Posts

Pentingnya Jujur pada Diri Sendiri

Oleh Still Ricardo Peea

Bulan Oktober lalu diperingati sebagai bulan kesadaran kesehatan mental sedunia. Di bulan itu pula, ada satu kejadian yang menegur dan mengingatkanku lagi tentang kesehatan mental di tengah pelayananku di pedalaman Papua.

Ada seorang ibu mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sebelum meninggal, dia mengisi celananya dengan uang dari hasil kerjanya. Menurut sahabat terdekatnya, almarhumah sering dirundung oleh beberapa tetangga dan kepada sahabatnya itu dia berkata bahwa dia akan pergi ke kampung halamannya. Namun, yang terjadi malah dia pergi untuk selamanya. Kakak perawat yang bertugas bersamaku juga berkata kalau tahun sebelumnya juga ada warga yang bunuh diri dengan cara yang sama.

Dua kejadian itu menggerakkanku untuk mencari tahu lebih jauh data-data terkait kesehatan mental. Namun, kusadari bahwa tanpa perlu menjelajahi penelitian dari seluruh dunia, isu kesehatan mental adalah sesuatu yang terus kita gumulkan dalam diri. Aku pun teringat akan kitab Mazmur, kitab yang kalau kata teolog John Calvin, adalah “anatomi dari keseluruhan bagian jiwa.”

Kadang aku suka membukanya dan membaca ayat-ayat yang kutemukan secara acak entah sebelum ke sekolah atau kuliah, saat bosan atau sedang ingin saja. Selalu saja ada bagian yang bisa kunyanyikan dalam hati atau renungkan tatkala aku merasa galau, gelisah, overthinking, cemas, insecure, bertanya-tanya, suka atau duka, meratap atau mengeluh, hari berat, hari biasa, saat Tuhan terasa jauh atau dekat. Mazmur menjadi curahan ekspresi jiwa para pemazmur dalam berbagai situasi yang terjadi di masa mereka, bagaimana mereka bergumul dan berproses dengan jiwanya dan apa yang akhirnya menjadi keputusan mereka.

Mungkin Mazmur 42 salah satu yang cukup mainstream buat kita karena sering dinyanyikan lagunya. Bagian awalnya tertulis, “seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah.” Namun, muncul pertanyaan buatku: apakah yang bisa kurenungkan hanya hanya sebatas analogi diriku seperti rusa yang haus? Atau, seperti tanah gersang yang menanti air, apakah itu juga adalah kerinduan terbesar hatiku?

Di tengah banyaknya perspektif tentang kesehatan mental, seperti “insecure dan anxiety itu perlu biar kita stayin alive” dan lain sebagainya. Mazmur ini mengajakku untuk merenungkan kembali, mencoba memahami dan bertanya pada jiwaku, diriku sendiri apa yang menjadi kegelisahanku. Ya, Mazmur ini terasa seperti mengajakku untuk berseru, bersukacita, menangis, meratap atau berkeluh kesah, berinteraksi dan menegur diri sendiri, jujur akan kelemahan diri sendiri dan pada akhirnya berharap pada Pencipta kita yang paham betul ketidaksempurnaan kita. Dengan keadilan dan kasih-Nya yang sempurna Ia memulihkan kita.

Saat ini, banyak hal yang bisa jadi pemicu kegelisahan diri, entah saat merasa buntu atau tersesat, banyaknya pilihan yang ditawarkan dan dipamerkan dunia lewat media sosial ataupun lingkungan kita. Kadang hal-hal tersebut terasa seperti mengolok-ngolok kekurangan diri dan menuntunku bertanya apakah Allah benar-benar ada dan mencukupiku? Apakah kelegaan dan kepastian yang selama ini kudambakan benar-benar nyata atau hanya fiktif? Apakah keluargaku akan baik-baik saja? Dan berbagai pertanyaan yang menyerang diri sendiri setiap saat membuatku tidak baik-baik saja dan doa terasa tak berguna.

Mazmur 42 mengajakku bertanya dan mencoba jujur dengan diri sendiri. Aku tidak perlu ragu untuk bertanya dan jujur tentang apa yang aku rasakan meski kadang aku juga bingung dengan perasaan yang terus saja menggelisahkan diri. Setelah bercerita ke orang yang dipercaya, hasilnya kadang membuatku lega, tapi kadang juga tidak. Orang yang mendengarkanku pun kadang menanggapi tidak sesuai harapanku. Selain itu aku pun merasa lelah dengan beragam peristiwa di seluruh dunia seperti, serangan di Ukraina, bayi-bayi yang harus dievakuasi, korban di sana sini. Apakah Tuhan menutup mata dengan hal ini? Dan segudang pertanyaan lainnya.

Aku percaya bahwa Roh Kudus memampukanku berseru, mengeluh dan berharap dengan Tuhan, jujur akan kelemahan dan natur berdosaku. Roh Kudus juga menyadarkan dan mengingatkanku akan kesetiaan Tuhan yang terus menuntunku dalam segala masa, seperti dalam masa pelayanan sebagai perawat Covid, di mana aku merasa lelah karena berhadapan dengan kematian yang terasa sungguh dekat dengan ambang pintu. Baru semalam kudoakan pasienku, besoknya malah sudah tidak bernyawa. Namun, Tuhanlah yang memampukanku melayani sampai lulus. Dalam masa penantian untuk ke tempat penempatanku sekarang hingga aku positif COVID, Tuhan selalu menyanggupkanku.

Daud dalam seruannya di Mazmur 51 dan Tuhan Yesus dalam kisahnya di Matius 26:36-46, jadi contoh dari Alkitab yang menegurku untuk jujur akan perasaan dan berserah lebih lagi pada Tuhan. Tuhan Yesus mengajakku untuk datang pada-Nya dengan segala beban yang ada padaku (Matius 11:25-30), untuk belajar dari pada-Nya sang firman dan air hidup yang mampu melegakan kita (Mazmur 94:18-19). Dia mengajak kita untuk memikul beban yang Dia percayakan, belajar dan berpaut pada-Nya. Bukan kepada dunia yang hanya menggelisahkan dan memberikan kepuasan palsu.

Ke mana dan sejauh mana pikiran dan perasaanku mengembara akan menentukan sejauh mana aku akan berharap dan bertahan, atau keputusasaan akan melemahkanku.

Aku belajar untuk selalu menyanyikan dan mengingatkan jiwaku sampai aku tertegur dan sadar. Ingat dan hitunglah terus kasih setia Tuhan yang sudah kita alami. Tidak mengapa bila kita lemah, tak sempurna dan lelah, bawa semua itu pada-Nya dan jangan pikul apa yang tidak dipercayakan pada kita. Isi pikiran dan jiwa kita dengan memikirkan apa yang baik sebagaimana yang diingatkan Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi (Filipi 4:8-9).

Aku menantang setiap kita untuk lakukan 3 hal berikut ini dalam 7 hari:

  1. Buatlah satu kertas atau catatan untuk menuliskan pertanyaan pada diri sendiri dan Tuhan akan segala keresahan, kegelisahan, kebimbangan atau perasaan apapun yang dirasakan di hari itu
  2. Satu hari tulislah satu ayat atau lebih yang dirasa bentuk kejujuran pada diri sendiri dan Tuhan, mengingatkan atau menegur atau mengajak kita untuk berharap dan berbalik sama Tuhan kita. Buatlah dalam satu kertas.
  3. Di 3 hari dalam 7 hari itu, lihatlah ke langit dan sekeliling kita sebentar, lalu lihat ke bawah, ke tangan dan kaki kita, lalu ingatkan diri sendiri “Hey, (nama), sejauh inilah Tuhan sudah menuntunmu melampaui segala suka dan dukamu, sakit dan senangmu. Mengapa tertekan dan resah? Ayo, (nama), berharap dan bersyukur pada penolong dan Bapa kita!

    Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memelihara jiwa kita, untuk terus berpegang dan berharap pada-Nya.

Mengatasi Kegelisahan

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:6

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Bagiku, kedamaian adalah hal yang amat sulit dicerna pikiran. Aku mengerti konsepnya, tetapi aku belum pernah benar-benar merasakannya.

Lulus dari politeknik dengan nilai pas-pasan, aku takut tidak dapat diterima di universitas manapun. Aku menuliskan kata demi kata dalam esai sebagai syarat pendaftaran universitas dengan diiringi perasaan khawatir akan ketidakpastian. Air mata membasahi wajahku saat menyadari betapa kurangnya aku dibandingkan dengan teman-temanku yang berhasil meraih nilai memuaskan, ditambah lagi dengan pencapaian gemilang dalam ekstrakulikuler.

Aku tahu Tuhan itu baik dan setia. Namun tetap saja, rasanya tidak ada harapan bagi situasi yang sedang kualami. Jangankan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menenangkan diriku sendiri untuk berdoa saja aku tidak bisa.

Aku duduk di sofa hitam yang dingin, menunggu dipanggil untuk diwawancarai oleh pihak dari salah satu universitas yang kudaftarkan. Aku sangat takut. Aku merasa sulit bernapas. Sebuah ayat yang pernah kuhafalkan ketika masih anak-anak, Filipi 4:6-7, muncul di pikiranku. Kurenungkan ayat itu dan kuucapkan dalam hati. Lama kelamaan, pernapasanku menjadi lebih stabil dan aku pun berdoa. Saat aku menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan, damai sejahtera-Nya membasuhku. Ketenangan yang seperti itu belum pernah kurasakan lagi semenjak lima bulan yang lalu, ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas.

Rasul Paulus menyatakan perintah yang absolut kepada jemaat Filipi, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga”. Tidak ada kata “tetapi”, “jikalau”, atau pengecualian apapun. Meskipun Paulus sempat dipenjara (Filipi 1:13) sampai jemaat Filipi diterpa ajaran-ajaran sesat (3:2), Paulus tetap mendorong mereka untuk tidak mengizinkan hal-hal tersebut mengalihkan atau menjauhkan mereka dari sukacita kekal di dalam Kristus.

Apakah yang memberikan Paulus keberanian untuk mengatakan hal itu dengan segenap keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi? Yesus sendiri yang memerintahkan kita tiga kali dalam Matius 6 untuk tidak menyerah pada kekhawatiran dan kegelisahan (ayat 25, 31, dan 34). Kita tidak perlu khawatir karena sebuah kebenaran: Tuhan memedulikan kita dan Ia akan memenuhi semua kebutuhan kita.

Memerangi kegelisahan jauh lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Namun, Paulus memiliki satu anjuran yang sederhana untuk kita lakukan: berdoa. Apabila kita percaya sepenuhnya akan kedaulatan Tuhan dalam segala situasi, kita dapat menyerahkan keadaan kita kepada-Nya. Percayalah bahwa Ia akan “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “ucapan syukur” bukan hanya ketika kita membutuhkan sesuatu dari Tuhan, tetapi “dalam segala hal”. Memiliki sikap bersyukur sangatlah penting. Dengan bersyukur, kita diingatkan bahwa Tuhan sudah mengaruniakan kepada kita hadiah terindah yang akan memberikan kita kepuasan sejati: Yesus, putra tunggal-Nya. Apapun selain daripada-Nya, tidak lagi kita butuhkan dan tidak layak kita dapatkan. Ungkapan syukur datang dari sebuah kesadaran bahwa semua yang kita miliki dari Tuhan murni karena kasih karunia-Nya. Kita pun akan dimampukan untuk melihat dengan penuh kerendahan hati bahwa Tuhan tidak berkewajiban untuk memberikan kita segala hal yang kita minta, Ia justru telah menyediakan semua yang kita butuhkan dalam kelimpahan. Dengan pemahaman itulah kita dapat benar-benar bersukacita (ayat 4).

Ketika aku menghadap Tuhan dengan sikap bersyukur dan menyatakan keinginanku kepada-Nya, aku merasa lebih mudah untuk melepaskan kegelisahan. Doa harus menggantikan posisi kekhawatiran dalam hidup kita. Doa meluruskan kembali pikiran dan perilaku kita, lalu mengembalikan hadiah berharga yaitu kedamaian sejati yang datangnya hanya dari Tuhan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil lolos seleksi di jurusan yang kuinginkan. Tetapi, aku menerima hal lain yang jauh lebih berharga dari hal yang sebelumnya kuinginkan. Aku memperoleh pembelajaran bahwa ketika aku menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan, Ia akan menjaga hati dan pikiranku dengan damai yang memberi ketenteraman. Tuhan sungguh-sungguh memegang kendali. Ia menggenggam kita erat-erat dengan tangan-Nya, dan Ia takkan pernah meninggalkan kita. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu dapat merasakan hal yang sama.—Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang gelisah? Apakah kamu menyerahkan segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, “dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”?

2. Bagaimanakah sikap penuh syukur dapat mengubah perspektif kita terhadap situasi yang kita hadapi?

3. Catatlah hal-hal yang membuatmu gelisah belakangan ini. Dengan tuntutan dari Paulus dalam ayat hari ini, tuliskanlah dengan sepenuh hati doamu secara pribadi kepada Tuhan.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance merasa amat senang ketika dia bisa bekerja bersama anak-anak dan menikmati segelas bubble tea. Firman Tuhan itu manis, menjadi pengingatnya setiap hari akan kasih setia Tuhan bagi anak-anak-Nya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Diam dan Tenang: Senjata Ampuh yang Mengalahkan Kekhawatiran

Oleh Dorkas Febria Krisprianugraha, Karanganyar

Ketika sharing kepada orang lain tentang pergumulan yang sedang kamu hadapi, pernahkah kamu mendengar respons: “Sudah, jangan khawatir, berserah saja”, “tenang, bawa saja dalam doa”, atau kalimat-kalimat penenang lainnya? Atau, seberapa sering kamu membaca firman Tuhan dan mendengarkan khotbah tentang hal kekhawatiran?

Dalam hidup kita, kekhawatiran bisa terjadi karena banyak hal. Kita khawatir akan hal-hal yang pokok dalam hidup kita, seperti makanan, minuman, atau pakaian (Matius 6:31). Kekhawatiran pun tidak mengenal usia. Semua orang pasti pernah mengalami kekhawatiran, demikian juga dengan aku.

Beberapa waktu lalu, adikku yang masih kuliah di perguruan tinggi swasta mengirimkanku pesan yang intinya hari itu juga dia harus membayar cicilan uang kuliah sebesar tiga juta rupiah. Kalau uang itu tidak dibayar, dia akan dianggap cuti selama satu semester. Pesan itu membuatku terkejut dan sedikit emosi karena hal ini tidak adikku bicarakan jauh hari sebelumnya.

Jika melihat kondisi keuangan keluargaku, rasanya tidak mungkin untuk mendapatkan uang sebanyak itu dengan segera. Sebagai anak pertama, aku bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin adikku berhenti kuliah. Tapi, di sisi lain aku pun bingung bagaimana untuk mendapatkan uang.

Dalam keadaan hati yang khawatir itu, aku berkata, “Sudah dek. Jangan khawatir. Berserah sama Tuhan sambil kita berusaha maksimal.” Itu adalah jawaban aman yang kuberikan di tengah kondisi hati yang masih berkecamuk dan pikiran yang masih bingung.

Aku pun berulang kali mengatakan pada diriku sendiri, “Ayo, jangan khawatir!” dengan air mata yang tak dapat kutahan lagi. Aku berusaha menguatkan diriku sendiri. Sampai tiba-tiba, muncul pertanyaan di hatiku, “Benarkah aku sungguh-sungguh tidak khawatir lagi? Atau, itu cuma sebatas caraku untuk berusaha mengabaikan rasa khawatir yang sebenarnya masih ada dalam diriku?”

Aku menyadari terkadang respon yang kuberikan hanya bersifat verbal, atau hanya sebatas pada ucapan. Meski mulut berucap tidak khawatir, namun hatiku tidak dapat memungkiri kalau aku masih khawatir.

Di tengah perenunganku itu, aku teringat akan sebuah WhatsApp Story yang dulu pernah kudapat. Dalam story tersebut tertulis penggalan firman Tuhan dari kitab 1 Samuel 30:6-8:

“Dan Daud sangat terjepit, karena rakyat mengatakan hendak melempari dia dengan batu. Seluruh rakyat itu telah pedih hati, masing-masing karena anaknya laki-laki dan perempuan. Tetapi Daud menguatkan kepercayaannya kepada TUHAN Allahnya… Kemudian bertanyalah Daud kepada TUHAN, katanya: “Haruskah aku mengejar gerombolan itu? Akan dapatkah mereka kususul? Dan Ia berfirman kepadanya: ‘Kejarlah, sebab sesungguhnya, engkau akan dapat menyusul mereka dan melepaskan tawanan.’”

Ketika merenungkan ayat ini aku coba membayangkan bagaimana perasaan Daud saat itu. Pastilah dia merasa sangat takut dan khawatir. Tapi, aku melihat suatu tindakan yang dilakukan Daud begitu luar biasa. Daud tidak berusaha menguatkan dan meyakinkan diri sendiri kalau dia mampu keluar dari kondisi terjepit itu, namun yang Daud lakukan adalah menguatkan kepercayaannya kepada Tuhan disertai dengan tindakan bertanya kepada Tuhan mengenai apa yang harus dia lakukan. Wow, pikirku. Respons yang diberikan Daud ketika dia merasa khawatir dan takut itu lebih dari respons secara verbal. Respons Daud datang dari sikap hati yang berusaha mencari kehendak Tuhan di tengah kekhawatirannya.

Aku teringat satu kutipan yang pernah dibagikan oleh seorang pendeta yang bernama Samuel Anton Sidharta. Beliau menuliskan, “Menjadi teladan bukan berarti hidup kita harus selalu on the top dan penuh keberhasilan. Tapi, justru ketika kita berani mengambil respons yang benar di situasi yang tidak mudah dan bahkan lowest moment dalam hidup kita. Itulah TELADAN.”

Apakah itu mudah?

Kupikir tidak. Duduk diam sejenak ketika menghadapi masalah yang harus diselesaikan memang bukanlah hal yang mudah. Tapi, di saat itulah kita bisa mengakui ketidakmampuan kita dan bertanya kepada Tuhan “apa yang harus aku lakukan?”

Peristiwa adikku membuatku belajar banyak tentang seberapa pentingnya kita mengambil respons yang benar ketika menghadapi rasa khawatir. Kita bisa membawa rasa khawatir itu ke hadapan Tuhan dan menguatkan kepercayaan kita kepada-Nya. Dan puji Tuhan, ada jalan keluar yang Dia berikan untuk permasalahan yang kualami. Ada seseorang yang berkenan meminjamkan uang untuk saat itu dan mengizinkan kami membayarnya secara berkala.

Melihat adikku yang masih dapat berkuliah sekarang tanpa cuti adalah cara-cara yang Tuhan tunjukkan kepadaku dengan begitu ajaib. Aku sekarang mengerti bahwa duduk diam sejenak ketika masalah datang bukan berarti kita menyerah pada keadaan, tapi kita sedang menyiapkan langkah yang tepat untuk mengatasi kondisi yang ada.

Jalan keluar yang Tuhan sediakan tidak dapat kita lihat jika kita hanya berfokus pada kekuatan diri kita sendiri. Tapi, ketika kita berusaha tetap mencari kehendak-Nya, maka Tuhan akan menunjukkan jalan keluarnya bagi masalah kita.

Baca Juga:

Jangan Hidup Hanya Supaya Bisa Menikah. Hiduplah untuk Hidup Itu Sendiri.

Ketika berbicara tentang pernikahan, yang paling membuatku takut bukanlah hasrat kita untuk menikah, tetapi apa yang menjadi ekskpektasi kita tentang pernikahan.