Posts

Tips Jitu Lawan Ekspektasi Bodong: Selaraskan Hatimu sama Tuhan

Oleh Jovita Hutanto, Jakarta

Ekspektasi. Bicara masalah ekspektasi, aku adalah orang yang tergolong dalam grup si pemimpi besar. Mimpinya berada di langit, tapi kenyataannya hanya bertapak di bumi. Kira-kira sejauh itulah ekspektasi dan realitaku. Oleh sebab itu, tidak jarang aku kecewa dengan kehidupan keseharianku, karena realitanya tidak sesuai dengan ekspektasi aku. 

Semakin besar gap antara ekspektasi dan realitanya, semakin tinggi rasa galaunya. Apakah ini akhirnya sering membuatku mengeluh? Pastinya (ngaku dulu hehe). Mungkin ada beberapa dari teman-teman yang bisa relate sama masalah “ekspektasi dan realita” ini. Kabar baiknya, aku punya beberapa kakak senior andalan yang sering memberikan masukan yang sangat bermanfaat dan tentunya relatable buat generasi kita ini. Kalau aku rangkum, ada 3 poin yang mereka sampaikan, boleh ya aku sharing juga di sini.

1. Stop comparing yourself to the others

“Berhenti membandingkan diri kalian dengan orang lain.”

Ini adalah masukan yang sering aku dapat dari kakak-kakak seniorku yang juga teman-teman baikku. Karena umur mereka lebih tua, dan pengalaman hidupnya jauh lebih banyak, mereka selalu mengingatkanku untuk tidak membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Social media is a lie. Percaya ga percaya, ekspektasi kita di zaman ini seringkali datangnya dari hasil scrolling kita di media sosial setiap harinya. Waktu diajak ngobrol sama kakak-kakak seniorku, mereka menegur, “Aduhh.. Lu kurang kerjaan ya, ini mah lu kebanyakan liat Instagram!” 

Aku baru sadar, ternyata kekecewaanku itu datangnya karena ke-iri-an melihat momen kebahagiaan teman-temanku di sosmed. Tetapi, kita tahu dong bahwa 99% postingan orang merupakan momen terbaik dalam hidupnya. Apakah mereka akan memperlihatkan seluruh realita hidupnya termasuk permasalahan hidupnya? Jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah ada yang menceritakan keburukan dan kegagalan hidupnya. Social media can be toxic jika kita tidak dapat mengolah informasinya, apalagi menjadikan apa yang diunggah orang lain patokan ekspektasi kita.

2. Know yourself before God

Kenali diri kita yang sesungguhnya di hadapan Tuhan, bukan di hadapan teman-teman yang ada di media sosial kita. Apa yang mereka capai, belum tentu apa yang harus kita capai.

Everyone has his/her own different stories. Jadi simpelnya, kita harus tahu apa yang menjadi porsi kita. Memang ada kalanya kita sudah mengerjakan semaksimal mungkin, tapi ternyata hasilnya masih tidak sesuai ekspektasi kita juga. Mungkin pertanyaannya adalah: apakah keinginan kita sudah sesuai dengan porsi kita? Kalau memang tidak tercapai, mungkin kata Tuhan memang bukan porsi kita, dan perlu di-review ulang di hadapan Tuhan. Setiap orang sudah diberikan Tuhan porsinya masing-masing dengan pertanggungjawabannya masing-masing juga. Semakin besar porsinya, semakin besar tanggung jawabnya, sehingga tidak perlu iri hati. 

“Hidup ini harus banyak bersyukur baru bisa hepi. Ngiri ga akan ada habisnya. Lu harus lihat ke dalam diri lu sendiri dan refleksi sama Tuhan,” kata kakak-kakak seniorku. Ternyata lihat ke dalam diri itu ga mudah, karena apanya yang mau dilihat, ya? Dan bagaimana kita tahu standar kesuksesan untuk diri kita? Untuk memudahkan, melihat ke dalam diri artinya menyesuaikan ekspektasi kita dengan porsi yang sudah Tuhan berikan pada kita.

3. Discernment is the key to understanding what God wants in our lives, therefore we know our expectations

Berat kan ya definisinya, karena kalau poin ini sih, aku belajar dari beberapa kakak yang sudah sangat senior. Apa sih discernment itu? Jadi, dalam konteks Kristiani, discernment merupakan sebuah kearifan dan ketajaman dalam mengetahui mana yang tepat dan mana yang tidak untuk diri kita melalui tuntunan Roh Kudus. Kearifan ini sebuah skill yang dibutuhkan untuk mengerti maunya Tuhan dalam hidup kita, sehingga kita tahu doa seperti apa yang perlu kita panjatkan dan panggilan atau goals seperti apa yang harus kita tuju. Dengan adanya discernment, tentunya akan lebih jarang doa permohonan berakhiran no, karena keinginan dan ekspektasi kita sudah selaras sama hati Tuhan. Kalau sudah satu hati dan satu tujuan sama Tuhan, pasti ekspektasi dan realita 75% sesuai. Tidak 100% sesuai, tapi sebagian besar pasti sesuai, terbukti dari kisah para raja dan nabi di perjanjian lama. Salah satu nya cerita Yusuf:

“Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu. Karena telah dua tahun ada kelaparan dalam negeri ini dan selama lima tahun lagi orang tidak akan membajak atau menuai…” (Kejadian 45:5-7).

Yusuf mengerti porsi dan panggilannya. Meskipun ia dijual menjadi budak raja Mesir, ia tidak pernah mengeluh ataupun menyesali masa-masa susahnya karena ia tahu bahwa Tuhan mempersiapkan dirinya untuk mendatangkan kebaikan bagi teman sebangsanya. Apa ga kurang pahit pengalamannya dijual oleh saudaranya menjadi budak? Apa lalu ia menyesali kehidupannya? Tidak, walau di awal ia mungkin tidak mengerti maksud dan rencana Tuhan, namun ia tidak pernah merasa iri dengan kakaknya ataupun meratapi nasibnya. Ia tetap mengerjakan yang terbaik, dan sampai pada akhirnya fokus Yusuf juga tetap pada porsi dan panggilannya—”memelihara kehidupan” Israel, supaya tidak mati kelaparan. Sehingga apa yang perlu ia keluh kesahkan di balik cerita pahitnya? Tidak ada, karena ekspektasi Yusuf dan realita yang dijalankannya sesuai 100%. Ia tahu betul bahwa inilah porsi yang diberikan dari Allah sendiri untuk dirinya (Kejadian 45:6, “Allah menyuruh aku mendahului kamu”). Jangan terbalik ya man-teman, yang menyesuaikan supaya terjadinya sebuah keselarasan hati bukan merupakan kompromisasi Tuhan yang mengikuti kemauan kita, tapi merupakan kerelaan hati kita yang mau mengikuti hati Tuhan. 

Aku sering dengar orang bilang, “Udehhh, ikuti kata hati aja.” Nah loh, hati siapa nih ini? Hati kita sendiri atau hati Tuhan? Karena kalau belum sehati sama Tuhan, kata hati kita kan belum tentu kata hati Tuhan. Hehe.. Oleh sebab itu, di sinilah pentingnya peran discernment, menyelaraskan dan menyatukan kedua hati supaya kedua belah pihak happy dan endingnya happily ever after. Walaupun idenya cukup mengawang, ternyata the gift of discernment ini lumayan bisa dilatih dan diterapkan dengan bantuan ilmu Psikologi. Ada 3 tahap discernment, yaitu: awareness, understanding, dan action.

Tahap 1: Awareness

Awareness itu boleh diibaratkan mobil polisi yang lagi ngiung-ngiung saat kejar maling atau kawal orang penting. Sama seperti lampu siren ini, seluruh indra kita harus dalam keadaan alert (siap siaga). Bukan hanya peka, tapi kita harus lebih peka dari biasanya—peka akan diri kita, sekeliling kita, dan suara Tuhan. Hal yang paling membantu adalah, menuliskan apa yang menjadi realita kita, keinginan kita, dan juga berdiskusi dengan orang di sekitar kita. Lalu bagaimana sih kita bisa dengar suara Tuhan? Suara Tuhan yang paling jelas dan mutlak benar ya hanya ada di Alkitab. Jadi jangan sampai tidak dibaca Alkitabnya. Di dalam tahap inilah, kita banyak-banyak mendengar dan mengobservasi.

Tahap 2: Understanding

Di tahap kedua ini, kita mulai mengolah semua informasi yang kita terima dari pemikiran kita, pendapat orang-orang di sekitar kita, dan penginterpretasian kita terhadap suara Tuhan. Tahap kedua ini cukup tricky, karena dapat menjebak jika kita salah menganalisis dan menginterpretasikan informasi yang kita dapat. Di sinilah diperlukannya ketajaman kita dalam memilih apa yang tepat untuk diri kita. Selain itu, kita perlu berdoa untuk memohon kebijaksanaan Tuhan. Kalau kata ai (tante-tante) yang pernah aku temui di retret gereja, “eh, kalau lu lang (orang) tu dekat-dekat sama Tuhan, doa doa, lu pasti lasa-lasa (rasa-rasa) itu Tuhan maunya cemana (gimana).” Siap ai!

Tahap 3: Action

Tahap terakhir adalah tahap pengambilan keputusan yang mudah-mudahan sudah selaras sama hati Tuhan. Sekalipun kita salah menganalisa dan mengambil keputusan, kalau intensi kita tulus bertujuan untuk mengikuti mau Tuhan, jangan khawatir, Tuhan pasti arahkan kembali ke jalan yang benar. Tuhan tidak sekejam itu untuk membiarkan kita jatuh selamanya.

Memang saat direalisasikan, menyelaraskan hati sama Tuhan itu tidak mudah, alias sulit. Menyelaraskan hati dengan orang rumah yang kelihatan aja susah, apalagi sama Tuhan ya yang wujudnya aja tidak bisa dilihat. Tidak kalah sering juga interpretasi kita akan jawaban tidak dari Tuhan dianggap sebagai hal yang memang belum waktunya sangking mengharapkan terwujudnya keinginan kita. Wajar dan lumrah banget kok… Tapi aku percaya, jika kita lebih aware, understand, and act accordingly, keinginan kita lama-kelamaan akan lebih sesuai dan selaras dengan kemauan Tuhan. Meminjam bahasa motivator, investasikan masa mudamu menyatukan hati dengan Tuhan, sudah terlalu banyak ekspektasi bodong karena kesalah-kaprahan anak muda akan porsinya.

5 Tips Mengatasi Rasa Malas Beribadah

5-tips-mengatasi-rasa-malas-beribadah

Oleh Helen Lee, Batam

Apakah kamu pernah merasa malas beribadah? Aku pernah mengalaminya, dan aku ingin menceritakan pengalamanku tentang apa yang membuatku malas beribadah, dan beberapa tips yang aku rasakan efektif untuk mengusir rasa malasku tersebut.

Aku bukan terlahir dalam keluarga Kristen. Jadi, ketika aku pertama kali mengenal Kristus, aku begitu bersemangat untuk mengenal Tuhan dan firman-Nya, dan beradaptasi di lingkungan Kristen.

Awalnya, aku tidak tahu apa itu ibadah atau bagaimana cara berdoa. Namun, karena ingin tahu, aku pun mencoba untuk pergi ke gereja dan ikut beribadah di sana. Saat pertama kali ibadah, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan dan semua lagu-lagu yang dinyanyikan terdengar asing bagiku. Aku hanya mengikuti teman-teman yang ada di sekitarku. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatku untuk beribadah dan mengenal Tuhan lebih dalam.

Aku pun mencari lagu-lagu yang dinyanyikan untuk aku dengarkan tiap hari dan aku juga mencari liriknya. Selain itu, aku juga membaca Alkitab agar aku dapat semakin memahaminya, apalagi setelah aku pindah ke kelas agama Kristen di sekolah. Aku perlu mempelajari sejarah tokoh-tokoh Alkitab sebagai persiapanku menghadapi ujian agama di sekolah. Intinya, aku begitu bersemangat untuk beribadah dan mengenal Tuhan lebih dalam.

Namun, keadaan itu berubah setelah beberapa tahun. Aku mulai sibuk bekerja sembari kuliah, yang menyebabkan waktu istirahatku berkurang. Aku hanya mempunyai waktu istirahat di hari Minggu dan hari libur. Hal itu membuatku lelah dan aku pun mulai malas ketika diajak beribadah. Banyak alasan yang aku kemukakan: banyak tugas, lelah karena kuliah, dan lain-lain. Namun, alasan sebenarnya tidak pernah aku katakan kepada mereka: aku malas. Sebenarnya, aku bisa saja bangun pagi di hari Minggu untuk beribadah, namun rasa malas itulah yang menghambatku.

Aku merasa, faktor kelelahan hanyalah salah satu faktor yang membuat seseorang malas beribadah. Beberapa alasan lain yang umum kutemukan adalah karena khotbah pendetanya membuat mengantuk, tidak ada teman, tidak diberi izin oleh orangtua, komunitasnya kurang asyik, ada si mantan di sana, kepahitan, atau kurang cocok dengan musiknya.

Tanpa kita sadari, alasan-alasan itu bisa jadi membuat kita menjauh dari gereja, dan kita pun mengalami yang namanya erosi rohani, di mana kerohanian kita sedikit demi sedikit terkikis. Awalnya mungkin ada perasaan tidak enak karena tidak beribadah. Namun, lambat laun perasaan itu pun hilang dan kita merasa baik-baik saja meskipun tidak beribadah dan tidak memiliki hubungan yang baik dengan Tuhan.

Aku pun sempat merasa malas untuk beribadah. Namun, aku berusaha untuk melawan rasa malas tersebut. Berikut adalah beberapa tips yang membantuku untuk melawan rasa malas beribadah.

1. Berdoa minta pertolongan Tuhan

Di saat kita merasa malas untuk berdoa atau beribadah, saat itulah kita perlu berdoa. Akuilah rasa malas itu di dalam doa kita, dan mintalah pertolongan Tuhan agar kita diberikan kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan melalui ibadah di gereja, dan diberikan kerinduan untuk mendengar dan melakukan firman-Nya.

2. Ajak teman-teman dan orang-orang yang kita kasihi untuk beribadah bersama

Dengan mengajak teman dan orang-orang yang kita kasihi seperti keluarga atau pacar untuk beribadah bersama, kita dapat saling mengingatkan dan bertumbuh bersama. Bahkan, kita juga dapat mengajak teman-teman kita yang juga malas beribadah untuk dapat beribadah bersama. Mungkin saja, mereka selama ini malas beribadah karena tidak ada yang mengajak mereka beribadah bersama.

3. Tolak godaan-godaan untuk tidak beribadah

“Sekali-sekali nggak ke gereja nggak apa-apa lah…”, “Enakan juga tidur daripada ke gereja…”, “Teman-teman juga banyak yang nggak ke gereja…”

Kata-kata di atas mungkin pernah melintas di pikiran kita yang menggoda kita untuk tidak beribadah. Atau mungkin ada juga teman-teman kita yang menggoda kita untuk tidak beribadah. Kita tidak dapat mencegah datangnya godaan, tetapi kita dapat menolak untuk mengikuti godaan tersebut. Godaan datang untuk menjatuhkan kita, tetapi kita dapat memilih untuk tetap teguh berdiri bersama dengan Tuhan.

4. Hindari ekspektasi yang berlebihan tentang gereja

Ada orang-orang yang malas datang beribadah karena mereka tidak suka dengan komunitas gereja. Mungkin ada hal-hal yang membuat kita kecewa atau tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Ingatlah bahwa tidak ada gereja yang sempurna, karena kita semua adalah orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa. Daripada menuntut gereja yang lebih baik, marilah kita turut membantu untuk membuat gereja kita menjadi lebih baik. Kita dapat menciptakan suasana yang lebih baik di gereja dan mengajak jiwa-jiwa baru untuk mengenal Tuhan dan bertumbuh bersama di gereja kita.

5. Cari firman Tuhan, bukan pendeta

Salah satu alasan umum yang membuat orang-orang malas beribadah adalah karena mereka merasa khotbah yang dibawakan oleh pendetanya membosankan. Sesungguhnya, setiap pendeta memiliki cara yang unik dalam membawakan firman. Ada yang menyampaikan dengan suara yang datar, ada yang humoris, ada pula yang menyampaikan dengan penuh semangat sehingga terdengar seperti teriakan. Namun, terlepas dari cara mereka membawakan firman tersebut, yang mereka bawakan adalah firman Tuhan.

2 Timotius 3:16-17 mengatakan, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Kita percaya firman Tuhan itulah yang berkuasa, bukan sang pendeta. Apabila kita dengan sungguh mendengar dan menyambut firman itu, dia akan berbuah. Ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat. (Markus 4:20).

* * *

Aku bersyukur karena Tuhan menolongku dalam perjuanganku untuk mengatasi rasa malas beribadah ini. Pada akhirnya, yang terpenting bukanlah ibadah yang dilihat oleh mata manusia, tetapi kerinduan hati kita untuk menemui Dia. “Karena bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” (1 Samuel 16:7).

Apakah teman-teman juga memiliki tips lain untuk mengatasi rasa malas ini? Silakan bagikan dalam kolom komentar di bawah ini ya.

“Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani 10:25)

Baca Juga:

Ketika Temanku Menjadi Tersangka Kasus Pembunuhan

Aku baru akan pergi tidur; waktu menunjukkan hampir jam 11 malam. Seperti biasa, aku memeriksa ponselku untuk terakhir kalinya sebelum tidur. Teman baikku, Linda, baru saja mengirimiku serentetan pesan. Apa yang akan kubaca adalah sesuatu yang mengerikan dan menghancurkan hati.

Baca kesaksian Joanna selengkapnya dalam artikel ini.

5 Hal yang Menolongku Lepas dari Kecanduan Bermain Game

lepas-dari-kecanduan-bermain-game

Oleh Charles Christian

Beberapa tahun yang lalu, aku mengenal sebuah game ponsel yang bernama “Temple Run”. Cara bermain game itu begitu sederhana: Larilah sejauh yang kamu bisa (jangan sampai jatuh ke jurang, menabrak penghalang, atau diterkam oleh monster) sambil menyelesaikan berbagai misi yang ada. Setiap hari, aku menghabiskan berjam-jam bermain dengan ponselku, mencoba untuk menyelesaikan beberapa misi dan mengumpulkan “koin-koin” sehingga aku bisa mendapatkan power-up dan berbagai karakter yang baru. Singkatnya, aku jadi kecanduan.

Setelah sebulan, aku menyadari ada sesuatu yang salah. Aku tidak menjawab ibuku yang meminta pertolonganku secepat biasanya. Aku tidak berdoa dan berelasi dengan orang-orang sebanyak biasanya. Aku juga jadi kurang tidur dan mataku seringkali menjadi lelah karena terus-menerus menatap layar ponselku—setelah 8 jam aku menatap layar komputer di kantor. Meskipun aku harus mengakui bahwa game ini sangat menyenangkan, aku tahu aku tidak boleh terus-menerus seperti ini. Game ini telah menyita terlalu banyak waktu-waktuku yang berharga.

Jadi aku memutuskan untuk berhenti bermain game itu sama sekali. Aku mempertimbangkan untuk membuang game tersebut dari ponselku, tapi memikirkan bahwa aku akan kehilangan dalam sekejap semua pencapaian yang telah susah-payah aku raih membuatku membatalkan niat itu. Tapi akhirnya, dua alasan yang meyakinkanku untuk membuang game itu: Itu adalah cara yang pasti untuk menghilangkan godaan secara total dan itu membantu menambah memori ponselku.

Sejak saat itu, aku mulai menggunakan waktu-waktu yang ada untuk membaca Alkitab dan belajar membuat aplikasi web. Ketika aku melihat lagi ke masa-masa itu, aku menemukan beberapa hal yang menolong melepaskanku dari kecanduan bermain game ini.

1. Pahami akar masalahnya

Masalah di balik kecanduan bermain game bukanlah game itu sendiri. Masalahnya adalah diriku—kekeliruanku dalam menentukan apa yang menjadi prioritasku. Mencari kesenangan telah menjadi prioritasku di atas hal-hal lain yang lebih penting seperti hubunganku dengan Tuhan dan keluargaku.

Yesus berkata, “Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Matius 6:24). Meskipun Yesus sedang berbicara tentang uang di dalam ayat tersebut, aku percaya prinsip ini berlaku untuk untuk apapun yang mengambil alih tempat Tuhan di dalam hidup kita.

Aku tahu aku perlu mengatur ulang prioritasku, menempatkan Tuhan sebagai yang pertama di atas segala hal lain dalam hidupku. Namun itu adalah sesuatu yang lebih mudah dikatakan daripada dilakukan, dan kita membutuhkan pertolongan Tuhan dan butuh diingatkan secara rutin untuk membuat prioritas yang benar di dalam hidup kita.

2. Timbang keuntungan dan risiko jangka panjangnya

Secara alami kita akan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan dan risiko-risiko jangka pendek, dan berpikir bahwa kita baik-baik saja. Jika kita melihat jangka pendek, keuntungan-keuntungan yang ada akan selalu lebih besar daripada risiko-risiko yang ada. Pada awalnya, aku tidak melihat ada risiko yang signifikan dari bermain “Temple Run”—bagaimanapun juga, game ini begitu menyenangkan.

Tapi ketika aku mulai melihat risiko-risiko jangka panjang yang ada dan membandingkannya dengan keuntungan-keuntungan jangka panjangnya, aku menyadari betapa banyak hal yang aku korbankan. Dalam jangka panjang, aku akan membuang banyak waktu, melewatkan banyak kesempatan, memperburuk banyak hubungan, dan bahkan, merusak kesehatanku. Adakah keuntungannya? Yah, mendapatkan kesenangan. Tapi itu tidak sebanding dengan apa yang harus aku korbankan.

Kita perlu untuk secara sengaja mempertimbangkan dampak-dampak jangka panjang yang mungkin muncul dari tindakan kita. Inilah yang Yesus katakan tentang diri-Nya ketika Dia tahu bahwa Dia harus mati di atas kayu salib. Ibrani 12:2 memberitahu kita, “Yesus … dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” Meskipun memikul salib adalah sebuah penderitaan bagi-Nya, Dia melihat keuntungan jangka panjang yang ada—sukacita yang dihasilkan dari pengorbanan-Nya—dan dengan setia dan taat memikul salib tersebut.

3. Berhenti sepenuhnya

Beberapa orang percaya bahwa menghilangkan kebiasaan buruk adalah sebuah proses sedikit demi sedikit. Contohnya, jika kamu ingin menghilangkan kebiasaan bermain game di ponselmu, mulailah dengan mengurangi jumlah jam bermain setiap minggu: 5 jam minggu ini, lalu kurangi jadi 4 jam pada minggu berikutnya, dan seterusnya. Pada akhirnya, kamu akan berhenti bermain sepenuhnya. Meskipun beberapa orang berhasil menggunakan cara ini, cara ini tidak berhasil untukku. Cara ini hanya membuatku mencari alasan untuk tetap bermain “satu kali lagi”.

Berhenti sama sekali adalah cara yang paling efektif bagiku. Itu menghindariku dari lingkaran “bermain-satu-kali-lagi-saja” yang membuatku jauh lebih sulit untuk berhenti. Selain itu, aku juga mendapatkan keuntungan instan. Tiba-tiba, aku mempunyai begitu banyak waktu kosong!

Untukku, pertemuan Yesus dengan perempuan Samaria yang berdosa telah menolongku untuk mengambil keputusan ini. Ingat apa yang Yesus katakan di akhir kisah tersebut? Yesus berkata kepada perempuan itu, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:11). Itu adalah sebuah perintah untuk berubah 180 derajat. Tuhan ingin kita meninggalkan dosa-dosa kita sepenuhnya.

4. Ganti kebiasaan lama dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik

Dengan waktu kosong yang kini kamu peroleh, penting untuk menemukan sebuah hobi baru atau kebiasaan baru yang memungkinkanmu menggunakan waktumu dengan bijak dan tidak tergoda untuk kembali kepada cara hidupmu yang lama. Dalam pengalamanku, aku memutuskan untuk menggunakan waktuku untuk membaca Alkitab dan mempelajari keahlian baru, yaitu membuat aplikasi web.

5. Cari orang yang kamu percaya untuk membantumu

Alkitab memberitahu kita bahwa kita menjadi lebih kuat ketika kita berjalan bersama-sama. Pengkhotbah 4:9-10 berkata, “Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!” Aku percaya ada banyak manfaat yang kita dapatkan dari mempunyai seseorang yang dapat kita percayai untuk membantu kita, seseorang yang dapat kita ajak berbagi pergumulan-pergumulan kita dan menolong kita mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Kita juga dapat menjadi bagian dari sebuah kelompok yang saling mendukung satu sama lain.

Sebagai seorang introvert, tidak mudah bagiku untuk menceritakan masalahku dengan orang lain. Jadi awalnya, aku belajar untuk menceritakan pergumulanku dengan Tuhan di dalam doa. Dan oleh karena anugerah-Nya, Dia memberikanku beberapa teman yang dapat dipercaya. Mereka telah menjadi bagian penting dalam menolongku untuk tetap setia dalam komitmen yang telah aku buat.

Apakah kamu ingin lepas dari kecanduanmu juga? Satu hal penting yang perlu kita ingat adalah ini: tindakan-tindakan kita tidak hanya mempengaruhi diri kita sendiri. Pikirkanlah orang-orang yang kita kasihi dan pikirkanlah bagaimana tindakan-tindakan kita mempengaruhi mereka jika kita tidak berubah. Namun di atas segalanya, pikirkanlah segala hal yang telah Tuhan berikan bagi kita dan harga yang telah Yesus bayar di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita.

Karena Dia, hidup kita diubahkan. Dan kiranya kita dapat terus diubahkan oleh-Nya menjadi pribadi yang lebih baik.

Baca Juga:

Sebuah Pesan Berharga dari Christina Grimmie

Berita pembunuhan Christina Grimmie, penyanyi Amerika berusia 22 tahun yang begitu terkenal di YouTube dan finalis The Voice USA (Musim ke-6), begitu mengejutkan. Dunia berduka mendengarnya. Namun, ada satu pesan berharga yang ditinggalkan oleh Christina.

5 Tips Menghentikan Kebiasaan Bergosip

5-tips-menghentikan-kebiasaan-bergosip

Oleh Gracea E. S. Sembiring

Siapa yang tidak suka bergosip? Mulai dari ibu-ibu rumah tangga, bapak-bapak di kedai kopi, orang-orang di kantor, guru-guru di sekolah, mahasiswa-mahasiswi di kampus, anak sekolahan, bahkan anak-anak TK pun sudah ada yang suka bergosip. Aku baru menyadari hal ini ketika keponakanku menceritakan tentang perilaku teman-temannya di sekolah. Bahkan, beberapa orang di gereja pun turut ambil bagian dalam aktivitas ini. Tidak heran jika program gosip dengan berbagai nama dipertontonkan di layar televisi mulai dari pagi sampai sore.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gosip adalah “obrolan tentang orang-orang lain; cerita negatif tentang seseorang; pergunjingan”. Orang yang suka menggosip disebut sebagai penggosip. Jadi, jika mengacu kepada definisi KBBI, mungkin kita dapat menemukan banyak penggosip yang ada di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita juga adalah seorang di antaranya?

Bergosip mungkin adalah hal yang sangat menyenangkan bagi kita. Bahkan ada perkataan yang mengatakan, “makin digosok, makin sip!” Namun, tentunya kita tahu bahwa kebiasaan bergosip ini tidaklah baik. Masalahnya, meskipun kita tahu bahwa bergosip itu tidak baik, kadang kita sulit untuk melepaskan kebiasaan buruk ini. Oleh karena itu, saat ini aku ingin membagikan 5 tips yang menurutku efektif untuk membantuku menghentikan kebiasaan bergosip.

1. Berpikir sebelum berkata-kata

Kita dapat mulai belajar berhenti bergosip dengan belajar berpikir sebelum berkata-kata. Jangan terlalu cepat mengatakan sesuatu. Sebelum kita katakan, kita dapat pikirkan dulu baik-baik, apakah perkataan yang kita akan katakan ini adalah perkataan yang membangun.

Lidah kita yang kita gunakan untuk berbicara ini, meskipun kecil namun dapat mematikan. Tentang lidah, Tuhan telah memberi kita peringatan dalam Yakobus 3:5, “Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar.”

Ingatkah kamu dengan lagu sekolah minggu “Hati-Hati Gunakan Mulutmu”? Atau pernahkah kamu mendengar pepatah yang mengatakan bahwa “fitnah (gosip) lebih kejam dari pembunuhan”? Lidah yang tidak dikendalikan dengan baik adalah awal mula dari gosip. Jadi, yuk mulai sekarang kita lebih hati-hati menggunakan lidah kita.

2. Alihkan gosip ke percakapan positif

Ketika kita diajak bergosip, kita dapat mengalihkan pembicaraan ke percakapan yang positif. Memang tidak mudah, apalagi ketika berkumpul dengan teman-teman yang suka bergosip. Tapi ini tidak mustahil.

Ketika percakapan sudah mulai mengarah kepada gosip, kita bisa mengambil peran untuk mengalihkan perbincangan. Misalnya membahas tentang buku, film, destinasi wisata yang baru, atau topik-topik lain yang membuat percakapan menjadi lebih positif. Ingatlah apa yang Paulus katakan dalam Efesus 4:29, “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.”

3. Menghindar dari percakapan gosip

Aku teringat ketika masih kuliah, setiap kali aku janjian kerja kelompok dengan teman-teman cewek akan berujung dengan “ngobrol”. Apapun dibicarakan, mulai dari menggosipkan teman-teman kampus sampai kepada artis-artis yang bahkan kami tidak kenal sedikitpun. Dalam situasi seperti itu, kita dapat menghindar agar tidak jatuh dalam pencobaan untuk ikut-ikutan bergosip. Ini menjadi kesempatan kita untuk bersaksi dan memancarkan terang kita. Jika memungkinkan, kita juga dapat menegur teman-teman kita yang bergosip. Tentunya menegurnya di dalam kasih, ya.

4. Belajar untuk mengasihi

Saat kita tidak mengasihi seseorang, sangatlah mudah bagi kita untuk melihat dan membicarakan kelemahannya. Namun, jika kita menyadari bahwa kita tidaklah sempurna (tidak ada manusia yang sempurna), namun kita begitu dikasihi Tuhan, kita akan lebih mudah mengasihi orang lain. Ketika kita mengasihi seseorang, tentunya kita tidak akan menggosipkannya. Jadi, kita dapat belajar berhenti bergosip dengan belajar mengasihi sesama kita, seperti apa yang diperintahkan Tuhan dalam Matius 22:39b, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”

5. Menjaga hubungan pribadi dengan Tuhan

Seberapa dekat hubungan pribadi kita dengan Allah akan memberikan kita kepekaan untuk berhenti bergosip. Setiap kali Iblis mencoba untuk menggoda kita bergosip dan berbuat dosa, Roh Kudus akan mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam godaan itu. Tetaplah jaga hubungan yang akrab dengan Allah agar kita dapat lebih peka akan suara Roh Kudus di dalam hati kita.

Yuk kita hentikan bergosip dan mulai mengasihi!

Baca Juga:

Pergumulanku Sebagai Seorang yang Disebut Munafik

“Apakah aku seorang munafik?” Inilah pertanyaan yang ditanyakan oleh Kezia. Ternyata ia mendapati jawabannya adalah ya, dia adalah seorang munafik. Tapi tidak seperti yang dunia ini pahami. Pada akhirnya, ia menemukan mengapa ia menjadi seorang yang munafik. Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.