Posts

Memprioritaskan Tuhan di Tengah Waktu Dunia yang Terbatas

Oleh Mary Anita, Surabaya

Hari Minggu yang lalu diawali dengan kabar memilukan. Teroris menyerang tiga gereja di Surabaya, kota tempat tinggalku dengan meledakkan bom. Kaget dan tak menyangka. Kabar ini seperti mimpi buruk di siang bolong.

Pagi itu aku belum sempat ke gereja, dan kupikir aku tetap bisa ke gereja di sore hari. Tapi, demi alasan keamanan, pihak kepolisian meminta semua gereja di Surabaya meniadakan ibadah. Beberapa gereja kemudian menyiarkan khotbah dalam bentuk online, dan kami dihimbau untuk berkumpul di tempat yang aman dan saling menguatkan satu sama lain. Pengalaman ini baru pertama kali terjadi dalam hidupku.

Dengan hati pedih, aku berpikir, “Ya Tuhan, untuk beribadah ke gereja di hari Minggu mencari Tuhan, perlukah umat-Mu sampai harus melewati kesulitan seperti ini? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku untuk bersekutu mencari-Mu?” Teror ini membuatku takut. Namun, saat itu Roh Kudus menyadarkanku bahwa daripada larut dalam ketakutan, aku dapat menggunakan momen ini untuk mengoreksi diriku sendiri. Peristiwa teror ini seakan menampar wajahku. Sebagai orang Kristen yang katanya sudah lahir baru, aku mendapati kalau terkadang diriku masih suka sekenanya saja dengan Tuhan.

Aku memang rutin hadir di gereja, rajin saat teduh, juga ikut pendalaman Alkitab. Tapi, nyatanya, aktivitas yang tampaknya rohani itu bukanlah jaminan kalau aku sungguh-sungguh mencari Tuhan. Ada saat di mana semangatku berkobar-kobar mencari Tuhan dan aku rajin bersaat teduh, tapi sering pula sikapku asal-asalan.

Ketika distraksi demi distraksi menghampiriku, aku dengan mudah melengserkan Tuhan dari prioritasku. Ketika aku pulang ke rumah larut malam setelah bekerja, aku hanya sekadar berdoa sebelum tidur. Kalaupun bersaat teduh, seringkali aku melakukannya hanya di waktu sisaku. Hasilnya aku lebih banyak mengantuk daripada mengerti firman Tuhan. Tapi, kalau soal hiburan seperti nonton televisi dan bermain media sosial, aku bisa berjam-jam lupa waktu. Di gereja pun, pikiranku melayang-layang, lebih sering berpikir tentang kekhawatiran masalah hidup daripada Tuhan sendiri.

Efesus 5:15-16 mengatakan demikian:
“Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.”

Aku sadar. Aku perlu bertobat dan memperbaiki sikap hatiku, memprioritaskan Tuhan dalam waktu keseharianku. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk setiap saat mencari wajah-Nya, sehingga bukanlah keputusan yang bijaksana apabila aku mengabaikan-Nya di tengah-tengah waktu yang Dia karuniakan kepadaku.

Kehidupan bisa berakhir kapan saja. Pun kita tidak tahu sampai kapan kita bisa dengan leluasa datang beribadah dan bersekutu bersama orang percaya untuk menyembah Tuhan. Hanya Tuhanlah yang kekal dan setia selama-lamanya. Hari itu, aku berkomitmen dan memulai perjuangan untuk memiliki hati yang selalu lapar dan haus akan firman-Nya. Aku membutuhkan Roh Kudus supaya hidupku dapat dipersembahkan sepenuhnya untuk kemuliaan-Nya. Tak ada waktu yang sia-sia jika kita investasikan itu untuk bersekutu dengan-Nya.

“Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat!” (Yesaya 55:6).

Baca Juga:

Ketika Aku Menemukan Berhala dalam Diriku

Kupikir tidak ada salahnya mengejar ambisi-ambisi pribadi. Toh, Tuhan juga dimuliakan di dalamnya. Tuhan pasti bangga jika anak-Nya menjadi yang terbaik. Tapi, akhirnya aku sadar bahwa di sinilah aku sedang menjadikan hasrat hatiku sebagai berhala buatku sendiri.

Masih Adakah Harapan di Tengah Dunia yang Bertikai?

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: After Such Horrific Attacks, What Hope Is There?

Masih-Adakah-Harapan

Sulit untuk mengikuti semua berita yang beredar tentang Paris, Beirut, terorisme, dan situasi dunia kita sepanjang minggu ini. Ada begitu banyak pandangan yang terlontar, ada begitu banyak emosi yang terlibat. Namun, serangkaian serangan mengerikan yang belum lama ini terjadi menunjukkan sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal: setiap kita bisa saja mengalami hal yang sama.

Tidak ada orang yang kebal, tidak ada orang yang bisa memastikan diri akan selalu selamat. Serangan di Prancis baru-baru ini—salah satu tragedi terburuk yang dialami negara tersebut setelah Perang Dunia kedua—mengingatkan kita (lagi) betapa aksi terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja. Sejak peristiwa yang menimpa Amerika pada 11 September 2001, banyak negara sudah dicekam rasa takut kalau-kalau negara mereka akan mendapat giliran berikutnya.

Tragedi yang menimpa kota Paris jelas membuat banyak negara kembali mengevaluasi dan memikirkan tanggapan yang tepat terhadap ancaman terorisme. Banyak yang bertanya: Adakah suatu cara yang efektif untuk meniadakan ancaman ini sekali untuk selamanya? Bagaimana caranya agar kita tak lagi hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan?

Namun, bagaimana bila terorisme tidak bisa dihilangkan sama sekali? Bagaimana bila solusi untuk masalah kejahatan dan penderitaan tidak pernah dapat ditemukan? Bagaimana bila tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat dunia kita menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan lebih aman? Jejak sejarah menunjukkan kemungkinan ini. Kekejaman masih terjadi setiap hari, manusia saling membunuh karena perbedaan ras, budaya, dan agama. Beberapa hari lalu, dilaporkan dalam berita bahwa kejatuhan pesawat Rusia pada akhir Oktober benar disebabkan oleh aksi teroris.

Masih adakah harapan yang tersisa di tengah situasi dunia yang demikian? Kemungkinan kita tidak akan pernah menemukan jawabannya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita perlu mulai melihat melampaui diri kita dan memandang kepada Pribadi yang memegang kendali atas dunia ini, sekalipun kita tidak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Inilah saatnya kita perlu datang kepada Tuhan.

Ambillah waktu untuk berdoa—mohon damai dan penghiburan sejati dari Tuhan sendiri bagi mereka yang sedang berduka. Berdoalah agar keadilan-Nya ditegakkan. Mintalah Tuhan memberi hikmat kepada para pemimpin dunia dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diambil.

Mengapa? Karena Tuhan tahu persis apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang kita rasakan. Dia mengerti duka dan kemarahan mereka yang kehilangan orang-orang terkasih, baik akibat serangan bom atau tembakan senjata. Dia memahami rasa tidak berdaya yang menyelimuti kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban serangan teroris. Dia tahu seperti apa penderitaan fisik dan mental yang dialami para sandera dan kecemasan yang dirasakan keluarga mereka.

Tuhan tahu karena Dia sendiri telah tinggal di tengah manusia dan melalui semua kesulitan itu. Dalam kitab Roma, rasul Paulus menguatkan sekelompok jemaat yang sedang mengalami penganiayaan besar karena apa yang mereka imani. Paulus mengingatkan mereka pada kuasa kasih Kristus.

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
— Roma 8:35-39

Kemungkinan kita tidak akan bisa melihat terorisme dan kekejaman berakhir, setidaknya di dalam kehidupan kita di dunia ini. Tetapi, kita bisa yakin akan satu hal: Kristus tidak akan pernah meninggalkan kita, di dalam masa-masa sulit, penderitaan, bahkan dalam kematian.

Sembari terus merenungkan berbagai tragedi yang terjadi belakangan ini, mari mempersiapkan hati menyambut perayaan Natal dengan perspektif yang baru. Kita bersyukur Yesus telah datang ke dalam dunia, karena hanya di dalam Dialah kita dapat menemukan pengharapan, apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Mari kita juga mengambil langkah untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama dan membagikan pengharapan yang kita miliki di dalam Sang Juruselamat.