Posts

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Teladan Kasih-Nya Memampukanku untuk Mengampuni

Oleh Ananda Utami*, Jakarta

Malam semakin larut, namun aku tetap terjaga. Air mataku terus mengalir. Sudah hampir setahun aku dan pacarku berkomitmen untuk saling mengenal, tapi perjalanan relasi kami terasa terjal. Sehari sebelumnya, pacarku bercerita mengenai sesuatu yang membuatku kecewa.

Aku tidak dilahirkan dalam keluarga yang percaya pada Kristus, namun beberapa tahun lalu aku mengenal-Nya dan memantapkan diriku untuk sungguh-sungguh jadi orang Kristen. Sejak saat itu, aku mengalami penolakan dari orang-orang terdekatku yang sampai hari ini masih kugumulkan. Berbagai label negatif disematkan padaku. Mereka juga menjauhiku, menganggap aku tak lagi segolongan dengan mereka.

Latar belakang inilah yang menjadi salah satu faktor yang meragukan bagi ibu pacarku. Beliau tidak ingin ambil risiko dengan keluarga besarku yang bukan Kristen apabila kelak anaknya menikah denganku. Dan, beliau juga berasumsi bahwa keputusanku untuk berpindah iman itu adalah strategi untuk bisa berpacaran dengan anaknya. Padahal sebelum aku menjalin relasi ini, aku telah lebih dulu menjadi Kristen.

Dalam kekecewaanku, beberapa kali aku sempat marah dan bertanya pada Tuhan. “Mengapa, Tuhan? Mengapa orang yang bahkan terlihat baik dan ramah di depanku ternyata tidak sebaik yang kukira? Mengapa pula orang tersebut tidak ingin mengenalku lebih jauh terlebih dulu sebelum menyimpulkan? Mengapa beliau menuduh ini dan itu tentang imanku? Bukankah seharusnya orang Kristen saling mendukung dalam Tuhan? Bukankah seharusnya beliau bersukacita ketika ada satu orang anak yang berbalik pada Tuhan? Mengapa citra diriku terlihat sangat buruk di mata beliau padahal aku telah berusaha sebaik mungkin?”

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku sedih, dan aku malah jadi iri dengan orang-orang yang sudah Kristen sejak lahir, yang tak perlu mengalami penolakan sepertiku. Aku lelah terus menerus disalah mengerti oleh keluargaku, temanku, dan sahabatku.

Air mataku masih berderai, namun aku berusaha berdoa. “Tuhan, meski rasanya sakit, tolong sembuhkan hatiku.”

Aku tahu benar bahwa mengikut Kristus tidaklah mudah dan pada hakikatnya manusia memang selalu mengecewakan karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Ketika manusia dapat saling mengasihi, itu terjadi karena anugerah Allah dan kasih-Nya yang memampukan. Aku pun tahu bahwa sebagai pengikut Kristus, sudah semestinya kita saling mengasihi dan memaafkan. Namun, nyatanya hal inilah yang sangat sulit kulakukan saat itu. Semuanya terasa seperti teori belaka. Mungkin pada saat itu, aku belum mau membuka hatiku untuk memaafkan.

Di tengah kebinganku, aku teringat firman Tuhan yang pernah kudengar dari Yakobus 1:19-27. Yakobus mengajar kita untuk cepat mendengar namun lambat berkata-kata dan tidak cepat marah. Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak boleh marah, tapi ketika kita sadar bahwa kita dalam keadaan hati yang tidak baik, kita harus menguji apakah hal yang kita rasakan merupakan sesuatu yang benar. Bisa jadi, apa yang kita rasakan adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, bisa juga tidak. Bahkan, bisa jadi pula kondisi tersebut muncul karena berhala tersembunyi yang masih tersimpan dalam diri kita.
Lantas, bagaimana mengujinya?

Yakobus mengajak kita untuk bercermin kepada hukum yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Mungkin saja selama ini kita sudah sering bercermin dan sudah tahu bagian mana dalam diri kita yang perlu diperbaiki. Namun, kita sering lupa untuk memperbaiki bagian-bagian tersebut. Kita cenderung mengingat hal-hal yang dianggap penting seperti: nomor telepon darurat, tanggal ulang tahun, dan sebagainya. Ketika kita melupakan sesuatu, bisa jadi hal tersebut kita anggap kurang penting. Begitu juga dengan hukum Allah. Mungkin kita tidak menganggap penting hukum Allah hingga kita lupa menaatinya. Di ayat 25 dituliskan bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna dan memerdekakan. Setiap orang yang menaatinya akan berbahagia. Mungkin selama ini kita kurang percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna dan memerdekakan, sehingga kita cenderung menuruti hukum yang dibuat oleh budaya manusia atau pemikiran kita sendiri.

Ketika aku bercermin kepada hukum Allah, aku mendapati ada berhala dalam diriku, yaitu menginginkan kasih dan pengakuan dari orang lain. Kadang aku masih menggantungkan identitasku kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Aku merasa orang lain akan lebih mengasihiku ketika aku bersikap baik pada mereka, sehingga ketika sikap baikku dibalas dengan hal buruk, aku kecewa. Padahal aku tahu betul bahwa hukum yang terutama adalah mengasihi Allah dan sesama. Sudah seharusnya aku tetap mengashi orang yang berlaku buruk padaku. Namun, mengasihi mereka rasanya teramat sulit karena saat itu aku belum benar-benar percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang memerdekakan.

Malam itu, aku benar-benar berdoa dan memohon pada Tuhan supaya aku dapat mengampuni orang yang telah menyakiti hatiku. “Tuhan, aku tidak bisa, tolong aku.” Seketika itu air mataku terhenti, saat aku teringat akan salib-Nya. Di tengah penderitaan-Nya pun, Yesus tetap mengasihi orang-orang yang menganiayanya. Bukannya menyalahkan Bapa atas keadaan-Nya saat itu, Yesus malah mendoakan orang-orang yang menganiaya-Nya.

Jika Tuhan telah menujukkan padaku untuk mengasihi dan mendoakan, mengapa aku tidak bisa melakukannya? Pantaskah aku untuk tidak mengampuni orang yang melakukan kesalahan kecil padaku jika Tuhan saja rela berkorban bagi dosa-dosaku yang sangat hina?

Aku memohon ampun pada Tuhan dan Dia memulihkan hatiku. Aku belajar menerima keadaan, mengampuni, serta mendoakan. Dan, memang benar bahwa hukum Allah adalah hukum yang memerdekakan. Aku merasakan kelegaan, dan aku pun dapat kembali melanjutkan aktivitasku di keesokan harinya dengan sukacita, persis seperti apa yang dituliskan Yakobus.

Mengasihi adalah pekerjaan yang sulit dilakukan, terlebih jika orang yang semestinya kita kasihi tidak memperlakukan kita dengan baik. Namun, mari terus berusaha menaati Tuhan dan hukum-Nya yang sempurna dan memerdekakan. Teruslah mengasihi bagaimana pun keadaannya, karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengasihi kita.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Yesus Sayang Semua, Aku Masih Berusaha, Kamu?

Yesus menyatakan pentingnya hidup kudus, mengampuni dan juga mengasihi musuh kita.

Mudahkah melakukan itu semua?

Sepanjang sejarah kekristenan,dari masa lalu sampai masa kini, meneladani teladan kasih Yesus bukanlah hal mudah.

Yesus Sayang Semua, Aku Masih Berusaha, Kamu?

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Yesus cinta semua anak, semua anak di dunia
Kuning, putih dan hitam, semua dicinta Tuhan
Yesus cinta semua anak di dunia

Siapa nih yang baca tulisan di atas sambil menyanyi atau bersenandung? Sebagian dari kita mungkin tahu judul lagu di atas saat kita berada di sekolah Minggu, yaitu “Yesus Cinta Semua Anak” atau judul aslinya, “Jesus Loves The Little Children”. Kita tentu setuju kalau lagu di atas mencerminkan iman kita bahwa Yesus mencintai kita semua. Penebusan-Nya diberikan pada semua manusia, bahkan pada seluruh ciptaan-Nya, sebagaimana tertulis dalam Galatia 3:13, “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’”

Ketika kita menerima kasih Allah melalui penebusan Kristus, kita juga dituntut agar menjadi serupa dengan-Nya. Injil Matius 5:48 dengan jelas menyatakan, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” Pada perikop tersebut, Yesus menyatakan pentingnya hidup kudus, mengampuni dan juga mengasihi musuh kita.

Mudahkah melakukan itu semua?

Sepanjang sejarah kekristenan,dari masa lalu sampai masa kini, meneladani teladan kasih Yesus bukanlah hal mudah. Ada banyak peristiwa kelam yang terjadi, seperti Perang Salib demi merebut ‘Tanah Suci’ Yerusalem, konflik berdarah pasca reformasi Protestan di abad 16, hingga semangat 3G: Gold, Glory, Gospel yang menjadi salah satu faktor penjajahan bangsa Eropa atas bangsa lain. Pertanyaannya, apakah orang-orang Kristen di masa lampau benar-benar menghidupi kasih Kristus?

“Itu kan masa lalu, kekristenan sudah berubah,” mungkin ada yang mengatakan begitu. Apakah benar umat Kristen sekarang sudah menjadi lebih baik?

Mungkin kita perl sama-sama berefleksi pada pengalaman kita sebagai orang Kristen di Indonesia. Secara statistik, kita adalah golongan kecil dibandingkan dengan penganut agama lain. Pun, tak jarang kita menerima ancaman maupun persekusi dari pihak lain. Kita ingat pada Mei 2018 silam terjadi peledakan bom di tiga gereja di Surabaya. Ketika pelaku ataupun sindikat dari kekerasan dan kejahatan tersebut tertangkap, apakah kita berpikir, “mati saja orang itu!”? Atau, ketika kita mendapati orang-orang yang menghina iman kita ternyata menghadapi musibah atau terciduk oleh aparat, apakah yang terlintas di pikiran kita? Apakah kita berkata, “Sukurin, rasakan hukuman Tuhan”? Atau, dari setiap peristiwa buruk tersebut, apakah kita sanggup dan berani merespons dengan memaafkan dan mendoakan mereka?

Bagiku, sangat susah untuk menjadi serupa dengan Kristus yang sayang pada semua orang, tapi susah bukan berarti tidak bisa. Kita lupa bahwa ada Roh Kudus yang sejatinya memampukan kita untuk melakukan hal-hal yang kita anggap terlampau sulit. Yesus berkata dalam Yohanes 16:13, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitkan kepadamu hal-hal yang akan datang. Dengan meminta pertolongan Allah melalui Roh Kudus, kita akan terus menerus diberdayakan untuk menjadi serupa dengan Yesus untuk mengasihi sesama.

Yesus sayang semua dan Ia ingin kita juga melakukan hal yang sama. Jika saat ini kita masih belum bisa, masih memiliki dendam kepada orang lain, maka bukan berarti kita telah gagal. Kita masih bisa kok untuk mengasihi mereka. Menjadi sempurna bukan sepraktis memasak mie instan. Ada proses yang harus kita lalui bersama Roh Kudus. Dengan meminta tuntunan Roh Kudus terus menerus terus menerus, kita akan diingatkan bahwa kita lebih dahulu dikasihi Tuhan dan kita dimampukan mengasihi orang yang bersalah pada kita.

Menutup tulisan ini, sebuah lagu dari Barasuara berjudul Hagia kiranya dapat menjadi pengingat kita akan salah satu frasa dari “Doa Bapa Kami”.

Baca juga artikel lainnya terkait topik ini di sini.

Baca Juga:

Bahasa Cinta: Lebih dari Sekadar Kata

Sobat muda, tahukah kamu bahwa memahami bahasa cinta dapat menolong kita mengasihi orang lain dengan lebih baik?

Yuk baca artikel Dorkas berikut ini.