Posts

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Jarum jam menunjukkan pukul 17.35 WITA, ketika aku menerima kabar duka lewat messenger dari seorang temanku di SMA dulu. Rabu, 19 Februari 2020, Tuhan berkehendak memanggil pulang seorang teman yang kami kasihi dan dicintai oleh keluarganya. Ia merupakan teman seperjuanganku di bangku SMA hingga berkuliah di perguruan tinggi negeri yang sama di kota Makassar. Rasanya sulit untuk mempercayai kabar duka itu, sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri tubuh yang kaku dan terbaring dalam peti di hari penguburannya 4 hari kemudian.

Aku mengerti bahwa kematian merupakan hal yang menakutkan dan menyedihkan secara manusiawi. Kedatangannya tidak mengenal usia dan waktu. Apalagi hal ini terjadi pada temanku yang berusia 28 tahun. Usia yang masih tergolong sangat muda. Aku sedih karena kehilangan seorang teman yang baik, sopan, dan ramah. Tak bertemu selama hampir 8 tahun sejak masa-masa wisuda, kini kami benar-benar harus berpisah dan tak akan pernah berjumpa lagi untuk selamanya.

Kini sudah 9 bulan berlalu sejak kepergiannya. Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkanku secara pribadi, serta memberi sukacita abadi melalui beberapa hal yang kualami.

1. Melalui lagu pujian yang menguatkan

Sehari sebelum aku mendapat berita duka tersebut, aku sedang berlatih lagu himne favoritku menggunakan keyboard mini Judulnya “Ku Berbahagia” (Kidung Jemaat nomor 392) ciptaan Fanny Crosby. Begini liriknya:

‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku!
Aku warisNya, ‘ku ditebus, ciptaan baru Rohul kudus.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Pasrah sempurna, nikmat penuh; suka sorgawi melimpahiku.
Lagu malaikat amat merdu; kasih dan rahmat besertaku.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Aku serahkan diri penuh, dalam Tuhanku hatiku teduh.
Sambil menyongsong kembaliNya, ‘ku diliputi anugerah.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Setiap kali mendengar, melantunkan, dan juga mengiringi lagu ini, rasanya aku tidak kuasa membendung air mata haru. Ditambah lagi sejak kepergian temanku, lagu ini juga jadi mengingatkanku padanya. Di saat yang sama, lagu ini pun mengingatkanku pada Yesus yang telah menjadi Tuhan dan Juruselamatku secara pribadi. Yesus memberiku kebahagiaan sejati, baik saat aku bersukacita maupun berdukacita seperti yang sedang kurasakan saat ini. Kita memiliki Yesus dan kita dijadikan milik-Nya. Sehingga meskipun kita sedang berdukacita, Allah tetap turut bekerja mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Ia juga memberikan sukacita sorgawi, seperti yang ditulis Fanny Crosby dalam lagu tersebut. Sukacita sorgawi itu adalah pengharapan akan kehidupan kekal bersama Kristus kelak. Untuk itu, aku bahagia memiliki Yesus sebagai kawan sejati yang tidak akan meninggalkanku dan tetap mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yohanes 15:9).

2. Melalui kesaksian dari keluarga

Selama masa-masa kedukaan, aku banyak mendengar kesaksian dari pihak keluarga. Kesaksian mereka ketika dihiburkan dan dikuatkan secara tidak langsung membuatku ikut terhibur juga di masa-masa duka tersebut. Salah satu saudara kandung dari almarhum menuturkan bahwa meskipun segenap keluarga berduka karena kehilangan anggota keluarga terkasih, mereka bersyukur pada Tuhan ketika mereka dikunjungi oleh para hamba Tuhan dari tempatnya berjemaat, bahkan ada juga yang datang dari luar daerah. Tidak hanya itu, pihak keluarga juga menuturkan rasa sukacitanya ketika menyaksikan almarhum yang tetap tersenyum dan tidak mengeluh dalam masa-masa perawatannya di rumah sakit saat berjuang melawan penyakit TBC usus yang dideritanya.

Masih dari penuturan pihak keluarga, ternyata temanku menyampaikan doa penyerahan terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat menyatakan:

“Oh Tuhan, ke dalam tangan-Mu kuserahkan hidupku, ampuni saya.”

Sejenak aku merenungkan kata-kata terakhir beliau. Aku melihat temanku itu benar-benar berserah secara total kepada Penciptanya dan menyatakan pertobatannya. Menurutku, itu hal yang sangat luar biasa. Dan aku yakin Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun sanggup melimpahkan damai sejahtera juga kepada segenap keluarga, teman-teman, dan semua orang yang ditinggalkannya. Sungguh sebuah kesaksian iman yang menguatkan aku secara pribadi.

3. Melalui kidung nyanyian favorit si teman

Ketika aku menulis tulisan ini, aku teringat salah satu lagu kesukaan almarhum yang disampaikan kakaknya kepadaku yang berjudul “Ku Tahu Tuhan Pasti Buka Jalan”:

Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Asal ku hidup suci
Tidak turut dunia
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan

Dalam menikmati lagu ini, aku mau memaknai benar adanya bahwa Tuhan telah membuka jalan baginya, baik ketika sedang menghadapi pergumulan di dunia ini, juga ketika beliau akhirnya memasuki tempat peristirahatan dan tempat penantian yang indah dan penuh damai. Aku harap aku juga bisa memaknai pesan mendalam yang disampaikan lagu ini ketika aku menghadapi pergumulan pribadi sepanjang hidupku.

4. Diingatkan oleh karya kasih Yesus

Kematian temanku mengingatkan aku kembali pada satu Pribadi yang juga pernah mengalami kematian, tetapi kematian yang istimewa. Begitu istimewanya kematian-Nya sehingga Ia sanggup mengubah sebuah ratapan menjadi sukacita. Pribadi itu adalah Yesus Kristus. Karena kasih, Yesus mati mengorbankan diri-Nya bagi kita, supaya kita manusia yang berlumuran dosa beroleh pengampunan dan keselamatan untuk menikmati hidup kekal bersama-Nya (Yohanes 3:16). Yesus juga bangkit dari kematian sebagai bukti bahwa Ia mengalahkan maut (Roma 6:9, Wahyu 1:18). Dengan kebangkitan-Nya, iman percaya kita tidak sia-sia sebab kita tahu bahwa ketika kita mati dalam iman kepada Kristus, maka kita juga akan dibangkitkan dalam kemuliaan kelak (Yohanes 11:25, 2 Korintus 4:14-15).

5. Janji-Nya bahwa kami akan bertemu lagi kelak

Di hari penguburannya, aku dan seorang temanku yang lain melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Menatapnya yang terbaring kaku dalam peti sungguh memilukan. Perpisahan untuk selamanya ini sungguh membuat kami merindukannya. Namun kami mau mengingat apa yang dijanjikan Allah melalui kesaksian Rasul Paulus di Korintus:

“Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15:21-22)

Bagian Firman ini mengajak aku untuk percaya bahwa kematian hanyalah perpisahan sementara bagi orang percaya. Aku dan temanku yang sudah terbaring kaku itu akan bertemu lagi karena kami sama-sama percaya kematian dan kebangkitan Yesus bagi pengampunan dosa-dosa kami (1 Korintus 15:3-4).

Aku dan keluarga temanku sungguh mengucap syukur pada Tuhan yang telah menghibur dan menguatkan kami melalui berbagai hal. Sangat bersukacita juga ketika mengetahui banyak pihak yang mendoakan almarhum semasa perawatannya di rumah sakit, meski Tuhan tahu betul apa yang terbaik untuk jalan hidupnya. Aku mengerti bahwa sesungguhnya tidak ada yang abadi dalam dunia ini. Namun iman kita kepada Yesus Kristus adalah hal yang menjadi abadi dan sangat berharga bagi kita orang percaya. Sekalipun kematian memisahkan kita secara fisik dari orang-orang yang kita kasihi, kita tentu tak akan bisa dipisahkan dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Roma 8:38-39).
Damai bersamamu kawan, sampai bertemu, sampai lagi kita bertemu di langit dan bumi yang baru!

“Berharga di mata Tuhan, kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mazmur 116:15).

Terpujilah Kristus!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Selama ini aku menyimpan semua masalahku dan berusaha terlihat baik-baik saja. Sampai ketika tekanan hidup tak lagi kuat kutanggung, aku memberanikan diri untuk datang pada konselor, dan di sanalah aku menemukan pemeliharaan Tuhan.

Menghadapi Konflik dengan Cara yang Sehat

Kolaborasi WarungSaTeKaMu dan Amy Domingo (@amy_domingo).

Bayangkan hidup tanpa adanya konflik, perbedaan pendapat, dan rasa sakit. Atau bayangkanlah jika salah satunya muncul, kita dapat menghapuskannya dan sepakat untuk tidak sepakat. Betapa bahagia dan menyenangkannya hidup kita!

Sayangnya, karena kita semua adalah makhluk berdosa dan hidup dalam dunia yang kelam, konflik pasti akan kita alami dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun konflik selalu membuat hati tidak nyaman, ia dapat membantu kita tumbuh dan menjadi dewasa seperti Kristus jika kita menghadapinya dengan cara yang sehat dan alkitabiah.

Jadi, bagaimana kita dapat merespon konflik tanpa menjelek-jelekkan, memusuhi, atau bersikap pasif-agresif?

Sesulit kedengarannya, kita seharusnya merespon dengan kasih, yang berarti tidak pemarah dan menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5). Firman Allah juga mengingatkan kita untuk menjadi ramah, murah hati, sabar terhadap satu sama lain dan saling mengampuni (Kolose 3:13).

Berikut beberapa hal yang dapat kamu lakukan dan hindari ketika konflik terjadi:

Terkadang lebih mudah untuk menghindar daripada menatap muka mereka yang pernah menyakiti kita. Akibatnya, kita menjauh dari kehidupan mereka dan emosi kita mudah tersulut secara pribadi.

Meskipun sebenarnya tak masalah mengambil waktu sejenak untuk memulihkan luka kita, berlarut-larut dalam kemarahan yang tak terselesaikan ataupun memilih untuk tidak mengampuni dapat merugikan kita. Akibatnya, kita mengikis hubungan yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Kejadian apa pun yang menimpa kita, Firman Allah mengatakan pengampunan adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Mungkin sulit (dan hampir tak adil) untuk mengampuni orang yang melukai kita, namun kita harus mengampuni seperti Kristus telah mengampuni kita terlebih dahulu (Efesus 4:32). Dan jika kita melukai seseorang, carilah mereka untuk meminta pengampunan (Matius 5:23-24).

Luka yang mereka tanamkan pada kita sangat dalam. Kemarahan dan kesedihan dalam diri kita meningkat tiap kali mengingat insiden tersebut. Dan sekarang mereka mencoba berbicara dengan kita? Beraninya! Acuhkan saja mereka, biar tahu rasa!

Stonewalling atau mengacuhkan dan menolak berkomunikasi dengan seseorang dapat memberikan kita ilusi sebagai pemegang kontrol. Namun, hal ini tidak meredakan kemarahan dalam hati kita, maupun membiarkan orang lain menjelaskan atau memberi kesempatan bagi mereka untuk minta maaf.

Jika berbicara dengan mereka dalam suasana panasnya konflik sangat sulit, kita dapat dengan sopan memberitahu mereka bahwa kita sedang tidak mood untuk membahas konflik ini sekarang. Namun pastikan pada mereka bahwa kamu akan meluangkan waktu untuk membicarakan hal ini ketika kamu siap. Bagaimana pun, Firman Allah berkata jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan amarah (Amsal 15:1). Jadi akan lebih bijak bagimu untuk membiarkan amarahmu reda terlebih dahulu sebelum berekonsialisasi.

Masalah lain biasanya datang ketika kita bersikukuh mempertahankan kehendak kita; kita tak bersedia mendengarkan pendapat orang lain.

Memaksakan kehendak kita dalam konflik merupakan hal yang sangat buruk. Kita melalaikan orang lain, seakan akan apa yang mereka katakan tak pantas untuk kita pertimbangkan.

Untuk menghindari perilaku seperti ini, kita dapat merefleksikan mengapa kita begitu kukuh untuk melakukan hal-hal sesuai dengan kehendak kita. Apakah itu ego kita? Roma 12:16 memerintahkan kita untuk sehati dan sepikir dalam hidup bersama dan jangan menganggap diri kita pandai. Kita dapat meminta Tuhan untuk menyingkirkan ego kita dan memberikan kita kerendahan hati yang dibutuhkan untuk menangani masalah dengan rahmat.

Kita mungkin tak sengaja bercanda melewati batas dan menyinggung seorang teman dekat atau teman kerja. Kita berharap mereka dapat menganggap hal tersebut sebagai candaan belaka, namun ternyata mereka mengonfrontasikan hal tersebut sebagai masalah dan kita menjadi defensif. “Itu hanya candaan, tidak perlulah marah karena hal itu,” gerutu kita.

Meskipun dalam hati kita tahu kita salah, kita membuat berbagai alasan untuk menyelamatkan harga diri kita dan malah menuduh mereka terlalu serius.

Memang tidak mengenakkan ditegur jika kita berbuat salah, namun Amsal 28:13 memberanikan kita untuk mengakui dosa kita untuk memperoleh belas kasihan. Misalnya, mencoba melihat dari perspektif mereka, merasakan apa yang mereka rasakan dan meminta maaf.

Kita tak dapat mempercayai apa yang baru saja mereka katakan pada kita. “Betapa tidak sopannya mereka menuduh kita melakukan hal-hal seperti itu!” pikir kita. Maka dari itu, kita mencaci-maki balik mereka, balik menggunakan kata-kata yang pedas, dengki nan jahat, memberikan mereka mencicipi pahitnya pembalasan.

Kedagingan kita mungkin merasa bahagia untuk beberapa waktu, namun kedengkian yang kita keluarkan dapat memicu argumen panas atau menjadi racun bagi relasi kita dengan mereka.

Amsal 18:21 mengatakan hidup dan mati dikuasai lidah, dan meski kadang mencaci maki sangat mudah dilakukan di tengah konflik, kita dapat berdoa meminta Tuhan menuntun lidah kita dan kita untuk berbicara dengan anggun (dan bukan dengki) saat kita marah.

Oh wow. Seseorang baru saja melakukan sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak bisa dibenarkan terhadap kita, dan kita terguncang dalam syok, kemarahan dan pengkhianatan. Dan sekarang kita sangat ingin memberitahu yang lain mengenai apa yang terjadi.

Meskipun tidak baik untuk menumpuk perasaan kesal kita, dan mengomel membantu kita menjernihkan pikiran, mari kita lebih berhati-hati dengan perkataan yang keluar dari mulut kita agar kita tidak menyesali perkataan kita di kemudian hari.

Amsal 19:20 memberanikan kita untuk mendengarkan nasihat yang bijak (Amsal 19:20), maka mari bagikan situasi kita (ketika kita sudah tenang dan berefleksi atas situasinya) dengan sekelompok teman dekat yang kita percaya. Hal ini memungkinkan masalah kita untuk tak terdengar oleh orang-orang yang tidak mengetahui kita secara baik dan juga melindungi reputasi orang lain.

Sebuah perdebatan hebat telah mengungkit kesalahan masa lalu satu sama lain, demi menjadi pemenang. “Ingatkah kamu terakhir kali kamu lakukan ini dan itu?” teriakmu.

Melemparkan kesalahan satu sama lain, khususnya untuk melawan mereka, dapat membuat kita merasa superior—untuk sementara. Namun seringkali, kita berakhir menyesali perkataan kita. Saat itu, semuanya sudah terlalu terlambat dan kita tak dapat menariknya kembali.

Mari ingat bahwa kasih tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Korintus 13:5), dan kehancuran hanyalah seujung lidah, karena “lidah adalah api…. Ia mengambil tempat di anggota-anggota tubuh” (Yakobus 3:6). Daripada mencari-cari kesalahan masa lalu, kita dapat mencoba menutup mulut kita dan tidak menjadi hambar, berkata dengan rahmat (Kolose 4:6).

“Hai Anon, tak bisa kupercaya kamu mengatakan…..,” dalam momen kemarahan, kita mengetik dan mengunggah pesan kemarahan dalam sosial media untuk mempermalukan orang yang telah menyakiti kita. Dan sekarang, kita menunggu balasan-balasan penuh simpati datang kepada kita.

Ah, pembalasan dendam yang indah! Kedagingan kita mungkin merasa senang selama beberapa waktu atas mengungkapkan kejahatan seseorang yang telah menyakiti kita, namun siapa yang tahu kalau hal ini akan berakibat pada relasi yang tak dapat diperbaiki!

Seperti yang 1 Korintus 13:5 ingatkan kita, kasih tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan sendiri (1 Korintus 13:5). Jadi, daripada secara terbuka mempermalukan orang yang telah menyakiti kita, mengapa tidak melakukannya dengan menuliskannya di buku harian, atau bahkan menuliskan surat mengenai apa yang kalian pikirkan terhadap mereka (yang dapat kita sobek setelahnya) jika hal ini dapat melepaskan amarah kita?

Perkataan tak berperasaan mereka telah melukai kita, tapi daripada berkata jujur dengan mereka, kita memutuskan untuk bersikap pasif agresif. “Kamu harusnnya tahu bagaimana perasaanku,” ketika ditanya bagaimana perasaan kita.

Kita berpikir mereka seharusnya tahu bagaimana perasaan kita. Bagaimana pun, merekalah yang mengejek kita! Tapi kebanyakan orang tidak dapat membaca pikiran kita. Dan mengirimkan pesan penuh teka-teki atau bermain mind games berpotensi untuk membawa lebih banyak kesalahpahaman bahkan menimbulkan kebencian atas satu sama lain.

Amsal 24:26 mengatakan perkataan yang tepat adalah tanda persahabatan. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita memberitahu mereka secara jujur (namun bijaksana) mengenai bagaimana mereka melukai kita, daripada berharap mungkin mereka dapat membaca pikiran kita dan mengetahui apa yang mengganggu kita.

Tentu saja, memang lebih mudah untuk membaca mengenai bagaimana menyelesaikan masalah daripada benar-benar menyelesaikannya.

Namun, untungnya kita tidak perlu bergantung pada kekuatan kita sendiri. Tuhan akan memberikan kita hikmat (Yakobus 1:5) untuk menangani situasi ini, dan jika kita terluka, mintalah pada-Nya untuk memulihkan kita. Kita juga dapat meminta Tuhan untuk mengingatkan kita bahwa konflik bukan selalu situasi “aku melawan mereka”, namun dapat menjadi kesempatan bagi kita untuk menyelesaikan masalah bersama, dan menghasilkan relasi yang lebih kuat.

Jadi, di lain kali kamu menemukan dirimu menghadapi suatu masalah untuk diselesaikan, janganlah bereaksi dengan meledak-ledak, namun pertimbangkan bagaimana merespons situasi ini dengan cara Tuhan!

4 Cara Menghadapi Seseorang yang Berbeda Pendapat Denganmu

Tahun ini sudah semakin mendekati ujungnya, dan sepanjang masa ini tentunya kamu bertemu dengan beragam orang yang pendapat, cara pikir, atau opininya berbeda darimu.

Bagaimana caranya supaya kita tetap menghormati mereka yang berbeda pendapat? Yuk kita simak beberapa tips sederhana yang diilustrasikan dalam wujud dua hewan nan lucu ini.

Karya seni ini dibuat oleh YMI.

Ketika Tak Diajak Jalan-jalan Membuatku Insecure

Oleh Madeleine Grace
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Sucks To Not Be Invited

Waktu sudah menunjukkan jam 1 dini hari dan aku masih belum tidur. Hatiku dongkol dan pikiranku kacau.

Seharusnya aku tidak merasa seperti ini. Beberapa hari belakangan aku meluangkan waktu bersama orang-orang yang kukasihi. Tapi, ketika aku melihat Instagram Story mereka pergi dengan orang lain dan aku tidak diajak, rasanya menyakitkan!

Aku merasa dikucilkan, dan aku tahu bukan aku sendiri yang merasakan hal seperti ini. Ketika aku bercerita tentang perasaanku kepada orang-orang di sekitarku, mereka pun mengutarakan yang sama: ditolak, dikucilkan, dilupakan, dan diasingkan.

Perasaan-perasaan negatif itu kudengar dari berbagai orang dalam komunitasku. Bahkan dari orang-orang yang kuanggap “keren, pusat perhatian di grup mereka”, sehingga seharusnya mereka tak pernah merasa dikucilkan.

Tapi kenyataannya, ketika kita menjadi bagian dari komunitas yang besar, kita tidak bisa selalu mengajak semua orang di semua agenda kita. Dan, aku mengerti itu. Ada ruang yang terbatas. Bujet yang pas-pasan. Kita pun tak tahu pergumulan setiap orang.

Kadang, aku jugalah yang mungkin membuat orang lain merasa terkucil. Aku mengunggah Instagram Story karena aku ingin pansos ke teman-temanku betapa asyiknya hidupku. Aku mau mereka tahu kalau aku bahagia dengan hidupku, dan aku tidak (selalu) jadi orang yang introver, duduk sendirian di rumah sambil mengenakan piyama. Dan, sejujurnya, aku ingin menunjukkan ke orang-orang yang tidak mengajakku untuk tahu kalau “aku bisa kok tanpa kalian”, “acaraku lebih asyik daripada acara kalian.”

Bagi beberapa di antara kita, bulan-bulan belakangan ini mungkin semakin membuat kita merasa sepi dan terkucil. Kita dibatasi oleh social distancing, kita bimbang memtusukan siapa saja yang bisa kita undang untuk makan tanpa menyinggung yang tak diundang. Sulit rasanya.

Baru-baru ini, kutumpahkan semua kesedihan dan frustrasiku kepada teman dekatku. “Kenapa kita tidak bisa jadi komunitas yang merangkul semua orang?”, “Bagaimana kita bisa mengubah budaya eksklusivitas ini?” Kami berbicara berjam-jam tentang perubahan apa yang bisa kami lakukan.

Tapi, kami tak mendapat jawabannya. Aku sedang dalam perjalanan untuk belajar seperti apakah komunitas yang nyata itu? Dan, bagaimana membawa Surga ke dalam bumi. Namun, aku mulai percaya bahwa adalah mungkin untuk menciptakan budaya inklusivitas dan komunitas yang sehat; untuk memastikan kita saling membangun satu sama lain, bukannya saling menjatuhkan.

Seiring aku membaca firman Tuhan, aku semakin melihat bahwa Yesus menunjukkan pada kita bagaimana berkomunitas dengan baik. Yesus tidak berteman dekat dengan semua orang, dan (mungkin) tidak mengagendakan duduk mengobrol satu-satu dengan semua pengikut-Nya. Yesus memiliki 12 murid, beberapa pengikut lainnya, dan merekalah orang-orang yang menjadi tujuan Yesus—komunitas-Nya, orang-orang yang kepada mereka Dia membagikan makanan dan berdoa bersama.

Tetapi, melampaui lingkaran orang-orang terdekat-Nya, Yesus tidak menghindari atau menolak orang lain karena mereka bukan dari lingkungan dekat-Nya, atau karena mereka datang di saat yang kurang tepat. Yesus tidak mengucilkan siapa pun hanya karena Dia mendapati orang itu mengganggu atau cuma bikin repot saja. Entah mereka seorang penderita kusta, pelacur, prajurit Romawi, atau bahkan anak-anak kecil, Yesus tidak menolak mereka yang datang pada-Nya. Seperti kisah Zakheus si pemungut cukai dalam Lukas 19:1-10, Yesus menjangkau Zakheus, bertandang ke rumahnya dan makan bersamanya.

Melalui teladan ini, Yesus juga mengajari murid-murid-Nya tentang bagaimana hidup berkomunitas dengan benar, dan kita bisa melihatnya dalam Kisah Para Rasul 2:46-47. Dalam bacaan ini, kita mendapati orang percaya mula-mula rutin bertemu, dan mereka bertumbuh setiap harinya:

“Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan tulus hati.”

Bagaimana kita bisa meneladani cara berkomunitas dalam Kisah Para Rasul pasal kedua itu dalam dunia kita sekarang? Kita setuju inklusivitas adalah konsep yang bagus, tapi bagaimana menerapkannya? Ada beberapa cara yang kupikir dapat kita lakukan. Bersama-sama kita dapat:

1. Berpikir melampaui lingkaran orang-orang terdekat kita (Roma 12:16)

Tidak ada satu pun dari kita berpikir kalau kitalah penyebab masalah atau sosok yang dihindari sampai akhirnya kita tidak dilibatkan lagi dalam acara-acara teman kita. Sungguh luar biasa untuk memiliki kelompok kecil yang berisi teman-teman dekat, tapi marilah kita lihat lebih jauh dari lingkaran kecil itu, untuk menemukan orang-orang lain yang mungkin terpinggirkan. Siapa yang bisa kita jangkau? Adalah seseorang yang ingin kamu ajak untuk meluangkan waktu bersama?

2. Menguji movitasi kita

Ujilah motivasi hati kita sebelum kita mengunggah foto-foto nongkrong bersama atau menceritakan pengalaman tentang acara akhir pekan dengan orang-orang yang tidak kita ajak (Filipi 2:3-4). Artinya bukan berarti kita perlu merahasiakan acara-acara kita, tapi adalah baik untuk peka kepada siapa dan untuk apa kita membagikan pengalaman kita. Jangan-jangan tujuan kita hanyalah ingin pamer dan sombong demi status sosial.

3. Bersiap sedialah

Bersiap sedialah untuk berkata ya (Roma 12:13). Ya, teman kita bisa mengajak teman lainnya. Ya, saudari mereka bisa ikut. Ya, pasangan mereka boleh datang. Jika seseorang lain ingin bergabung dan kita punya kapasitas untuk mengundang orang lebih, kita bisa berkata “ya”.

4. Jadilah penghubung (Efesus 4:2-3)

Tidak mungkin untuk menjadi teman terbaik bagi tiap orang baru yang kita temui di komunitas kita. Tapi, yang bisa kita lakukan adalah menjadi jembatan agar dia dapat mengenal orang-orang lainnya.

5. Buanglah sikap mengucilkan

Marilah saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih (Ibrani 10:24). Kita bisa tanyakan ke teman kita kenapa si A atau si B tidak diajak, atau dengan lembut merekomendasikan agar mereka ikut diajak. Entah pengucilan itu terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, kita bisa menolong teman kita untuk memikirkan juga orang lain dalam komunitas kita.

6. Tunjukkan kasih kepada orang lain

Ketika kita sendiri yang tidak diajak, tetaplah tunjukkan kasih kepada mereka (Roma 12:17-18). Aku mendapati inilah yang paling sulit kulakukan, tapi aku belajar inilah yang sangat penting. Jika kita tetap berpikir positif dan bersikap baik meskipun kita tidak diajak, kita tidak hanya menghindari diri kita dari kepahitan dan rasa insecure, tetapi kita sedang membangun komunitas yang memahami bahwa tidak semua orang dapat diundang dalam segala hal, dan itu tidaklah masalah.

Aku ingin mengenali betul pikiran-pikiran negatif yang menyelubungiku dan agenda-agenda terselubung dalam hatiku; apakah aku orang yang ingin mencari muka atau mengejar kasih dan integritas.

Aku ingin melakukan segalanya yang kubisa untuk menjadikan komunitasku sebagai tempat di mana ketakutan akan ditolak dan dikucilkan tidak lagi menghantui. Komunitas yang dibangun atas kepercayaan dan kasih, bukan di atas perpecahan atau membanding-bandingkan diri, kepahitan, atau perasaan insecure.

Ayo jadilah orang-orang yang sibuk untuk menyambut hangat orang lain dan memberi dengan murah hati, supaya kita tidak lagi terlalu memusingkan akan apa yang orang-orang akan lakukan jika kita tak berada bersama mereka.

Jadilah orang yang teguh dan tidak mudah berpikir negatif.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit Sindrom Nefrotik yang kuderita.

Bagaimana Usia 20-an Mengajariku Cara Pandang Baru untuk Menjalin Relasi

Oleh Winnie Little, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What My 20s taught Me About Relationships

Ketika aku memasuki usia 21 tahun—angka yang dianggap sebagai tahun pencapaian di banyak budaya—aku merasa yakin kalau aku sudah punya cukup kemampuan dan kedewasaan untuk menjalani kehidupan. Aku tinggal bersama dua kawan dekatku di kota yang indah. Kami menghabiskan kebanyakan waktu kami untuk belajar, mengobrol, dan jalan-jalan bareng. Sebentar lagi aku akan melanjutkan studi di program pasca sarjana. Masa depan yang cerah menanti di depanku.

Aku pun pulang ke kota asalku dan melanjutkan studi pasca sarjanaku di sana. Namun, aku jadi berpisah dengan teman-temanku dekatku di perantauan dulu. Dan, yang menyebalkan adalah: setelah bertahun-tahun hidup mandiri, aku merasa benci tinggal di rumah. Dengan segera jadwal kuliah yang super padat menghancurkan kepercayaan diri yang telah kubangun. Masalah-masalah datang silih berganti: kekhawatiran akan keuanganku, kesepian, dan relasiku dengan keluargaku yang tegang. Masalah-masalah ini terus ada sampai hampir sepuluh tahun. Kendati ada masa-masa sulit yang kulalui, ada pula beberapa pelajaran berharga yang mengubah hidupku yang bisa kupelajari.

Inilah beberapa pelajaran tersebut:

1. Bangun relasimu

Jelang akhir kuliahku, aku tinggal bersama sembilan mahasiswi lain. Satu di antara mereka sangat ramah dan selalu mengobrol denganku setiap kali aku pulang kuliah malam. Kami sama-sama Kristen dan punya selera humor yang sama pula. Aku menyayangi dia dan bersyukur karena kami bisa jadi kawan karib. Namun, aku sering khawatir setiap kali mulai mengerjakan tesis sehingga tiap pembicaraan singkat dengan temanku itu selalu terasa menyenangkan. Aku berusaha terhubung dengannya di liburan semesteran, tapi seringkali aku menunda untuk menghubunginya sampai akhirnya proses kuliah berjalan lagi. Aku terlanjur jadi sibuk lagi.

Di musim panas, aku mendapat kabar bahwa temanku itu telah meninggal dunia. Aku kaget setengah mati ketika menyadari aku tak akan lagi bisa berjumpa dengannya, berdoa bersama, atau sekadar mengirimkan kata-kata penguatan buatnya. Aku dipenuhi penyesalan, seharusnya aku bisa memanfaatkan libur di jeda semester untuk bertemu dan membangun relasi dengannya.

Dalam 1 Petrus 4:7-8, Petrus menulis: “Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa. Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.” Meski aku sudah tahu ayat ini, aku sekarang lebih menyadari betapa keluarga, teman-teman, dan rekan sekerja kita di bumi punya waktu yang terbatas untuk bersama-sama dengan kita. Oleh karenanya, aku secara aktif berusaha mencari kesempatan untuk berbuat baik pada mereka. Aku berusaha mengingat tanggal-tanggal penting. Dan, walau otakku pelupa, Google Calendar tidak. Aku meluangkan waktuku bersama teman-teman yang mengajakku untuk mengobrol bersama. Meskipun dulu aku suka menolak jika diajak bertemu karena aku tak suka aktivitas yang dilakukan, sekarang aku melihat ajakan itu sebagai waktu-waktu berharga yang bisa kunikmati bersama.

2. Jangan mudah tersinggung

Di awal-awal usia 20-anku, aku sering mengeluhkan para staf pelayan yang sering mengecewakanku. CS dari maskapai penerbangan yang kutelepon nada suaranya menjengkelkan. Penata rias yang produknya kubeli menolakku untuk menukar produknya. Operator internetku tak bisa menjelaskan kenapa aku diminta membayar padahal koneksiku saja terputus.

Aku pernah marah karena aku menganggap orang-orang yang kuhubungi tersebut kasar dan tidak solutif. Perbuatan mereka menunjukkan sikap tak jujur dan tak peduli. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengomel ke teman-temanku tentang orang-orang tersebut.

Tapi setelah aku bekerja di rumah sakit selama beberapa tahun, aku mengubah caraku menghadapi marah dan rasa tersinggung. Dalam pekerjaanku, aku melihat bagaimana penyakit fisik sering pula membawa ketakutan, kesakitan, ketergantungan, dan beban finansial yang berat bagi pasien dan keluarga mereka. Aku melihat bagaimana orang-orang seperti ini tetap harus menjalani rutinitas, bekerja, dan berinteraksi dengan dunia meskipun mereka tengah mengalami beban berat dan kepedihan hati. Aku menyadari bahwa orang-orang yang bersikap kasar kepadaku mungkin saja tengah menghadapi penderitaan yang tak dapat kupahami.

Alkitab secara jelas menegaskan agar kita berjalan dalam kasih dan tidak mudah marah (1 Korintus 13:5). Kita juga diminta untuk sabar dan mengampuni (Kolose 3:13). Hari-hari ini, ketika tindakan seseorang melukaiku, aku akan berhenti sejenak dan berpikir positif, “Mungkin mereka tak bermaksud begitu.” atau, “Mungkin mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Berpikir positif tersebut menolongku untuk mempraktikkan belas kasih, yang adalah penawar yang ampuh atas rasa marah. Hidup jadi lebih menyenangkan tanpa memendam amarah dan rasa sakit hati.

3. Belajar untuk berkata “tidak”

Aku termasuk kategori people-pleaser, ingin menyenangkan semua orang. Aku takut kalau menolak ajakan atau permohonan akan membuat orang lain berpikir aku malas dan egois, jadi aku pun mengiyakan hampir semuanya. Aku pernah menjadi relawan di banyak pelayanan gereja sampai-sampai aku merasa tak ada lagi waktu untuk beristirahat. Aku memberi uang lebih besar daripada pendapatanku untuk lembaga-lembaga amal. Aku jarang mengungkapkan pendapatku di kelompok. Di satu sisi, aku mengambil pekerjaan paruh waktu di samping pekerjaan utamaku karena aku tidak ingin menyinggung orang lain dengan menolak ajakan untuk memberi. Hari-hariku jadi terasa mencekik dan membosankan karena semua waktu luangku dihabiskan untuk melakukan aktivitas yang menguras tenaga.

1 Korintus 12 memberi tahu kita bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, setiap kita punya karunia yang berbeda. Paulus menekankan perbedaan-perbedaan ini dengan memberi analogi bagian-bagian tubuh kita. “Andaikata tubuh seluruhnya adalah mata, di manakah pendengaran? Andaikata seluruhnya adalah telinga, di manakah penciuman?” Dengan kata lain, Tuhan menciptakan kita dengan karunia tertentu untuk suatu tujuan. Rencana Tuhan adalah setiap karunia yang diberikan-Nya pada kita bisa digunakan untuk “kebaikan bersama” (1 Korintus 12:7). Aku dapat melayani seturut karunia yang Tuhan sudah berikan. Berusaha menjadi orang lain dan mengingkari diri sendiri tidak akan memberi kebaikan bagi orang lain.

Sekarang aku belajar untuk menolak dengan halus ketika diminta untuk melakukan sesuatu yang tidak tepat buatku. Melalui pertolongan dari seorang konselor, aku belajar pula untuk membuat keputusan yang lebih baik: Apakah aku punya kemampuan, semangat, atau peran tertentu? Apakah ada komitmen lain yang telah kubuat? Aku juga belajar untuk menunda menjawab suatu keputusan supaya aku punya waktu lebih untuk memikirkannya.

4. Pikirkan ulang caramu menolong orang lain

Seperti poin sebelumnya, aku sering berusaha untuk menyenangkan orang lain. Aku berusaha untuk memperbaiki masalah orang lain. Kupikir aku sedang melakukan tugasku sebagai orang Kristen yang dipanggil untuk saling menanggung beban (Galatia 6:2).

Suatu ketika, seorang temanku curhat tentang relasi dengan pacarnya yang membuat dia menderita. Kata-kata dan perbuatan pacarnya itu melukai hatinya dan membuat dia jadi rendah diri. Aku menyarankan dia untuk ikut konseling, memberinya daftar artikel bertopik relasi, dan berkata lebih baik jika dia putus saja. Tapi, betapa stresnya aku ketika semua saran itu tidak dilakukan dan dia selalu kembali curhat dengan masalah yang sama.

Momen itu membuatku menyadari bahwa aku gagal untuk membedakan apakah temanku itu butuh sekadar nasihat atau pertolongan. Aku tak pernah menyadari bahwa Paulus mengimbangi nasihatnya untuk saling menanggung beban dengan pernyataan lain dari Galatia 6:5, “Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri.” Dengan naifnya aku berasumsi bahwa aku bisa membuat masalah yang rumit hilang dalam sekejap, padahal masalah teman-temanku adalah tanggung jawab dari pilihan yang telah mereka buat. Dan, jika yang sejatinya diinginkan oleh temanku hanyalah seseorang yang mau mendengarkan ceritanya, mungkin nasihat-nasihat yang kuberikan terasa sangat merendahkan mereka.

Ada banyak cara untuk saling menanggung beban orang lain tanpa menjadikan masalah mereka sebagai masalah kita pribadi. Kata-kata yang baik dapat menggembirakan hati (Amsal 12:25). Kita juga dapat menangis dengan mereka yang menangis (Roma 12:15). Hari-hari ini, aku belajar untuk mendengar dengan seksama dan bertanya secara spesifik apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Aku berdoa agar mereka dikuatkan; dan aku menahan lidahku untuk tidak berkomentar atas masalah mereka. Aku belajar pula untuk sabar saat mendengar, dan berdamai dengan ketidakberdayaanku untuk mengatasi semua masalah teman-temanku. Tuhan sanggup dan mampu bekerja seturut waktu-Nya.

Itulah pembelajaran yang kudapat di usia 20-anku. Secara garis besar, aku telah belajar untuk bersukacita atas relasiku dengan orang-orang di sekitarku, lebih bermurah hati, menanggapi dengan sukacita, dan menyadari keterbatasanku. Kuharap tulisan ini menolongmu untuk menapaki jalan hidupmu di depan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Bersukacita Karena Persekutuan Injil

Sukacita terbesar dalam melayani seseorang adalah bukan hanya ketika mereka mengetahui tentang Tuhan, tetapi ketika melihat mereka mengalami pertumbuhan di dalam pengenalan dan kasih mereka kepada Tuhan.

Biar Jarak Memisahkan, Kita Tetap Berkawan

Kawan karibmu telah pindah ke kota lain. Kamu pun lantas kehilangan kawan yang biasanya ngopi, berdoa, atau nge-gym bareng.

Persahabatan itu tak ubahnya relasi-relasi lain dalam hidup; butuh usaha untuk mempertahankannya. Terpisah jarak dan zona waktu, juga kesibukan yang makin padat, membuat upaya mempertahankan persahabatan jadi lebih berat.

Tapi, ingatlah apa kata Alkitab. “Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih karib dari pada seorang saudara” (Amsal 18:24). Meski upaya mempertahankan persahabatan itu berat, tetapi buahnya sepadan dengan perjuangannya.

Inilah beberapa tips simpel untuk tetap menjadikan persahabatan jarak jauhmu senantiasa terasa hangat.

Karya seni ini merupakan kolaborasi @ymi_today dan @jasmot_illustrations

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Oleh Bertina Batuara, Pekanbaru

Adakalanya pergumulan dan kesesakan datang silih berganti entah itu dari diri sendiri atau dari luar. Baru-baru ini Tuhan izinkan aku mengalami masalah, sampai pada saat menuliskan renungan ini aku tersadar dan terkesima dengan Tuhanku yang menciptakan aku, bumi, dan segala makhluk. Ya, segala perkara dapat kutangggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku (Filipi 4:13).

Aku akui bahwa aku ialah orang yang sangat mudah terpengaruh dengan keadaan di sekitarku. Aku mudah terdistraksi. Masalah pertama adalah dengan teman dekatku. Karena sudah beberapa bulan tak bertemu, teguran lewat chat yang kulontarkan kepadanya itu rupanya dimaknai lain. Aku mengakui inilah kelemahan pesan lewat media sosial yang rentan salah paham. Karena salah paham itu, dia tidak lagi membalas pesanku. Sejak saat itu hatiku gusar. Waktuku untuk berdoa pun diliputi rasa kacau dan aku merasa tidak layak menyampaikan doaku kepada Tuhan, sebab relasiku yang sedang buruk dengan sesama.

Saat masalah salah paham itu terjadi, di kotaku juga turut diterapkan PSBB sebagai langkah pencegahan virus corona. Kami tak bisa bertemu secara langsung untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aku menunggu waktu yang tepat, meminta pertolongan hikmat dari Tuhan bagaimana cara menyelesaikan perkara itu. Lewat kehadiran seorang kawan dekat kami, puji Tuhan kami bisa menyelesaikan masalah itu dengan cara empat mata. Kami tidak membiarkan ego kami masing-masing dimenangkan dengan cara kami berbicara jujur, saling mengutarakan, dan ditutup dengan saling memaafkan.

Setelah masalah pertama usai, aku mendapati masalah baru lagi di tempat tinggalku di perantauan. Masalah ini masih tentang kesalahpahaman. Aku selalu beranggapan temanku inilah yang salah, dia yang harus mengubah sikapnya dan harus meminta maaf terlebih dulu kepadaku. Itulah pikiran yang selalu menghinggapiku sepanjang beberapa minggu. Namun, lama-lama aku semakin tersadar kalau justru pikiran itulah yang menjeratku ke dalam kesesakan yang merenggut kedamaian batinku.

Sebagai orang yang jauh dari keluarga dan terbatas menyampaikan segala keluh-kesah, aku biasanya sharing dengan orang terdekatku di perantauan. Berbicara empat mata dengan orang-orang terkasih menolongku untuk bisa bersyukur dan bersukacita saat aku melewati kesesakan.

Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja. Tapi, Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois. Saat aku menikmati waktu teduh pribadiku sembari memutar lagu rohani favoritku, aku merasa seperti ada suara yang berbisik, “Kalau kamu pergi berarti kamu kalah!” Kalah di sini berarti kalah dari si Iblis yang mengobrak-abrik hati dan pikiranku.

Ketika paginya bersaat teduh, ayat firman Tuhan berbicara tentang mengampuni. “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Setelah itu aku membuka YouTube dan secara tidak kebetulan membaca judul video dari motivator kesayanganku: “Ketika Hatimu Sulit Memaafkan”.

“Wahh kedua hal ini sedang menegurku”, gumamku. Kuputar video itu, mengikutinya sampai durasi akhir tanpa skip. Rasanya luar biasa, seperti ada tangan-tangan yang menamparku secara bersamaan. “Ini kebutuhanku!” teriakku dalam hati.

Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Kutemui teman yang sedang bermasalah denganku. Kucoba mendamaikan hatiku terlebih dahulu, lalu kumulai berbicara meskipun terasa berat. “Maaf,” ucapku.

Puji Tuhan, temanku bersedia menerima permintaan maafku. Dia pun turut meminta maaf atas apa yang dia lakukan. Aku merasa Tuhan begitu hebat, Tuhanlah yang mendamaikan kami, membenahi diriku, dan mendorong aku keluar dari zona nyamanku, yakni rasa gengsi untuk meminta maaf duluan. Aku diajar-Nya untuk meluruhkan pikiran “bukan salahku”.

Dua pengalaman ini perlahan mengupas satu per satu kebobrokan hati dan pikiranku. Dari titik itu, aku merasa diriku telah “naik kelas”. Mungkin jika aku tidak melewati masa-masa sulit seperti itu, aku akan terus di kelas yang membuat iman dan pertumbuhan rohaniku dangkal. Kedamaian ilahi pun perlahan bisa kuraih kembali sembari mengingat satu pesan seorang kakak yang berkata:

“Jika kamu percaya segala kebaikan adalah rancangan dari Allah, jangan lupa kalau kesakitan dan kesesakan pun adalah bentuk penyertaan Tuhan untuk kebaikanmu kelak”

Dia lalu menyarankanku membaca ayat dari Mazmur 138:7: “Jika Aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku, terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku.”

Aku ingat kata-kata beliau dan kurenungkan ayat itu sambil terdiam dan menitikkan air mata yang tanpa sengaja menetes di pipi. Ternyata saat itu pula kusadari perkataan itu begitu bermakna. Mulutku spontan berkata : Engkaulah Allah yang sanggup menyelamatkanku dari berbagai-bagai perkara. Hatiku yang sedang berkecamuk digantikan dengan pemulihan.

Menghadapi berbagai perkara tentu semua orang mengalami, tapi ingat Tuhan turut hadir mengiring langkah kita dalam melewatinya, tetaplah fokus pada satu nama yang Ajaib yakni : Yesus Kristus sumber kedamaian dan sukacita yang Jauh lebih besar dari segala masalah yang telah dan akan kita hadapi.

Baca Juga:

Setelah Covid-19 Berakhir, Seperti Apa Gereja Kita Nanti?

Aku percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Oleh Meysinta Sitompul* Semarang

Boss Wadulan” (Wadulan yang berarti tukang ngadu dalam bahasa jawa)

Dua kata itu dipakai teman-temanku untuk menjulukiku sewaktu masih duduk di bangku SMP. “Wadulan” berasal dari bahasa Jawa, artinya “tukang ngadu”. Aku masih ingat betul rasanya ketika kata “Boss Wadulan” itu diucapkan teman-temanku ketika aku lewat. Entah mau menuju kelas, kantin, atau ruang manapun setiap bertemu teman-teman aku selalu diteriakkan dengan dua kata tersebut.

Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat dan menanamkan prinsip kedisiplinan bagi seluruh siswanya. Salah satu aturannya adalah setiap siswanya dilarang membawa hand-phone (HP) ke sekolah. Namun, banyak siswa yang melanggar. Mereka membawa HP dan menyembunyikannya di laci-laci tas mereka. Berawal dari kesalahpahaman teman-temanku, mereka semua menuduhku telah “mewadulkan” teman-temanku yang membawa HP ke pihak BK. Padahal sejujurnya mereka tidak mengerti kisah yang sesungguhnya.

Kisah ini berawal pada saat aku tak bisa berbohong kepada guru yang bertanya kepadaku. “Non, teman sekelasmu ndak yo ada yang bawa HP ke sekolah?”

Pada saat itu aku ingat betul aku sempat terdiam dan berpikir cepat. Jika aku membela temanku berarti aku telah berbohong kepada guru yang menjadi orang tuaku di sekolah. Namun, jika aku jujur, sebetulnya aku sudah mengira bahwa aku akan mendapat respons tidak menyenangkan dari temanku.

Pada saat itu aku tak menyangka akan di-bully habis-habisan secara mental, perkataan, bahkan fisik sampai aku lulus SMP. Aku ingat betul ketika satu kelas bahkan satu angkatan mulai merundungku. Aku tidak memiliki teman di kelas, setiap ada tugas kelompok tidak ada satu pun yang mau menerimaku. Bahkan bagi mereka adalah hal yang “sial” ketika harus sekelompok denganku. Selain dirundung lewat perkataan, mereka juga pernah merundungku secara fisik. Aku masih ingat betul nama, wajah, dan ekspresi mereka ketika merundungku. Di kelas aku dihempas menggunakan pintu saat aku hendak masuk ke kelas. Sakit betul rasanya karena pintu itu mengenai hidungku walaupun aku langsung refleks mengelak ke belakang.

Pernah juga sewaktu aku duduk di bangku kelas 9, kelasku ada di koridor bawah, aku disiram air oleh teman-temanku yang kelasnya di koridor atas. Sakit rasanya ketika tidak ada satu pun teman yang mau mengerti bahkan semua menyalahkanku yang dikira “wadulan”. Aku yang biasanya ceria dan mudah tertawa menjadi siswa pendiam dan banyak menahan beban sendiri karena tidak ada satu pun yang mau mengerti dan mau menjadi seorang pendengar. Setiap hari aku ke sekolah dengan perasaan takut.

Sewaktu aku SMP, aku belum mengerti banyak tentang peran Tuhan di tengah pergumulan. Sifatku yang labil membuatku kemudian menjauh dari Tuhan. Aku merasa, “Ah mereka yang membullyku juga percaya Yesus tapi buktinya Tuhan gak negor dia… katanya Tuhan baik mana buktinya?…” Namun seiring berjalannya waktu aku sadar ada banyak bukti bahwa Tuhan tetap menyertaiku hingga aku lulus dan masuk ke SMA favorit di kotaku.

Meskipun teman-teman sekolahku merundungku, Tuhan menganugerahiku dengan kedua orang tua yang selalu menyemangatiku saat aku takut. Dan, meskipun saat itu aku belum mengerti tentang peranan Tuhan dalam pergumulanku, Tuhan nyatanya tidak meninggalkanku. Saat hatiku disakiti, Roh Kudus memberiku penghiburan dan kekuatan agar hatiku dapat berkata, “Ampuni mereka”. Roh Kuduslah yang memampukanku.

Lukas 17:4 berkata, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Mengampuni orang lain memang berat, namun janganlah berhenti untuk mengampuni orang lain.

Aku bersyukur telah dimampukan-Nya melalui masalah tersebut sehingga aku bisa lebih dewasa sekarang. Jika ada di antara kamu yang mengalami perundungan atau penolakan dari rekan-rekanmu, tetaplah semangat. Ingat kita tidak berjalan sendiri, namun ada Tuhan yang melindungi kita dari berbagai pencobaan. Jika hatimu berduka, kiranya Roh Kudus menghibur dan menguatkanmu sehingga kamu mampu untuk mengampuni mereka dan beroleh damai sejahtera dari Allah.

Tuhan Yesus memberkati.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Penelitian tugas akhirku sedianya akan dilakukan di rumah sakit. Tapi, karena pandemi ini, aku tidak bisa melakukan penelitian dan terancam tak lulus tepat waktu. Namun, di masa-masa inilah aku belajar menikmati kedamaian dari Tuhan.