Posts

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Oleh Paramytha Magdalena

Aku lahir dan tumbuh di keluarga Kristen yang cukup taat. Sejak kecil hingga kuliah, hidupku tidak jauh dari dunia pelayanan. Kisah-kisah tentang begitu besarnya cinta kasih Tuhan bagi manusia sudah sering kudengar. Namun, menerima dan mengalami sendiri kasih itu, rupanya adalah hal lain.

Perasaan jauh dari kasih Tuhan itu muncul ketika aku merasa ada yang aneh dengan diriku sendiri. Aku kesulitan mengampuni diriku sendiri atas kegagalanku di masa lalu, dan… yang lebih sulit lagi ialah aku merasa kebas dengan perhatian yang diberikan oleh orang lain. Ketika seseorang berbuat baik kepadaku, aku akan merasa diperhatikan dan dicintai. Namun, perasaan itu hanya muncul di awal. Setelahnya, aku merasa biasa saja, atau parahnya aku merasa tidak lagi dikasihi oleh siapa pun. Pemikiran berlebihan ini menuntutku untuk selalu menerima perhatian, padahal dalam realita kehidupan, untuk segala sesuatu ada waktunya. Berangkat dari titik inilah aku pun menjadi sulit merasa dicintai Tuhan.

Kucoba mencari solusi dengan membaca Alkitab, saat teduh, mendengar khotbah, mencari artikel-artikel rohani, dan juga berdoa. Tapi, upaya itu tidak memberiku jawaban yang memuaskan.

Hingga suatu ketika, pada sebuah khotbah yang kudengar, sang pengkhotbah membahas ayat dari Mazmur 127:1 yang berkata, “Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.”

Sepenggal ayat ini menohokku. Mazmur 127 diyakini sebagai mazmur yang mengangkat tema seputar campur tangan Tuhan dalam pembangunan rumah, kota, dan keluarga. Kata ‘rumah’ dalam konteks Perjanjian Lama bisa mengacu kepada bangunan, keluarga, atau rumah tangga di dalamnya. Bangsa-bangsa pada masa itu membangun kota mereka dengan benteng dan pengawal kokoh di sekelilingnya. Tujuannya, agar kota itu dapat makmur sekaligus aman dari serangan musuh.

Aku merenung, menerawang relung-relung hatiku, dan kudapati bahwa selama ini aku memang punya maksud yang baik bagi diriku sendiri. Bertolak dari kegagalan di masa lalu, juga mungkin penolakan yang pernah ada, aku membangun tembok-tembok di sekelilingku. Tapi, tembok itu bukan tembok yang memberikan rasa aman dan tenteram. Tembok itu malah menelanku perlahan-lahan, membuatku kelam dan jauh dari sinar kasih Tuhan yang mewujud melalui banyak hal, salah satunya adalah cinta kasih dari sesama manusia. Saat aku mengalami hal buruk, aku segera membatasi relasi dan membangun jarak dengan orang-orang yang telah menyakitiku. Kutarik diriku masuk dan berlindung di dalam tembok.

Sekilas aku merasa aman. Aku tak akan lagi berurusan dengan sakit hati.

Namun… perasaan aman ini adalah aman yang semu, rasa aman yang justru membuatku semakin terasing dan terisolasi. Tembok inilah yang akhirnya menghalangiku untuk merasakan cinta dan hal-hal baik dari Tuhan dan juga orang-orang di sekitarku.

Tak ada cara lain yang dapat menolongku untuk keluar dari tembok kelam ini selain daripada menghancurkannya, lalu menyerahkan hidupku pada Tuhan agar Dia sajalah yang membangun ‘tembok-tembokku’.

Perlahan, berangkat dari kesadaran ini, aku belajar untuk melatih sikap rendah hati. Ketika tembok yang kubangun itu mulai runtuh, aku pun lebih sering mengalami sakit hati dan kekecewaan. Tapi, kini aku belajar untuk memandang itu semua dari perspektif Tuhan. Bahwasannya dalam relasi antar sesama manusia, kekecewaan dan sakit hati adalah bagian tak terpisahkan dari relasi antar sesama orang berdosa. Mungkin hari ini aku yang tersakiti, tapi bisa jadi pula di momen yang lain aku tanpa sengaja yang menyakiti orang lain.

Rapuhnya relasi antar sesama manusia berdosa tidak seharusnya membuatku menarik diri, tetapi seharusnya aku memandang ke atas, kepada Dia yang kasih-Nya sempurna. Tak peduli seberapa dalam kita menikam-Nya dengan pemberontakan kita, tangan kasih Tuhan Yesus tak pernah tertutup untuk menyambut kita.

Dan, oleh kasih-Nyalah kita dimampukan untuk berelasi dan meneruskan kasih itu kepada sesama kita.

Aku mengimani Mazmur di atas. Rumah yang dibangun Allah tidak akan sia-sia. Oleh karena itu, pastikanlah agar ketika kita membangun ‘tembok’ untuk melindungi diri kita, ‘tembok’ itu dibangun oleh Allah sendiri—tembok kerendahan hati, tembok pengampunan, tembok belas kasihan, dan tembok-tembok yang terdiri dari segala rupa buah roh.

Baca Juga:

Ketika Identitas Diriku Kuletakkan pada Ucapan Orang Lain

Di hadapan seorang yang mengasuhku, semua prestasiku dianggap kurang. Masuk 10 besar, dianggap jelek kalau tidak jadi peringkat 1. Lama-lama aku jadi marah dan berupaya keras untuk mematahkan tiap ucapannya.