Posts

Seorang Tetangga yang Mengajarkanku tentang Berbuat Baik

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sepulang kantor, kulihat langit masih cerah walaupun matahari mulai tenggelam. Suara keroncongan terdengar dari perutku. Sel-sel dalam otak pun mulai memilah-milah warung makan mana yang sudah buka di sekitar tempat kerjaku sambil aku terus berjalan ke parkiran. Setelah kutemukan motor bebek milik kantor yang dipinjamkan padaku, segera kunyalakan mesinnya. Kuoper persneling ke nomor satu, memutar handle gas, dan melaju ke warung pecel lele kesukaanku. Warung pecel lele ini terletak tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan kecepatan normal, kira-kira sepuluh menit aku bisa tiba..

Begitu sampai di sana, segera kupesan menu favoritku: lele goreng! Tak perlu waktu lama, sepiring lele goreng, nasi, dan es jeruk tersaji di depanku. Semuanya kulahap sampai tak bersisa. Kutepuk perut kenyangku sambil tersenyum. Memang, pecel lele tiada duanya! Setelah makan, aku pun bersiap-siap kembali ke mes karyawan yang berada di kompleks tempat kerjaku. Oh ya, kala itu aku berkarier sebagai salah seorang karyawan hotel di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Saat sudah meninggalkan warung itu beberapa ratus meter, tiba-tiba hujan turun. Aku tidak membawa jas hujan. Langsung saja aku basah kuyup. Tapi, tetap kuputuskan untuk meneruskan perjalanan pulang karena tidak lama lagi aku akan sampai di mes dan bisa segera mandi.

Diguyur hujan, naluriku mendorongku untuk meningkatkan laju motor tanpa menyadari akan licinnya jalan yang dibasahi hujan, dan potensi kecelakaan yang bisa terjadi. Yang ada dalam pikiranku hanyalah bisa sampai di mes sesegera mungkin. Namun, tiba-tiba dalam sekejap aku merasakan kedua tanganku sudah terlepas dari motor yang aku tunggangi! Peristiwa itu terjadi begitu cepat, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku sudah terhempas beberapa meter dari motorku yang sudah jatuh di aspal. Tatapan mataku kabur karena kacamataku juga jatuh entah di mana. Aku berusaha mencarinya di kegelapan senja dengan bantuan cahaya dari ponsel yang masih menyala.

Ketika aku masih meraba-raba tanah di sekitar untuk mencari kacamataku, kulihat cahaya motor yang datang dari arah berlawanan. Ada seorang pria yang mengenakan jas hujan turun dari motornya dan berhenti tepat di depanku yang sedang tergeletak. Ia langsung mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Setelah itu dia maju beberapa meter untuk mengangkat motorku.

Aku tidak kenal siapa dirinya. Namun, tidak lama kemudian pria itu bertanya tentang kondisiku yang kujawab bahwa aku baik-baik saja. Lalu aku mencoba berjalan ke arah motorku dengan tertatih-tatih. Aku memang agak sulit berjalan, tapi aku terus berpikir bahwa diriku baik-baik saja. Padahal kenyataannya, aku tidak sadar bahwa beberapa bagian tubuhku mengalami luka-luka dan memar.

Pria ini sempat memberikan tawaran untuk mengantarku pulang, namun aku enggan menerima karena sungkan merepotkannya. Lantas dia memperkenalkan dirinya sebagai kakak dari salah seorang rekan kerjaku. Mungkin dia mengenaliku sebagai teman kerja adiknya dari seragam yang masih menempel di tubuhku. Kemudian dia memintaku untuk tidak merasa segan karena dia juga warga setempat.

Sambil berbicara, kucoba menyalakan motorku. Pria itu masih membantuku menahan beban motorku yang berat. Puji Tuhan, ternyata mesin motor masih bisa menyala. Aku mengatakan kepada pria itu bahwa aku masih bisa pulang sendiri, walaupun aku mulai merasakan perih di beberapa bagian tubuhku yang luka-luka. Sembari menghaturkan terima kasih atas kebaikannya, aku juga mengucapkan selamat tinggal.

Merasakan Pengalaman dari Kisah Orang Samaria yang Baik Hati

Kawan, beberapa tahun setelah peristiwa ini, ketika aku membaca kembali perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:30-35), aku menyadari bahwa aku telah merasakan kebaikan dari seorang tetangga yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetangga ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan diriku. Kami tidak datang dari kota yang sama, bukan suku yang sama, dan juga tidak memeluk agama yang sama. Namun, dengan tanpa pamrih, di tengah hujan yang cukup deras, dia rela berhenti untuk menolong seseorang yang jatuh dari motornya. Dan bukan itu saja, dia yang mungkin sedang dalam perjalanan ke sebuah tempat, juga rela untuk mengantarkan orang yang baru mengalami kecelakaan ini untuk pulang ke rumahnya.

Dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati, Yesus menceritakan bahwa ada seseorang yang sedang berada dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho. Orang itu bertemu dengan perampok-perampok yang bukan saja mengambil seluruh hartanya, tapi juga memukulnya sampai babak belur hingga ia terkapar setengah mati.

Kemudian ada seorang imam yang kebetulan melalui jalan itu. Sang imam melihat orang yang terkapar tersebut, tetapi ia hanya melewatinya dari sisi jalan yang lain. Lalu seorang Lewi juga kebetulan melalui jalan tersebut. Dia pun tidak memedulikan orang yang sudah sekarat itu dan terus berjalan seakan tidak ada sesuatu yang terjadi. Beberapa pakar Alkitab meyakini bahwa sang imam dan Lewi tidak mau menajiskan diri setelah mereka memimpin ibadah yang kudus di Bait Allah yang berada di kota Yerusalem.

Memang benar, aku tidak berjumpa dengan seorang imam dan orang Lewi di dalam peristiwa yang aku alami. Namun, aku menemukan diriku yang sering beraksi seperti imam dan Lewi dalam cerita itu.

Aku tahu bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia adalah perintah utama dari taurat, dan kedua hal ini adalah paket yang tidak terpisahkan dalam kehidupan orang Kristen. Namun, aku gagal untuk memberikan uluran tangan sebagai bentuk kasihku kepada sesama, karena keegoisanku.

Aku menjadi seperti sang imam dan Lewi yang mencari-cari alasan untuk tidak mengulurkan tangan sama sekali. Aku berpikir terlalu keras dan mempertimbangkan terlalu banyak alasan sampai akhirnya aku mau mengatakan “iya” untuk meringankan beban orang lain. Hal tersebut membuatku sadar bahwa diriku ternyata “pilih-pilih kasih” ketika hendak menyatakan kebaikan pada orang lain. Contohnya, aku lebih dapat mengasihi orang-orang yang memiliki latar belakang yang mirip denganku, serta giat membantu teman-temanku dengan menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti mereka juga akan membantuku. Namun, ketika aku tidak mendapatkan balasan dengan kualitas kasih dan perhatian yang sama, aku mulai merasa kecewa.

Ya, aku memiliki pandangan dan sikap yang salah. Padahal, mengasihi sesama manusia dengan berbuat baik adalah panggilan kita yang sudah terlebih dahulu menerima kasih dan kebaikan yang besar dari Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus yang melepaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Tak sampai di situ, Tuhan juga terus memelihara hidup kita dengan menambahkan anugerah demi anugerah yang dapat kita rasakan setiap harinya.

Ketika aku merefleksikan kembali insiden yang pernah menimpaku tersebut, aku bersyukur bahwa Tuhan memberikan sebuah pembelajaran yang berharga kepadaku tentang mengasihi sesama melalui perbuatan baik. Dan melalui tetangga yang telah menolongku, aku belajar seperti apa yang dikatakan oleh John Wesley, bapak gereja Methodist,

“Lakukan semua kebaikan yang Anda bisa, dengan segala sumber daya yang Anda bisa, dengan semua cara yang Anda bisa, di semua tempat yang Anda bisa, setiap saat Anda bisa, kepada semua orang yang Anda bisa, selama Anda bisa.”

Kawan, di akhir perumpamaan Yesus memberikan sebuah ajakan kepada pendengar-Nya dan kita semua pada hari ini, “Pergi dan perbuatlah demikian.” (Luk. 10:37b). Yuk, mari kita pergi dan membagikan kasih Allah melalui hidup kita. Ya, bagikan kasih Allah kepada sesama untuk kemuliaan nama-Nya!