Posts

Bukan Resolusi Kembang Api

Oleh Erick Mangapul Gultom, Jakarta

Perjalanan hidup kita setiap tahunnya selalu diwarnai keberhasilan dan kegagalan. Natur kita sebagai manusia tentunya ingin menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, sehingga apa yang dialami tahun sebelumnya mendorong kita untuk membuat target-target baru seiring pergantian tahun.

“Pokoknya, tahun ini aku mau lebih rajin belajar supaya bisa lulus cumlaude!”

“Pokoknya, tahun ini harus selesai skripsi biar cepat wisuda dan membanggakan papa dan mama.”

“Pokoknya, tahun ini aku tekun bersaat teduh setiap hari dan enggak mau bolong-bolong lagi!”

“Pokoknya, tahun ini harus selesai baca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu.”

Sayangnya, semangat ini seringkali lebih menyerupai kembang api, heboh dan meriah, tetapi hanya bertahan sesaat. Dalam sekejap, mati dan terlupakan begitu saja.

Mau belajar lebih rutin, tetapi lebih tertarik ke mal untuk jalan-jalan. Mau menyelesaikan skripsi, tapi selalu bilang, “kan masih bisa esok hari”. Mau rajin saat teduh setiap hari, tetapi ketika bangun tidur yang dicek pertama kali malah notifikasi di HP. Mau membaca Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, malah tergoda menonton video di YouTube yang kelihatannya lebih menarik.

Aku pun merenungkan isi hati Tuhan dalam surat kasih-Nya, Alkitab. Inilah tiga hal yang kuperoleh sebagai hasil perenunganku ketika hendak menyusun dan melaksanakan resolusi tahun baru.

1. Relasi, Dekat dengan Sumber Berkat

Bicara tentang relasi, aku selalu teringat pada Daud. Daud adalah tokoh dalam Alkitab yang memiliki kerinduan luar biasa untuk selalu dekat dengan Tuhan. Dalam Mazmur 1 ayat 1 dan 2, Daud berkata:

“Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN dan merenungkan Taurat itu siang dan malam.”

Aku sungguh bersyukur ketika membaca bagian firman Tuhan ini. Aku diingatkan bahwa seringkali kita meminta Tuhan memberkati rencana-rencana yang telah kita buat, tetapi lupa untuk melibatkan Tuhan dalam menyusun rencana tersebut. Kita lebih suka pada berkat-Nya daripada hubungan dengan-Nya. Padahal, orang yang mencintai firman Tuhan dan merenungkannya siang dan malam disebut “berbahagia” oleh pemazmur. Dengan berelasi dengan Tuhan, kita sudah diberkati dengan kebahagiaan.

Seperti Daud, aku terinspirasi untuk dapat berelasi dengan Tuhan karena rindu untuk selalu dekat dengan-Nya. Aku belajar untuk memperbaiki fokusku—bukan kepada berkat, melainkan kepada Sang Sumber Berkat itu sendiri.

Aku rindu untuk mengajak teman-teman agar kita senantiasa membangun relasi dengan Tuhan dalam doa dan pembacaan firman. Marilah kita berdoa dan meminta hikmat Roh Kudus dalam menyusun perencanaan kita di tahun yang baru ini, agar apa yang kita rencanakan sesuai dengan apa yang Ia kehendaki bagi kita. Ia yang akan membimbing dan memampukan kita dalam melaksanakannya!

2. Kesetiaan, Proses Hari demi Hari

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Kita cenderung mengukur kemajuan dan kesuksesan dari hal-hal yang besar, padahal firman Tuhan justru mengingatkan kita untuk belajar setia dari hal-hal yang kecil.

Aku pernah membuat resolusi tahun baru untuk mengurangi penggunaan kertas yang berlebihan di kantor tempatku bekerja. Sebelumnya, aku selalu mencetak hasil desain untuk memeriksanya. Untuk mewujudkan resolusiku tersebut, aku membiasakan diri untuk memeriksa semuanya di laptop sebelum dicetak. Apa yang kulakukan nampaknya sederhana, tetapi ternyata tidak semudah itu untuk dilakukan. Aku belajar untuk setia pada kebiasaan kecil ini. Aku percaya perubahan besar harus dimulai dari diri sendiri!

Dalam menjalani resolusiku ini, aku teringat pada perumpamaan talenta dalam Matius 25 ayat 14 sampai 30, yang memberi pesan serupa dengan Lukas 16 ayat 10. Hasil yang kita peroleh akan semakin berarti apabila kita menghargai setiap proses yang dilalui. Ketika kemajuan yang diperoleh tidak seberapa, jangan turuti keinginan si jahat yang membuat hati kita tergoda untuk berhenti setia. Ingat, Tuhan kita yang setia akan “menguatkan hatimu dan memelihara kamu terhadap yang jahat” (2 Tesalonika 3:3).

3. Yesus, Harapan yang Sejati

Apa yang sebenarnya menjadi harapan kita yang terutama? Kalau diri Allah yang menjadi sasaran akhir dari harapan kita, maka kita berada di jalur yang benar. Namun, kita perlu mengoreksi kembali tujuan kita ketika apa yang kita harapkan justru adalah apa yang diciptakan Allah.

Perenungan selanjutnya adalah, apakah harapan-harapan itu menyenangkan hati Allah, atau jangan-jangan hanya nafsu pribadi semata? Aku pernah membuat resolusi untuk menabung di tahun ini, agar tahun depan bisa membeli barang yang sebenarnya tidak aku butuhkan. Menyadari bahwa aku hanya ingin memuaskan diri tanpa tujuan yang jelas, aku akhirnya menggunakan uang tabunganku untuk membeli buku rohani untukku dan adik-adik rohaniku.

“Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah” (Ibrani 12:2).

Aku berdoa agar kita semua senantiasa menjadikan Yesus sebagai tujuan utama dari segala hal yang ingin kita capai. Bukan lagi kehendak kita sendiri, tetapi kehendak Yesus yang kita lakukan dalam kehidupan kita.

Biarlah semangat kita untuk menjalani komitmen yang kita buat bersama Tuhan terus membara seperti api Roh Kudus, bukan lagi seperti kembang api. Roh Kudus memampukan kita untuk menjadi anak-anak yang setia dan hidup berkenan kepada Tuhan dalam relasi yang indah bersama-Nya.

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Allah Bekerja dalam Kehilangan Kita

Tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan. Bahkan, banyak yang berpikir bahwa kehilangan akan menghasilkan rasa sakit dan tidak perlulah menjadi bagian hidup manusia. Namun, tidak bisa kita pungkiri, semua orang pasti akan merasakan kehilangan.

Rahasia untuk Tidak Mengeluh

Hari ke-11 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:14-18

2:14 Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan,

2:15 supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda, sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela di tengah-tengah angkatan yang bengkok hatinya dan yang sesat ini, sehingga kamu bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia,

2:16 sambil berpegang pada firman kehidupan, agar aku dapat bermegah pada hari Kristus, bahwa aku tidak percuma berlomba dan tidak percuma bersusah-susah.

2:17 Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian.

2:18 Dan kamu juga harus bersukacita demikian dan bersukacitalah dengan aku.

Tidaklah sulit untuk mengingat kapan terakhir kali aku menggerutu tentang sesuatu atau seseorang—kemarin, lebih tepatnya. Aku sedang melewati masa-masa sulit di kantorku dan aku pun mengeluh. Semakin aku menggerutu, semakin aku merasa tidak bahagia; semakin aku merasa tidak bahagia, semakin banyak aku menggerutu.

Itu bukanlah hidup dan sikap yang Tuhan ingin kita jalani, baik itu di rumah, di gereja, di sekolah, atau di kantor. Tuhan, melalui Paulus, mendorong kita untuk “berperilaku yang layak bagi Injil Kristus” (Filipi 1:27). Kita dapat membuktikan kesetiaan kita kepada Kristus dengan cara menaati Tuhan dengan hormat. Dan satu cara untuk menghidupi ketaatan kita adalah melakukan semuanya “tanpa mengeluh atau membantah” (2:14).

Ya, ketika Paulus mengatakan semuanya, ia serius: bahkan ketika kita diminta melakukan hal yang tidak kita mengerti atau tidak kita suka, ketika doa-doa kita tidak dijawab, dan ketika kita sedang melewati kesulitan dan penganiayaan. Semuanya.

Ketika aku membaca ayat-ayat ini, aku teringat bagaimana orang Israel dulu menggerutu dan mempertanyakan pemimpin mereka saat berada di tengah padang gurun (Keluaran 15:24, 16:8). Sikap orang-orang Israel yang sering mengeluh dan mempertanyakan Tuhan akan situasi mereka merupakan suatu bentuk ketidaktaatan. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak percaya kepada Tuhan. Begitu juga segala keluh kesah dan gerutuan kita. Ketika kita melakukannya, semuanya itu tidak hanya diarahkan kepada sesuatu atau seseorang saja, tetapi kita juga melakukannya kepada Tuhan sendiri.

Gerutuan kita bukan hanya merupakan sebuah bentuk ketidaktaatan, itu juga adalah sebuah kesaksian yang buruk bagi orang-orang sekitar kita. Sebagai orang-orang Kristen yang adalah bagian—tapi terpisah dari—dunia ini, kita seharusnya bersinar layaknya terang, mengikuti teladan Kristus (Yohanes 8:12). Tapi, seringkali kita gagal hidup seperti itu. Ketika aku mengeluh kepada teman sekerjaku, aku bertanya-tanya, siapakah yang mereka lihat: Kristus hidup di dalamku, atau aku yang berlaku layaknya salah satu dari mereka?

Tapi pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa menemukan kekuatan untuk melakukan semuanya tanpa mengeluh?

Dengan berpegang kepada firman Tuhan (ayat 16), kata Paulus. Bukan hanya itu, kita sudah dijanjikan bahwa Tuhan akan memungkinkan dan melengkapi kita untuk melakukan kehendak-Nya melalui Roh Kudus (Filipi 2:13).

Ketika kita bisa menahan diri dari menggerutu, mungkin kakak rohani atau pemimpin rohani kita pun turut berbangga atas kita. Paulus mendorong para jemaat Filipi untuk hidup taat dalam Tuhan, agar ia punya alasan untuk berbangga ketika Kristus kembali. Buah yang dihasilkan para jemaat Filipi sangat membahagiakan Paulus (ayat 17), dan merupakan bukti bahwa pengorbanannya untuk mereka tidaklah sia-sia.

Tidaklah mudah untuk menghentikan diri kita sendiri dari mengeluh tentang hal-hal yang tidak kita sukai. Bagiku, masih sulit sekali untuk mengendalikan ucapanku ketika aku mengalami hari yang buruk di kantor, terutama ketika semua orang sekitarku sedang mengeluh karena frustrasi. Tapi ketika aku mengingat identitasku dalam Kristus—bahwa aku telah dikuatkan untuk hidup berbeda dari yang lain—aku sedang belajar untuk mengendalikan kata-kataku setiap hari. Alih-alih marah dan melontarkan kata-kata kasar, aku memilih untuk diam sejenak. Alih-alih mengomel kepada orang-orang di sekitarku, aku menenangkan diri dan berdoa. Aku pun mengalami kebahagiaan dan ketenangan yang didapat dari mengikuti-Nya dengan taat dan beristirahat dalam kekuasaan-Nya.

Memang tidak mudah. Tapi, ketika kita berdoa dan merenungkan tentang mengapa dan bagaimana, kita dapat menghindar dari tingkah laku tersebut. Kita akan tahu bahwa kepuasan yang kita dapatkan dari menggerutu dan mengeluh tidak sebanding dengan hidup dalam sikap yang layak di hadapan firman Tuhan, dan kebahagiaan yang dirasakan oleh pemimpin kita, diri kita, dan Kristus sendiri.—Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Vivi Lio

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu merasa tergoda untuk mengeluh dan marah-marah? Apa yang terjadi ketika kamu melakukannya?

2. Adakah hal-hal dalam kehidupanmu yang membuatmu susah untuk tidak mengeluh atau marah-marah? Tuliskanlah semuanya itu dan doakanlah.

3. Apakah kita bersinar terang bagaikan bintang di tengah-tengah dunia yang penuh dengan orang yang jahat? Apakah cara kita untuk dapat bersinar di dalam dunia seperti itu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Hari yang sempurna menurut Wendy adalah menyantap peanut buter, hiking, naik sepeda, atau saat teduh bersama Tuhan. Sebagai seoang penulis, Wendy berharap tiap tulisannya jadi alat untuk memuliakan Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Gagal Bukan Berarti Masa Depanku Suram, Inilah Kisahku Ketika Dinyatakan Tidak Lulus SMA

Gagal-Bukan-Berarti-Masa-Depanku-Suram,-Inilah-Kisahku-Ketika-Dinyatakan-Tidak-Lulus-SMA

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Delapan tahun lalu, tepatnya di tanggal 16 Juni 2009 adalah hari yang tidak pernah bisa kulupakan. Siang itu, aku dan teman-teman seangkatanku sedang was-was menantikan pengumuman kelulusan kami. Seperti peribahasa untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, hari itu aku menerima sebuah amplop pengumuman yang menyatakan bahwa aku tidak lulus SMA.

Aku sangat sedih dan merasa tidak percaya. Tatkala teman-temanku bersukaria menerima kelulusan mereka, aku menangis terisak-isak. Beberapa teman dan guruku datang memelukku. Waktu itu suasana hatiku kacau. Aku merasa bahwa Tuhan berlaku tidak adil kepadaku.

Dalam benakku, aku tidak pernah membayangkan akan kegagalan yang menimpaku. Selama tiga tahun aku telah berusaha dan aku percaya bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Tapi, hari itu harapanku untuk lulus menjadi tinggal kenangan. Akupun bertanya-tanya dalam hati. Apakah Tuhan tidak memberkatiku selama tiga tahun belajar? Mengapa harus aku yang mengalaminya? Sebegitu bodohkah aku sehingga tidak lulus? Apa yang harus kulakukan untuk masa depanku?

Di ruangan kepala sekolah, guru-guruku memberiku semangat dan nasihat. Mereka mengatakan kepadaku untuk tetap sabar karena ada hikmah di balik kegagalan ini. Waktu itu, ketua kelasku yang sekarang telah dipanggil Tuhan juga menepuk pundakku dan menyemangatiku. Dukungan dari mereka membuatku sedikit tenang walaupun masih sesekali meneteskan air mata. Di lubuk hatiku, aku berdoa meminta kekuatan supaya aku bisa menghadapi kenyataan yang sulit itu.

Aku pulang ke rumah dengan hati yang remuk redam. Ingin rasanya menyembunyikan diriku dari orang lain. Aku berbaring di kasur, mengurung diri berjam-jam, dan menatap langit-langit kamarku dengan tatapan kosong. Aku kembali menangis. Aku malu kepada keluargaku, guru-guruku di sekolah, teman-temanku, juga kepada guru sekolah mingguku dulu.

Selama dua hari aku merasakan semangatku hilang. Dalam benakku, aku membayangkan masa depanku yang mungkin saja suram karena tidak lulus SMA. Tapi, di tengah kesedihan itu aku teringat perkataan guru sekolah mingguku dulu ketika di gereja. Dia pernah berkata bahwa kita bisa mencurahkan isi hati kita kepada Tuhan Yesus dengan berdoa. Aku sadar bahwa aku terlalu banyak mengeluh dan tidak berdoa kepada Tuhan.

Dalam doaku, aku berdoa bukan supaya Tuhan mengubah ketidaklulusanku menjadi lulus, melainkan supaya aku boleh diberi kekuatan untuk menjalani hari-hariku ke depan. Sekalipun hatiku masih berat untuk menerima kegagalan itu, tapi aku tetap berusaha untuk berdoa. Aku selalu menangis ketika berdoa dan mencurahkan isi hatiku kepada-Nya.

Beberapa hari berlalu. Salah seorang guruku memberiku kabar untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian paket C. Mendengar kabar itu, hatiku melonjak gembira. Ternyata, aku masih punya kesempatan untuk lulus. Selain aku, ada beberapa teman dari sekolahku dan juga dari sekolah-sekolah lain yang senasib denganku dan harus mengikuti ujian paket C.

Bagiku, ujian paket C yang kuikuti itu adalah sebuah cara Tuhan untuk membangkitkan kembali semangat hidupku. Lewat kesempatan itu, Tuhan menunjukkan bahwa Ia mengasihiku dan tidak membiarkanku sedih berlarut-larut. Dia memberiku kesempatan satu kali lagi untuk bangkit. Keluarga dan teman-temanku juga memberiku semangat. Ayahku berkata, “Kegagalan itu bukan akhir dari segalanya. Kegagalanmu adalah keberhasilan yang tertunda.”

Sejak saat itu, aku bertekad untuk bangkit dari kekecewaan. Aku belajar untuk menerima kegagalan itu dengan tulus dan tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan teman-teman lain. Setelah ujian paket C itu selesai kuikuti dan aku dinyatakan lulus, aku melanjutkan pendidikanku di perguruan tinggi vokasi selama empat tahun. Aku mengambil Jurusan Teknik Kimia, Program Studi Teknologi Kimia Industri, di sebuah politeknik negeri di kota Makassar. Sekarang, aku telah lulus dan bekerja. Aku tahu bahwa perjalanan hidupku masih panjang dan aku harus memiliki niat dan kerja keras untuk mewujudkan masa depanku.

Kegagalan yang kualami delapan tahun silam membukakan mataku akan penyertaan Tuhan dalam hidupku. Tatkala aku tidak lulus Ujian Nasional, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi supaya aku lebih kuat apabila di masa depan ada kegagalan-kegagalan lain yang harus kuhadapi. Lewat proses yang menyakitkan, Tuhan membentuk aku supaya menjadi pribadi yang dewasa dalam iman dan sikap. Pengalamanku akan kegagalan inilah yang menjadi sebuah kesaksian hidupku tentang betapa indahnya karya Tuhan. Kepada teman-temanku yang pernah mengalami kegagalan, aku membagikan kesaksianku dan menguatkan mereka bahwa kegagalan yang mereka alami bukanlah akhir dari segalanya.

Sebagai manusia biasa, kegagalan-kegagalan yang pernah kita alami adalah hal yang wajar. Kita tidak tahu kapan dan kegagalan apa yang akan menimpa kita. Lewat pengalaman kegagalan yang pernah kualami, aku mendapatkan pelajaran hidup bahwa, apapun bentuk kegagalan yang pernah, sedang dan yang mungkin akan menimpa kita, jangan sekali-kali menyalahkan Tuhan. Rancangan-Nya selalu yang terbaik dan indah pada waktunya. Jangan pernah berpikir, jika kita sedang gagal, tidak ada lagi harapan. Tuhan setia dengan janji-Nya, sebagaimana Ia berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibrani 13:5b).

Selalu ada harapan bagi setiap orang yang percaya kepada Kristus. Mengucap syukurlah dalam segala hal. Jangan lupa untuk selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap perjuangan-perjuangan kita.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Baca Juga:

Sekalipun Aku Tuli, Tetapi Tuhan Tidaklah Tuli

Pernahkah kalian bergumul karena kekurangan fisik yang kalian alami? Aku pernah mendapatkan perlakuan tidak baik, merasa dikucilkan, bahkan juga mengalami diskriminasi karena sebuah cacat fisik yang kualami sejak lahir. Hidup dengan keadaan disabilitas sejatinya tidaklah mudah buatku, namun karena penyertaan Tuhan sajalah aku bisa melewati hari-hariku.

Apakah Kita Mencari Tuhan?

apakah-kita-mencari-tuhan

Oleh Abigail L.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Do We Enjoy God?

Dalam beberapa hari terakhir, aku sedang mendalami kitab Yesaya dan berusaha sebaik mungkin untuk memahami apa yang Nabi Yesaya maksudkan. Tapi aku menjadi semakin galau, karena aku sepertinya tidak belajar banyak; tidak ada hal praktis yang dapat aku aplikasikan. Aku dengan mudah melupakan apa yang telah aku baca.

Jadi, hari ini aku tidak membuka Alkitabku, tapi hanya duduk dan menatap langit-langit kamarku dan tulisan di sisi tempat tidurku yang berbunyi, “Yesus mengasihi”.

Aku tidak dapat menyembunyikan perasaan frustrasiku akan sedikitnya hasil dari pembacaan Alkitab yang kulakukan. Aku juga tidak dapat menyembunyikan kekhawatiranku bahwa Tuhan mungkin tidak memberitahuku apa-apa karena ada beberapa dosa yang belum kuakui, atau karena aku tidak membaca Alkitab dengan benar.

Aku dulu berpikir jika aku menyisihkan waktu dengan konsisten untuk membaca Alkitab dan berdoa, aku akan memiliki kehidupan Kristen yang sehat. Tapi kini aku menjadi ragu: apakah aku melewatkan suatu hal yang penting?

“Kita tidak dapat memuliakan Tuhan, bahkan jika kita berdoa, jika kita tidak menikmati Dia.” (John Piper)

Aku berusaha untuk memiliki kehidupan Kristen yang disiplin, yang aku pikir berupa menghabiskan satu jam di pagi dan malam hari untuk membaca firman Tuhan, bertanggung jawab akan komitmen pelayananku, dan memiliki sebuah kehidupan doa yang dinamis yang memungkinkan Tuhan berkarya di dalam dan melalui diriku. Aku percaya itulah yang menjadikan sebuah kehidupan Kristen “berhasil”.

Semua itu adalah hal-hal yang baik, dan adalah hal yang baik untuk berusaha menjalankan dan menumbuhkan segala kedisiplinan itu. Tapi ketika aku bergumul ketika aku menjalankan segala disiplin itu, aku mulai bertanya apakah yang sebenarnya aku cari.

Apakah aku menganggap waktu bersama Tuhan sebagai sebuah rutinitas yang harus aku lakukan? Apakah aku menganggap ketika aku sudah “bersaat teduh” hari ini menandakan bahwa aku memiliki hubungan yang “baik” dengan Tuhan hari ini? Aku mencari damai sejahtera dan kepuasan yang dari Tuhan, tapi apakah aku mencari Tuhan?

Dalam Yeremia 2:13, Tuhan membukakan dua dosa yang diperbuat bangsa Israel: meninggalkan Tuhan dan menyembah berhala. Dia berkata: “Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.”

Apakah hal-hal rohani telah menjadi berhalaku? Apakah aku telah melupakan bahwa Tuhan adalah sumber air yang hidup, dan berusaha membangun sumber kekuatan rohaniku sendiri? Apakah aku telah terlalu berfokus untuk menjaga disiplin rohaniku, sampai-sampai aku lupa untuk bersukacita di dalam Tuhan?

Menikmati waktuku bersama dengan Tuhan adalah sebuah hak istimewa, dan hanya dimungkinkan karena anugerah-Nya. Dia akan menegur, mengoreksi, dan melatih kita, sehingga hati kita dapat semakin menyadari betapa menyenangkannya bersama Tuhan itu.

Selama beberapa hari ini, Tuhan telah menegurku akan sikapku terhadap disiplin rohani yang kulakukan. Aku bersyukur kepada-Nya karena telah menunjukkan kesalahanku dalam perjalanan imanku. Betapa setia Tuhan yang kita miliki, sehingga Dia menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk dapat bertumbuh, dari awal hingga akhirnya! Sembari kita mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar, ingatlah agar kita terlebih dahulu melakukan hal yang terutama ini: carilah Tuhan.

Baca Juga:

#Blessed, Berkat yang Lebih dari Sekadar Hashtag

Jika kamu mencari hashtag #blessed di Instagram, ada sekitar 72 juta konten yang diberi hashtag ini. Masing-masing orang mengungkapkan beragam hal yang menurut mereka itu berkat. Tapi, tanpa kita sadari, seringkali kita lupa apa makna sesungguhnya dari kata “diberkati”.

Ketika Membaca Alkitab Terasa Membosankan

Ketika-membaca-alkitab-terasa-membosankan

Oleh Christine E., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What to Do When Bible Seems Boring

Bulan November 2015 lalu, aku memutuskan untuk membaca seluruh Alkitab sekali lagi. Beberapa tahun telah berlalu sejak terakhir kali aku melakukannya, dan sejak saat itu, biasanya yang kubaca hanyalah kitab-kitab Injil atau kitab surat-surat Paulus, dan sesekali kitab Kejadian dan Amsal.

Sebenarnya membaca Alkitab itu hanya persoalan waktu. Kalau aku bisa membaca tiga atau empat pasal dalam sehari, aku dapat membaca seluruh Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu dalam waktu setahun. Sederhana, bukan?

Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Sekarang sudah bulan Januari 2017, dan aku bahkan belum menyelesaikan setengahnya. Apa yang salah?

Aku memulai dengan baik. Kisah tentang penciptaan, Abraham, dan kelanjutannya membuat kitab Kejadian cukup menarik untuk dibaca secara keseluruhan. Kitab Keluaran juga diawali dengan cerita-cerita yang menarik, tapi kemudian berubah drastis ketika aku tiba pada bagian daftar aturan-aturan yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel. Kemudian daftar aturan itu semakin banyak, diikuti dengan daftar silsilah keluarga. Aku gagal melewati daftar silsilah yang begitu membosankan itu.

Setelah aku cukup lama berhenti melanjutkan membaca Alkitab, akhirnya aku mendatangi teman-temanku di tengah rasa frustrasiku. Dan aku mendapatkan respons yang sama berulang kali. “Baca saja terus,” kata mereka. Mereka mengatakan bahwa aku tidak perlu mencoba mendalami semua bagian Alkitab—yang penting aku membacanya dulu.

Aku coba mengikuti saran teman-temanku. Dan aku kemudian menemukan bahwa ketika aku duduk dan membaca terus bagian Alkitab yang “membosankan” itu (seringkali dengan keluar suara, karena itu membuatku tetap fokus), aku kadang menemukan hal yang tidak kuperhatikan sebelumnya. Contohnya, aku sebelumnya telah membaca beberapa kali tentang kisah bagaimana Daud mengambil istri Uria dan mengirim Uria ke medan perang agar dia terbunuh (2 Samuel 11). Apa yang aku tidak perhatikan sebelumnya adalah Uria ada dalam daftar 30 pahlawan-pahlawan Daud (2 Samuel 23:39). Daftar ini berisi prajurit terbaik Daud; banyak dari mereka telah mengikuti Daud sejak masa ketika Saul memerintah. Ini berarti Daud mengenal Uria secara pribadi. Tiba-tiba, dosa Daud terlihat semakin parah, dan anugerah pengampunan Tuhan atas Daud terlihat semakin besar.

Memang aku tidak selalu menemukan sesuatu yang baru. Kadang, aku harus berusaha keras agar mataku bisa terus fokus. Berkali-kali, aku mengingatkan diriku akan ayat 2 Timotius 3:16-17: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik.”

Dalam ayat di atas, Paulus mengatakan “segala tulisan”, bukan hanya tulisan yang menarik saja. Segala tulisan ini mencakup daftar aturan-aturan yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel, daftar silsilah yang panjang, dan cerita-cerita aneh yang aku juga tidak tahu dengan jelas apa tujuannya. Segala tulisan itu diilhamkan Allah, dan segala tulisan itu bermanfaat.

Memang masih ada banyak perikop dalam Alkitab yang belum dapat kumengerti. Tapi aku memegang apa yang Tuhan katakan, dan percaya bahwa jika aku terus membaca dan membaca ulang seluruh Alkitab yang Dia berikan kepada kita—daripada hanya memilih beberapa ayat atau pasal favoritku saja—firman-Nya akan mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan, dan mendidikku dalam kebenaran.

Coba pikirkan: selama Yesus melayani di dunia ini, Dia hanya memiliki Perjanjian Lama. Dan kitab yang Dia kutip kebanyakan berasal dari kitab Mazmur dan Ulangan. Kitab Ulangan! Mendengarnya saja membuatku tergoda untuk melewatkannya.

Allah menyatakan diri-Nya dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dia dinyatakan dalam setiap pasal, paragraf, dan bahkan kitab surat yang paling pendek sekali pun. Yesus mengatakan kepada para pengikut-Nya, “Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Matius 5:18). Itulah yang membuat Alkitab layak untuk dibaca.

Sekarang aku sedang membaca kitab Mazmur. Sejujurnya, aku tidak menyenangi setiap hal yang aku baca. Berbeda dengan pemazmur, aku tidak selalu merasakan bahwa firman Tuhan itu “lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua; dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.” (Mazmur 19:11).

Tapi aku berharap suatu hari nanti aku dapat merasakannya. Dan sampai waktu itu tiba, aku akan terus membaca Alkitab dan mempercayai Tuhan untuk menggunakan segala tulisan itu untuk “[memperlengkapiku] dalam setiap perbuatan baik.”

Baca Juga:

Mengapa Aku Memutuskan Berpuasa untuk Pertama Kalinya

Aku begitu menyukai makanan-makanan manis dan menjadikannya sebagai cara untuk menghilangkan stres. Tapi, tanpa kusadari kesukaanku pada makanan itu telah menjadi berhala baru bagiku yang menggantikan posisi Tuhan.