Posts

Di Tengah Kegelapan, Aku Melihat Terang

Oleh Jefferson, Singapura

Dalam pekerjaanku sebagai konsultan lingkungan hidup, aku sering melakukan kerja lapangan di berbagai habitat. Survei lingkungan ini umumnya dilakukan di siang hari, tapi baru-baru ini aku mendapat kesempatan untuk melakukan survei di malam hari.

Walaupun lingkup pekerjaan survei malam sama dengan survei siang—yaitu mengamati hewan dan tumbuhan apa saja yang ada di lokasi—perbedaan dalam hal pencahayaan memberikan kesan yang amat berbeda. Di siang hari, aku merasa jauh lebih aman karena dapat mengamati sekelilingku dengan jelas sehingga dapat mengantisipasi ancaman hewan liar, cuaca, maupun dahan jatuh dengan baik. Sebaliknya, di malam hari aku jauh lebih waswas, menyorotkan senter ke berbagai arah untuk mengamati berbagai spesies nokturnal sekaligus memastikan aku aman dari bahaya apa pun.

Namun bukan alam saja yang membuatku gelisah ketika melakukan survei malam.

Sambil berjalan menelusuri salah satu rute pengamatan, seorang kolega menanyakan kesanku mengikuti survei malam untuk pertama kalinya.

“Kamu takut gak, Jeff?” tanyanya.

Aku mengangguk singkat.

“Terhadap ancaman natural atau supernatural?”

Aku termenung sejenak sebelum menjawab dengan enggan, “Keduanya.”

“Apakah kamu takut kegelapan?”

Sebagai orang Indonesia, seharusnya aku cukup akrab dengan situasi mati lampu. Cahaya malam Singapura juga seharusnya cukup kuat untuk menerangi hampir seluruh pelosok negeri. Belum lagi identitasku sebagai pengikut Kristus, Tuhan atas segala ciptaan, baik yang natural maupun supernatural. Mengapa aku masih takut kegelapan?

Setelah mengamatinya dengan lebih saksama, kegelapan malam waktu itu tidak terasa biasa buatku karena:

  • Kami sedang berada di tengah-tengah hutan di salah satu pojok pulau;
  • Waktu tercepat untuk keluar situs dari lokasi kami adalah sekitar 20 menit;
  • Ada banyak babi hutan dan anjing liar yang berkeliaran di hutan itu, yang kami ketahui dari survei siang;
  • Semua senter sedang dimatikan dan kami sedang berdiri sediam mungkin karena ingin mengecek apakah ada kunang-kunang di sekitar tempat itu; dan
  • Walaupun cahaya malam Singapura membantu mata beradaptasi terhadap kegelapan di sekeliling, kami tetap tidak dapat melihat lingkungan sekitar dengan jelas.

Menghadapi situasi seperti itu, aku percaya sebagian besar dari kita akan secara alamiah merasakan rasa takut, sekecil apa ketakutan itu. Indera-indera kita serasa dipaksa bekerja lebih keras untuk memastikan keamanan diri ini.

Di tengah-tengah kegelapan yang mencekam, menariknya aku secara sadar mengamati dan merenungkan kondisi ini dan bagaimana aku bereaksi terhadapnya. Aku tidak yakin mengapa aku menanggapinya demikian, sampai aku menengadah ke langit dan melihat bulan yang bersinar terang di atas langit, yang kuabadikan berikut:

Saat itu juga aku memahami apa yang Tuhan sedang ingin sampaikan padaku dalam kaitannya dengan Paskah yang akan kita peringati beberapa hari lagi. Semuanya itu terangkum dalam satu ayat yang mendadak bergema keras dalam benakku:

“Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar” (Yesaya 9:1).

“Berjalan di dalam kegelapan”: pilihan Yehuda

Kamu mungkin heran dengan ayat yang kukutip di atas, yang umumnya lebih sering dibagikan dan dibahas di momen perayaan Natal. Tapi kalau kita mempertimbangkan latar belakang ayat ini dari perikop-perikop sebelumnya, kita dapat melihat jelas hubungan ayat ini dengan Paskah.

Di Yesaya 7, TUHAN memerintahkan Raja Ahas untuk meminta pertanda dari-Nya (7:11) setelah Ia menjanjikan akhir daripada musuh-musuh Yehuda—Kerajaan Aram dan Israel—yang menggetarkan hati seluruh rakyat Yehuda (7:2). Perintah ini Ia berikan untuk menguatkan iman Raja Ahas yang lemah, yang pada akhirnya benar-benar berpaling dari Tuhan dan bergantung pada Kerajaan Asyur untuk menghadapi ancaman Aram dan Israel (2 Raj. 16:1-9).

Namun, apa daya, Raja Ahas menolak belas kasihan Tuhan ini dengan menjawab, “Aku tidak mau meminta, aku tidak mau mencobai TUHAN” (ay. 12). Lelah terhadap ketidakpercayaan Raja Ahas (ay. 13), Yesaya menubuatkan kelahiran Imanuel sang Mesias yang akan terjadi setelah Aram dan Israel jatuh oleh tangan Asyur (ay. 14-16). Asyur sendiri akan menjadi ancaman yang lebih besar dari keduanya dan meruntuhkan Kerajaan Yehuda.

Pasal 8 menceritakan penggenapan nubuatan TUHAN ini: kelahiran Maher-Syalal Has-Bas anak Yesaya sebagai pertanda jangka pendek daripada akhir Aram dan Israel (ay. 1-4), Asyur yang akan datang menindas Yehuda (ay. 5-8), kemenangan sang Imanuel dan kehancuran musuh-musuh TUHAN di masa depan (ay. 9-10), dan panggilan kepada sisa Kerajaan Yehuda (ay. 16-18) untuk percaya dan bernaung di dalam TUHAN (ay. 11-15) di tengah-tengah kebobrokan bangsa yang meletakkan iman mereka pada roh-roh peramal dan orang-orang mati (ay. 19-20). Oleh karena pilihan mereka sendiri, bangsa pilihan Allah akan mengalami “kesesakan dan kegelapan”, di mana mereka akhirnya akan dibuang ke dalam kegelapan pekat (ay. 21-22).

Kalau pasal 8 berakhir di sana, siapa pun yang membaca pasti juga ikutan sesak menyaksikan nasib tragis Yehuda. Mereka yang adalah umat pilihan Allah berpaling dari-Nya dan memilih untuk percaya kepada ilah-ilah palsu. Di saat yang sama, TUHAN menjanjikan sisa orang-orang yang masih percaya kepada-Nya, tapi akankah mereka bertahan hingga kesudahannya di tengah dunia yang gelap?

Terang yang bersinar di tengah kegelapan

“Tetapi tidak selamanya akan ada kesuraman untuk negeri yang terimpit itu. Kalau dahulu TUHAN merendahkan tanah Zebulon dan tanah Naftali, maka di kemudian hari Ia akan memuliakan jalan ke laut, daerah seberang sungai Yordan, wilayah bangsa-bangsa lain” (Yesaya 8:23).

Ayat terakhir dari pasal 8 tersebut memberikan sebuah plot twist dan mempersiapkan kita yang membaca untuk melihat Terang harapan di tengah kegelapan kelam (9:1). Sisa umat yang masih percaya kepada-Nya dilipatgandakan Allah menjadi sekumpulan besar yang menaikkan sorak penuh sukacita seperti waktu panen (9:2), kuk, gandar, dan tongkat penindasan dipatahkan-Nya (9:3), dan semua musuh Ia umpankan ke dalam api (9:4) melalui tangan sang Raja Damai, Imanuel (9:5).

Pendengar-pendengar pertama dari nubuatan—yang ditulis kira-kira 2800 tahun yang lalu— tentunya sudah tiada ketika Tuhan Yesus datang, mati di atas kayu salib, dan bangkit, tapi mereka merasakan langsung apa yang dimaksud Firman Tuhan dengan “kesesakan dan kegelapan”. Sambil merenungkan Yesaya 9:1 ketika survei malam, aku membayangkan kondisi penduduk Yehuda di zaman itu, yang malam harinya hanya diterangi bulan, lilin, dan api unggun. Tidak hanya kegelapan secara fisik, secara rohani mereka sedang mengalami suatu krisis. Kerajaan Aram dan Israel sedang bersekongkol untuk menghabisi mereka. TUHAN telah berbicara melalui nabi-Nya Yesaya, tetapi Raja Ahas menolak-Nya mentah-mentah dan menyiapkan siasat perlawanan dengan bergantung pada Asyur. Rakyat pun diperhadapkan dengan pilihan untuk tetap setia kepada TUHAN atau mengikuti kebebalan Raja Ahas.

Perenungan tentang pilihan respons penduduk Yehuda di masa lampau ini lalu membawaku untuk merenungkan pilihan respons manusia di masa kini terhadap pesan yang Allah sampaikan dalam Firman-Nya yang melewati batasan ruang dan waktu. Kita mengetahui bahwa kira-kira 800 tahun setelah dinubuatkan, jauh setelah Aram dan Israel “ditinggalkan kosong” (7:16), pertanda yang ditolak oleh Raja Ahas benar-benar datang sebagai anak laki-laki dari seorang perawan (7:14). Terang ilahi itu sendiri, oleh karena kasih-Nya kepada umat ciptaan-Nya yang selama ini hilang dalam kegelapan, memutuskan untuk menjadi sama seperti kita dan tinggal di antara kita. Kegelapan yang telah menguasai bumi sejak lama pun berusaha melenyapkannya dengan menyalibkan-Nya di atas kayu salib, tetapi Ia bangkit tiga hari kemudian sebagai Raja Damai yang mengalahkan kegelapan. Dunia ini masih gelap, tetapi layaknya bulan yang bersinar terang dan memberikanku sedikit rasa aman di malam aku melakukan survei, Terang Kristus bersinar cemerlang dan menyatakan kebenaran yang memberi pengharapan: Realita sebenarnya adalah diri-Nya, bukan kegelapan. Walaupun sekeliling kita gelap dan membuat kita terdisorientasi dan takut, selama kita membuka mata lebar-lebar dan memfokuskan diri kepada Tuhan Yesus, kita dapat hidup di dalam damai sejahtera-Nya yang tidak akan berkesudahan (9:6).

Merangkul atau menjauhi Terang: pilihan kita(?)

Sebuah kutipan populer berbunyi demikian, “Terang bersinar paling cemerlang di tengah-tengah kegelapan yang paling pekat.” Di momen Paskah di atas kayu salib sekitar 2000 tahun yang lalu, kalimat itu mengambil wujud nyata dalam pribadi Kristus yang tergantung di atas kayu salib dan bangkit tiga hari kemudian untuk menyatakan kemuliaan Allah di tengah kegelapan dunia yang telah dicemarkan dosa.

Inilah Terang itu, Terang yang menghangatkan, memberi pengharapan, dan melenyapkan segala kegelapan di dalam dan di luar diri manusia. Terang itu selalu ada di sekeliling kita. Bahkan, di tengah-tengah wabah COVID-19 yang membuat kegelapan dunia terlihat lebih pekat, Terang itu terlihat bersinar lebih cemerlang. Tuhan Yesus bukanlah solusi langsung atas segala permasalahan yang kita hadapi, tetapi Ia “adalah ‘ya’ bagi semua janji Allah. Itulah sebabnya oleh Dia kita mengatakan ‘Amin’ untuk memuliakan Allah” (2 Kor. 1:20). Melalui karya kematian dan kebangkitan-Nya, setiap janji Allah telah digenapi sehingga “segala sesuatu [termasuk wabah COVID-19 ini] mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Rm. 8:28).

Pertanyaannya adalah, apakah kita mau membuka mata dan merangkul realita Terang itu, atau menjauhi-Nya seperti Raja Ahas? Apakah kita mengasihi Kristus sang Terang dan hidup dalam kepatuhan kepada-Nya sebagai Tuhan kita, atau menolak Kristus dan memilih untuk hidup dalam kegelapan, menyembah hal-hal yang bukan Allah seperti kebanyakan rakyat Yehuda di zaman Raja Ahas?

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Saat Ibadah Menjadi Online, Apakah Hati Kita Connect pada Tuhan?

Ketika peribadahan berubah menjadi online, muncul pro dan kontra. Namun, kiranya kita bisa melihat fenomena tak sebatas boleh dan tidak.

Yuk baca artikel ini.

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Oleh Savannah Janssen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does What I Believe In Really Make A Difference?

Beberapa tahun lalu, ketika aku sedang memimpin kelompok studi Alkitab, seorang perempuan bertanya, “Guys, apa kalian sungguh percaya apa yang kita baca? Jika iya, apakah itu membuat perubahan dalam hidup kita?”

Teman-teman yang lain terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa pun terlontar. Mereka mengakui kalau pertanyaan seperti itu—pertanyaan yang real dan penting—sering muncul dalam perjalanan iman mereka. Mengajukan pertanyaan dan merasakan keraguan tidaklah salah, itu bisa menolong kita kepada cara pandang dan pengetahuan yang baru tentang Tuhan. Pernahkah kamu berpikir:

Apakah iman yang kuanut sungguh membuat perubahan dalam hidupku?

Apakah dengan menjadi orang Kristen, aku jadi orang yang ‘lebih baik’?

Apakah orang-orang melihat hidupku berbeda karena aku percaya pada Tuhan?

Aku pernah bertemu dan mengenal orang-orang bukan Kristen yang begitu baik dan jujur. Sedihnya, ada di antara mereka yang berkata, “Aku tahu orang-orang yang tidak religius, dan mereka lebih baik daripada semua orang Kristen yang kutahu.” Mendengar kalimat itu rasanya sakit…tapi, mereka ada benarnya.

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana? Alkitab memberi kita dua cara untuk membuat hidup kita terlihat berbeda:

1. Bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri

Pernahkah kamu mengizinkan dirimu ditentukan dari ekspektasi orang-orang lain kepadamu? Beberapa kali dalam hidupku, aku mengizinkan ekspektasi orang lain membentukku menjadi orang yang sebenarnya tidak kuinginkan. Ketika itu terjadi, aku lupa bahwa Tuhan yang menciptakanku telah menentukan siapa diriku, bukan orang lain.

Tuhan memanggil kita kepada standar yang lebih tinggi, sebagaimana tertulis: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).

Meskipun kita hancur, meskipun kita gagal berkali-kali, tapi karena pengorbanan Kristus, Tuhan menyambut kita tanpa syarat ketika kita bersedia kembali kepada-Nya. Tuhan memanggil kita orang terpilih, kudus, dan istimewa. Lebih lagi, relasi kita dengan Tuhan mendorong kita mengubah diri kita menjadi pribadi yang telah Dia tetapkan untuk kita.

Tuhan menawarkan kesempatan yang baru setiap hari. Tuhan melihat kita dengan mata yang penuh kasih dan Dia tidak menyimpan segala kesalahan masa lalu kita. Karena anak-Nya, kita mendapatkan pengampunan dari hukuman (Roma 8:1-2). Tuhan mengejar kita dengan kasih yang tak bersyarat.

2. Bagaimana kita memperlakukan orang lain

Kita mengasihi karena Tuhan telah lebih dulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Kita diciptakan karena kasih dan untuk mengasihi. Pernahkah kamu begitu mengasihi seseorang hingga kamu pun mulai menikmati apa yang mereka nikmati pula? Ketika kita mengasihi seseorang, secara alami kita bertumbuh untuk memedulikan apa yang mereka pedulikan.

Ketika kita dekat dengan Tuhan, kita akan menikmati hal-hal yang Tuhan juga nikmati. Kita mulai menyadari ada kebutuhan di sekitar kita. Kita mulai melihat dunia dari kacamata Tuhan, dan mulai menghidupi kasih Tuhan untuk anak-anak-Nya. Ini bukanlah pilihan, tetapi perintah yang murni dari Tuhan yang adalah kasih.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tau, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

Karena kita telah menerima kasih Allah, iman kita pun seharusnya mampu mendorong kita untuk memperluas kasih kita kepada orang lain, sebab dunia ini menyaksikan kita.

Salah satu ciri dari kasih Allah adalah kemurahan hati-Nya yang melimpah (Matius 7:11; Lukas 15:22-24). Jika Tuhan kita murah hati, kita pun seharusnya demikian. Sebagai contoh, kita bisa bermurah hati dengan memberikan waktu kita. Di zaman ketka segalanya serba terburu-buru, meluangkan waktu berkualitas dengan seseorang bisa jadi hal yang sulit. Tapi, kita tahu bahwa segala yang kita miliki bersal dari Tuhan, jadi marilah kita dengan murah hati memberikan waktu kita ketika ada orang-orang yang butuh pertolongan. Ketika kita dengan murah hati memberikan apa yang kita anggap berharga, kita sedang menghidupi konsep kasih yang kita anut.

* * *

⠀⠀⠀

Relasi kita dengan Tuhan harus membuat perbedaan yang tampak dalam kehidupan kita, sebagaimana kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia. Ketika dunia meminta kita untuk membenci, Tuhan meminta kita untuk mengasihi (Matius 5:39043). Ketika ada keputusasaan, kita dipanggil untuk membawa harapan (Ibrani 6:19). Orang-orang yang miskin, lemah lembut, berduka, murni hatinya, dan yang teraniaya, merekalah yang akan mendapatkan kerajaan surga (Matius 5:3-10).

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Intinya, hidup beriman harus memberi perbedaan. Mengapa? Karena hidup kita adalah refleksi dari harapan yang mendasar, kebenaran yang abadi, kedamaian yang tak terbandingkan, sukacita yang tetap, dan kasih yang tak bersyrat. Ketika orang-orang melihat kehidupan kita, mereka harus melihat cara kita memperlakukan diri kita dan orang lain adalah aktivitas yang memberi dampak, bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk tujuan Tuhan.

Baca Juga:

Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Pelayanan tidak selalu berjalan mulus, kadang ada pergumulan yang harus kita hadapi. Meski begitu, kita harus terus memberi diri kita melayani.