Kristen untuk memberitakan Injil.

Tuhan Yesus, Terima Kasih untuk Tragedi Ini

Tuhan-Yesus-Terima-Kasih-untuk-Tragedi-Ini

Oleh Novi, Surabaya

Mungkin kisah hidupku tidak seindah cerita tentang Cinderella yang menemukan pangeran tampannya, atau tidak juga seromantis kisah Romeo dan Juliet yang rela berkorban demi pasangannya. Namun, ketika aku menyerahkan hidupku ke dalam tangan Tuhan, Dia membuat perjalanan hidupku indah pada waktunya. Inilah sepenggal kisah perjalanan hidupku yang ingin kubagikan kepadamu.

Dilahirkan di keluarga Kristen bukan berarti aku menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh. Sekalipun pada waktu SMP aku memutuskan untuk memberi diri dibaptis, aku belum sepenuhnya menghidupi iman percayaku. Aku baru mengalami lahir baru seutuhnya saat aku duduk di bangku kuliah dan belajar untuk aktif melayani Tuhan.

Ketika Tuhan mengizinkan tragedi terjadi di hidupku

Aku pikir setelah aku menerima Tuhan Yesus seutuhnya maka kehidupanku akan bertambah baik, tetapi kenyataan berkata lain. Aku harus kehilangan ayah yang dipanggil kembali kepada Tuhan di surga. Kehilangan sosok ayah membuat ekonomi keluarga kami terguncang sehingga ibu memutuskan untuk bekerja merantau ke luar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, adikku pun terjerat dalam narkoba hingga harus mendekam di penjara.

Saat itu aku sedang menempuh kuliah dan merasa begitu tertekan. Aku tidak tega melihat keadaan keluargaku yang seperti ini dan aku pun bertanya pada Tuhan, “Kenapa semua ini terjadi saat aku sudah menyerahkan hidupku untuk-Mu, Tuhan?” Tapi aku bersyukur karena ibuku tetap tegar. Dia bekerja sekuat tenaga di luar negeri untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarga kami.

Setelah lulus kuliah aku pun bekerja untuk membantu ibu mencukupi kebutuhan keluarga. Aku begitu bersemangat untuk bekerja hingga tidak menyadari kalau usiaku ternyata telah menginjak angka 30 tahun dan aku belum pernah sekalipun berpacaran! Lama-lama aku merasa stres karena banyak anggota keluarga yang selalu bertanya kepadaku, “Kapan kamu menikah?”

Saat aku mulai mencoba membuka diri untuk siap menjalin relasi, ada seorang temanku yang mengenalkanku dengan seorang pria. Singkat cerita kami saling berkenalan dan berteman. Tapi aku sendiri tidak yakin kalau dia adalah orang yang tepat buatku sekalipun kami sama-sama orang Kristen.

Suatu ketika dia bertanya kepadaku, “Apakah kamu lebih memilih apa kata Tuhan atau kata hatimu?” Aku pun menjawabnya kalau aku tentu lebih memilih apa kata Tuhan. Aku sendiri pun tidak tahu apa alasan dia bertanya seperti itu kepadaku. Semenjak saat itu perlahan dia mulai menghilang dariku dan terakhir kali kulihat dia telah bersama perempuan lain.

Sejujurnya walau saat itu kami masih hanya berstatus teman, tetapi aku merasa sakit hati karena dia meninggalkanku begitu saja. Ketika aku berdoa dan menangis kepada Tuhan, Roh Kudus mengingatkanku untuk taat dan berserah.

Sebuah pertemuan tidak terduga

Lambat laun aku mampu menjalani kehidupanku seperti biasa dan tidak terlalu berfokus memikirkan tentang pasangan hidup. Hingga aku tiba pada suatu kesempatan yang tidak pernah kuduga sebelumnya.

Suatu ketika di awal bulan Maret 2015 aku sedang berbelanja di sebuah supermarket dan bertemu dengan seorang teman SMA yang sudah 12 tahun tidak bertemu. Dulu kami tidak saling mengenal dan yang aku tahu kalau temanku itu adalah anak yang populer di sekolah karena dia adalah ketua OSIS dan setahuku dia juga disukai banyak teman-teman perempuan.

Aku pikir pertemuan itu hanya sebatas pertemuan biasa, tetapi di bulan Juli 2015 kami mulai lebih sering mengobrol. Kami berusaha saling mengenal satu sama lain hingga aku pun mengetahui kalau temanku itu sudah menjadi orang Kristen yang lahir baru. Saat kami sudah menjadi teman akrab, di bulan Oktober 2015 kami memutuskan untuk berpacaran. Kami pun meminta bimbingan dari kakak rohani di gereja untuk membimbing hubungan ini.

Kami berkomitmen untuk menjunjung tinggi kekudusan dalam hubungan kami. Kami hanya berpegangan tangan kalau diperlukan. Kami juga saling menguatkan, saling mengisi, saling menegur kalau kami salah. Bagiku kekudusan itu sangat penting. Aku memiliki komitmen kalau ciuman pertamaku nanti adalah ketika kami berada di altar gereja dalam pemberkatan pernikahan kami.

Saat ini kami berdua melayani kaum muda di gereja kami berjemaat. Kami mengajarkan adik-adik kami untuk menjaga kekudusan dan menggunakan masa muda mereka untuk melayani Tuhan yang adalah Raja segala raja. Di samping bekerja dan melayani, saat ini kami juga sedang mempersiapkan untuk memasuki perjalanan baru dalam hidup kami berdua. Ya, kami akan menikah di bulan Oktober 2017 nanti. Kami percaya Tuhan yang mempertemukan kami berdua, Dia juga yang akan menyiapkan semuanya.

Rancangan Tuhan adalah yang terbaik

Setiap peristiwa yang terjadi di dalam hidupku, entah itu baik ataupun buruk semuanya ditenun oleh Tuhan menjadi sesuatu yang indah. Tragedi yang terjadi di masa awal aku mengikut Tuhan itu membawaku pada suatu dilema, apakah aku mau tetap berserah kepada Tuhan dan menata hidupku atau menyesali keadaan dan mencari pelarian lain.

Lambat laun Tuhan mulai memulihkan keluargaku. Secara ekonomi perlahan kami bisa lepas dari jerat hutang dan adikku yang dulu pernah terlibat narkoba pun kita sudah terbebas dari segala jenis kecanduan. Aku telah merasakan pengalaman kalau pertolongan Tuhan tidak pernah terlambat dan aku tidak pernah menyesal karena menyerahkan hidupku kepada-Nya.

Pengalaman hidup yang telah kualami itu mengingatkanku bahwa setiap kita dilahirkan di dunia ini untuk memenuhi tujuan Tuhan. Tapi, seringkali kita menjauh dari tujuan itu karena kita “bingung” dengan urusan sendiri. Kita khawatir dengan banyak hal. Makan apa hari ini? Kerja di mana nanti? Kapankah pasangan hidup itu ditemukan? Dan banyak kekhawatiran lain.

Lewat kesaksian ini aku ingin mendorong teman-teman agar tidak pernah ragu memberikan masa muda kita kepada Tuhan. Kita tidak perlu khawatir tentang siapa yang menjadi pasangan hidup kita ataupun bagaimana masa depan kita kelak. Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan menjamin hidup kita. Apapun yang kita letakkan di bawah kaki-Nya tidak pernah sia-sia.

“Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.” (2 Timotius 2:4)

Baca Juga:

Ketika Aku Tidak Sependapat dengan Alkitab

Pernahkah kamu merasa tidak sependapat dengan apa yang Alkitab katakan? Aku pun pernah mengalaminya dan inilah yang kulakukan ketika aku tidak sependapat dengan Alkitab.

Ketika Tahun Baru Diawali dengan Tragedi

ketika-tahun-baru-diawali-dengan-tragedi

Oleh Aryanto Wijaya

Kita tentu berharap segala hal yang baik akan terjadi sepanjang tahun, tetapi benarkah kenyataannya pasti begitu?

Di minggu pertama tahun 2017, aku bertemu dengan sahabatku dan kami bercerita tentang resolusi masing-masing di tahun ini. Sahabatku itu baru beberapa bulan bekerja di sebuah kantor akuntan. Ia merasa lelah dengan pekerjaannya dan mencetuskan sebuah komentar, “Hmmm, entah deh tahun ini bakal seperti apa.” Sekalipun kami telah menyusun resolusi sebagai harapan di tahun baru, tetapi kami tetap tidak tahu apa yang akan terjadi di depan.

Setelah pertemuan itu, kami pun berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, di tengah malam, betapa kagetnya aku mendapati ponselku dikirimi pesan singkat dari sahabatku yang berisi, “Aku baru saja dijambret, tas dan semua isinya hilang.” Setelah dia mendapatkan pinjaman ponsel, dia menghubungiku dan menceritakan kejadiannya secara rinci.

Ada nada sedih dan kecewa dalam ucapan sahabatku itu. Dia tidak pernah menyangka jika awal tahun ini harus dibuka dengan sebuah tragedi kehilangan. Dia tentu tidak ingin mengalami kejadian ini, sekalipun dia telah menjaga dengan baik barang berharganya, tetapi pada akhirnya dia menjadi korban kejahatan.

Aku termenung dan turut berempati atas musibah yang baru saja dialami oleh sahabatku itu. Dalam hati aku berdoa agar Tuhan menguatkan dirinya dan supaya ia mampu mengampuni orang yang telah mencuri barangnya.

Kehilangan yang dialami oleh temanku mungkin hanyalah sebuah kehilangan benda fisik yang tidak seberapa nilainya dan bisa dicari kembali. Tapi, mungkin ada beberapa dari kita yang di awal tahun ini harus mengalami tragedi, entah itu divonis penyakit, kehilangan orang terkasih, kehilangan pekerjaan, ataupun harapan-harapan lain yang tak kunjung jadi kenyataan.

Mengalami musibah atau tragedi memang menyakitkan dan seolah mencabut kedamaian kita. Ketika awal tahun diawali dengan sebuah tragedi, akan mudah bagi kita untuk menjadi kecewa dan takut sepanjang hari-hari yang tersisa. Terkadang kita mungkin berpikir jika di awal saja sudah terjadi hal buruk, lantas bagaimana dengan hari-hari di depan nanti?

Sebagai orang Kristen, sekalipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita, satu yang pasti kita tahu adalah siapa yang menuntun langkah kita, Dialah Yesus. Firman Tuhan menyatakan kalau Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Mungkin hari-hari kita tidak selalu cerah, terkadang juga ada mendung yang menutupi, tetapi ibarat matahari yang tetap bersinar sekalipun di balik mendung, demikian jugalah Tuhan yang selalu menyertai kita dalam segala keadaan.

Mazmur Daud menggambarkan bahwa penyertaan Tuhan itu seperti tuntunan seorang gembala yang membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau dan air yang tenang (Mazmur 23). Satu tragedi di awal tahun bukan berarti seluruh hari sepanjang tahun akan terasa suram. Kita percaya kalau segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Allah (Roma 8:28).

Jadi, di tahun yang masih baru ini, maukah kita mempercayai Tuhan dan segala janji-Nya? Sebab ada tertulis rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Adakah yang salah dengan menginginkan hidup nyaman? Untuk menjawab pertanyaan ini, Julian memiliki 5 pertanyaan yang dapat kita renungkan.

Mengampuni Musuh Kita, Mungkinkah?

mengasihi-musuh-kita-mungkinkah

Oleh Charmain S.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Possible to Forgive Our Enemies?

Suatu sore di tahun 2015, seorang anak muda berjalan masuk ke dalam sebuah gereja. Para peserta rutin acara Pendalaman Alkitab mingguan gereja itu pun menyambutnya dan acara pun dimulai dan berjalan selama satu jam. Tiba-tiba, anak muda itu berdiri, mengambil sebuah pistol, dan menembaki semua orang di dalam ruangan itu. Dia menembaki setiap orang beberapa kali, mengeluarkan ungkapan rasisme, dan pergi meninggalkan gereja itu. Sembilan orang tewas malam itu, termasuk pendeta senior gereja itu.

Ini bukanlah adegan pembukaan dramatis dari sebuah film aksi. Ini adalah peristiwa nyata. Gereja itu adalah Gereja Emanuel African Methodist Episcopal di Charleston, South Carolina, Amerika Serikat. Sembilan orang yang terbunuh adalah para anggota gereja—dan seorang keturunan Amerika-Afrika. Anak muda itu adalah seorang anak muda berumur 21 tahun bernama Dylann Roof, seorang pria kulit putih yang kemudian mengaku bahwa dia melakukan aksi kejahatan itu dalam rangka memicu sebuah perang ras.

Kata-kata apa yang dapat mendeskripsikan tindakan yang sangat tidak berperikemanusiaan ini? Siapa yang dapat memahami kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh keluarga dan teman-teman korban? Pastinya mereka mengharapkan keadilan, atau bahkan ganti rugi.

Namun tidak seperti yang banyak orang pikirkan, keluarga korban-korban itu ternyata memberikan sebuah tanggapan yang luar biasa. Meskipun mereka berlinang air mata dan sulit berkata-kata, mereka memilih untuk mengampuni. Dalam pernyataan resmi mereka kepada Roof di persidangan, para kerabat yang berduka berdiri satu demi satu, menyatakan bahwa mereka mengampuni Roof dan mereka mendoakan dia.

Wow.

Bayangkan itu. Bayangkan seorang yang sangat jahat atau yang tidak suka denganmu, menghancurkan mereka yang kamu kasihi. Bagaimana reaksimu? Apakah kamu, seperti orang-orang percaya di Charleston, memilih untuk tidak membalas namun malah menawarkan pengampunan kepada musuhmu?

Dengan kekuatan kita sendiri, kemungkinan kita tidak dapat melakukannya. Tapi yang dimiliki oleh orang-orang percaya di Charleston, dan kita semua, adalah iman; iman di dalam Tuhan yang tidak hanya mati bagi musuh-musuh-Nya tapi juga mengampuni mereka. Sebagai orang Kristen, kita tahu benar perintah yang Yesus berikan dalam Matius 5:44, “Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Itu terdengar sangat sederhana dan begitu jelas, tapi kenyataannya hampir mustahil untuk menaati perintah ini.

Membaca berita tentang Charleston ini membuatku merefleksikan pengalaman pribadiku. Lima tahun lalu, seorang temanku ditusuk hingga mati oleh seorang pelaku setelah sebuah percobaan pelecehan seksual. Meskipun kita tidak ada hubungan darah, namun dia aku anggap seperti saudaraku sendiri. Kehilangan dia adalah seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting dalam hidupku. Aku benar-benar merasa kehilangan.

Pembunuhnya akhirnya ditangkap dan dihukum 26 tahun penjara. Ketika aku mendengar kabar tentang vonis hukuman tersebut, aku tidak merespons seperti yang dilakukan oleh orang-orang percaya di Charleston. “Itu tidak cukup,” temanku yang lain berkata, sama seperti yang aku juga pikirkan. Kami masih begitu marah. Aku begitu bergumul untuk dapat mengampuni.

Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya aku mendengar dan mengerti panggilan Tuhan untuk mengampuni. Melalui kisah Raja Daud, Tuhan melembutkan hatiku.

Ini adalah rangkumannya. Sebelum Daud menjadi raja, dia menghabiskan sekitar delapan tahun untuk lari dari Saul, raja Israel yang pertama, yang begitu ingin menghabisi dia. Itu adalah sebuah masa yang penuh ketegangan, ketakutan, dan penderitaan. Namun, bahkan ketika Daud mendapatkan kesempatan untuk membunuh Saul, dia tidak melakukannya. Dia tahu bahwa Saul adalah orang pilihan Tuhan. Dan ketika Saul akhirnya mati, dia bahkan berduka untuk kematian musuhnya itu (lihat 2 Samuel 1:11-12).

Tentunya, ketaatan Daud kepada Tuhanlah yang membuatnya memilih untuk tidak membalas Saul. Dan aku percaya bahwa seperti Daud, para kerabat korban-korban di Charleston juga melakukan hal yang sama, karena mereka menyadari bahwa Tuhanlah yang berkuasa atas Roof, sama seperti Dia juga berkuasa atas mereka. Hidup Roof ada di tangan Tuhan, bukan tangan mereka. Karena itu, mereka dapat berserah dalam ketaatan kepada Tuhan dan mengampuni musuh mereka.

Sama seperti itu, aku juga harus mengakui bahwa pembunuh temanku ada di tangan Tuhan, bukan di tanganku. Aku harus mengakui kuasa Tuhan atas diri pembunuh temanku. Jadi, meskipun terdengar aneh olehku saat itu, aku dapat mengucapkan pengampunan dan berdoa bagi pembunuh temanku itu. Hal itu tidak menghilangkan rasa duka yang kualami, namun tindakan pengampunan itu membebaskanku dari ilusi seolah-olah aku memiliki hak atas hidupnya—yang tadinya aku pikir aku berhak karena dia telah menyakitiku, karena dia adalah musuhku.

Aku percaya bahwa pengampunan adalah langkah pertama yang harus kita lakukan untuk mengasihi musuh-musuh kita.

Itu adalah sebuah langkah iman di dalam Tuhan yang Mahakuasa dan berdaulat. Dan tidak peduli apakah kita suka atau tidak, kita dahulu juga adalah musuh-musuh Tuhan. Namun Tuhan memilih untuk menyediakan jalan pengampunan bagi kita, sehingga “kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya” (Roma 5:10). Karena kita telah menerima pengampunan dari Tuhan, marilah kita juga mengampuni orang lain—bahkan musuh-musuh kita.

Adakah seseorang yang perlu kita ampuni hari ini?

Baca Juga:

Rencana Tuhan di Balik Retaknya Keluargaku

Felicia dan adiknya lahir di tengah keluarga yang dulunya lengkap. Namun saat Felicia kelas 1 SD dan adiknya masih berumur 3 tahun, mereka sudah sering mendengar mama dan papa mereka bertengkar setiap hari.

Pengalamanku Merasakan Gempa Nepal 2015

pengalamanku-merasakan-gempa-nepal-2015

Oleh S. A., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Reliving the Horrific 2015 Nepal Earthquake

25 April 2015. Itulah hari di mana temanku datang ke Nepal untuk mengujungiku (aku sedang menjalani satu tahun tugas penginjilan di Nepal). Itu juga hari di mana dunia menjadi saksi akan gempa bumi terdahsyat di Nepal sejak tahun 1934. Lebih dari 8.000 orang tewas dan lebih dari 21.000 orang terluka.

Temanku dan aku sedang mengikuti sebuah kebaktian di lantai 3 sebuah gereja pagi itu. Saat itu sedang waktu penyampaian khotbah dan sang pengkhotbah sedang membacakan firman Tuhan dari Kejadian 17 ketika seluruh gedung gereja mulai bergetar dengan hebat. Aku dapat mendengar gemuruh dari lantai di bawah kami; burung-burung di luar beterbangan ke segala arah, dan segala benda di sekitar kami berderak.

Datang dari negara Singapura yang bebas gempa, aku perlu beberapa saat untuk menyadari bahwa aku sedang berada di tengah gempa bumi—yang kemudian aku ketahui berskala 7,8 skala richter. Hal pertama yang kupikirkan adalah, “Aku harus keluar dari gedung ini!” Jadi aku mengambil tasku dan berdiri, bersiap untuk turun ke lantai dasar.

Namun ketika aku melihat sekitarku, aku tidak melihat seorang pun orang Nepal yang bergerak. Mereka tetap duduk atau berdiri, tangan mereka terangkat kepada Tuhan ketika mereka berdoa dengan sungguh-sungguh.

Aku langsung merasa malu ketika menyadari bagaimana reaksi pertamaku, tidak seperti mereka, bukanlah meminta pertolongan Tuhan. Jadi aku duduk lagi dan berdoa dengan sungguh. Aku berdoa agar Tuhan menjaga gedung gereja itu tetap berdiri. Aku berdoa agar Tuhan mengehentikan gempa bumi itu. Aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan kami. Tapi di pikiranku, aku tidak dapat tidak berpikir: “Ini adalah hari terakhir dalam hidupku.”

Setelah beberapa detik, getaran itu berhenti. Semua orang bersorak dan bertepuk tangan. Lalu getaran itu datang lagi. Lalu kita kembali berdoa. Gempa bumi itu berakhir kurang dari satu menit, tapi saat itu, terasa seperti selamanya. Getaran itu pada akhirnya berhenti dan kami dapat menuruni tangga dengan normal.

Beberapa jemaat tetap berada di ruangan dan menyanyi, “Dhanyabaad Yesu mero man dheki”, yang artinya “Terima kasih Yesus dari dalam hatiku”. Air mata membasahi mataku melihat mereka bernyanyi kepada Tuhan.

Tiba-tiba, ada sejumlah petugas di luar. Aku tidak dapat benar-benar mengerti apa yang terjadi karena aku kurang menguasai bahasa Nepal. Kami melihat beberapa orang berlari menuju gerbang biru gereja yang besar dan menutup gerbang itu. Kemudian kami baru mengetahui bahwa ada sekumpulan gajah yang menyerbu di luar dan mereka mau mencegah gajah-gajah itu masuk ke lingkungan gereja. Situasinya terasa begitu sulit dipercaya.

Kemudian, ketika kami berjalan pulang, kami melihat banyak batu bata yang mengelilingi rumah-rumah orang-orang telah runtuh. Orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok di tanah lapang terbuka, dan banyak yang berusaha menelepon. Di salah satu tempat, sebuah rumah berlantai tiga telah benar-benar hancur, dan polisi sedang mencoba untuk mengambil puing-puing yang ada. Sekitar 100 orang berkumpul di sana, beberapa menonton, beberapa mengambil foto. Kami tidak yakin apakah ada korban jiwa.

Selama sekitar satu jam, kami merasa seperti tanah di bawah kami bergoyang. Ada banyak kejutan-kejutan susulan di hari itu—dan beberapa hari, minggu, dan bulan setelahnya. Untuk beberapa hari berikutnya, kami tidur di tenda. Setiap pagi, kami menyanyikan lagu “10.000 Reasons” untuk mengingatkan kami bahwa setiap hari adalah hari untuk kita syukuri, dan berharap segala sesuatu menjadi lebih baik.

Orang-orang yang berbeda memberikan reaksi berbeda terhadap musibah itu. Beberapa rekan kerjaku mengalami trauma kecemasan pascatragedi dan harus pulang ke negara asal mereka untuk mendapatkan bantuan profesional dan menjalani proses pemulihan. Bagiku, aku tahu Tuhan memanggilku untuk tetap tinggal di sana—meskipun duta besar Singapura di New Delhi dan Menteri Luar Negeri telah menghubungi ibuku untuk bertanya tentang keadaanku dan menawarkan diri untuk mengevakuasi diriku. Saat itu, aku yakin bahwa aku harus tetap tinggal di sana sehingga aku dapat bersama orang-orang Nepal di sana, dan aku bersyukur karena orangtuaku menghormati keputusanku. Akhirnya aku tinggal di Nepal selama 18 bulan—hingga bulan Juli tahun ini.

Apakah gempa bumi itu masih berpengaruh kepadaku sekarang, setelah aku kembali ke Singapura?

Ya, dalam beberapa hal. Hingga sekarang, setiap kali aku mendengar suara yang serupa dengan alarm gempa bumi, tubuhku secara otomatis menjadi kaku dan langsung bereaksi seakan ada bahaya. Di minggu pertamaku setelah aku pulang ke rumah, ada beberapa kali ketika aku merasa tempat tidurku seperti bergoyang ketika aku sedang berbaring. Dan ketika aku naik kapal, getaran kapal yang ada di bawahku mengingatkanku akan gempa bumi itu.

Apakah itu berarti aku masih mengalami trauma? Tidak. Itu hanyalah sebuah “kebiasaan” yang aku perlu belajar hadapi. Melalui pengalamanku akan gempa bumi itu, aku kini mengerti lebih dalam akan ayat Alkitab dalam Yesaya 54:10, yang berbunyi, “Sebab biarpun gunung-gunung beranjak dan bukit-bukit bergoyang, tetapi kasih setia-Ku tidak akan beranjak dari padamu dan perjanjian damai-Ku tidak akan bergoyang, firman TUHAN, yang mengasihani engkau.”

Di tengah kekacauan, Tuhan tetap tidak tergoyahkan.

Baca Juga:

Aku Menjalani Hidup yang Sulit di Afrika, tapi Aku Bersyukur Karena Satu Hal Ini

Aku tinggal di Nigeria, sebuah negara yang menjadi pemenang negara paling optimistis di dunia tahun 2011 dan negara paling bahagia ke-6 di Afrika tahun 2016. Selama aku tinggal di negara ini, aku belajar sesuatu.