Posts

4 Cara untuk Menentramkan Hati Sahabat dalam Masa Sulitnya

Oleh Chong Shou En, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Walking With Suffering Friends

Teman yang bersedia mendengar curhat, merelakan bahunya untuk bersandar, dan mengerti tetesan air mata. Dalam hidup ini, kita membutuhkan dan perlu menjadi teman seperti itu.

Namun, menjadi seorang kawan di kala susah bukanlah hal yang mudah. Ketika seseorang sedang berada di titik nadir, seringkali apa yang kita ucapkan atau lakukan bisa berdampak besar. Peduli tapi dengan cara yang salah, pemilihan kata yang tidak tepat, bisa mematahkan semangat teman yang awalnya menghampiri kita untuk mendapatkan penghiburan dan dukungan.

Dalam bahasa Inggris, ada frasa “Job’s comforter”, atau dalam bahasa Indonesia bisa disebut juga sebagai “Penghibur Ayub”. Jika dicari di Google, frasa itu berarti seseorang yang “memperburuk keadaan dengan dalih menghibur”. Jika kamu tidak asing dengan kisah Ayub di Alkitab, mungkin kamu bisa menebak frasa itu mengacu kepada tiga sahabat Ayub yang bukannya mendukung dan menghibur Ayub yang tengah menderita, malah membuatnya semakin berduka dengan menuduh dan mengkritiknya.

Namun, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kisah Ayub, terkhusus untuk kita belajar bagaimana seharusnya menjadi sahabat bagi seorang kawan yang tengah melalui masa-masa sulit.

1. Proaktiflah untuk menjangkau lebih dulu

Ayub adalah orang yang saleh, dia diberkati Allah dengan keluarga besar dan makmur. Suatu hari, Allah mengizinkan Iblis mencobai Ayub untuk melihat bagaimana dia akan merespons. Dalam waktu singkat, Ayub kehilangan seluruh anak dan harta kekayaannya, serta menderita sakit parah. Lalu, tiga orang sahabatnya datang mengunjunginya.

“Ketika ketiga sahabat Ayub mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing…mereka bersepakat untuk mengucapkan belasungkawa kepadanya dan menghibur dia” (Ayub 2:11). Ketiga sahabat Ayub bahkan mengoyakkan pakaiannya serta menangis, dan duduk meratap bersama Ayub selama tujuh hari (Ayub 2:12-13).

Tindakan yang menunjukkan ketulusan dan kepedulian ini amatlah mengagumkan dan dapat kita teladani. Kita pun harus berani untuk proaktif mengambil langkah, mendekati teman yang membutuhkan penghiburan.

2. Jangan menghakimi

Meskipun ketiga sahabat Ayub melakukan langkah yang baik di awal, mereka kemudian dikenal sebagai sahabat yang buruk.

Awalnya mereka mampu berempati dan ikut berduka bersama Ayub selama tujuh hari, tapi kemudian masalah dimulai saat mereka mulai bicara. Alih-alih menghibur dan menyemangati Ayub, mereka malah menghakimi.

Mereka mengatakan pada Ayub bahwa dia telah berdosa dan layak menerima semua penderitaan ini karena kesalahannya sendiri. Padahal, Alkitab menuliskan bahwa Ayub adalah seorang yang saleh dan jujur (Ayub 1:1).

Mereka mengatakan bahwa Ayub lancang, tidak jujur, dan tidak takut akan Allah. Mereka bahkan menuduh Ayub menikmati kejahatannya (Ayub 20:12), dan anak-anaknya pantas mendapatkan musibah (Ayub 18:19). Semua perkataan ini bukanlah hal yang perlu Ayub dengar saat itu.

Suatu ketika aku bercerita tentang pengalaman pahitku kepada seorang teman. Aku menjelaskan beberapa perubahan sifatku yang menurutnya meresahkan. Tapi, aku malah sakit hati ketika dia menanggapiku dengan mengkritik apa yang kuceritakan. Meskipun kritikan itu ada benarnya dan aku meminta maaf atasnya, pengalaman ini membuat relasi kami merenggang dan aku melihatnya dengan persepsi yang berbeda.

Kita perlu berhati-hati untuk tidak menghakimi satu sama lain dan menarik kesimpulan sendiri tentang penderitaan yang dialami orang lain.

3. Tetaplah diam dan mendengarkan

Elihu, sahabat Ayub yang keempat, tetap berdiam di saat tiga sahabat yang lain saling berargumen. Dia hanya bicara saat yang lain sudah selesai mengemukakan pendapat mereka.

Seperti Elihu, kita seharusnya tidak cepat untuk mengutarakan apa yang terpikirkan di pikiran kita, karena bisa saja itu bukanlah hal yang baik atau sungguh diperlukan oleh teman kita.

Seorang teman tentaraku baru-baru ini bercerita bagaimana dia dan pacarnya sering bertengkar. Setiap kali dia bercerita tentang masalah-masalah yang dihadapinya sebagai tentara, pacarnya malah mendikte dia langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk menuntaskan masalah itu. Sebenarnya temanku sudah tahu solusinya, dia cuma ingin telinga yang bersedia mendengar. Ketika mendengarkan masalahnya, aku dalam hati mengucap syukur karena mampu mendengarkan keluh kesahnya tanpa berusaha mengguruinya dengan memberinya solusi menurut pandanganku atas masalahnya.

4. Doronglah dan semangatilah

Ketika akhirnya Elihu berbicara, dia tidak menghakimi Ayub dengan menerka-nerka dosa apa yang sudah Ayub lakukan di masa lalu. Elihu memberi masukan atas apa yang Ayub katakan. “Lalu marahlah Elihu… karena ia [Ayub] menganggap dirinya lebih benar dari pada Allah” (Ayub 32:2).

Namun, Elihu juga satu-satunya dari empat sahabat yang menawarkan harapan kepada Ayub. Elihu mengakui keadaan sulit yang Ayub alami, kemudian menyampaikan janji pemulihan dan kebaikan Allah: “Ia berdoa kepada Allah, dan Allah berkenan menerimanya; ia akan memandang wajah-Nya dengan bersorak-sorai, dan Allah mengembalikan kebenaran kepada manusia” (Ayub 33:26).

Elihu memberitahu Ayub bahwa Allah punya rencana dan Dia mengizinkan penderitaan bagi kebaikan kita. Elihu memberikan harapan dan sudut pandang yang positif bagi Ayub.

Ketika aku masuk wajib militer, aku mengalami titik terendah dalam hidupku karena bergumul dengan dosa-dosa dan keraguanku akan keselamatan hidupku. Setiap Jumat malam, aku mulai ikut acara kelompok pemuda sepupuku.

Kelompok itu ramah dan baik, tapi seorang mentor, perempuan muda berusia 30 tahunanlah yang berinisiatif pertama kali untuk mengenalku dan bertanya bagaimana perjalanan rohaniku selama ini. Dia tampak tulus dan dewasa, jadi aku dengan yakin menceritakan pergumulanku padanya.

Pembicaraan kami terasa hangat dan jujur. Meskipun aku sebenarnya tahu harus melakukan apa dalam menghadapi situasiku, dorongan semangat dan doa darinya terasa begitu mengangkatku dan menghiburku.

Wajib militer yang harus kulalui menghalangiku untuk ikut kelompok pemuda itu lagi. Namun, syukur kepada Allah, aku dimampukan-Nya lepas dari masa-masa keraguan dan depresi, yang salah satunya karena dukungan dan persahabatan dari seorang mentor yang kutemui itu.

Pada akhirnya, marilah kita jadi orang yang cepat untuk mendengar dan merangkul, lambat untuk bicara, bahkan lebih lambat lagi untuk menghakimi.

Paling terutama, janganlah ragu untuk menjangkau, karena meskipun kita tidak sempurna dan sering salah berkata atau bertindak, kita bisa berdoa dan percaya Allah akan memimpin kita dalam tiap interaksi kita dengan teman-teman yang sedang berbeban berat.

Kiranya kita menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita, di saat mereka sungguh membutuhkan penguatan dan penghiburan.

Baca Juga:

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Blepo artinya melihat dengan mata. Horao, artinya melihat dengan hati. Kata yang manakah yang mewakili cara kita melihat dan memaknai sesuatu?

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Oleh Caleb Daniel
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Forgot I Was Friends With Jesus

Tumbuh besar di gereja, aku sering mendengar Yesus disebut sebagai “kawan sejati”. Di sekolah Minggu, Yesus ditunjukkan sebagai seorang sahabat terbaik yang bisa kumiliki. Aku juga berulang-ulang kali mendengar bahwa Dia mengasihiku, Dia memberikan hidup-Nya buatku, dan seharusnya aku pun membagikan kasih-Nya kepada orang lain. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yohanes 15:9). Aku yakin, kamu juga pernah mengalami yang sama sepertiku.

Namun, di satu titik dalam perjalanan hidup kita, banyak dari kita yang meragukan-Nya.

Di tahun ketiga kuliahku, aku baru sadar kalau selama ini aku sudah melupakan persahabatanku dengan Yesus. Aku merasa relasiku dengan-Nya hanyalah tentang kewajiban-kewajiban yang harus kuikuti. Aku juga baru ditunjuk menjadi ketua di pelayanan kampus. Hari-hariku di semester itu jadi amat sibuk. Baca Alkitab lebih terasa seperti tugas; berdoa pun terasa hambar. Juga saat ikut kebaktian, aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan. Aku diberi sebuah misi untuk menyampaikan Kabar Baik kepada dunia, tapi misi yang seharusnya menjadi sukacita itu malah terasa memberatkan. Itulah mengapa momen ketika Yesus bersama murid-murid-Nya yang tertulis di pasal terakhir Injil Yohanes adalah favoritku.

Yesus telah bangkit dari maut dan hanya menunjukkan diri-Nya beberapa kali. Para murid kembali melaut, tapi mereka kesulitan menangkap ikan. Yesus berseru pada mereka dari tepi pantai dan menyuruh mereka menangkap ikan dari sisi perahu yang berbeda. Ketika mereka menyadari bahwa yang berseru itu Yesus, Petrus melompat keluar dari perahu dan bergegas menemui-Nya (Yohanes 21:7). Murid-murid lainnya pun ikut menjumpai Yesus, dan ternyata telah tersedia makanan bagi mereka di tepi pantai.

Aku beranggapan jika Yesus akan meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di bumi untuk menginjili, menyembuhkan yang sakit, atau membangkitkan orang mati. Bukankah itu lebih produktif? Namun, di sinilah kita melihat sisi “lebih santai” dari Yesus. Mungkin, waktu-waktu dengan murid-murid-Nya itu adalah momen terakhir untuk menegaskan pesan yang senantiasa Yesus sampaikan: “Tinggallah di dalam Aku.” Pesan ini bukanlah tentang apa yang murid-murid bisa lakukan buat Yesus. Pesan ini adalah tentang sebuah kasih yang dapat mengubah hidup mereka, bahkan dunia!

Cobalah luangkan waktu untuk membayangkan ini: udara pagi yang segar, aroma roti yang baru keluar dari oven, sukacita bersama teman-teman dekatmu. Momen saat murid-murid bertemu Yesus itu tentu adalah momen yang amat menyenangkan. Mereka dapat begitu akrab dengan Yesus tanpa dirisaukan oleh kumpulan orang yang berusaha mendekat Sang Mesias. Yesus, Juruselamat dunia, meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di dunia sebelum pergi ke surga dengan melayani murid-murid-Nya menikmati sarapan di tepi pantai.

Kita pun seringkali lupa bahwa dalam persahabatan dengan Yesus ada penghiburan dan sukacita. Yesus meminta kita agar selalu terhubung dengan-Nya, pokok anggur sejati, karena Dia tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamawi ketimbang dalam relasi (lihat Yohanes 15;1-17). Ketika kita menerima undangan-Nya untuk menjadi sahabat-Nya, kita dibebaskan! Kita dibebaskan dari ekspektasi bahwa kita harus senantiasa produktif melayani. Kita dibebaskan dari beban yang seharusnya kita tanggung sendirian. Kita juga dibebaskan dari perasaan malu atau tidak layak dalam melayani kerajaan-Nya.

Mengetahui kebenaran ini, hidupku disegarkan dan dibebaskan dari beban yang bahkan tak kusadari sedang kutanggung. Dalam sekejap, aku merasa 10 karung batu bata dilepaskan dari pundakku. Aku melihat firman-Nya lebih indah daripada sebelumnya. Aku tak lagi berfokus pada soal berapa lama durasi aku berdoa. Ibadahku menjadi respons syukur atas apa yang sudah Tuhan perbuat. Hal-hal yang dulu kulakukan seperti kewajiban kini kulakukan dengan perasaan akrab dalam persahabatan dengan-Nya. Aku beribadah bukan untuk memenuhi ritual belaka, tetapi mendapatkan kedamaian dari-Nya. Aku juga dapat merasakan kehadiran-Nya di mana-mana, tak peduli di mana aku berada atau bersama siapa. Hidupku bersama-Nya tak lagi terbatas pada tindakan yang aku cap sebagai rohani. Hadirat-Nya memenuhiku saat aku masak, makan, jalan ke kelas, bahkan saat aku menonton sekalipun. Aku sungguh merasa Yesus juga peduli pada kehidupan sehari-hariku yang biasa-biasa, tak cuma ketika aku melakukan disiplin rohani. Akhirnya aku terhubung kembali dengan Kawan lamaku yang terhilang, dan inilah yang aku butuhkan.

Teruntuk kamu yang berbeban berat, lelah, dan putus asa, temukanlah penghiburan di dalam-Nya hari ini. Lepaskan tarikan nafasmu dan ingatlah kebenaran ini:

Yesus ingin dekat denganmu. Dia menikmati waktu-waktu bersamamu. Dan, Dia tidak meminta 100 persen kesempurnaan darimu. Kamu dapat bersandar pada anugerah-Nya yang akan membebaskanmu dari beban.

Baca Juga:

Doa Minta Dikuatkan, Tapi Kok Semakin Banyak Masalah?

“Tuhan, kuatkan aku menghadapi pergumulan ini.” Pernahkah kamu berdoa seperti itu, tapi rasanya pergumulanmu malah tambah berat?

Kamu tidak sendiri. Teman kita, Paramytha juga pernah mengalaminya dan inilah sekelumit ceritanya yang ingin dia bagikan.

Menjadi Sahabat Bagi Semua Orang

Oleh Still Ricardo Peea, Tangerang

Natal sudah berlalu, namun beberapa waktu belakangan, tema Natal “Hiduplah Sebagai Sahabat Bagi Semua Orang” terus terngiang-ngiang di benakku. Tema itu terdengar baik, tapi sekaligus juga seperti utopis bagiku. Pikiranku pun merespons:

“Sepertinya tema itu cuma bisa jadi wacana deh, sulit untuk diwujudkan.”

“Memangnya semua orang bisa ngertiin aku?”

“Hmm, bisa sih jadi sahabat, tapi nggak ke semua orang juga.”

Mungkin kamu pun merespons hal yang sama ketika membaca tema tersebut. Namun, saat aku merenungkannya baik-baik, makna dari tema itu menamparku. Selama ini aku memilih-milih dengan siapa aku ingin menjadi sahabat. Kepada orang yang kuanggap tidak membuatku nyaman, atau yang tidak terima dengan ‘standar’ persahabatanku, cukup jadi teman atau sekadar kenal saja deh. Itu cukup buatku.

Namun, ketika aku melihat kembali isi Alkitab, aku mendapati Tuhan memanggil kita untuk menjadi sahabat. Amsal 17:17 berkata, “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Ayat tersebut bukan sekadar ungkapan kata, karena tanpa kita sadari Allah sudah melakukannya terlebih dulu buat kita. Ketika kita masih berdosa, Allah dalam rupa Yesus hadir ke dunia, memberikan nyawa-Nya untuk kita. Itulah kasih yang teramat besar (Yohanes 15:13).

Sahabat sejati tidak meletakkan standar persahabatannya pada syarat-syarat yang ditetapkannya untuk keuntungan pribadinya. Amsal tidak mengatakan agar kita bersahabat dan menaruh kasih kepada orang-orang yang membuat kita nyaman, atau yang sesuai dengan kriteria kita. Amsal memanggil kita untuk menjadi sahabat, atau bersikap selayaknya sahabat untuk siapa pun. Standarnya adalah “kasih”, bukan kenyamanan kita pribadi.

Aku pun membayangkan. Betapa mengerikannya jika Yesus menerapkan standar sesuai dengan standar-standar manusia atau seperti standar kenyamanan yang kita terapkan. Jika demikian, tentu Yesus takkan bersedia untuk menderita sejak lahir, mengalami kesepian, disiksa dan mati di salib. Syukur kepada Allah karena standar yang Yesus gunakan bukanlah standar manusia. Standar yang Yesus kenakan adalah kasih, sebab Dia sendiri adalah kasih.

Yesus menanggalkan keilahian-Nya, rela mengenakan tubuh manusia yang rentan dan rapuh karena kasih-Nya bagi kita. Dia pun bersedia menjadi sahabat bagi para penyamun, pelacur, pemungut cukai, janda, anak-anak, orang tua, dan orang-orang yang terpinggirkan karena kasih-Nya.

Tidak ada keuntungan diri sendiri yang dicari Yesus ketika Dia menjadi sahabat bagi kita. Malah, Dia menyerahkan nyawa-Nya untuk menjadi tebusan bagi orang-orang yang tidak layak, seperti aku dan kamu, dan semua orang di dunia ini.

Jauh berbeda seperti standarku yang memilih-milih orang, Yesus tidak memilih-milih. Kasih-Nya diberikan-Nya kepada semua orang. Pengorbanan-Nya dilakukan-Nya supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya mendapatkan pengampunan dari Bapa dan beroleh keselamatan, sebab kita sendiri tak mampu menyelamatkan diri kita.

Teladan Yesus tersebut menggambarkan betapa indahnya persahabatan yang tidak didasari pada standar lahiriah semata. Standar lahiriah, atau standar manusia yang kita terapkan bisa berubah kapan pun. Ketika kita disakiti, mungkin kita bisa kecewa dan balik membenci kawan kita. Namun, Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin, hari ini, dan selama-lamanya (Ibrani 13:8).

Meski terkesan sulit, namun aku berdoa agar menjadi sahabat bagi semua orang menjadi resolusiku di tahun ini pula. Tuhan telah menunjukkan teladan yang terbaik. Dia menagajak dan memanggil kita untuk melakukan-Nya, untuk menjadi sahabat bagi orang-orang yang kita jumpai.

Baca Juga:

Tuhan, Kapan Aku Harus Memulai?

Mengawali tahun 2020, aku diingatkan tentang beberapa ide dan mimpi yang sudah cukup lama aku tunda. Cukup lama terkubur karena kesibukan, akhirnya muncul pertanyaan ini dalam doaku, “Tuhan, kapan aku harus memulai?”

Apakah Kamu Takut Membagikan Injil?

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:12-18

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.

Seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Aku mengingat kesempatan yang kudapat baru-baru ini untuk memberitahu seorang temanku tentang Yesus Kristus. John telah membagikan pergumulannya padaku tentang keluarganya dan perjuangannya melawan depresi.

Pada saat itu, aku tahu persis apa yang perlu kukatakan, namun entah mengapa kata-kata tersebut tersangkut di tenggorokanku, seperti sebuah gumpalan yang besar dan membuat tidak nyaman. Pada akhirnya, dalam pembicaraan tersebut untuk sebagian besarnya aku hanya mendengar dan menawarkan beberapa nasihat, sementara aku sadar bahwa yang seharusnya kulakukan adalah membagikan pengharapan Kristus padanya.

Mengapa aku tidak melakukannya? Dalam perenunganku, aku takut. Sejak kami berkenalan, John selalu berkata terus terang mengenai kepercayaan ateisnya dan kritikannya terhadap agama. Dan meskipun kami pernah membahas topik seputar Tuhan, aku selalu gagal membagikan Injil secara lengkap karena rasa takut akan bagaimana John merespons.

Bagaimana jika ia tersinggung akibat aku membagikan Injil? Tidakkah itu akan membuat pertemanan akrabku menjadi retak dan canggung? Lebih lagi, bagaimana jika ia kesal hingga ia memberitahu teman-teman kami yang lainnya mengenai usahaku yang dianggapnya ingin mendorongnya berubah kepercayaan? Tidakkah itu akan menghancurkan reputasiku, dan dengan efektif membuatku dikucilkan?

Teladan Paulus dalam Filipi 1:12-18 merupakan teguran yang keras buatku. Dalam ayat-ayat ini Paulus mencontohkan bagaimana seharusnya kita memiliki pola pikir. Ketika kita fokus menyebarkan Injil, maka mencari kenyamanan diri sendiri tidaklah menjadi suatu hal yang penting.

Dalam ayat-ayat ini, kita mendapati Paulus sedang berada di situasi yang tidak mudah. Tidak hanya menulis surat untuk jemaat Filipi di dalam penjara, namun sebagaimana ditulis di ayat 17, Paulus memiliki alasan untuk khawatir yang berasal dari ketidakhadirannya akibat pemenjaraannya. Nampaknya beberapa orang yang menggantikan Paulus untuk menyebarkan Injil memiliki motivasi yang buruk; sebagaimana Paulus menuliskan “sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.”

Namun, respon Pauluslah yang paling menguatkan kita. Alih-alih bersedih atas situasinya, ia justru bersukacita (ayat 18)! Yang terpenting bagi Paulus adalah pemenjaraannya telah terbukti menghasilkan buah bagi Injil. Pemenjaraannya memberikan kesempatan bagi Paulus untuk membagikan Injil pada penjaga penjara, dan telah membuat orang-orang Kristen lainnya memiliki keberanian untuk memberitakan Injil (ayat 13-14). Di tengah situasinya yang buruk dan motivasi jahat yang dimiliki orang-orang lain (ayat 17-18), yang paling Paulus pedulikan adalah tersebarnya Injil itu.

Jadi seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Kegagalanku untuk membagikan Injil pada John membuktikan bahwa aku lebih memperhatikan kenyamanan dan reputasiku; aku tidak bersedia menanggung kemungkinan yang membuat tidak nyaman dan canggung. Aku perlu memiliki pola pikir yang Paulus tunjukkan di surat Filipi—pola pikir untuk mengasihi John, untukku memiliki keberanian membagikan kabar terbaik yang pernah kudengar apapun resikonya.

Hal itu tidak berarti aku harus menjadi orang yang kurang ajar dan menghancurkan setiap percakapan, namun contoh Paulus mendorongku untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana aku bisa membagikan Injil dengan teman-temanku. Kiranya kita menjadi seperti Paulus, tidak membiarkan ketakutan kita menghalangi tersebarnya Injil. Melihat lebih banyak orang menemukan pengetahuan tentang Kristus yang menyelamatkan merupakan hal yang jauh lebih penting.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ketakutan apa yang menghalangimu dari memberitakan Yesus Kristus pada orang-orang di sekitarmu?

2. Kesulitan apa yang sedang kamu jalani saat ini? Bagaimana caranya kamu dapat mendoakan supaya kesulitan tersebut menjadi kesempatan untuk menyebarkan Injil?

3. Apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat Injil dibagikan dengan motivasi yang tidak murni? Bagaimana sikap Paulus dapat menantangmu untuk memberikan respon yang berbeda?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Tetap Mengasihi Sahabat, Meskipun Dia Berlaku Buruk Padaku

Oleh Maxentia Septrierly, Semarang

Sewaktu SMA dulu aku berteman dekat dengan seorang laki-laki, sebut saja namanya Marvin. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama, mulai dari ekstrakurikuler sampai persekutuan bersama. Aku senang berteman dengannya. Dia seorang yang humoris, pintar, dan penampilannya menarik. Persahabatan kami diisi dengan tawa dan canda. Kadang kami bertengkar, tapi selalu baik kembali. Hingga suatu ketika ada hal yang membuat persahabatan ini kandas.

Meski relasi kami erat, aku menganggapnya sebagai sahabatku. Dalam ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja yang kami ikuti bersama, aku ingin kami bisa mengikuti lomba dan meraih juara bersama. Namun, kedekatan kami berdua sebagai sahabat rupanya disalahartikan oleh teman-temanku. Mereka pikir kami berpacaran. Desas-desus tersebut membuat Marvin tidak nyaman dekat denganku.

Suatu hari, aku mendengar teman sekelasku berbisik. Mereka memberi saran pada Marvin untuk menghapus fotoku dengannya saat hari Hartini di akun Instagramnya. Setelah itu, aku melihat sikap Marvin yang berubah. Aku pun bertanya padanya, apakah ada yang salah denganku? Pertanyaan itu dijawabnya dengan bentakan. Pikiranku kacau dan aku pun menangis, padahal hari itu aku ingin memfokuskan diriku untuk mengikuti persekutuan. Beberapa temanku kemudian menghiburku.

Semenjak hari itu, relasi persahabatan kami yang semula erat jadi renggang. Aku sering menangis. Namun, puji Tuhan. Dalam kesedihanku itu, ada penghiburan yang kudapatkan ketika aku mengikuti retret. Aku diingatkan bahwa kedekatanku dengan sahabatku dulu pernah membuatku jadi menjauh dari Tuhan. Aku memang sering ikut persekutuan bersama, tapi aku jarang berdoa. Sepulang retret, aku mengambil komitmen untuk memperbaiki relasiku dengan Tuhan, mengampuni perlakuan buruk sahabatku, dan belajar mengasihinya dalam kondisi apapun.

Aku pun menjalani hari-hariku seperti biasa. Jika bertemu Marvin, aku menyapanya. Aku meminta maaf padanya apabila ada kesalahan-kesalahan yang telah kubuat. Meski sampai saat ini sikapnya tidak berubah, tapi di sinilah aku benar-benar belajar untuk mengasihinya. Aku menemukan dua ayat yang menolongku untuk tetap mengasihi orang yang telah menyakitiku.

Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13).

Tuhan telah mengasihaniku dan mengampuniku dari kesalahan-kesalahanku, maka aku pun belajar untuk mengasihi orang lain dan mengampuni sahabatku atas sikap buruknya kepadaku. Kasih itu tidak hanya diungkapkan lewat kata-kata saja, namun juga lewat sikap hati kita kepada saudara-saudari kita. Aku bersyukur, dari persahabatanku dengan Marvin, aku belajar untuk mempraktikkan kasih tersebut. Aku belajar untuk mengampuni dan mendoakannya.

Aku percaya bahwa di dalam doaku Tuhan bekerja untuk melembutkan hati sahabatku. Bukan aku yang dapat mengubah seseorang, tetapi Tuhan saja yang mampu menyentuh hati dan mengubahkannya.

Baca Juga:

Ketika Kerinduan untuk Memperoleh Kasih Sayang Menguasai Diriku

Meski keluargaku penuh kasih sayang, aku mudah cemburu pada perhatian dari teman-teman dekatku. Aku selalu ingin diprioritaskan oleh mereka, hingga akhirnya tak jarang aku pun jatuh dalam kekecewaan.

Ketika Seorang Teman Meninggalkan Imannya

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When A Friend Leaves The Faith

Seorang teman dekatku mengirimiku pesan yang isinya berkata kalau dia tidak lagi menjadi orang Kristen. Aku segera menanggapinya dengan bertanya, “Kamu serius?”

Temanku itu tumbuh besar di gereja yang sama denganku, dan kami pernah melakukan pelayanan bersama. Meski dia lebih muda dariku, dia dapat berbicara dengan lebih bijak; aku selalu melihatnya sebagai seseorang yang secara rohani lebih dewasa daripadaku.

Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia tidak lagi menjadi orang Kristen itu mengejutkanku. Aku membaca pesan itu lagi dan lagi, berharap kalau aku yang salah mengerti isi pesannya. Tapi, tidak ada hal yang ambigu di pesan itu. Apa yang seharusnya aku katakan sekarang? Apakah karena dia tidak percaya lagi maka dia tidak mau aku membagikan kabar Injil kepadanya?

Sebagai seorang introver, aku cenderung bergaul hanya dalam lingkaran teman-teman yang erat di gereja, dan aku tidak melangkah ke luar untuk melayani orang lain. Aku takut akan penolakan. Aku selalu menganggap bahwa menjangkau orang-orang yang meninggalkan imannya adalah tanggung jawab mereka yang lebih ekstrover dan lebih dewasa kerohaniannya daripada aku.

Tapi, ketika seorang temanku sendiri yang meninggalkan imannya, aku tahu aku tidak bisa hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun. Sebagai temannya, aku perlu bertindak. Namun, ketika aku tahu betul bahwa aku harus melakukan sesuatu untuk menjangkaunya, aku tidak tahu pasti bagaimana atau di mana aku harus memulainya.

Seiring aku bergumul untuk kembali berelasi dengan temanku, lima hal inilah yang mungkin dapat kita pikirkan:

1. Temanmu tetaplah temanmu

Setelah temanku mendeklarasikan pernyataannya yang mendadak, aku bergumul untuk memandangnya tetap sebagai teman yang kepadanya aku bisa meluangkan waktu berjam-jam untuk berbicara. Ketika mengobrol tentang buku-buku atau kejadian-kejadian konyol dalam kehidupan kami, aku terganggu dengan pemikiranku sendiri yang seolah menganggap bahwa hubungan kami tidak lagi sama. Mungkin dia pun memiliki pertanyaan yang sama: apakah teman-teman Kristennya akan memperlakukannya dengan berbeda karena sekarang dia tidak lagi percaya pada Tuhan? Apakah mereka pula akan meninggalkannya karena keputusan yang dia ambil?

Ketika teman kita meninggalkan iman, itu bisa menjadi pukulan yang telak buat kita. Buatku sendiri, itu mungkin terasa seperti pengkhianatan. Tapi, aku percaya bahwa Tuhan ingin kita terus menjadi teman yang sama bagi mereka, memperlakukan mereka sama seperti dulu kita memperlakukannya. Tuhan mau kita memandang mereka sebagai anak-anak-Nya dan sesama orang berdosa yang membutuhkan kasih dan perhatian Tuhan—seperti kita semua (Roma 5:8).

Teman-teman kita yang telah meninggalkan iman kita bukanlah “proyek baru” yang harus kita segera paksa untuk kembali ke iman Kristen. Mereka masih teman kita, teman yang memiliki kebutuhan, keinginan, dan hobi yang tidak berubah.

2. Luangkan waktu dan dengarkanlah mereka

Apa yang temanku butuhkan saat itu bukanlah orang yang mengajaknya untuk segera kembali ke iman Kristen. Dia tidak membutuhkan pemaparan Injil yang dikemas secara komprehensif atau menarik atau lainnya. Yang dia butuhkan adalah seorang teman untuk mendengarkannya.

Meluangkan waktu untuk memahami mengapa teman kita meninggalkan imannya dan bagaimana proses itu dapat terjadi adalah hal yang penting. Kita perlu mengingat bahwa banyak dari mereka telah melalui proses yang menyakitkan dan mereka akan lebih menghargai seseorang yang cukup sabar untuk mendengarkan mereka, daripada seseorang yang sangat bersemangat untuk menginjili mereka kembali seolah-olah mereka belum pernah mendengar Injil sebelumnya. Hal ini juga menunjukkan respek kepada teman kita, menyadari bahwa mereka tidak mengambil keputusan ini dengan enteng, dan mungkin mereka juga terbawa oleh pengaruh emosional.

Ketika kita memahami mereka terlebih dulu, kita menunjukkan kasih dan perhatian Tuhan buat mereka. Mendengarkan mereka juga adalah cara untuk meyakinkan mereka bahwa pertemanan adalah tempat yang aman untuk mereka berbagi dan terbuka dengan jujur tentang apa yang sesungguhnya mereka hadapi.

3. Ketahui iman yang kamu nyatakan

Aku malu untuk mengakui bahwa inilah yang menjadi pergumulan terbesarku. Aku tidak berpikir bahwa mengetahui iman kita itu sama artinya dengan kemampuan untuk menjawab setiap pertanyaan apologetika sulit yang dilontarkan ke kita. Tapi, setidaknya, kita harus mengetahui jelas mengapa kita menjadi orang Kristen.

Ketika di suatu makan malam temanku bertanya mengapa aku menjadi orang Kristen, pikiranku mendadak bingung. Aku sadar aku tidak memikirkannya dengan hati-hati atau menyiapkan jawaban yang tepat. Pada akhirnya, sambil tergagap-gagap aku berusaha menjawab jawaban yang bahkan aku sendiri tidak yakin.

Alasan mengapa kita yakin dengan iman kita adalah pertanyaan umum yang diajukan oleh orang bukan Kristen, dan Alkitab menasihati kita untuk “selalu siap untuk memberi jawaban kepada setiap orang yang bertanya mengenai harapan yang kalian miliki” (1 Petrus 3:15 BIS). Ketika kita tidak melengkapi diri untuk memberikan jawaban dengan yakin, kita kehilangan kesempatan yang berharga dari Tuhan untuk membagikan kesaksian tentang apa arti iman bagi kita pribadi kepada orang lain, pun kita bisa saja kehilangan kesempatan untuk berbicara dari hati ke hati dengan mereka.

4. Renungkanlah bagaimana kita mungkin bisa memberi dampak dalam keputusan mereka

Meskipun keputusan untuk meninggalkan iman pada akhirnya bergantung pada individu dan masing-masing kita bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri di hadapan Tuhan, mungkin ada faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhinya.

Di dalam kasus temanku, aku—bersama teman-teman lainnya—telah berpikir salah bahwa hanya karena dia aktif pelayanan, relasi dia dengan Tuhan ada dalam keadaan yang baik. Jadi, kami pun abai untuk melayani dia. Kami meluangkan lebih banyak waktu kami bersama mereka yang masih enggan datang ke gereja atau merasa tidak terhubung dengan gereja, tapi kami pula bahwa seseorang di antara kami pun ternyata butuh perhatian yang sama.

Mungkin itulah hal-hal kecil yang menyebabkan mereka merasa jauh dari Tuhan. Kita mungkin tidak mengabaikan, mengucilkan, atau menolak mereka menjadi bagian dari komunitas tempat kita dipanggil; tapi mungkin kita terlalu lambat untuk mendengarkan apa yang jadi pergumulan mereka, atau kita terlalu berfokus untuk mengasihi dan menghabiskan waktu bersama orang lain.

Apa yang kita lakukan (dan yang tidak kita lakukan) yang membuat mereka merasa jauh dan meragukan Tuhan? Apakah ada hal-hal yang bisa kita lakukan untuk menarik mereka lebih dekat pada Tuhan? Langkah-langkah praktis apakah yang harus kita lakukan untuk meningkatkan cara kita berperilaku? Dalam kata lain, bagaimana caranya kita menjadi teman yang lebih baik? Bagaimana caranya kita bisa lebih peka terhadap kebutuhan mereka?

Menyadari kebenaran yang sulit ini menolong kita untuk menjadi teman yang baik, dan juga menjadi kesaksian yang lebih baik tentang Kristus bagi orang-orang di sekitar kita.

5. Sadari bahwa hati Tuhan jauh lebih pedih daripada kita

Kalau teman kita itu berharga buat kita, terlebih lagi Tuhan memandang mereka. Kalau kita, para pendosa, dapat mengasihi teman kita, terlebih lagi Tuhan yang sempurna dapat mengasihi mereka.

Kalau kita ingin teman kita bersekutu kembali dengan Tuhan, terlebih lagi Tuhan sendiri, yang telah mengutus anak-Nya untuk melakukannya (Yohanes 3:16). Kita bisa yakin bahwa hati Tuhan adalah untuk semua pendosa yang berbalik kepada-Nya dalam pertobatan (Yehezkiel 18:23). Sebagaimana Tuhan yang adalah penyabar dan tidak akan pernah lalai terhadap anak-anak-Nya (2 Petrus 3:9), kiranya kita belajar untuk tidak pernah menyerah mendoakan teman-teman kita.

Marilah kita belajar untuk percaya dalam Tuhan, tidak meragukan kasih setia dan kebaikan-Nya, serta berpegang pada janji-janji-Nya dalam Alkitab bahwa Tuhan akan menyelesaikan setiap pekerjaan baik yang telah dimulai-Nya di dalam setiap kita (Filipi 1:6).

Aku berharap temanku akan kembali kepada Kristus suatu hari nanti. Dan hingga saat itu tiba, aku akan terus berdoa memohon Tuhan mengubah hati mereka berbalik kepada-Nya, mempercayai dan menyerahkan hidup mereka pada kehendak Tuhan yang berdaulat.

Baca Juga:

Anthonius Gunawan Agung: Teladan Hidup dari Sang Pahlawan di Tengah Bencana

Selamat jalan Anthonius, kisah kepahlawananmu adalah setetes madu yang manis di tengah getirnya bencana.

Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Oleh Gracella Sofia Mingkid, Surabaya

Ketika sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota, aku bersama teman-temanku membahas sebuah topik perbincangan. Saat obrolan berlangsung, aku sempat tidak berkonsentrasi dan memberikan respons yang tidak sesuai dengan perbincangan. Akibatnya, beberapa percakapan jadi tidak nyambung. Saat itu, salah satu teman dekatku melontarkan kata-kata yang cukup menohok buatku dan dia melakukannya di depan teman-temanku yang lain. Akibatnya, aku merasa malu tak karuan dan kesal. Apalagi karena aku tipe orang yang melankolis, kata-kata temanku itu langsung membuatku kepikiran.

Aku menunjukkan rasa kesalku dengan berdiam. Aku sengaja melakukannya supaya temanku itu sadar bahwa aku tidak suka jika dia berkata seperti itu. Teman-temanku yang lain tidak menyadari perubahan sikapku, namun beberapa menit berselang, teman yang menyinggungku itu tampaknya mulai sadar kalau ada yang tidak biasa dari sikapku. Dia pun mencoba memulai pembicaraan denganku. Tapi, aku tidak menanggapinya dengan hangat. Sampai kami kembali ke kediaman masing-masing pun sikapku masih dingin terhadapnya. Bahkan di grup chat juga aku tidak begitu menanggapi setiap kicauannya. Aku seolah tidak menganggap dia ada. Hal ini terus berlangsung selama beberapa hari, dan aku hampir melupakannya karena kami tak bertemu.

Beberapa hari kemudian, seusai latihan di gereja, seorang rekanku bercerita tentang apa yang dia alami. Seorang rekan kerjanya melontarkan kata-kata kasar, bahkan juga kutukan terhadapnya, padahal masalahnya hanya sederhana. Rekan gerejaku ini bertanya mengapa harga barang yang dijual oleh rekan kerjanya itu malah lebih mahal dibandingkan yang lain. Menurutnya, pertanyaan ini wajar ditanyakan oleh seorang calon konsumen kepada penjualnya. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban yang baik, respons yang diterimanya malah kata-kata kasar, bahkan kutukan. Rekan gerejaku itu bercerita bahwa secara manusia dia tidak bisa menerima perlakuan ini. Rasa-rasanya dia ingin membalas kata-kata itu. Tapi, dia berusaha menahan diri.

Kasih Tuhan menahannya untuk tidak membalas kata-kata tersebut. Dia menahan diri sejenak dan malah berdoa untuk rekannya itu. Tak hanya itu, keesokan harinya, rekan gerejaku itu juga menemui rekannya, berusaha meminta penjelasan mengapa dia berkata-kata kasar, dan akhirnya meminta maaf terlebih dulu. Semua proses itu diceritakan kepadaku sambil dia terus mengucap syukur pada Tuhan karena dia tak sampai membalas kata-kata kasar dan kutukan itu dengan emosi.

Aku mendengarkan rekanku itu dengan saksama, kemudian aku teringat akan kondisiku sendiri. Hmmm. Kejadian yang dialami rekanku ini mirip-mirip dengan apa yang kualami—sama-sama mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman. Tapi, jika rekanku berusaha mencari solusi dan berdamai, aku malah mendiamkan teman dekatku yang telah menyinggungku itu. Sebenarnya maksud dari diamku itu adalah supaya dia menyadari sendiri kesalahannya dan menyesal. Aku sendiri memang tidak ada niat untuk membalas kata-katanya secara verbal. Tapi, setelah kupikir-pikir, dengan mendiamkannya dan tidak menganggap kehadirannya, aku sama saja sudah membalas dendam, bahkan seharusnya hal itu lebih kejam.

Cerita dari rekan gerejaku membuatku merasa ditegur. Aku sadar apa yang kulakukan itu salah. Aku pun menceritakan kondisiku kepada rekan gerejaku. Dia menyarankanku agar aku minta maaf pada temanku karena aku sudah mendiamkan dan menganggapnya tidak ada selama berhari-hari. Lebih baik aku menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Teladan yang diperbuat oleh rekan gerejaku itu telah menginspirasiku. Dengan lapang dada dia sudi meminta maaf terlebih dulu walaupun sejatinya dia tidak bersalah. Alih-alih merasa sakit hati, yang dia rasakan justru sukacita dan damai sejahtera. Lalu, pada akhirnya relasi pertemanan mereka pun kembali terjalin karena masalah yang bisa diselesaikan dengan baik. Butuh kebesaran hati memang untuk berani melakukan hal ini.

Aku merasa bahwa pilihanku untuk berdiam diri bukanlah pilihan yang paling tepat. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau mengorbankan harga diriku untuk meminta maaf duluan. Butuh proses untukku mau menundukkan rasa egoisku.

Setelah sharing itu berakhir, aku seolah disadarkan oleh Tuhan dengan perlahan. Kalau aku hanya diam, aku sama saja sedang membiarkan benih kebencian untuk tumbuh secara perlahan. Dan lagi, teman yang menyinggungku adalah teman dekatku. Masakan aku senang membiarkannya merasa menyesal berkepanjangan? Kalau begitu, aku sama saja tidak mengasihi dia.

Akhirnya, aku memantapkan hatiku untuk meminta maaf terlebih dahulu melalui chat. Sebelumnya, aku berdoa, memohon supaya Tuhan memberikan keberanian dan hikmat untukku. Di dalam pesanku, aku meminta maaf apabila belakangan ini aku sering tidak menganggapnya. Aku juga bilang kalau aku merasa kesal karena kata-katanya yang menohokku dalam perjalanan itu. Secara rinci, kucoba menjelaskan semuanya, dan pada akhirnya dia pun meminta maaf juga kepadaku. Dia mengatakan bahwa dirinya menyesal telah mengucapkan kata-kata yang demikian. Bahkan, dia juga memintaku untuk tidak segan menegurnya jika kata-katanya salah.

Selepas chatting itu aku benar-benar merasa lega. Saat itu, tanganku lemas dan aku hanya bisa duduk sambil air mata perlahan mengalir. Aku menangis bukan karena menyesali tindakanku, tapi aku bersyukur karena Tuhan mengajarkanku satu hal, yakni inisiatif. Aku harus berani mengambil tindakan yang tepat, tidak memupuk keegoisanku, meskipun itu tampaknya seperti aku harus merendahkan harga diriku.

Jika aku menilik diriku lebih dalam, sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah melepaskan rasa ego dan gengsiku. Ketika aku bisa meminta maaf duluan, aku percaya semua ini adalah karya dari Roh Kudus yang melembutkan hatiku supaya relasiku dengan temanku itu dapat pulih. Aku juga percaya bahwa bukan suatu kebetulan apabila rekan gerejaku mengalami hal yang mirip denganku terlebih dahulu. Aku yakin bahwa inilah salah satu maksud Tuhan supaya aku bisa belajar darinya.

Berkaca dari pengalamanku dan cerita rekan gerejaku, sebenarnya kami punya dua pilihan saat itu: membiarkan masalah, memupuk rasa sakit hati serta mengasihani diri, atau melangkah maju dan memulihkan relasi. Di sinilah pelajaran yang Tuhan Yesus ajarkan untukku.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Allah adalah Allah yang bertakhta dan berkuasa, dan tentunya tidak bersalah apalagi memiliki dosa. Namun, Dia berinisiatif untuk datang ke dunia dengan maksud memulihkan relasi manusia dengan Bapa yang telah rusak karena dosa. Karena inisiatif inilah, kita bisa hidup dalam anugerah-Nya setiap hari. Bukan karena kebaikan kita, tetapi karena Allah yang mengasihi kita dan berinisiatif memulihkan relasi yang rusak.

Apa yang menjadi respons kita atas inisiatif Allah tersebut? Tinggal diam dan memupuk dosa, ataukah datang dan memilih hidup baru bagi Allah? Jika kita memilih pilihan yang kedua, biarlah itu juga terpancar dari bagaimana cara kita menanggapi setiap keadaan di sekitar kita.

“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matius 5:23-24).

Baca Juga:

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti Hingga Hari Ini

Tepat hari ini kita memperingati 500 tahun peristiwa Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

mengapa-aku-berada-dalam-friend-zone-selama-15-tahun

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Spent 15 Years In The “Friend Zone”

15 tahun. Ya, selama itulah aku dan suamiku, Jonathan, berteman sebelum kami akhirnya menikah. Mungkin kamu akan menganggap kami sebagai contoh nyata dari kata-kata bijak, “Hubungan yang terbaik berawal dari pertemanan”.

Kalau kamu berpikir aku adalah seorang yang sangat kaku atau penganut setia dari buku tentang berpacaran yang paling populer di zamanku, “I Kissed Dating Goodbye” karangan Joshua Harris—yang mendorong para pasangan untuk pacaran hanya jika siap untuk menikah—mungkin kamu akan kecewa. Kenyataannya, Jonathan adalah pacarku yang kelima (dan itu belum termasuk gebetan-gebetanku yang lain).

Namun, aku adalah pacar kedua Jonathan, dan ketika dia “menembakku”, dia cukup yakin bahwa aku adalah orang yang ingin dia nikahi. Dia memiliki kepercayaan diri itu karena dia telah cukup lama mengenalku, di mana sepanjang masa itu kami telah melewatkan berbagai masa perang dingin, teleponan hingga larut malam, dan saling berbagi begitu banyak kartu ucapan. Aku baru sadar setelah menikah bahwa aku punya sebuah kotak sepatu yang penuh kartu ucapan yang pernah diberikannya.

Izinkan aku untuk menceritakan kisah kami dari awal.

Jonathan dan aku pertama kali bertemu dalam sebuah kelompok pemuda setelah aku lulus Sekolah Minggu. Pada usia 15 tahun, kami menjadi teman baik dan memimpin sebuah kelompok kecil bersama-sama. Selama dua tahun berikutnya kami mulai menganut pandangan kami masing-masing tentang hubungan dengan lawan jenis. Jonathan memutuskan untuk tidak berpacaran sampai dia selesai menyelesaikan Wajib Militer (sekitar usia 19 tahun), sedangkan aku memutuskan untuk berpacaran sesegera mungkin.

Waktu itu, prinsip kencanku sederhana: berkencanlah sampai kamu menemukan “orang yang tepat”. Jadi itulah yang aku lakukan. Satu demi satu kegagalan dalam hubungan aku alami selama beberapa tahun, sampai aku menjadi meragukan prinsipku. Aku juga menjadi ragu apakah nanti aku akan menikah.

Di sisi lain, Jonathan terus memegang komitmennya untuk tetap menunggu—bahkan hingga dia lulus kuliah dan menjalani tahun-tahun yang berat sebagai penyelam di Angkatan Laut. Ketika akhirnya dia mulai berpacaran, dia melakukannya dengan berhati-hati dan penuh komitmen, dengan sebuah harapan untuk dapat menikahi pacarnya saat itu.

Beberapa tahun kemudian, dia menceritakan kepada anak-anak muda tentang alasannya mengapa dia menunggu hingga usia 21 sebelum dia mulai berpacaran: Dia ingin mendedikasikan masa-masa muda terbaiknya untuk Tuhan dan untuk pelayanan di mana Tuhan menempatkannya. Dia terinspirasi oleh Pengkhotbah 12:1, yang berkata, “Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: ‘Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!’”

Dia juga mempunyai alasan-alasan lainnya—menurutnya akan sulit untuk menjalin sebuah hubungan ketika dia ada dalam Angkatan Laut, dan dia juga belum siap secara finansial untuk menikah saat itu. Namun alasan utamanya tetap single adalah agar dia dapat fokus untuk melayani Tuhan.

Ketika teman dekat kami tahu bahwa kami akhirnya akan menikah, dengan bercanda mereka mengatakan bahwa aku telah membiarkan suamiku berada dalam “friend-zone” (“zona-teman”) selama 15 tahun. Aku tidak setuju dan mengatakan pada mereka, justru yang terjadi adalah sebaliknya! Suamiku telah membiarkanku ada dalam zona ini selama 15 tahun karena dia ingin menggunakan masa mudanya untuk melayani sepenuh hati dalam pelayanan kaum muda. Dan aku senang karena dia melakukannya.

15 tahun itu memberikan kami waktu untuk saling mengenal sifat-sifat aneh yang kami miliki, untuk belajar arti di balik setiap kernyitan alis, dan untuk memahami apa yang menjadi pendorong semangat bagi masing-masing kami. Dan karena kita memiliki banyak teman bersama, kami sangat senang karena ada banyak teman yang mau membantu persiapan pernikahan kami, dan kini juga membantu menjaga bayi kami! Waktu pertemanan yang panjang telah membuat kehidupanku setelah pernikahan menjadi jauh lebih baik.

Jangan salah, kami masih memiliki perbedaan-perbedaan yang harus kami hadapi. Namun memiliki seseorang yang tahu betul apa yang kamu rasakan hanya dari sekali memandang, menurutku itu adalah hasil dari sebuah fondasi yang telah teruji—pertemanan.

Baca Juga:

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

“And they live happily ever after.”
Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku

Empat Fakta Tentang Persahabatan

Oleh: Michelle Chun, Malaysia
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 4 Facts About Making Friendship Works)

4-Fakta-Persahabatan

Aku dan Anna* telah bersahabat dekat sejak usiaku 10 tahun. Kalau kamu mengenal kami, pasti kamu heran mengapa kami bisa bersahabat. Kadang-kadang aku sendiri juga heran. Memang kami memiliki beberapa kenangan masa kecil yang indah, tetapi sekarang kami sudah tumbuh dewasa. Kami tidak mempunyai kegemaran yang sama; pergaulan dan pekerjaan sehari-hari kami juga sangat berbeda. Pemikiran kami tidak selalu nyambung—adakalanya perlu energi lebih untuk kami bisa berdiskusi, sehingga kami biasanya memilih untuk tidak banyak bicara ketika kami keluar bersama.

Meski demikian, Anna adalah salah satu orang terpenting dalam hidupku.

Banyak persahabatan pada zaman ini dimulai dan diakhiri dengan mudahnya. Media dan teknologi digital membuat kita sangat mudah menemukan teman baru. Kita bisa berpindah-pindah dari satu lingkar sosial ke lingkar sosial lainnya (kantor, sekolah, gereja, klub olahraga, dll). Kita punya beragam pilihan kegiatan untuk dilakukan dan tempat untuk dikunjungi. Seiring dengan itu, kita menambah daftar teman-teman kita. Di sisi lain, kita juga kehilangan kontak dengan sejumlah teman lama.

Begitu memasuki usia 20-an, kita mungkin menemukan bahwa meskipun kita mempunyai banyak teman, hanya ada beberapa orang yang akan kita kontak kalau kita kesulitan tidur, perlu dukungan doa, nasihat, atau dorongan semangat segera. Mereka juga pasti akan menghubungi kita saat mereka butuh ditemani—atau butuh sedikit lelucon konyol.

Anna adalah sahabat seperti itu. Sebenarnya sangat mudah membiarkan persahabatan kami memudar, karena selama 6 tahun terakhir, ia tinggal di belahan dunia yang lain. Akan tetapi, memelihara hubungan dengannya adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah kubuat. Dan, ada beberapa hal yang telah aku pelajari dalam proses ini:

1. Persahabatan memerlukan kerja keras. Jangan mudah tertipu oleh media sosial. Persahabatan itu lebih daripada sekadar menerima sebuah “Friend Request” atau mem-follow akun media sosial seseorang. Persahabatan memerlukan komitmen, kesabaran, dan pengorbanan. Mungkin kita harus rela menempuh perjalanan panjang menembus kemacetan demi bisa bertemu selama setengah jam. Mungkin kita harus menahan diri untuk berkata “Tuh kan aku sudah bilang” ketika sahabat kita menyesali sesuatu yang sudah kita peringatkan sebelumnya. Mungkin itu juga berarti kita harus meluangkan waktu untuk ngobrol lewat Skype tengah malam karena perbedaan zona waktu. Persahabatan itu kerja keras.

2. Persahabatan berarti bertumbuh bersama-sama. Amsal 17:17 adalah ayat yang sering dipakai saat kita membicarakan pentingnya persahabatan: “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” Betapa bijaksananya Alkitab itu! Aku sendiri selalu kagum melihat bagaimana firman Tuhan selalu relevan; tidak dibatasi oleh perbedaan waktu, zaman, dan budaya. Persahabatan berarti bertumbuh bersama, dan memilih untuk selalu saling mengasihi—sahabat bukanlah proyek yang berusaha kita bereskan. Persahabatan berarti menyatakan kasih Allah bagi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, serta saling memberi dorongan untuk tumbuh dalam anugerah dan pengenalan akan Yesus Kristus. Seperti besi menajamkan besi!

3. Persahabatan tidak berarti menyenangkan semua orang. Menjadi sahabat yang baik tidak berarti kita bisa menyenangkan semua orang. Aku telah bertemu beberapa orang yang rela melakukan apa saja demi bisa kelihatan “keren” atau bisa diterima orang lain, hingga suatu hari mereka menyadari bahwa mereka telah kehilangan jati diri mereka sendiri. Kenyataannya, tidak semua orang ingin menjadi sahabat kita, dan kita juga tidak selalu ingin bersahabat dengan semua orang. Tidak apa-apa jika kita belum bisa menjadi sahabat bagi semua orang. Di dalam Yesus, kita punya teladan terbaik tentang bagaimana menjadi seorang sahabat sejati. Mari mengikuti jejak-Nya dan biarkan Dia bersinar melalui kita! Dia akan memampukan kita menjadi sahabat terbaik bagi orang-orang di sekitar kita.

4. Persahabatan tak ternilai harganya. Kita tidak bisa membeli seorang sahabat sejati. Tidak mudah menemukan seorang sahabat yang betul-betul mengasihi kita, ingin yang terbaik untuk kita, dan yang bersedia berbagi hidup dan bertumbuh bersama kita, dalam dunia yang menyepelekan arti persahabatan serta kurang menghargai komitmen dan kesetiaan. Namun, meski terbilang langka, sahabat yang demikian ada! Ketika kita menemukannya, jagalah persahabatan itu baik-baik. Bagi aku sendiri, Anna adalah mutiara yang tak ternilai harganya.

Ingatlah juga, jika kita ingin memiliki sahabat-sahabat yang baik, kita sendiri harus lebih dulu menjadi sahabat yang baik. Yesus memberi kita teladan yang luar biasa! Dia mengasihi kita apa adanya; Dia membimbing dan memimpin kita sepanjang jalan supaya kita bisa hidup menurut tujuan yang dikehendaki Bapa untuk kita.

Dengan Kristus di dalam kita, kita dapat menjadi sahabat yang hebat untuk orang lain.

 
*Bukan nama sebenarnya.